“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.
“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.
“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.
“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.
“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.
Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.
“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.
Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.
“Anggap aja kita teman akrab dan lagi curhat, Mbak” katanya yang menyadari tingkahku yang kurang nyaman di hadapannya.
“Apa ... harus banget tahu permasalahannya?” tanyaku ragu-ragu.
Laki-laki di hadapanku mengangguk. “Untuk keamanan kita bersama, Mbak. Saya nggak mau melakukan — pekerjaan — yang ujung-ujungnya merugikan saya. Apalagi sampai berurusan dengan kejahatan dan polisi.”
Baiklah. Tidak ada pilihan lain selain menceritakan — semuanya. Toh aku sudah memantapkan hati untuk melakukan balas dendam ini.
Laki-laki yang akrab dengan sapaan Adira itu tergelak usai mendengar detail permasalahannya.
“Saya kalau jadi Mbak, udah saya batalin itu pernikahan. Ngapain nyusahin diri sendiri buat tetep melanjutkan pernikahan?”
Cukup tersinggung aku mendengarnya. “Sorry ya, Mas. Situ “kan tugasnya buat menjalankan tugas dari saya, bukan mengomentari permasalahan hidup saya.”
Adira mengangguk. “Saya cuma ngasih saran aja, Mbak. Lagian ... Mbak itu kan cantik. Cantik banget malahan menurut saya. Punya karir sendiri dan berpenghasilan. Sangat nggak berguna mertahanin laki-laki begituan.”
Aku cukup tersipu mendengarnya. Terlebih tatapannya yang begitu terpesona padaku. Terlebih
juga wajah rupawannya yang bisa aku pastikan cukup mudah menaklukkan perasaan perempuan hanya dalam satu kata sanjungan. Namun, ini bukan saatnya untuk bermain-main dalam urusan perasaan suka.“Saya mertahanin pernikahan saya, untuk saya hancurkan di kemudian hari. Terlebih ngancurin mereka berdua,” sergahku tidak terima.
“Mbak yakin udah siap jadi janda? Nggak ada enaknya loh Mbak jadi janda?”
Aku mendengkus kesal. “Tugas Mas selain mata-matain juga buat ngurusin hidup orang, ya?”
Adira tertawa dan kembali menyeruput minumannya. “Diminum dulu Mbak minumannya.
Disegerin dulu tenggorokannya biar nggak seret gara-gara kesel.”“Ngeselin banget lo jadi orang,” gerutuku yang langsung meneguk minuman dalam 3 teguk, sebelum kemudian mengunyah es batunya.
“Maaf, Mbak. Cuma bercanda tadi. Saya emang begini orangnya. Biar bisa memudahkan akrab sama klien.”
“Nyebelin iya kali,” gerutuku.
“Oke. Pertama-tama saya butuh foto keduanya dan latar belakangnya. Terlebih pekerjaannya. Saya akan memulainya dari sekarang. Jadi Mbak harus nyipain perasaan Mbak.”
“Nyiapain perasaan saya? Buat apa?” tanyaku tak mengerti.
“Biar nggak terlalu sakit hati nantinya saat tahu kegiatan mereka.”
Aku tergelak. “Udah telat kali sakit hatinya, Mas.”
“Terus kalau udah tahu mereka selingkuh, kenapa baru sekarang mau mata-matain?” tanyanya tak mengerti.
“Untuk mempermainkan mereka berdua.”
“Yakin, Mbak nggak bakal tambah sakit hati?”
“Mau sakit hatinya kayak gimanapun, udah nggak ngefek buat saya sekarang.”
“Oke. Saya akan bantu sampai Mbak dapetin apa yang Mbak mau.”
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela
Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala
Aku terus memandangi perut Jonna yang tengah duduk di hadapanku dengan perasaan geram. Membayangkan, bagaimana benih laknak itu tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjangnya dan menyiram wajahnya dengan segelas honey mint green tea di tanganku. Namun, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku masih harus memalsukan wajahku di hadapannya sebagai seorang sahabat. Cih! Harus aku akui, perempuan berprofesi sebagai selebgram di hadapanku saat ini memang sangat memikat. Aku yakin, siapa pun laki-laki akan jatuh dengan begitu saja ke dalam pelukannya, jika dia menginginkan. “Lo kok ngelamun aja sih, Gee?” Reen menyenggol lenganku. “Ah, nggak papa, kok.” Aku berusaha tersenyum. “Kenapa? Ada masalah, ya?” tanya Jonna penuh perhatian. Cih! Aku rasa itu bukan perhatian, melainkan bentuk pancingan. “Lagi berantem sama Diran?” terka Jonna. Aku tergelak mendengar terkaanya. Entah bagiamana, bisa-bisanya dia berp
Seperti biasa, malam hari adalah saat-saat menyenangkan untuk bermain bersama Diran. Bermain untuk membuatnya mengerang kesakitan di ranjang pastinya.“Kamu masih belum _ selesai datang bulannya?” tanyanya tatkala meraih tubuhku untuk duduk di atas pangkuannya di atas ranjang.Aku menggeleng dengan senyum menggoda.“Sabar ya, Sayang.”Dia kemudian mengembuskan napas sesal.“Oke. Toh tinggal 2 hari lagi ‘kan datang bulan kamu selesai?”Aku mengernyit.“Datang bulan perempuan seminggu ‘kan?” tanyanya memastikan. “Jangan kamu kira aku nggak tahu apa-apa soal bulanan perempuan, Sayang,”ucapnya mengecup pipiku.Ah, sial. Diran benar. Waktuku hanya tinggal 2 hari lagi untuk beralasan datang bulan. Setelah itu, dia pasti akan menagih haknya yang sebenarnya.Aku berusaha tersenyum dan mengusap lembut wajahnya.“Tenang aja. Ka
Aku menatap fokus ponselku. Di mana sebuah pelacak yang berhasil aku pasang di mobil Dirantampak berhenti di sebuah tempat. Pada pelacak lain, aku juga mendapati mobil Jonna berada di lokasi yang sama.Adira : Mereka sekarang ada di tempat yang sama. Janjian.Pesan dari Adira yang lengkap dengan foto Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di sebuahkafe semakin menambah keyakinanku, jika mereka memang sedang bertemu saat ini.Reply : Saya akan ke sana.Usai mengirim pesan balasan, aku kemudian menginjak pedal gas untuk melajukan mobil menuju tempat tujuan. Di kepalaku masih terngiang-ngiang ucapan suami berengsekku tadi pagi, yang katanya akan pulang malam. Sekarang aku tahu, alasannya yang sebenarnya.Setengah jam kemudian aku menepikan mobil jauh dari area parkir kafe agar tak terlihat. Tampak Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di dekat jendela berkaca yang memudahkanku memperhatikannya. Meski aku tidak tahu apa yang tengah mereka