Gadis itu terkesiap. Aduh, mahal juga, ya? batinnya resah. Nyari nasabah yang mau bayar premi segitu tiap bulan aja susahnya setengah mati! Gimana kalau aku nggak closing dari pameran itu? Rugi dong, udah bayar mahal-mahal.
“Gimana, Rose? Ikut, nggak?” tanya Edward meminta kepastian. “Acaranya akan dimulai tiga hari lagi. Karena ini bukan pameran tunggal, melainkan bersama-sama dengan bank dan lembaga keuangan lainnya. Ini tinggal empat slot peserta yang tersisa. Kalau kamu nggak ambil keputusan sekarang, nanti keburu diambil agen lain.”
“Mahal sekali ya, Bang,” komentar anak buahnya mengajukan keberatan. Aku sangat menghemat biaya hidupku selama belum memperoleh penghasilan, pikir Rosemary logis. Apakah mengeluarkan uang sebesar itu nantinya setimpal dengan hasil yang kudapatkan, ya?
Tiba-tiba didengarnya sang manajer tertawa. Gadis itu jadi dongkol. Beginilah nasib orang kalau nggak
Bagi Indri sendiri, bosnya itu bagaikan perpaduan antara iblis dan malaikat. Iblis karena tak sedikitpun memberikan toleransi pada agen yang tak mematuhi aturannya. Omzet yang seharusnya menjadi hak pribadi agen tersebut secara ajaib bisa berubah menjadi omzet pribadinya sendiri hanya dengan satu kali telepon ke kantor pusat Jakarta. Demikian pula orang-orang yang direkrut agen yang tak disukainya bisa tiba-tiba nama-namanya muncul pada sistem perusahaan sebagai rekrutan Edward pribadi.Indri yang tahu persis itu adalah ulah bosnya sendiri hanya bisa menjawab tidak tahu ketika ditanya oleh agen yang bersangkutan. Dia tak mungkin mengungkapkan bahwa itu adalah cara-cara halus yang biasa digunakan Edward untuk menghentikan laju karir agen-agen yang tak mematuhi kebijakan-kebijakannya.Kalaupun mereka mengajukan komplain pada Teresa sebagai pemilik kantor, wanita itu hanya menanggapi dengan sopan dan berkata akan menindaklanjutinya lagi. Namun
Pemuda di hadapannya tertawa keras. “Rosemary, Rosemary,” katanya geli. “Tahu nggak, aku setelah tiga bulan lulus ujian keagenan baru closing. Itupun cuma satu polis dengan premi lima ratus ribu! Tenang aja, Non. Sekarang waktunya kamu menabur yang banyak. Kelak pasti akan menuai hasil.”Tapi aku nggak mau nunggu tiga bulan lagi baru memperoleh nasabah, protes si gadis dalam hati. Bayar uang kos, angsuran sepeda motor, bensin, dan biaya hidup pakai apa? Uang tabunganku nggak bisa bertahan selama itu!Ekspresi wajah Rosemary yang berubah menjadi serius sekali membuat Damian menghentikan tawanya. Pemuda itu lalu berkata lirih, “Kamu sepertinya ada masalah, Rose, sampai ingin cepat-cepat closing.”Ya, masalah besar, batin gadis itu gemas. Masalah yang menyangkut harkat dan martabat keluargaku. Masalah yang hanya bisa kuselesaikan step by step kalau aku berhasil mendapatkan banyak nasabah.
“Asal kamu melakukannya dengan ramah. Terus-terusan senyum kayak tadi, Nggak masalah, kok.”“Oh, My God! Mukamu nggak kaku-kah, Dam, tersenyum terus begitu?”“Kalau demi mendapatkan nasabah, nggak ada istilah muka kaku karena tersenyum terus, Rose!”Sontak agen-agen lain tertawa terbahak-bahak mendengar seloroh Damian barusan. Rosemary jadi terbawa suasana. Perasaannya juga plong karena telah berhasil memperoleh satu database, meskipun belum tentu akan mengambil asuransi darinya. Yang penting kedatangannya ke pameran ini tidak sia-sia. Dia telah mendapatkan ilmu canvassing yang sangat berharga dari Damian.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Tertera nama Edward pada layar. Mata gadis itu langsung berbinar-binar.“Halo, Bang. Aku lagi berada di pameran,” sahutnya ceria. Raut wajahnya tampak gembira sekali. Dia tak menyadari Damian tengah m
Gadis itu semakin penasaran. “Tapi apa, Dam?” tanyanya menuntut. Dia tak suka orang yang plintat-plintut dalam berbicara.Lawan bicaranya menghela napas panjang. Dengan berat hati dia berkata, “Tapi seandainya kelak kamu mempunyai masalah yang berat sekali sampai rasanya sulit dipecahkan…, barangkali bisa kauceritakan padaku. Siapa tahu aku bisa membantumu, Rose. Setidaknya menjadi teman bagimu untuk mencurahkan isi hati….”Ada apa lagi ini? batin Rosemary tak percaya. Masa orang ini menaruh hati padaku?Tiba-tiba gadis itu tertawa terbahak-bahak. Damian memandangnya keheranan. “Apa ada kata-kata yang lucu, Rose? Kamu kok sampai tertawa seperti itu?” tanyanya kebingungan.“Kata-katamu puitis sekali, Dam. Hehehe…. By the way, thanks a lot ya, Bro. Aku benar-benar menghargai maksud baikmu,” kata Rosemary tulus. “Tapi apa kamu ng
“Kamu tahu nggak, dulu Dina suka sekali mengajakku makan di tempat ini. Dalam satu bulan kami bisa tiga-empat kali datang kemari. Kadang bersama anak-anak, kadang berdua saja…,” cetus laki-laki itu kemudian. Dia mendesah panjang. Raut wajahnya berubah sedih. Membuat gadis di hadapannya merasa iba.“Tujuanku bekerja keras selama ini semata-mata untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga. Aku ingin istri dan anak-anakku berkecukupan. Bisa memperoleh apapun yang mereka inginkan. Namun ternyata masih ada saja yang kurang. Kata Dina aku tidak memperhatikan keluarga, lebih sering bersama agen atau nasabah dibanding dirinya, bla-bla-bla. Aaahhh….”Edward menunduk. Matanya terpejam. Kedua tangannya berpangku di atas meja sambil menutupi dahinya. Dirinya seperti tengah menanggung beban yang amat berat. Rosemary semakin berempati. Dia kembali teringat pada almarhum ayahnya yang berselingkuh. Perasaan Edwa
Kemudian diutarakannya pendapatnya itu pada sang atasan dan broker propertinya. Edward tersenyum simpul. Dia menoleh pada Danu dan berkata, “Nah, Danu. Kamu sudah mendengar sendiri pendapat Rosemary. Aku setuju dengannya, sih.”Setelah mengatakan hal tersebut, laki-laki berakal bulus itu mengerling sekilas pada lawan bicaranya. Danu tersenyum tanda mengerti. Dia harus mencari apartemen yang sesuai dengan selera Rosemary.“Tunggu sebentar, Pak. Saya hubungi teman saya dulu. Dia bekerja di property management apartemen ini. Siapa tahu dia punya stok unit 2 bedrooms yang sesuai selera Mbak Rosemary,” jelasnya sopan.Rosemary jadi merasa tidak enak. Seakan-akan dialah pengambil keputusan dalam hal ini. “Maafkan saya. Sudah merepotkan Mas Danu,” ucap gadis itu sungkan.“Oh, nggak apa-apa kok, Mbak,” jawab si broker sambil tersenyum. “Sudah tugas saya m
“Sekarang kita mau pergi ke mana?” tanya Edward. Dia dan Rosemary kini berada di dalam mobil. Mereka telah berpisah dengan Danu dan sekarang berada di dalam parkiran gedung apartemen.“Terserah Bang Edward saja. Aku nggak ada janji ketemu orang, kok,” jawab agennya polos.“Aku barusan baca pesan WA dari Indri,” kata Edward kemudian. “Selamat ya, Rose. Kamu lulus ujian. Sekarang udah resmi jadi agen, deh.”“Wah, iyakah, Bang? Aduh senangnya!” seru gadis itu bersukacita. Secepat kilat atasannya itu mencium keningnya. Rosemary tersipu malu. Jantungnya berdegup kencang.“Aduh!” cetus laki-laki itu seperti kesakitan. Tangannya memegang lehernya.“Kenapa, Bang?” tanya Rosemary kaget.Edward tersenyum kikuk. “Sepertinya leherku kecetit dikit gara-gara tadi mencium keningmu. Heh
“Lagipula seperti yang dulu pernah kujanjikan sebelumnya, Rose. Kamu akan benar-benar kupantau. Supaya lebih cepat mencapai keberhasilan di bisnis ini. Bukankah kamu juga ingin segera membuat keluargamu di Balikpapan bangga?” ujar laki-laki itu dengan pintarnya menyentuh titik lemah si agen.Rosemary mengangguk. Betul sekali, pikirnya setuju. Aku tidak boleh berprasangka buruk. Orang ini sudah banyak membantuku. Kalau dia bermaksud mencelakakan diriku, tidak perlu menunggu selama ini untuk melakukannya.Demikianlah gadis berusia dua puluh lima tahun yang selama ini hidup dalam perlindungan mendiang ayah dan kekasihnya itu mulai terperosok ke dalam jebakan pria matang yang berkedok kebaikan.***Setelah membeli makanan, Rosemary dan Edward berdiskusi berdua di dalam kamar hotel bintang empat yang dihuni laki-laki itu. Ruangan itu cukup luas dengan tempat tidur double bed, dua buah kursi be