Juan masih menciumnya untuk waktu yang cukup lama, setelah itu ia menatap Celeste dengan mata hazelnya yang teduh.
"Sayang, aku punya kabar gembira untukmu," ucap Juan lembut.
"Apakah itu?" tanya Celeste tak sabar.
"Aku membawa Armando Ferrari untukmu. Sekarang dia ada dibawah menunggu kita," jawab Juan dengan senyum khasnya.
Mata Celeste melebar mendengar jawaban Juan. Armando Ferrari! Pria bajingan yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, namun tega menjualnya ke pria tua gendut yang lebih pantas menjadi kakeknya.
Emosi Celeste seketika tersulut. Tanpa banyak bicara ia menarik tangan Juan mengajaknya ke bawah untuk segera menemui Armando.
"Tunggu sebentar, sayang!" ser
Tanpa kentara perlahan jari-jemari lentik Celeste menyelinap ke balik blusnya, mengambil sebuah pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang.Dengan pisau kecil terhunus ditangannya, Celeste berteriak marah maju hendak membunuh ayah angkatnya itu. Armando yang melihat Celeste dengan pisau di tangan terkejut bukan main.Ia tak mampu mengelak dengan posisinya yang masih tersungkur di lantai seperti ini.Dengan mata terpejam, Armando pasrah menantikan rasa sakit yang akan timbul akibat tusukan pisau di tubuhnya.Namun lama ia menunggu dengan mata terpejam, rasa sakit itu tak pernah datang. Dengan raut wajah keheranan, Armando membuka matanya dan mendapati Juan berada di depannya menerima hunusan pisau Celeste dengan sebelah tangan.
Juan perlahan membuka pintu kamar Celeste, ia mengintip kedalam. Ternyata Celeste masih terlelap di tempat tidurnya. Kasihan wanita itu, setelah hampir setengah jam menangis akhirnya ia jatuh tertidur dengan sisa-sisa air mata.Juan menutup kembali pintu kamar Celeste dan berlalu dari sana. Ia tidak ingin mengganggu istirahat kekasihnya itu.Saat tengah menuruni anak tangga, Angelo telah menunggunya di bawah dengan raut wajah cemas."Ada apa, Angelo?" tanya Juan dengan kening berkerut."Aku baru saja mendapat kabar dari mata-mata kita, kalau paman anda dan puteranya telah merebut kapal kita yang membawa kiriman senjata api dari Rusia," jawab Angelo."Aku khawatir mereka akan menggunakan senjata ini untuk melawan ayah anda," l
Penasaran, Celeste turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya. Ia melangkah pelan mengikuti arah suara piano yang semakin nyata terdengar.Disana, Juan kekasihnya tengah memainkan piano dengan penuh penghayatan. Dentingan piano yang lembut dan terasa menyedihkan membuat siapapun yang mendengarnya dapat merasakan apa yang tengah dirasakan pemainnya."Juan, apakah kau tengah bersedih?" batin Celeste.Ia lalu mendekati Juan tanpa suara, ia tak ingin mengganggu konsentrasi pria pujaannya yang tengah asyik bermain piano dalam keremangan malam.Lama menunggu dengan mata tak lepas dari kekasihnya, Juan akhirnya mengakhiri permainannya dengan nafas terengah-engah. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Celeste diruangan itu.
TOK! TOK! TOK! Angelo mengetuk pintu kamar Juan, terdengar sahutan dari dalam. Tak lama pintu kamar terbuka dan muncullah Juan yang telah rapi dengan setelan jas berwarna biru navy serta sepatu hitam mengkilat. "Apakah anda sudah siap, tuan Juan?" tanya Angelo sopan. "Ya. Apakah Celeste sudah siap?" Juan balik bertanya. "Nona Celeste sedang menunggu anda di ruang makan untuk sarapan bersama anda sebelum kita berangkat ke pusat," jawab Angelo tersenyum kecil. "Kalau begitu, tunggu apalagi? Kita tidak boleh membiarkan seorang wanita menunggu terlalu lama, Angelo," balas Juan ceria. Keduanya lalu berjalan berdampingan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang berada di lanta
Seorang pria bergegas masuk kedalam ruang kerja dimana disana duduk dua orang pria yang sedang bercakap-cakap dengan santai."Permisi, tuan Marchetti," ucap pria itu berdiri tak jauh dari keduanya."Ada apa, Orazio?" tanya pria yang dipanggil Marchetti itu dengan sedikit jengkel."Aku membawa kabar buruk untuk anda. Baru saja aku mendengar kalau keponakan anda, Juan Maximo, akan kembali mengambil haknya sebagai pewaris tunggal tahta Maximo," jelas Orazio, sekretaris pribadi Marchetti."Apa?""Keponakan anda dan rombongannya tengah dalam perjalan menuju Palermo, diperkirakan sekitar 3 jam lagi akan sampai kekediaman Don Maximo," tambah Orazio."Sialan!" desis Marchetti
"Ternyata Dominica Maximo adalah pria yang kejam. Istrinya sendiri ia korbankan demi kelangsungan hidupnya. Benar-benar seorang mafia sejati," puji Luciano dengan senyum licik."Benar, papa pun baru mengetahuinya. Selama ini ia sudah menipuku dan Gianna dengan berperan sebagai suami yang baik," timpal Franco geram."Bagaimana dengan Juan? Apakah dia mengetahui yang sebenarnya dari kematian ibunya, papa?" tanya Luciano penuh dengan rasa ingin tahu."Entahlah. Tapi aku rasa dia mengetahuinya. Sebab tiba-tiba Juan pergi jauh dari ayahnya tanpa sepengetahuan Dominica," jawab Franco berubah murung."Kasihan keponakanku itu, pasti Dominica mati-matian mencari keberadaannya karena merasa tahtanya mulai terancam. Sebab hany
Tak lama mobil rombongan Juan memasuki sebuah jalan yang sepertinya dibuat khusus. Jalan tersebut diberi palang pintu dan dijaga oleh empat pria berpakaian serba hitam. Di belakang palang pintu terdapat sebuah bangunan kecil berukuran 2x2 meter yang ditempati satu pria berpakaian sama.Mereka berhenti sebentar untuk pemeriksaan, setelah mengetahui bahwa yang lewat adalah rombongan Juan mereka diperbolehkan lewat.Celeste memperhatikan semua itu dengan rasa takjub. Ia belum pernah melihat hal seperti ini, bahkan dalam mimpinya sekalipun."Juan, apa ini? Mengapa jalan ini dijaga ketat?" tanya Celeste dengan rasa ingin tahu yang besar."Ini adalah jalan menuju rumah keluarga Maximo, sayang. Rumahku," jawab Juan santai."Ap
Ruang makan kediaman Dominica Maximo siang itu terasa sangat ramai dan penuh gelak tawa. Makanan dan minuman buatan koki rumah yang pernah meraih juara pertama lomba memasak internasional itu tumpah ruah demi memuaskan perjamuan siang itu.Celeste bergelayut manja di lengan kokoh Juan. Kesadarannya perlahan mulai menghilang akibat minuman beralkohol yang sudah cukup banyak ditenggaknya. Celeste memang sangat menyukai minuman keras. Apalagi jika ia sedang banyak pikiran ataupun gugup seperti ini."Sayang, mari aku antar kau beristirahat di kamarku. Kau mulai mabuk," ucap Juan penuh perhatian."Tidak, sayang. Aku masih ingin disini, mengapa kau cepat-cepat menyuruhku beristirahat padahal acaranya baru saja dimulai," tolak Celeste yang tidak merasa dirinya mabuk."Sayang, t