Sepeninggal dari hotel, aku dan Diran kemudian menempati rumah yang memang sudah Diran persiapkan untuk berkeluarga—rumah minimalis seperti impianku. Membuatku cukup tersentuh dengan usahanya mempersiapkan rumah.
Sayangnya, rumah itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena suatu saat nanti, sudah aku pastikan akan keluar dari sana.
Malam kedua berikutnya akan menjadi permainan berikutnya untuk membuat Diran kesakitan.
Lingerie merah pemberian Jonna memang cukup menggoda memperlihatkan lekuk tubuhku.
Tidak lupa juga rambut panjangku yang aku cepol untuk memperlihatkan leher jenjang polosku.
Keluar dari kamar mandi, Diran langsung memeluk tubuhku dari belakang. “Kamu sengaja
mancing aku “kan?” tanyanya dengan embusan napas tak beraturan. Seperti birahi yang sudah terbakar.Aku tersenyum kecut. “Siapa bilang aku mau mancing kamu? Aku cuma pengen pamerin lingerie seksi pemberian Jonna ke kamu.”
Kurasakan pelukan yang erat itu melonggar dari tubuhku. Bisa aku pastikan Diran terkejut mendengarnya.
Diran kemudian membalikkan tubuhku dan menatap menyelisik lingerie yang kupakai.
“Bagaimana, Sayang? Bagus kan? Cantik kan aku?” tanyaku memancing.
Diran mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. “Hm ... kamu cantik. Tapi lingerie ini kurang cocok di kamu.”
Aku kemudian mengalungkan kedua lenganku di pundaknya. “Apanya yang kurang cocok?”
“Warnanya. Aku lebih suka kamu pakai warna hitam. Lebih elegan dan menggoda,” lirihnya tepat di wajahku.
Tidak. Dia berbohong. Bukan warna lingerie-nya yang tidak cocok denganku, tetapi karena
pemberian Jonna. Setahuku, selain warna hitam, Diran juga menyukai warna merah.“Oke. Kalau begitu, aku akan ganti sama warna hitam biar kamu senang.” Aku melangkah
menuju lemari dan membuka pintu lemari gantung untuk mencari-cari warna hitam.Setelah berhasil kutemukan, aku langsung memperlihatkannya pada Diran. “Kalau yang ini gimana?” tanyaku.
Diran yang berdiri di seberang ranjang mengangguk dengan bersedekap.
Perlahan-lahan aku menurunkan tali di pundakku untuk menjatuhkan lingerie merah yang membalut tubuhku. Setelahnya tubuhku polos di hadapan Diran untuk pertama kalinya demi mempermainkannya.
Diran tampak menelan ludah dengan tatapan yang semakin berkabut. Lalu menggeleng tidak percaya dengan yang kulakukan saat ini.
Ketika aku mencoba memakai lingerie hitam, Diran melangkah mendekat dengan tatapan tidak
berkedip.Ya. Aku yakin, jika tubuh polosku sudah sangat menggoda birahinya. Namun, sepertinya hal
ini bukan pertama kali bagi Diran. Laki-laki berengsek itu juga pasti sudah pernah melihat tubuh polos Jonna.“Aku lebih suka kalau lihat kamu polos, Sayang,” lirihnya yang kemudian merengkuh tubuhku dan mengecupi leherku.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Meski begitu, aku berusaha menahan gejolak dari jemari-
jemari nakalnya yang menelusup ke dalam lingerie membelai kulitku.Kurasakan sesuatu yang mencuat dan keras bergesekkan dengan perutku. Aku yakin itu adalah
pusat kepemilikannya yang sudah mengeras sempurna.Ketika jemarinya sampai di dua buah gundukkan kenyal milikku, aku langsung menahan
jemarinya. “Kamu tahu, Sayang? Ada satu hal yang nggak bisa aku maafkan dalam sebuah hubungan.”“Apa itu, Sayang?” tanyanya yang kali ini mencoba meraih bibirku dengan begitu mendambah.
“Perelingkuhan,” lirihku tepat di bibirnya. Diran seketika membeku.
“Kamu nggak akan selingkuh dari aku “kan?” tanyaku menyeringai menggoda.
Diran tergelak. “Kalau aku selingkuh, aku nggak akan menikahi kamu, Sayang.”
Aku tersenyum. “Kamu benar. Dan meski toh seumpamanya kamu punya selingkuhan, pada
akhirnya kamu tetep memilih menikahi aku daripada selingkuhan kamu.”Belaian lembut kurasakan di dua buah gundukan kenyal milikku. Jemari liat itu bahkan kurasakan bergerak memutar menjelajahi setiap inci kulit putih mulusku. Sebelum kemudian meremasnya dan membuatku mengerang.
“Kamu itu ... nomor satu buat aku, Sayang,” lirihnya dengan tatapan semakin berkabut.
Kurasakan salah satu bulatan ranum milikku yang mencuat menantang sudah berada dalam kuasa jemarinya. Membuat menelan ludah menahan kenikmatan.
Ya. Meski ada gejolak dalam diriku yang terpancing, tetapi aku berusaha menahannya mati-matian. Sebab aku tidak mau lepas kendali dan kalah dalam sentuhannya.
“Jangan lupa ... aku masih datang bulang, Sayang,” kataku yang kemudian melepaskan jemari nakalnya dari dua buah gundukan kenyal milikku.
“Ah, shit! Aku lupa,” umpatnya penuh sesal.
“Terus kenapa kamu tadi mancing aku dengan buka baju?” tanyanya frustrasi.
“Aku buka baju “kan karena kamu minta aku ganti lingerie yang hitam.” Aku menyeringai penuh kemenangan dan beranjak menuju ranjang.
“Tega banget kamu bikin aku tersiksa begini, Sayang.” Diran meringis kesakitan memegangi selangkangannya.
“Maaf ya, Sayang. Nggak sengaja.” Aku kemudian menarik selimut menutupi tubuhku.
“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.“Anggap
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela
Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala
Aku terus memandangi perut Jonna yang tengah duduk di hadapanku dengan perasaan geram. Membayangkan, bagaimana benih laknak itu tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjangnya dan menyiram wajahnya dengan segelas honey mint green tea di tanganku. Namun, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku masih harus memalsukan wajahku di hadapannya sebagai seorang sahabat. Cih! Harus aku akui, perempuan berprofesi sebagai selebgram di hadapanku saat ini memang sangat memikat. Aku yakin, siapa pun laki-laki akan jatuh dengan begitu saja ke dalam pelukannya, jika dia menginginkan. “Lo kok ngelamun aja sih, Gee?” Reen menyenggol lenganku. “Ah, nggak papa, kok.” Aku berusaha tersenyum. “Kenapa? Ada masalah, ya?” tanya Jonna penuh perhatian. Cih! Aku rasa itu bukan perhatian, melainkan bentuk pancingan. “Lagi berantem sama Diran?” terka Jonna. Aku tergelak mendengar terkaanya. Entah bagiamana, bisa-bisanya dia berp
Seperti biasa, malam hari adalah saat-saat menyenangkan untuk bermain bersama Diran. Bermain untuk membuatnya mengerang kesakitan di ranjang pastinya.“Kamu masih belum _ selesai datang bulannya?” tanyanya tatkala meraih tubuhku untuk duduk di atas pangkuannya di atas ranjang.Aku menggeleng dengan senyum menggoda.“Sabar ya, Sayang.”Dia kemudian mengembuskan napas sesal.“Oke. Toh tinggal 2 hari lagi ‘kan datang bulan kamu selesai?”Aku mengernyit.“Datang bulan perempuan seminggu ‘kan?” tanyanya memastikan. “Jangan kamu kira aku nggak tahu apa-apa soal bulanan perempuan, Sayang,”ucapnya mengecup pipiku.Ah, sial. Diran benar. Waktuku hanya tinggal 2 hari lagi untuk beralasan datang bulan. Setelah itu, dia pasti akan menagih haknya yang sebenarnya.Aku berusaha tersenyum dan mengusap lembut wajahnya.“Tenang aja. Ka