Nayla membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar megah tempatnya tinggal sejak hari pernikahan. Hari keempat sebagai istri Revan Adrian.
Namun, sebutan ‘istri’ terasa begitu asing baginya. Tidak ada momen manis, tidak ada pagi penuh kasih sayang seperti yang sering ia lihat dalam drama romantis. Yang ada hanyalah kesepian dan jarak yang tak terlihat. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan keheningan yang menyesakkan. Selama beberapa hari terakhir, Revan hampir tidak pernah pulang. Jika pun pria itu pulang, hanya sebentar dan langsung mengurung diri di kamar pribadinya. Ya, kamar pribadinya. Seperti yang ia duga, mereka tidak tidur di ruangan yang sama. Nayla diberi kamar terpisah di lantai dua, sementara kamar utama tetap menjadi milik Revan seorang. Hal itu jelas menunjukkan posisinya dalam pernikahan ini—sekadar formalitas, tidak lebih. Nayla menghela napas panjang. Ia tidak berharap banyak, tapi tetap saja, ada perasaan sakit yang tak bisa ia abaikan. Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Tok, tok, tok. “Nyonya Nayla?” Suara lembut Bu Sari terdengar dari balik pintu. Nayla segera bangkit dan membuka pintu. “Ya, Bu Sari?” “Selamat pagi, Nyonya. Sarapan sudah disiapkan di ruang makan. Anda ingin makan sekarang?” Nayla tersenyum tipis. “Baik, saya turun sebentar lagi.” “Baik, Nyonya. Oh, dan satu lagi…” Nayla menunggu. “Tuan Revan juga ada di rumah pagi ini.” Mata Nayla sedikit melebar. Revan ada di rumah? Itu hal yang cukup langka. Biasanya, pria itu berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, atau bahkan tidak pulang sama sekali. Ia mengangguk. “Terima kasih, Bu Sari. Saya segera turun.” Setelah menata diri sejenak, Nayla melangkah ke ruang makan. Di Ruang Makan Saat Nayla tiba, ia melihat Revan sudah duduk di ujung meja panjang, menikmati sarapannya dengan tenang. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, tampak begitu rapi, elegan, dan berwibawa. Tak heran banyak wanita tergila-gila padanya. Sayang sekali, pribadinya sama sekali tidak seindah penampilannya. Nayla duduk di kursi seberang, mencoba mengabaikan kegugupan yang muncul. Ia sudah beberapa hari tinggal di rumah ini, tapi ini pertama kalinya mereka duduk bersama di meja makan. Revan tidak mengatakan apa pun, hanya melanjutkan sarapannya. Suasana begitu sunyi hingga yang terdengar hanya bunyi dentingan sendok dan garpu. Nayla menatap piringnya, berusaha menenangkan diri. Namun, setelah beberapa saat, ia sadar Revan sama sekali tidak berniat berbicara. Nayla menghela napas dalam hati. Apa seperti ini pernikahan mereka akan berjalan? Diam-diaman selamanya? Mencoba mengurangi ketegangan, ia akhirnya memberanikan diri untuk membuka percakapan. “Kamu tidak ke kantor hari ini?” tanyanya pelan. Revan berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. “Kenapa? Kamu ingin aku pergi?” Nayla terkejut. “Bukan begitu! Aku hanya…” “Aku ada meeting siang nanti.” Revan kembali makan tanpa ekspresi. Nayla menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman dengan interaksi dingin ini. Ia tidak menyangka, bahkan berbicara dengan suaminya sendiri terasa seperti berbicara dengan dinding. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Revan akhirnya menyelesaikan sarapannya dan meletakkan sendok garpu. “Aku pergi,” katanya singkat, lalu bangkit dan meninggalkan ruang makan tanpa menoleh sedikit pun. Nayla menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Bahkan ‘selamat tinggal’ pun tidak ada. Hari-Hari Tanpa Kehangatan Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Revan selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan Nayla dibiarkan sendiri di rumah mewah ini tanpa tujuan. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas. “Bu Sari,” panggilnya suatu pagi. Bu Sari yang sedang merapikan vas bunga menoleh. “Ya, Nyonya?” “Apa saya boleh keluar rumah?” tanyanya ragu. Bu Sari tampak sedikit terkejut, tetapi ia segera mengangguk. “Tentu saja, Nyonya. Tapi…” “Tapi apa?” “Tuan Revan mungkin tidak akan menyukai itu,” jawab Bu Sari hati-hati. Nayla terdiam. Jadi selama ini, Revan memang menganggap rumah ini sebagai penjara baginya? “Tapi saya akan memberitahu sopir untuk mengantar Anda jika ingin pergi,” lanjut Bu Sari. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih, Bu Sari. Saya hanya ingin berjalan-jalan sebentar.” Setelah bersiap, ia akhirnya keluar dari rumah itu untuk pertama kalinya sejak pernikahan. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi ia hanya ingin merasakan kebebasan—walau sejenak. Kejadian Tak Terduga Nayla berjalan-jalan di sebuah taman kota yang tidak terlalu ramai. Udara segar membantu menghilangkan sedikit kepenatan yang ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Namun, saat ia sedang menikmati suasana, suara seorang wanita membuatnya menoleh. “Lama tidak bertemu, Nayla.” Nayla membeku. Ia mengenali suara itu. Tara Wijaya. Wanita itu melangkah mendekat dengan anggun, mengenakan dress merah yang menonjolkan kesan elegannya. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tetapi tatapan matanya penuh arti. “Tara…” suara Nayla nyaris tak keluar. “Tidak kusangka, kamu benar-benar menikah dengan Revan,” Tara tertawa kecil, tetapi tidak terdengar ramah. Nayla menegang. Ia tahu siapa Tara—mantan tunangan Revan, wanita yang dulu hampir menjadi istrinya. “Aku… tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Nayla hati-hati. Tara menyilangkan tangan di dada. “Lucu, bukan? Seharusnya aku yang menikah dengannya. Tapi entah bagaimana, justru kamu yang mendapatkan posisinya.” Nayla menggigit bibirnya. “Aku tidak berniat merebut apa pun.” “Oh, tentu saja.” Tara melangkah lebih dekat. “Tapi kamu tahu, kan? Revan tidak akan pernah mencintaimu.” Dada Nayla terasa sesak mendengar kata-kata itu. “Kamu hanya pengantin kontrak. Pernikahan kalian hanya kesepakatan bisnis. Dan aku tahu Revan…” Tara tersenyum sinis, “Dia tidak pernah menyukai wanita yang dipaksakan padanya.” Nayla mengepalkan tangannya, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. “Aku hanya ingin memberimu peringatan, Nayla,” Tara melanjutkan dengan nada lembut yang terdengar seperti racun. “Jangan terlalu berharap. Pernikahan kalian hanya sementara. Pada akhirnya, Revan akan kembali padaku.” Setelah mengatakan itu, Tara berbalik dan pergi, meninggalkan Nayla yang masih terpaku di tempatnya. Hatinya terasa berat. Apa benar Revan akan kembali pada Tara? Sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Kenapa aku merasa tidak rela? Nayla masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna kata-kata Tara. Kenapa aku merasa sakit? Bukankah ini hanya pernikahan kontrak? Bukankah ia seharusnya tidak peduli? Langkahnya terasa berat saat kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Sesampainya di rumah, ia berjalan ke taman belakang, duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Ia menatap langit senja, mencoba mencari ketenangan. Namun, ketika suara mobil terdengar di depan rumah, hatinya tiba-tiba berdebar. Revan sudah pulang. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin bertanya langsung—apa benar Revan akan kembali pada Tara?Pagi itu, mentari menyelinap lembut melalui celah tirai apartemen. Suara burung yang samar terdengar dari kejauhan memberi nuansa damai yang sudah lama tak dirasakan Nayla. Ia terbangun lebih dulu, menyandarkan punggung di kepala ranjang sambil menatap Revan yang masih terlelap.Wajah itu... begitu tenang saat tidur. Tak ada tanda-tanda kekakuan CEO arogan seperti biasanya. Hanya Revan, laki-laki yang pernah ia cintai secara diam-diam, lalu akhirnya ia tinggalkan demi harga diri dan kebebasan.Nayla tersenyum getir. “Bodohnya aku waktu itu...”Namun di balik senyumnya, hatinya tetap menyimpan ragu. Ia belum tahu seperti apa Revan sekarang. Apakah perubahan itu hanya sesaat karena rindu, atau memang tulus ingin memperbaiki semuanya?Revan membuka mata perlahan. Menemukan Nayla sedang menatapnya dengan pandangan sendu.“Aku mimpi kamu ninggalin aku lagi,” gumamnya serak.Nayla tersentak kecil. “Kenapa mimpi seperti itu?”Revan menarik nafas dalam. “Karena aku takut. Meskipun kamu ada di
Sejak Nayla meninggalkan rumah untuk menjalankan proyek kemanusiaannya di desa terpencil, rumah Revan terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki di pagi hari, tidak ada wangi kopi yang biasa disiapkan Nayla, dan tidak ada percakapan kecil yang menjadi pengisi waktu mereka. Hari-hari Revan terasa kosong, meskipun pekerjaannya di kantor semakin padat. Di ruang kerjanya yang luas dan modern, Revan mencoba fokus. Namun, bayangan Nayla selalu muncul di sela-sela kesibukannya. Terkadang ia memandangi layar ponselnya berjam-jam, menunggu pesan dari Nayla. Namun sinyal di desa sangat terbatas. Hanya sesekali Nayla bisa mengirim kabar singkat. "Anak-anak di sini lucu-lucu, Van. Mereka memanggilku Kak Nay. Aku merasa seperti punya adik-adik baru." Revan tersenyum setiap kali membaca pesan itu. Ia membalas, "Aku bangga padamu. Tapi aku juga rindu." Suatu malam, setelah rapat panjang dan makan malam bisnis yang melelahkan, Revan kembali ke rumah. Ia berjalan melewati k
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m