Dimata gue, perempuan itu sangat berharga. Gue gak suka sama mereka yang membuang harga dirinya hanya karna Cinta.
- Jai -
Jinny duduk diam disebuah bangku taman, ia masih menunggu Jai yang entah pergi kemana, ia merasa kesal, sudah diajak bolos bareng, kini ia ditinggal sendiri.
Karena bosan, Jinny membuka ponselnya, ada beberapa notifikasi dari i*******m dan Line. Jinny membuka aplikasi Line-nya, ada chat dari sahabatnya, Sasya.
Salsyabilla : Jinn, lo dimana ? Tadi Bu Sita nyariin lo, lo bareng Jai gak?
Jinny mendengus sebal.
"Kata siapa guru-guru rapatnya sampai siang, buktinya Bu Sita masuk tuh di kelas, Jai sialan!" gerutu Jinny.
Setelah itu ia mengetikkan sesuatu untuk Sasya.
Jinnygivana : Sya, bawain tas gue ya.
Setelah mengirim pesan itu, Jinny kembali memasukkan ponselnya ke saku roknya.
"Bengong aja neng, kayak Jones," ejek Jai yang baru datang dengan membawa 2 botol minuman dingin.
Jinny meneguk salivanya, kala melihat minuman ditangan Jai. Sumpah, sekarang ia sedang kehausan.
Jai yang menyadari pandangan Jinny terkekeh pelan.
"Lo mau?" tanya Jai.
Jinny hanya mendengus, harga dirinya cukup tinggi, dia tak akan memohon pada Jai hanya untuk sebuah minuman dingin.
"Gak butuh!" jawab Jinny, ketus.
"Ya udah," balas Jai tak acuh. Ia mulai membuka penutup minuman itu lalu meneguknya perlahan. Jai melirik sebentar kearah Jinny, ia tersenyum tipis. Biar saja Jinny yang memintanya, setidaknya Jai ingin menghilangkan ego Jinny yang terlalu tinggi.
Jinny kembali meneguk salivanya seraya menatap Jai yang sedang asyik minum. Jinny menghela napasnya pasrah.
"Bagi gue dong!" ucapnya masih dengan nada ketus.
"Katanya tadi gak mau," goda Jai.
"Tadi gue khilaf, sekarang mah udah sadar bahwa gue KEHAUSAN?" ucap Jinny seraya menekankan kata 'kehausan'.
"Bagi dong," lanjutnya.
Jai terkekeh pelan, ia memberikan botol minuman Jinny, namun saat Jinny ingin mengambilnya, Jai menarik kembali tangannya.
"Monyet kampret! Gak usah becanda lah, gue haus banget ini, siniin!" ucap Jinny kesal.
Jai kembali terkekeh lalu memberikan botol minuman itu ke Jinny, kali ini serius.
Jinny meneguk minuman itu sampai habis, ia benar-benar kehausan.
"Pelan-pelan napa neng," ucap Jai.
"Bacot lo!" jawab Jinny, ia membuang botol bekas minum ke tempat sampah yang berada di samping tempat duduknya.
Jinny kembali teringat kejadian dimana Jai menariknya tadi, tiba-tiba satu pertanyaan mengganjal itu memenuhi isi pikiran Jinny.
"Lo kenapa ngehindarin Mawar sih?" tanya Jinny.
Jai menoleh, ia mengangkat bahunya tak acuh.
"Gue gak suka di kejar-kejar sama cewek," jawab Jai.
"Cih, jadi maksud lo si Mawar ngejar-ngejar lo gitu?" tanya Jinny, seolah mengejek.
Jai tergelak.
"Gak pantes bagi seorang wanita mengejar-ngejar seorang pria dengan membuang harga dirinya," ucap Jai singkat.
Jinny menatap Jai lekat, menurut Jinny apa yang dikatakan Jai memang benar.
Mereka terdiam untuk beberapa saat.
Jai menatap Jinny. "Menurut lo, gue keterlaluan gak?" tanya Jai.
Jinny kembali menoleh, ia tersenyum. "Lo sepenuhnya gak salah kok, cintakan gak bisa dipaksakan," jawab Jinny.
Untuk pertama kalinya Jai tersenyum tulus pada Jinny. Jinny yang melihatnya pun terpaku, Jai cukup manis jika Ia tersenyum.
Daebak! Si Jai ganteng banget. Batin Jinny.
Jai menatap Jinny heran, lalu iapun meniup wajah Jinny.
Jinny gelagapan dan langsung membuang mukanya ke segala arah, wajahnya kini sudah memerah, ada apa dengannya? kenapa ia merasa terpesona pada Jai? Jinny berdiri lalu mulai berjalan pulang.
Jai yang masih berada di bangkunya hanya terkekeh lalu berjalan menyusul Jinny.
"Gue ganteng kan?" tanya Jai.
Jinny menatap Jai jengah. "Gak!" jawabnya ketus.
Jai kembali terkekeh.
"Akuin aja kali, tadi lo terpesona kan sama gue?" godanya lagi.
"Gak!" jawab Jinny.
"Udah kali, lo ngaku aja apa susahnya sih,"
"Gue bilang gak, ya gak!"
"Jangan bohong,"
"Terserah lo deh ya, semerdeka lo aja lah,"
Jinny segera berlari menghindari Jai yang menertawakannya. Jai senang jika bisa menggoda Jinny si ketus, Ia mulai berjalan mengejar Jinny sambil bergumam.
"Lo lucu Jinn,"
***
Jinny segera masuk ke kamarnya, membersihkan badannya, mengganti baju lalu berbaring di kasurnya, ia sangat lelah. Tadi Pak Teo meminta Jinny dan Jai bertemu disuatu taman yang terletak di depan komplek rumahnya, ditaman itu terdapat sebuah lapangan basket kecil-kecilan yang memiliki satu ring. Disana, mereka dilatih langsung oleh Pak Teo. Pak Teo sangat teliti dalam menjelaskan beberapa teknik yang harus mereka mainkan diturnamen nanti. 2 jam mereka latihan, dan baru menguasai setengah dari beberapa teknik yang diajarkan Pak Teo. Mereka pun memutuskan untuk latihan lagi pada hari berikutnya.
Jinny mengambil ponselnya, ia membuka aplikasi Line-nya dan mendapati sebuah chat baru dari Aldi. Semenjak kejadian tabrakannya dengan Aldi beberapa hari lalu, Jinny menjadi semakin akrab dengannya. Setiap hari Aldi tak pernah absen untuk mengirimi Jinny pesan.
Aldivaro : hai Jinny 😊
Jinnygivana : hai juga kak Aldi 😊
Beberapa menit kemudian muncul kembali pesan dari Aldi.
Aldivaro : lo lagi apa ?
Jinnygivana : gak ada sih kak, gue cuman tiduran aja.
Aldivaro : malam minggu besok jalan yuk.
Jinny melotot, Aldi sedang mengajaknya untuk kencan, tentu saja ia mau. Namun sebuah pesan muncul lagi di layar ponsel Jinny.
Hijaifirmansyah : Jin besok kita latihan sampai malam. Kata Pak Teo.
Jinny mendesah kecewa, sebuah kesempatan langka yang sudah di depan mata akan dibuangnya sia-sia, mau bagaimana lagi, tanggung jawabnya sebagai kapten basket lebih penting dari sebuah kencan bersama orang yang dikaguminya.
Jinnygivana : maaf ya kak, kayaknya gue gak bisa nerima ajakan lo.
Send to aldivaro.
Jinny meletakkan ponselnya kasar, ia mencoba menutup matanya namun tak bisa, ia sedikit kecewa, namun mau bagaimana lagi?
Ponselnya kembali berbunyi.
Aldivaro is calling...
Jinny melotot, ia ragu untuk mengangkatnya takut jika nanti Aldi akan kecewa padanya. Tapi dia penasaran akan apa yang ingin dikatakan Aldi kepadanya, Jinny pun mengangkatnya.
"Halo," sapa Jinny.
"Halo Jinny,"
"Iya kak, kenapa?"
"Kenapa lo nolak ajakan gue?"
Jinny menghela napasnya.
"Gue ada latihan basket kak,"
"Kalo lusa?"
"Kayaknya sama deh kak, 1 bulan lagi kan ada turnamen tuh jadi kata Pak Teo harus banyak latihan,"
"Oh ya sudah kalo gitu,"
"Emm.. jangan marah ya kak,"
"Gak lah, kenapa juga gue harus marah sama lo,"
"Em..syukur deh,"
"Jinn, gue boloh ngomong sesuatu gak?"
"Ngomong aja kali kak, gak usah pake nanya segala,"
"Gue..."
"Lo kenapa kak?"
"Sebenarnya gue suka sama lo Jinn."
Jinny melongo, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
"Lo ngomong apa tadi kak, gak jelas sinyalnya," bohong Jinny, padahal ia hanya ingin memastikannya saja.
"Gue suka sama lo, Lo mau gak jadi pacar gue?"
Jinny terdiam di tempatnya.
"Lo gak perlu jawab sekarang Jinn, di sekolah nanti, kita ketemuan dan lo harus siapin jawabannya,"
Jinny mengangguk-nganggukan kepalanya seolah Aldi dapat melihatnya, laku tanpa pamit ia mematikan ponselnya.
Jinny tersadar dan segera berlari ke kamar Tara.
"Bang, abang ini gue," ucap Jinny seraya mengetok-ngetok pintu kamar Tara. Pintu terbuka dan menampilkan seorang yang penampilannya acak-acakan.
Jinny tertawa terbahak-bahak.
"Lo habis ngegembel dimana bang?" tanya Jinny ditengah keasyikan tawanya.
Tara menatap Jinny jengah, "Lo mau apa?" tanya Tara ketus.
Jinny berhenti tertawa lalu menatap Tara lekat. "Gue mau curhat bang," jawab Jinny.
Tara pun mengajaknya masuk ke kamar. Dan dengan senang hati, Jinny segera masuk ke kamar abang kesayangannya itu. Jinny tahu, bahwa sesibuk ataupun selelah apapun abangnya ini, Tara akan tetap mendengarkan isi hati adik semata wayangnya ini.
Jinny duduk di samping kasur Tara, begitupun dengan Tara. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, Jinny mulai menceritakan tentang Aldi yang menembaknya tadi.
"Lo terima aja kalo emang lo suka juga sama dia," jawab Tara.
"Iya sih Gue suka bang, jadi gue harus terima nih?" tanya Jinny lagi.
"Gue ngikutin apa mau lo aja Jinn, gue gak bakal ngelarang-ngelarang elo kok,"
Jinny hanya mengangguk menanggapi pernyataan Tara, setelah itu ia langsung memeluk Tara senang.
"Makasih abangku yang paling ganteng sedunia sayangnya masih jomblo!" ucap Jinny lalu mencium pipi abangnya itu.
"Percaya dah yang bentar lagi taken sama si Aldi ganteng, sok-sokan ngehina gue yang jomblo," ucap Tara seraya menoyor kepala Jinny.
Jinny hanya nyengir kuda lalu kembali memeluk Tara.
"Udah sana balik ke kamar lo, gue mau istrahat, capek gue," usir Tara seraya mendorong bahu Jinny pelan, keluar dari kamarnya lalu menutup pintunya rapat-rapat.
Jinny kembali tersenyum lalu kembali ke kamarnya. Jinny merebahkan badannya di kasur lalu mulai menutup matanya. sebentar lagi ia akan jadian dengan orang yang sangat dikaguminya sejak kelas 10, Jinny merasa tak sabar.
***
Butuh kesabaran ekstra buat dapetin lo, dan kini gue harap lo mau nerima cinta gue.***Jai berdiri di sana, di atas panggung, lengkap dengan gitarnya. Ia melihat Jinny dari sana sambil tersenyum, sementara yang ditatap hanya diam melotot di tempatnya. "Gue berdiri di sini, buat ngungkapin perasaan gue sama seseorang." Jai masih menatap Jinny, sementara para penonton, khususnya wanita berteriak heboh."Terimakasih untuk dia yang sudah memakai gaun biru, warna kesukaan gue." Penonton kembali berteriak heboh, apalagi mereka yang juga memakai gaun biru. Berharap saja jika yang di maksud oleh Jai adalah me
Untuk hari yang spesial, tentunya harus tampil memukau.***"BANG TARA!!"Tok. Tok.. Tok.Jinny tak ada hentinya mengetuk pintu kamar Tara, sudah sedari tadi ia teriak sampai habis suara namun sama sekali tak di dengar oleh Tara. Jinny semakin kesal dibuatnya, ia menatap pintu kamar itu lekat.Brakk.."JINNY! SUARA APA ITU?""ANJING TETANGGA NABRAK PAGAR MA." Jinny mendengus sebal sambil
Kekhawatiranmu, membuatku tersadar, apa mungkin kau juga punya rasa?***"Harusnya lo itu langsung lari aja!"Jai memarahi Jinny habis-habisan, ia merasa sangat panas saat melihat Luis memegang tangan Jinny begitu. Sedangkan Jinny hanya diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya."Maaf," Jai tertegun, ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu lekat. Jai menjulurkan tangannya dan menghapus air mata yang telah menetes di pipi Jinny. Ia benar-benar bodoh, mengapa ia bisa kelepasan seperti ini. Apalagi sampai membuat Jinny menangis begini, kalau sudah begini, apa bedanya ia dengan laki-laki brengs
Bukan gak mau, hanya mencari waktu yang tepat saja.***"Jai kampret!" Jai menutup telinganya rapat-rapat. Sudah sejak tadi Sasya terus mengomelinya, beginilah, begitulah, ia bosan, bosan dan bosan. Ia mengerti maksud dari Sasya itu baik, hanya saja dia butuh waktu yang tepat. Untuk saat ini mentalnya belum terlalu kuat."Jai, lo ngerti gak sih? Gue gemes deh sama kalian, sama-sama gengsi, udah sama-sama cinta aja masih ditutup-tutupin." Sasya mulai mendesah frustasi. Angga yang berada di sampingnya hanya terkekeh geli melihat kelakuan pacarnya itu."Iya Sya, gue ngerti." Jawab Jai.
Mungkin ini jawaban, dari lelahnya menunggu.***Jai memegang erat buku di tangannya. Dalam hati ia tak henti bersyukur, akhir dari perjuangan ini sangat memuaskan, setidaknya cinta pertamanya tak berakhir dengan kisah yang tak terbalaskan."Sasya, cepetan."Jai melotot, sesegera mungkin ia berlari ke bangkunya lalu menyembunyikan buku di tangannya ke dalam laci meja. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah ponsel dari sana dan pura-pura memainkannya."Sya, cepetan elah." Teriak Jinny, kini ia sudah berada di dalam kelas, dan sedikit terkejut karna melihat Jai juga ada di sana. 
Kalau memang cinta, katakan saja, kenapa harus takut? kenapa harus malu?***Sudah dua minggu sejak Jinny terbaring lemah di rumah sakit, dan kini ia bisa bersekolah seperti biasanya. Jinny menatap gerbang sekolahnya lekat, ia merindukam sekolahnya ini.Jinny melangkah memasuki sekolahnya, ia menoleh pada Pak Ujang yang sedang asyik meminum kopinya."Pagi, pak Ujang." Sapanya.Pak Ujang menoleh lalu ia tersenyum hangat pada Jinny."Eh, ada neng geulis, udah sembuh neng?"Jinny mengangguk menanggapi pertanyaan pak Ujang, setelah itu ia pamit menuju kelasnya."JINNNNNNYYY!!!" teriak Sasya, heboh, ia segera berlari dan berhambur ke pelukan sahabatnya itu."Gue kangen sama lo."Jinny berdecih. "Alay
Gak nyangka aja, lo bisa berbuat sekeji itu.***"Gue bisa bantu kalian nyari siapa pelaku sebenarnya."Jai terdiam di tempatnya, begitu pula dengan beberapa orang yang berada di sana. Tara maju mendekat ke arah Sindi."Gue harap lo serius sama kata-kata lo." Setelah mengucapkannya, Tara membuka ikatan Sindi dan membiarkannya mencari bukti siapa pelaku sebenarnya.Sementara Mawar, masih dibiarkan terikat karna ada sesuatu yang harus mereka tanyakan. Zidan menatap wajah sepupunya itu, dalam hati juga ia kasian, tapi kalo dia bersalah, Zidan tak akan segan-segan untuk menghabisinya.
Siapapun itu, gak bakal dapat maaf dari gue. Kalo dia udah nyakitin seseorang yang gue sayang.- Jai -***Jai masih duduk di bangku kantin dengan wajah lesu, ia sangat lelah, juga sangat frustasi. Sudah dua malam ia tak tidur karna terus menunggu Jinny yang berada di rumah sakit. Kata Dokter, tulang belakang Jinny mengalami keretakan akibat pukulan benda keras. Jai kembali memeras otaknya, memikirkan siapa pelaku sebenarnya.Apakah Mawar dan Sindi? Ataukah orang lain? Batin Jai terus berdebat.Sampai sebuah pukulan mendarat indah di tengkuknya. Jai mendongak dan mendapati para sahabatnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing."
Satu waktu, di satu tempat yang terasa hitam dan gelap, aku melihatmu sebagai cahaya yang terang.- Jinny -***Jinny mengemasi buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas berwarna pink miliknya- hadiah dari papanya saat ia berulang tahun yang ke-16. Sesekali ia tersenyum dan tertawa menanggapi lelucon yang di lontarkan oleh Sasya."Jinn.."Jinny menoleh dan mengerutkan keningnya, menatap Sasya bingung."Pangeran lo nungguin tuh," ucap Sasya seraya menunjuk orang yang tengah bersandar di pintu kelas, menunggu Jinny."Pangeran, pala lo peang." Dengus Jinny seraya menatap orang itu jengah, namun tak sengaja matanya menatap orang yang masih dudu