Situasi apa ini?Tiba-tiba saja pria itu masuk dan langsung berbaring di atas ranjang, dengan tubuhnya yang bau alkohol dan rokok. Ophelia memijat dahinya pusing. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi sekarang.“Bisakah anda bangun dan mandi? Tubuh anda bau alkohol dan rokok.” tegur Ophelia, yang berdiri tak jauh dari ranjang.Edward hanya memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Jemari tangannya terkulai di sisi ranjang, sementara dasinya masih menggantung longgar di leher. Ada kepenatan sekaligus amarah yang tertahan di wajahnya, seolah dunia menuntut lebih dari yang sanggup ia beri. Ophelia mengepalkan tangannya. Ia bukan tipe perempuan yang mudah terseret emosi, tapi ada sesuatu pada cara Edward merebahkan tubuhnya begitu saja seolah ranjang ini memang miliknya, yang membuat darahnya mendidih.Namun... Ophelia berusaha menekan amarahnya, “Setidaknya ganti baju anda...” suara Ophelia terdengar pelan.Edward membuka matanya perlahan, menatap Ophelia dari ranjang dengan tatapan r
Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suar
Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suar
Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang."Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?"Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk m
Sudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya.Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matan
Begitulah semuanya terjadi. Dante dan asisten pribadi Edward, langsung membungkam seluruh media yang hadir, juga memulangkan semua tamu undangan yang jumlahnya hampir memenuhi aula itu. Pernikahan ini, akan menjadi pernikahan tertutup yang penuh misteri, yang tidak akan bisa di ketahui oleh dunia luar. Lampu-lampu gantung kristal yang berkilau dingin kini hanya menyinari wajah-wajah yang tersisa: keluarga inti, pasukan bersenjata yang menjaga setiap pintu, dan saksi sah yang sudah dikontrol sepenuhnya."Buang semua rekaman. Tidak boleh ada satu pun gambar yang keluar dari aula ini," ucap Edward dengan nada berat. Matanya menyapu ruangan, yang sekarang sudah sepi, yang tersisa adalah keluarga Addison dan keluarga Orlov.Tatapan pria itu, berhenti tepat di depan perempuan yang sekarang berdiri di depannya ini, dengan mengenakan gaun putih sederhana yang panjang, dengan buket bunga yang ada di tangannya. Edward berjalan mendekat perlahan, langkah-langkahnya terdengar jelas di lantai marm