Aku tiba di rumah sekaligus warung tempat ibu mencari nafkah, setelah kuseberangi jalanan di depan kampus. Dari kejauhan kak Sinta sudah memelototiku, mengambil ancang-ancang untuk menyerangku dengan omelannya.
“Sin, ibu mau antar ini. Kamu jaga warung sebentar, ya?” kata ibu, siap meninggalkan tempat dengan bungkusan di tangan.
“Eeeh ... Biar aku aja!” sahutku segera, mengambil alih bungkusan yang dibawa ibu.
“Kamu nggak capek? Makan dulu sana,” kata ibu.
“Nggak perlu. Aku antar ini dulu. Deket kok!”
“Tunggu!” Kak Sinta memeriksa alamat yang tertera dalam kertas yang kubawa. “Ini kan ... Jangan-jangan, kamu masih mau ketemu–“ Kak Sinta tak menyelesaikan ucapannya.
“Aku cuma mau bantu ibu anter pesanan kok!” balasku membela diri. Kucium telapak tangan ibu dan berpamitan padanya sebelum pergi menuju tempat tujuan dengan mengendarai sepeda motor.
Sebuah rumah bercat putih berhiaskan kursi dan meja kayu di depan teras, tampak tak berubah sedikit pun. Bunyi bel di rumah itu pun masih sama, seperti yang biasa kudengar di masa lalu. Satu-satunya yang berubah dalam rumah itu adalah ....
“Iya! Sebentar,” teriak seseorang di dalam rumah setelah mendengar bunyi bel.
Suara langkah kaki terdengar makin dekat. Pintu rumah pun dibuka lebar-lebar. Seseorang di balik pintu mulai menampakkan diri. Tapi, bukan kak Bayu lagi yang menyambutku dengan sapaan hangatnya. Bukan dia lagi, orang yang bisa kutemui di rumah itu.
“Terima kasih! Ini!” Si penghuni rumah menyerahkan selembar uang kertas setelah menerima bungkusan yang kubawa.
“Maaf, Kak! Saya nggak punya kembalian. Bayarnya pakai uang pas aja,” kataku pada kak Diki, seorang pengontrak di rumah itu.
“Tunggu bentar, ya! Aku ambil di dalam. Duduk dulu, Yu!” katanya.
“Iya.”
Kududuk di kursi kayu yang masih kokoh dan mengkilap, tak usang dimakan usia. Baru beberapa detik duduk di sana, pikiranku diajak berkeliling melalui mesin waktu. Pemandangan, suasana, bahkan aroma di sana, memudahkanku untuk mengingat kembali kejadian-kejadian di masa itu.
“Maaf ya, buat kamu nunggu lama. Soalnya beberapa barangku udah di-packing, jadi aku harus ingat-ingat lagi taruhnya di mana. Ini uangnya. Pas ya?”
“Packing? Mau ke mana?” tanyaku. Kuterima dan kuhitung uang yang dibayarkan kak Diki sebelum menyerahkan nota yang kubawa padanya.
“O iya! Aku belum bilang ke kamu! Bentar lagi kontrakku di sini mau habis, jadi aku mau balik ke kampung halaman. Mau kerja di sana, biar dekat sama keluarga.”
“Ooo,” kataku, manggut-manggut tanpa sadar. “Terus–“ ucapanku terhenti kala kak Diki mengucapkan terima kasih.
“Makasih banyak ya, Yu! Kamu udah banyak bantu dan banyak kasih info selama aku tinggal di sini.”
“Aaah, aku yang harusnya bilang terima kasih. Kakak udah jadi pelanggan setia di warung ibu.” Beberapa kali kumainkan jari-jemari, sebelum akhirnya kutanyakan satu hal yang membuatku penasaran sedari tadi. “Terus, siapa ... siapa yang bakal tinggal di sini? tanyaku hati-hati.
“Oooh itu. Si Bayu. Setelah aku pergi, dia yang akan tinggal di sini,” jawabnya santai.
“Si-siapa?!” sahutku terkejut-kejut.
“Si Bayu,” jawabnya sekali lagi, masih dengan ekspresi santainya. Kak Diki bahkan mengeja nama itu dengan jelas. “B-A-Y-U”.
“Kak Bayu ... yang itu?”
“Yang mana lagi?”
Hari demi hari berlalu. Setiap malam, kupandangi kalender yang sudah kutandai dengan lingkaran merah pada salah satu angkanya. Kuhitung setiap hari, berapa hari lagi yang tersisa menjelang hari yang ditunggu-tunggu itu sebagai kebiasaan baruku sebelum tidur.
“Kamu nggak tahu? Si Bayu mau balik ke kampung halamannya juga. Biar bisa urus orang tuanya, katanya. Berkas-berkas dan keperluan pindahnya pun udah beres. Tinggal tunggu harinya saja,” ucap kak Diki waktu itu.
“Tapi apa bisa ... semuanya akan tetap sama?” Tak bisa kupungkiri, di balik rasa antusias yang kurasakan, terdapat secercah rasa kekhawatiran yang menyiksa.
Pagi hari menjelang. Kurapikan tempat tidur, lalu mandi dan bersiap untuk pergi ke kampus. Tak ketinggalan, kak Sinta yang sudah tiba di rumah ibu menyemangatiku sebelum berangkat. “Semangat ujiannya, Ayu!” Aku pun berangkat dengan semangat dan siap menghadapi ujian.
Tak kusangka, hari terakhir UAS di semester empat ini terasa lebih ringan dibanding hari-hari sebelumnya. Waktu ujian belum berakhir, aku sudah menyelesaikan semua soal yang diberikan dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang cukup tinggi. Daripada berlama-lama, lebih baik kukumpulkan saja lembar jawabanku di atas meja terdepan. Aku pun menjadi orang pertama yang mengumpulkan lembar jawaban di ruangan tersebut. Kuberjalan keluar dengan langkah ringan, lalu kuhirup udara luar yang terasa lebih menyegarkan. Dalam sekejap, ketegangan dalam kepala dan bahuku pun menghilang.
Kuintip rupa Dini di balik kaca jendela. Dia masih tertunduk, fokus menjawab pertanyaan dalam selembar kertas di hadapannya. Kutunggu Dini sambil duduk di atas bangku panjang. Kuucap harapan dalam hati, semoga Dini segera keluar dari sana.
“Akhirnya selesai juga,” ucap seseorang dengan napas lega.
“Yes! Ujian berakhir!” sorak teman lain penuh kegembiraan.
“Hore!”
Beberapa orang berjalan keluar, saling mengungkapkan perasaan lega yang mereka rasakan. Secara otomatis kepalaku menoleh, berharap Dini berada di antara mereka. Setelah menelusuri satu per satu wajah, Dini tak terlihat juga batang hidungnya. Yang terlihat hanyalah Aji dan kawan-kawan terdekatnya.
Dimas menghampiriku. Dia berterima kasih padaku karena sudah mau berbagi file presentasi dan materi perkuliahan yang sudah kukumpulkan untuk bahan belajar. Tak hanya satu mata kuliah, semua matkul pun sudah kukumpulkan file-nya dan kukelompokkan dalam folder masing-masing.
“Belum mau pulang, Yu? Masih nunggu Dini ya?” tanya Dimas.
Kuanggukkan kepala tanda setuju. “Seperti biasanya,” jawabku.
Dimas memuji kesetiaanku pada Dini. Semenjak satu kelompok dengannya waktu itu, Dimas masih sering menghubungiku sampai sekarang. Dia pun menjadi orang kedua yang tak canggung berbincang denganku di kampus setelah Dini.
Sesaat kemudian, lambaian tangan Yadi terlihat. Percakapanku dan Dimas terhenti. Dimas membalas sapaan Yadi lalu meninggalkanku sendiri. Dia pun menghampiri Aji dan kawan-kawan, bergabung dalam percakapan mereka secara alami.
“Yuhu! Akhirnya pulang kampung!” ucap Yadi, mengepalkan kedua tangan penuh antusias.
“Pulang hari ini?!” sahut Aji dengan mata besar yang dibuka lebar-lebar.
“Iya! Gue nebeng Dimas sore ini,” kata Yadi. Dirangkulnya orang yang disebut sambil menggerakkan alis naik turun. “Iya kan, Dim?”
Dimas menggangguk malas-malasan disertai helaan napas panjang. Dia bahkan menghindari tatapan berbinar-binar Yadi.
“Jangan khawatir, Dim! Kali ini gue nggak akan makan sebelum berangkat. Dijamin motor lu nggak bakal kempes lagi. Gimana? Bagus kan, ide gue?”
Nana menutup mulut rapat-rapat, berusaha menyembunyikan suara tawa. Perkataan Yadi barusan terdengar lucu baginya. Ditambah ekspresi serius dalam wajah chubby Yadi, membuat perutnya makin geli.
“Sip! Gitu dong!” Dimas menunjukkan jempolnya dengan senyum merekah.
Reaksi Dimas yang kocak, mampu meloloskan tawa Nana yang sedari tadi ditahan. Komunikasi antara Yadi dan Dimas itu, berhasil membuatnya terbahak. Sementara itu Aji mendekat. Digoyang-goyangkannya lengan baju Nana dengan wajah memelas.
“Na, lihat mereka! Tega-teganya mereka ninggalin aku sendirian di kontrakan. Aku tidur sama siapa dong malam ini?” Aji mengadu pada Nana, bak anak yang merengek pada ibunya.
“Mulai deh! Mulai cari perhatian tuh,” sahut Dimas, sudah hafal kelakuan Aji.
“Semalem doang, Ji! Masa nggak berani? Besok kan, lu juga pulang?” sahut Yadi.
“Na,” panggil Aji lembut, “nanti malam, temenin aku di kontrakan ya? Semalaaam aja.”
“Huuu! Maunya!” ejek Yadi, menepuk dada Aji.
Aji menjerit kala mendapat serangan tiba-tiba dari Yadi. Mereka berdua pun saling mengadu pada Nana, berlomba-lomba meminta pembelaan. Nana hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Meskipun sering terjadi, Nana masih keheranan melihat sifat kekanak-kanakan mereka berdua.
“Ji, Ji, masih aja lu–” Dimas menghentikan ucapannya.
“Masih apa?” tanya Aji.
“Masih aja modus. Kalau mau pacaran, jangan di kontrakan dong! Apalagi malem-malem. Mau digrebek warga lu?” tambah Dimas, memperingatkan Aji.
“Kalian beneran pacaran?!” tanya Yadi sungguh-sungguh sambil menunjuk kedua kawannya, Aji dan Nana.
Tak ada jawaban. Wajah Yadi makin serius akibat kebungkaman mereka berdua. Yadi pun menanyakan pertanyaan yang sama pada mereka sekali lagi.
“Lu pikir?” Aji malah balik bertanya dengan wajah penuh percaya diri.
Yadi mengeraskan rahangnya. Disenggolnya lengan Dimas, berusaha mengorek informasi. Dimas mengangkat bahu pertanda tidak tahu. Dia mengaku bahwa perkataannya yang menyebut Aji dan Nana berpacaran barusan, hanyalah sebuah kesimpulan pribadi.
Adu mulut terjadi antara Yadi, Dimas dan Aji. Yadi menyalahkan Dimas karena asal menyimpulkan, juga menyalahkan Aji karena terlalu sering merayu Nana di hadapan umum sebab bisa menimbulkan kesalahpahaman. Dimas membela diri, mengatakan bahwa tak hanya dirinya yang berpikir demikian. Teman-teman lain pun beranggapan sama dengannya. Disisi lain sudah pasti Aji tak terima dilarang-larang, merasa dirinya tak melakukan kesalahan.
“Kasihan Nana dong! Dia terus-terusan digosipin sama orang-orang. Gimana perasaannya coba? Pasti risi dan terganggu. Emangnya Aji! Makin sering diomongin, makin seneng dia,” bela Yadi, berusaha memahami keadaan Nana.
Nana, sang primadona kampus melerai adu mulut antara tiga serangkai tersebut. “Udah jangan ribut, aku sama Aji nggak ada hubungan apa-apa kok. Dia memang seperti itu sama semua cewek. Bercandanya suka kelewatan. Oh ya, nanti hati-hati ya pulangnya. Salam sama keluarga juga. Inget, jangan sampai ada yang ketinggalan,” ucap Nana menyejukkan.
Yadi dan Dimas tertawa lepas mendengar penjelasan Nana yang tepat seratus persen. Tanpa kusadari, aku ikut mendengus karenanya. Aji menyadari suara dengusanku. Dia pun menengok ke arahku. Otomatis, kupalingkan wajah ke arah pintu. Kuhindari tatapannya untuk sementara waktu.
Si Dini belum keluar juga? Dia nulis apa aja di dalam sana?
Orang yang kutunggu akhirnya muncul. Dini menemukan keberadaanku setelah celingukan beberapa kali. Digoyang-goyangkannya pulpen dalam genggaman sambil berjalan menghampiriku. Baru beberapa langkah, tangan Dini tersenggol orang yang berpapasan dengannya. Dia hampir terjatuh. Pulpen yang dipegangnya pun terlepas dan menggelinding.
Kuhampiri Dini dengan langkah terburu-buru. Dimajukannya telapak tangannya, mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dini segera berjalan menjauh, mencari pulpen yang terjatuh. Pulpen itu adalah milikku. Dia kehilangan pulpen satu-satunya tadi pagi. Sebab itu, Dini memakai pulpenku untuk ujian hari ini.
Dini membungkukkan badan sambil berjongkok di belakang Aji. Tangannya diulurkan, berusaha meraih pulpen yang mendarat di dekat kaki Aji. Menyadari itu, keisengan Aji kambuh. Diinjaknya pulpen itu lalu ditendangnya jauh-jauh tanpa tahu pulpen itu milikku.
“Jiii!” teriak Dini penuh kekesalan.
“Ada apa sih, teriak-teriak?” sahut Aji santai, pura-pura tidak tahu.
“Itu pulpenya Masayu tau!” omel Dini geram.
“Hah?”
Bakal panjang nih urusan, tebakku.
Dini dan Aji menoleh ke arahku secara bersamaan. Begitu pula dengan Nana, Dimas, Yadi, dan teman-teman lain di sekitar. Mereka menatapku tanpa berkedip, seakan penasaran akan reaksiku tentang kejadian barusan. Tak ada yang berubah dalam mimik wajahku. Tetap sama seperti tak terjadi apa-apa.
“Yu! Aji ngilangin pulpenmu!” Dini mengadukan perbuatan Aji padaku. Dia bahkan menunjuk Aji di hadapan semua orang.
“Biarin aja,” jawabku singkat nan datar.
“Tapi Yu, dia sengaja cari masalah! Udah tahu aku mau ambil pulpen itu, eh malah ditendang. Bantuin ambil kek,” keluh Dini sambil melirik Aji.
“Kamu mau pulang jam 2 kan, Din? Udah packing? Tinggal beberapa jam lagi lho,” sahutku sambil menunjuk jam dinding yang terpasang.
“Aaa!” suara melengking Dini keluar dari mulutnya. Wajahnya berubah panik. “Aku belum packing! Belum siap-siap! Belum makan juga! Gimana ini? Kamu sih, Ji! Gara-gara kamu, aku jadi lupa kalau mau pulang hari ini,” celoteh Dini, malah menyalahkan Aji.
“Hih! Kok nyalahin gue?”
“Ayo Din, beli makan dulu. Habis itu langsung ke kos, packing sekalian siap-siap. Ayo!” Kugandeng tangan Dini erat, segera menyeretnya pergi dari sana.
“Oke, oke! Tolong bantuin aku ya, Yu! Nggak tahu lagi deh, kalau nggak ada kamu. Oh! Tapi Yu ... kamu nggak apa-apa bantuin aku packing? Warung ibumu gimana? Kalau kakakmu telepon, gimana? Kalau aku nggak bisa ngejar waktu, gimana? Kalau aku ketinggalan kereta, gimana? Yu, aku harus gimana ini?!”
Untungnya aku berhasil menjauhkan Dini dari Aji sebelum perdebatan mereka berujung panjang. Dini mengikuti ritme langkahku, meski sambil mengoceh penuh kegelisahan di sepanjang jalan. Kutenangkan Dini yang panik dengan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Tenang, pasti bisa! Sekarang, siapin dulu barang yang akan dibawa seperlunya aja. Tiket dan barang berharga jangan sampai ketinggalan juga, oke? Secepatnya aku pasti datang sekalian bawa makanan. Jadi, kamu nggak perlu beli makan di luar. Setuju?”
Dini berhenti mengoceh. Wajahnya berubah pucat. Kutanyakan Dini tentang keadaannya, khawatir akan kesehatannya.
“Aku pengen ke toilet, Yu,” ucap Dini manja.
“Diniii! Aku kira kenapa ... bikin takut aja. Sana cepet!” perintahku, menunjuk letak toilet dengan dagu.
“Tunggu sini ya!” Dini menyangkutkan tas miliknya di bahuku tanpa permisi. “Aku titip bentar, Yu! Makasih!” katanya, berlari menuju toilet tanpa menoleh.
Kedua bahuku kini penuh. Bahu kanan tersampir tas selempangku, bahu kiri tersampir tas bahu milik Dini. Kupegangi kedua tas itu sambil berdiri menunggu Dini di depan lorong.
Cuaca panas membuatku berkeringat deras. Rambutku jadi lepek karenanya. Kukibas-kibaskan tangan di depan wajah dan leher, memandangi pintu bertanda wanita di atasnya. Kuambil kuncir yang terselip dalam saku lalu kucepol rambut panjangku tinggi-tinggi. Akhirnya kurasakan angin berhembus. Semilir angin yang datang, memberi kesejukan di sekujur tubuh terutama leher dan tengkukku.
Dini baik-baik saja kan, di dalam sana? pikirku, mengkhawatirkan Dini yang tak kunjung keluar dari toilet.
Sebuah bayangan hitam tertangkap oleh mataku. Makin lama, bayangan itu makin besar. Ada seseorang yang mendekat di belakangku.
Siapa dia? Mau apa dia? Kenapa dia mendekat?
Salah satu tas yang bertengger di bahuku ditarik kencang oleh sosok misterius. Tak hanya itu, orang itu bahkan berteriak dan berbicara melantur padaku.
“Kembalikan! Kembalian sekarang! Ini tasnya Dini! Jangan macam-macam kau, Pencuri!”
Apa?! Pencuri?! Sengaja cari masalah nih orang.
*************
Hari berganti. Perkuliahan berlangsung seperti biasa. Aku masih setia duduk di barisan terdepan, fokus menyimak materi dengan khidmat. “Kelompok berapa?” “Udah dapat belum bukunya?” “Gimana dong?” “Kamu?” “Gimana ini? Deadline-nya udah dekat!” Di tengah jam perkuliahan, desas-desus terdengar di telinga. Dialog lirih bernada kepanikan itu berasal dari para mahasiswa yang duduk di belakangku. Meskipun tahu apa yang sedang dibicarakan, tak kuhiraukan suara itu dengan tetap menghadap depan. Di akhir materi, Aji menghampiriku lalu duduk di kursi terdekat. “Habis ini mau ke mana?” tanyanya basa-basi dengan suara dipelankan. Masih sibuk merapikan buku dan alat tulis, tak kuberi ia jawaban atas pertanyaannya barusan. Kemudian Aji berdehem agar keberadaannya di-notice olehku. “Yu!” panggilnya dengan suara yang masih dipelankan. “Aku? Kamu ngomong sama aku?” tanyaku balik sambil memasang wajah tanpa dosa. “So
Hari H telah tiba. Hari pertemuanku dengan kak Bayu, sesuai janji yang telah dibuat sebelumnya. Pertemuan di kafe dekat kampus, demi mengambil sebuah buku. Buku? Hanya demi sebuah buku? Yakin? Iyalah! Demi apa lagi? Yakin, nggak ada niat tersembunyi? ... Kafe?! Mau ambil buku aja, pake ketemuan di kafe segala. Aneh! Jangan-jangan! ... Hmm .... Udah! Jangan mikir macem-macem, Yu! Ini hanya pertemuan biasa. Nggak ada yang istimewa! batinku, berdebat dengan diri sendiri di depan cermin. “Pakai baju apa ya? Coba kulihat.” Kuperiksa koleksi pakaian dalam lemari, mencari padu padan yang serasi. Sesampainya di kafe.... Setelah celingukan beberapa kali, akhirnya aku memilih meja di dekat pintu agar kak Bayu mudah menemukan keberadaanku. Aku terlalu cepat ya datangnya? Hmm, jam berapa ini? batinku, memeriksa waktu saat ini dalam ponsel. “Maaf ya, aku telat. Udah nunggu lama?” “Ngg-nggak. Aku baru banget datengnya,” sahutku gelagapan, saat tahu kak Bayu tiba-tiba sudah duduk di hadapa
Ponsel berdering di malam hari. Aku pun sudah berada di alam mimpi. Sempat mengganti posisi tidur beberapa kali, akhirnya aku tak tahan lagi. Mataku melek. Kesadaranku pulih seutuhnya. Siapa sih, telepon malem-malem, gerutuku dalam hati, mengambil ponsel di atas meja dekat ranjang. “Halo?” sapa si penelepon, cerah ceria tanpa rasa bersalah. “Hmmm,” sahutku dengan suara serak khas bangun tidur. “Belum tidur? Kebetulan banget! Aku mau tanya sesuatu nih,” sahutnya kegirangan, tak mengerti situasi saat ini. Udah tidur dari tadi tau! Jadi kebangun kan, batinku memendam kekesalan. “Yu? Halo? Aku mau nanya. Penting!” desaknya. Walaupun geram, masih kusempatkan diri untuk meladeni percakapannya. “Nanya apa?” kataku. “Itu! Soal tugas kelompok! Tugasnya dikumpulin minggu depan, ya?” “Iya. Kenapa?” “Nggak apa-apa, cuma mau mastiin aja. Kebetulan tadi aku baru lihat sekilas bab kelompok kita. Aku juga udah baca-baca dikit di buku yang dikasih Dimas. Palingan ... besok atau lusa, bagiank
Dengan penampilan yang tak karuan akibat berkeliaran sepanjang hari, aku berniat langsung mandi saat sampai rumah nanti. Tak betah dengan gerah akibat teriknya sinar matahari, kupercepat laju kendaraan agar segera sampai tujuan. Dah sampai! Kuparkir motor di depan rumah dengan terburu-buru. Tas dan helm yang kubawa pun kutenteng kuat-kuat, meletakkan keduanya di atas meja ruang tamu. “Mandi, mandi, mandi,” gumamku, berjalan cepat menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan, aroma kunyit dan rempah kuat lain semerbak harum menusuk hidung. Semakin dekat, aromanya makin kuat, membuat niat awalku melenceng untuk sesaat. Cepat-cepat kuhampiri sumber aroma itu berasal, penasaran akan rupa masakan yang sudah terbayang dalam angan. “Udah mateng, Bu? Aku kemas ya?” kataku pada ibu yang sedang membuka tutup dandang berisi nasi kuning yang mengepul. “Tunggu agak dingin dulu. Biar ibu aja, kamu mandi sana,” ujarnya. “Oke! Kalau selesai, aku
Shower time! Bening dan segarnya air yang mengguyur, mampu menjernihkan pikiran serta mengusir penat setelah beraktivitas di hari pertama semester baru. Peluh dan debu yang menempel sirna, rasa kantuk yang sempat menyerang pun hilang seketika. “Haaa ....” Kuangkat kedua tangan tinggi-tinggi, membuka jendela kamar untuk menghirup udara segar sambil menikmati pemandangan. Meskipun masih ada sedikit keraguan dan kekhawatiran, nyatanya berita tentang kerja sama ibu barusan berhasil membuat tubuhku terasa lebih ringan. Kapan ya, terakhir kali aku bisa sesantai ini? Udah lama banget kayanya. Hmm, nyamannya, batinku merasa bahagia, menopangkan wajah pada telapak tangan yang bertumpu di atas kusen jendela. Habis ini, aku ngapain ya? pikirku, mencari-cari kegiatan yang perlu kulakukan saat ini. Oh! Kuambil notes kecil beserta bolpoin di atas meja, lalu duduk untuk menulis beberapa hal di dalamnya. Berbekal informasi yang kudapatkan dari ponsel, terdapat 3 perpustakaan yang tersedia di da
Aku pulang dengan perut kenyang berkat traktiran makan siang dari Dini. Sesampainya di rumah, ibu menyambutku di depan pintu rumah dengan senyum cerianya. Sungguh kejadian di luar kebiasaan, sebab ibu biasanya masih disibukkan dengan kegiatannya di warung jam segini.Apa warung ibu sudah kekurangan pelanggan? pikiran buruk itu sempat menghinggap. “Udah pulang? Makan siang dulu, Yu. Habis itu langsung istirahat. Ibu tinggal sedikit kok, beres-beres warungnya.”“Udah tutup?!” responku, spontan membelalakkan kedua mata. “Ada apa? Ibu sakit?” tambahku khawatir, cepat-cepat memeriksa suhu badan ibu dengan punggung tanganku.“Nggak, ibu nggak sakit.”“Ibu istirahat aja, biar aku yang lanjutin jaga warung. Kan sayang makanannya.”“Nggak usah. Kamu istirahat aja,” tolak ibu seperti biasa.“Udah, nggak apa-apa. Aku nggak ngantuk kok.”“Nggak perlu, soalnya–““Emang tinggal seberapa makanannya?” Buru-buru kuhampiri penanak nasi dan etalase di dalam warung, mencari jawabannya secara langsung. “