Share

Kabar Buruk

Hari itu Rosemary terpaksa mengajukan cuti dengan alasan harus segera kembali ke kampung halamannya karena sang ayah meninggal dunia. Atasannya langsung mengizinkan.

Untunglah penerbangan dari Surabaya menuju Balikpapan hari itu masih ada. Dengan segera gadis itu memilih jam yang tercepat dan menunggu di ruang keberangkatan bandara. Saat itulah dia baru sadar belum menghubungi kekasihnya.

Diraihnya ponselnya dan diteleponnya pemuda berambut cepak ala tentara itu. Tangisnya tumpah-ruah seketika begitu menceritakan musibah yang dialami keluarganya. Owen merasa sangat prihatin mendengarnya.

“Sabar ya, Sayang. Percayalah Tuhan akan selalu melindungimu sekeluarga. Oya, kenapa kamu tidak mengajakku untuk menemanimu ke Balikpapan?”

Sang kekasih tercengang mendengarnya. Iya, ya, pikirnya heran. Kenapa aku tidak mengajak Owen?

“Aku, aku lupa. Sori. Mungkin karena terlalu sedih kehilangan Papa. Tapi, murid-murid les privatmu nanti bagaimana? Mereka kan mau ujian.”

“Aku kan bisa pergi sehari semalam saja, Yang. Hari ini pergi bersamamu, besok balik ke Surabaya.”

“Oh, iya ya. Sori. Aku benar-benar kalut, Wen. Sampai nggak kepikiran begitu.”

“Nggak apa-apa, Yang. Kalau begitu, besok saja aku pergi ke Balikpapan, ya. Nggak usah dijemput. Aku kan sudah pernah pergi ke rumahmu dua kali dulu. Masih ingat, kok.”

“Thanks, Wen. Untung ada kamu. Kalau nggak, aku pasti lebih sedih lagi.”

Terdengar suara terkekeh di seberang sana. “Aku akan selalu menyediakan bahuku untukmu, Rosemary Laurens. Bukankah itu yang selalu kulakukan setiap kali kamu cengeng karena inilah, itulah….”

“Hehehe…, aku kan cuma cengeng di depanmu saja, Wen.”

“Yup! Karena kamu seorang gadis yang kuat. Aku yakin kamu dan keluargamu bisa melalui cobaan ini dengan tegar. Percayalah, badai pasti akan berlalu.”

Rosemary mulai dapat tersenyum. Betapa kalimat-kalimat sang kekasih bagaikan air dingin yang menyegarkan perasaannya.

“I love you, Owen Tanoe,” ucap gadis itu sepenuh hati. Perasaannya tenang sekarang.

“I know, Rosemary Laurens,” jawab kekasihnya singkat.

Tiba-tiba terdengar suara di mikrofon bandara menyatakan bahwa penumpang penerbangan menuju ke Balikpapan agar segera bersiap-siap untuk berangkat.

“Wen,” kata Rosemary kemudian. “Aku harus antri ambil boarding pass sekarang. Kalau sudah sampai Balikpapan, kamu kukabari lagi, ya.”

“Ok, Sayang. Hati-hati. Selamat jalan,” jawab Owen penuh perhatian.

Dua puluh menit kemudian Rosemary telah berada di dalam pesawat yang siap membawanya ke kampung halaman tercinta. Biasanya dia pulang ke Balikpapan setahun dua kali, yaitu saat liburan Idul Fitri dan Natal.

Kepulangannya selalu disambut dengan tawa bahagia keluarganya. Namun kali ini akan berbeda. Suasana dukacita yang akan menyambut kedatangannya. Tiba-tiba gadis itu merasa takut. Takut sekali….

***

“Papamu kena serangan jantung karena tokonya disita oleh bank, Nak,” tutur Martha, ibu Rosemary, menceritakan hal-ihkwal berpulangnya sang suami. Air matanya jatuh bercucuran. Matanya mulai tampak bengkak akibat seharian menangis. Hari sudah malam dan mereka sudah pulang ke rumah.

Jenazah Lukman masih berada di rumah sakit. Besok pagi baru akan dipindahkan ke tempat persemayaman jenazah. Saat inilah Martha akhirnya mencurahkan segenap perasaannya pada putri sulungnya. Mereka berdua sedang bercakap-cakap di dalam kamar tidur Martha.

Rosemary yang melihat ibunya begitu terpukul tak sanggup berkata-kata. Dia sebenarnya kaget sekali mengetahui toko warisan kakeknya itu disita oleh bank. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah toko selalu ramai dan omzetnya besar? Bagaimana mungkin Papa mempunyai hutang yang sangat besar sampai-sampai tak mampu melunasinya?

“Papamu ternyata punya perempuan simpanan. Seorang janda muda beranak dua! Perempuan binal itulah yang menghabiskan uang papamu dengan kebiasaannya berjudi. Bahkan papamu sendiri akhirnya terjerumus dalam perjudian juga!”

Rosemary ternganga. Papa…Papa berselingkuh dan berjudi? Benarkah itu? Aku tak percaya sedikitpun!

Martha yang menyaksikan ekspresi wajah putrinya yang seakan-akan tak mempercayai ceritanya menjadi geram.

“Kenapa kamu memandang Mama seperti itu, Rose? Apa kamu nggak percaya sama cerita Mama barusan? Papamu memang berselingkuh, berjudi, dan entah melakukan perbuatan tercela apa lagi di luaran. Harta kita habis, Nak. Habis! Toko sudah hilang. Sebentar lagi rumah ini juga akan disita oleh bank. Kita cuma punya mobil truk dan Xenia. Dua buah mobil lainnya sudah dijual papamu untuk menghidupi perempuan jahanam itu!” seru wanita itu histeris.

Rosemary bagaikan sedang bermimpi. Benarkah semua yang kudengar ini? Papaku yang baik hati dan selalu melindungiku setiap kali dimarahi Mama…. Benarkah seorang Lukman Tanoe sanggup melakukan perbuatan-perbuatan sehina itu?

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Muncullah sesosok gadis cantik yang tak lain adalah Olivia, putri kedua Martha. Dengan sikap lembut dia mendekati ibunya. Dipeluknya tubuh wanita yang berguncang-guncang itu saking terpukulnya.

“Mama jangan sedih terus,” ucapnya menghibur. “Sudah capek kan seharian mengurusi ini-itu. Waktunya beristirahat, Ma. Besok kita masih harus mengatur kepindahan jenazah Papa dari rumah sakit ke ruang persemayaman. Mama butuh tenaga yang kuat besok. Sekarang tidur, yuk. Mau ditemani Oliv-kah?” tanya gadis itu semanis madu.

Olivia memang serupa sekali dengan ibu kandungnya. Penampilannya begitu feminin dan mampu menunjukkan sikap empati yang besar kepada orang lain. Hobi mereka pun sama, yaitu memasak, berdandan, dan berbelanja. Oleh karena itulah hubungan Martha lebih dekat dengan putri keduanya ini dibandingkan dengan putri-putrinya yang lain.

Dia tak membenci Rosemary. Namun tema pembicaraannya dengan putri pertamanya itu seringkali tidak nyambung. Rosemary suka membaca buku. Hobi yang diwarisinya dari sang ayah. Hal yang bukan merupakan kegemaran Martha karena membaca terlalu lama seringkali membuat bahunya terasa penat. Sedangkan Nelly, si putri bungsu yang masih berusia lima belas tahun, dianggap Martha masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang dewasa.

Kepada Olivia-lah wanita itu selalu mencurahkan perasaannya, baik suka maupun duka. Dan gadis itu menjalankan perannya sebagai pendengar dan penghibur yang baik bagi wanita yang melahirkannya itu. Oleh karena itulah dia tahu persis semua persoalan yang terjadi di antara kedua orang tuanya selama ini.

“Kakakmu tidak percaya dengan cerita Mama, Oliv,” kata sang ibu mengadu. “Dikiranya Mama mengada-ada. Kamu tahu sendiri kan, dia selalu lebih dekat dengan Papa dibandingkan Mama.”

Rosemary mendengus masygul. Lagi-lagi aku yang disalahkan, keluhnya dalam hati. Ya sudahlah, tak ada ruginya kali ini aku meminta maaf lagi seperti yang sudah-sudah.

“Rose minta maaf, Ma,” pinta gadis itu dengan raut wajah prihatin. “Rose bukannya tidak percaya dengan cerita Mama. Cuma Rose tak menyangka Papa sanggup melakukan hal sekeji itu.”

“Itu karena kamu selama ini selalu menganggap dirinya begitu suci bagaikan seorang dewa!” sergah ibunya kembali histeris. “Selalu Mama yang kamu anggap buruk dan membuat ulah. Padahal…padahal Mama sangat tertekan menjadi istri papamu selama bertahun-tahun ini!”

Tangisan Martha kembali membahana. Tiba-tiba kepala Rosemary terasa pening. Betapa ingin dirinya bertemu ayah tercinta saat ini. Meminta penjelasan dari mulut pria itu sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
baru mulai baca udah gregetan campur prihatin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status