Nayla menatap pintu depan yang baru saja tertutup setelah Revan masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya terasa berat saat ia beranjak dari taman belakang, mendekati ruang tamu tempat pria itu berdiri sambil melepas jas hitamnya.
Revan tampak lelah, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi, seolah kehadiran Nayla tidak ada artinya. "Aku ingin bicara," Nayla akhirnya membuka suara. Revan meliriknya sekilas, lalu berjalan ke arah meja, menuangkan segelas air putih. Sikapnya seolah tidak tertarik. “Aku lelah,” katanya singkat sebelum Nayla sempat melanjutkan. Nayla mengepalkan tangannya. "Aku hanya butuh beberapa menit." Revan meletakkan gelasnya, menatapnya dalam-dalam. Mata tajam itu seperti tembok yang sulit ditembus. "Baiklah," katanya akhirnya. "Bicara cepat." Nayla menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Tadi aku bertemu Tara.” Rahang Revan mengencang, tapi ekspresinya tetap terkontrol. “Lalu?” “Dia bilang… pernikahan kita hanya sementara.” Revan menghela napas, menoleh ke arah lain. "Apa dia juga bilang aku akan kembali padanya?" Nayla terdiam. Revan tahu. "Jadi?" suara Revan terdengar datar. "Kamu ingin tahu apakah itu benar?" Nayla menatapnya penuh harap. "Aku hanya ingin tahu... apakah aku benar-benar tidak berarti apa-apa dalam pernikahan ini?" Revan tidak langsung menjawab. Hening sejenak. "Jangan terlalu banyak berharap, Nayla." Jawaban itu menusuknya lebih dalam dari yang ia duga. Sejak percakapan itu, jarak di antara mereka terasa semakin nyata. Revan semakin jarang pulang, dan jika pun ada di rumah, ia lebih sering mengunci diri di ruang kerja atau kamar pribadinya. Nayla tidak tahu harus bagaimana. Haruskah ia terus berusaha? Atau menyerah saja? Suatu pagi, Bu Sari menghampirinya di dapur. “Nyonya terlihat murung akhir-akhir ini,” kata wanita tua itu lembut. Nayla tersenyum kecil. “Aku hanya… merasa terjebak dalam sesuatu yang tidak seharusnya aku jalani.” Bu Sari menghela napas. “Tuan Revan memang pria yang sulit. Tapi…” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Saya pikir, dia bukan orang yang benar-benar tidak peduli.” Nayla menatapnya heran. “Maksud Ibu?” Bu Sari tersenyum tipis. “Kadang, orang yang paling dingin adalah orang yang paling terluka.” Kata-kata itu terus terngiang di benaknya sepanjang hari. Apa benar Revan hanya menutupi sesuatu? Malam itu, Revan pulang lebih awal. Sesuatu yang jarang terjadi. Nayla memperhatikan dari jauh saat pria itu masuk ke kamar pribadinya. Ada sesuatu yang aneh. Wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya. Penasaran, Nayla berjalan mendekati pintu kamar itu dan mendengar sesuatu yang membuatnya membeku. Suara kaca pecah. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang terjadi? Tanpa berpikir panjang, ia mengetuk pintu. “Revan?” Tidak ada jawaban. Ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. “Revan, kau baik-baik saja?” Hening. Rasa cemas mulai menyelimuti Nayla. Ia mengetuk lebih keras. “Revan, buka pintunya!” Setelah beberapa saat, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu terbuka, dan Revan berdiri di sana dengan wajah gelap. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dingin. Nayla mencoba melihat ke dalam. Ada pecahan gelas di lantai dan sebotol minuman yang sudah kosong di meja. “Kau mabuk?” tanyanya, sedikit terkejut. Revan menghela napas panjang. “Pergi, Nayla. Ini bukan urusanmu.” “Tapi—” “Aku bilang pergi.” Nada suaranya membuat Nayla mundur selangkah. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia melihat sesuatu di meja—sebuah foto lama. Foto seorang wanita. Siapa dia? Nayla ingin bertanya, tapi tatapan Revan begitu tajam, seolah memperingatkannya untuk tidak mencampuri urusannya. Dengan berat hati, Nayla akhirnya berbalik dan pergi. Tapi malam itu, ia tidak bisa tidur. Siapa wanita di dalam foto itu? Dan kenapa Revan terlihat begitu terluka? Pagi harinya, Nayla terbangun dengan kepala yang masih dipenuhi pertanyaan tentang malam sebelumnya. Siapa wanita di foto itu? Kenapa Revan terlihat begitu hancur? Di meja makan, Revan sudah duduk dengan tenang, membaca koran seperti biasa. Seolah insiden tadi malam tidak pernah terjadi. Nayla ragu sejenak, lalu mengumpulkan keberanian. Ia harus mencari tahu. "Revan," panggilnya pelan. Pria itu mengangkat wajah, menatapnya sekilas. "Apa?" Nayla menarik napas. "Wanita di foto itu... siapa dia?" Revan berhenti mengaduk kopinya. Sekilas, matanya berubah gelap. Tapi hanya sesaat, sebelum ia kembali ke ekspresi dinginnya. "Itu bukan urusanmu." Nayla menggigit bibir. "Tapi aku ingin tahu." Revan meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit keras. "Jangan mencampuri urusan yang bukan milikmu, Nayla." Nada suaranya tajam, penuh peringatan. Namun, Nayla tidak mundur. “Kalau begitu, kenapa kau mabuk semalam?” Tatapan Revan semakin tajam. "Aku tidak harus menjelaskan apa pun padamu." Nayla mengepalkan tangannya. "Aku istrimu, Revan. Bahkan jika ini pernikahan kontrak, aku berhak tahu apa yang terjadi dengan pria yang tinggal serumah denganku!" Keheningan menggantung di antara mereka. Lalu, Revan berdiri. "Jangan membuatku menyesal menikahimu, Nayla." Setelah itu, ia pergi, meninggalkan Nayla dengan dadanya yang terasa sesak. Kata-kata Revan terus menghantui Nayla sepanjang hari. Jika pria itu tidak mau berbicara, maka ia harus mencari tahu sendiri. Sore harinya, saat Revan keluar untuk bekerja, Nayla memasuki kamar pria itu dengan hati-hati. Ia berjalan ke meja, melihat foto wanita yang tadi malam membuatnya penasaran. Wanita itu cantik, dengan senyum yang lembut. Ada sesuatu dalam matanya yang membuat Nayla merasa aneh—seolah ia pernah melihatnya sebelumnya. Saat ia membalikkan foto itu, jantungnya berdegup lebih kencang. Di belakangnya, tertulis sebuah nama. "Alyssa." Nayla mencoba mengingat. Nama itu terdengar familiar. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Revan? Ia kembali mencari sesuatu di meja. Ada beberapa dokumen di sana, tetapi tidak ada yang memberi petunjuk. Sampai akhirnya, ia menemukan sebuah kotak kecil di dalam laci. Saat dibuka, Nayla terkejut. Sebuah cincin pertunangan. Saat Revan pulang malam itu, Nayla masih duduk di kamarnya, memegang cincin itu. Ketika pria itu masuk, ekspresinya langsung berubah melihat apa yang ada di tangan Nayla. “Nayla,” suaranya terdengar peringatan. Nayla menatapnya dengan penuh pertanyaan. “Siapa Alyssa?” Revan menghela napas panjang. Ia berjalan mendekat, mengambil cincin itu dari tangan Nayla, lalu menatapnya dalam-dalam. “Dia…” Revan berhenti sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan. Nayla menunggu dengan sabar. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, Revan akhirnya berkata, “Dia tunanganku yang meninggal.” Nayla membeku. “Meninggal?” Revan mengangguk. “Kecelakaan lima tahun lalu.” Nayla merasa dadanya sesak. Jadi, itulah alasan Revan selalu dingin? Karena ia masih terjebak dalam masa lalu? “Kenapa kau tidak pernah cerita?” tanyanya lirih. Revan mengalihkan pandangan. “Karena itu bukan sesuatu yang perlu kau tahu.” Nayla merasa hatinya sakit mendengar itu. “Jadi, aku hanya pengganti bagimu?” Revan tidak langsung menjawab. Tapi dari caranya diam, Nayla sudah tahu jawabannya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla merasakan sesuatu yang berbeda—bukan hanya kesedihan, tetapi juga patah hati.Pagi itu, mentari menyelinap lembut melalui celah tirai apartemen. Suara burung yang samar terdengar dari kejauhan memberi nuansa damai yang sudah lama tak dirasakan Nayla. Ia terbangun lebih dulu, menyandarkan punggung di kepala ranjang sambil menatap Revan yang masih terlelap.Wajah itu... begitu tenang saat tidur. Tak ada tanda-tanda kekakuan CEO arogan seperti biasanya. Hanya Revan, laki-laki yang pernah ia cintai secara diam-diam, lalu akhirnya ia tinggalkan demi harga diri dan kebebasan.Nayla tersenyum getir. “Bodohnya aku waktu itu...”Namun di balik senyumnya, hatinya tetap menyimpan ragu. Ia belum tahu seperti apa Revan sekarang. Apakah perubahan itu hanya sesaat karena rindu, atau memang tulus ingin memperbaiki semuanya?Revan membuka mata perlahan. Menemukan Nayla sedang menatapnya dengan pandangan sendu.“Aku mimpi kamu ninggalin aku lagi,” gumamnya serak.Nayla tersentak kecil. “Kenapa mimpi seperti itu?”Revan menarik nafas dalam. “Karena aku takut. Meskipun kamu ada di
Sejak Nayla meninggalkan rumah untuk menjalankan proyek kemanusiaannya di desa terpencil, rumah Revan terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki di pagi hari, tidak ada wangi kopi yang biasa disiapkan Nayla, dan tidak ada percakapan kecil yang menjadi pengisi waktu mereka. Hari-hari Revan terasa kosong, meskipun pekerjaannya di kantor semakin padat. Di ruang kerjanya yang luas dan modern, Revan mencoba fokus. Namun, bayangan Nayla selalu muncul di sela-sela kesibukannya. Terkadang ia memandangi layar ponselnya berjam-jam, menunggu pesan dari Nayla. Namun sinyal di desa sangat terbatas. Hanya sesekali Nayla bisa mengirim kabar singkat. "Anak-anak di sini lucu-lucu, Van. Mereka memanggilku Kak Nay. Aku merasa seperti punya adik-adik baru." Revan tersenyum setiap kali membaca pesan itu. Ia membalas, "Aku bangga padamu. Tapi aku juga rindu." Suatu malam, setelah rapat panjang dan makan malam bisnis yang melelahkan, Revan kembali ke rumah. Ia berjalan melewati k
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m