Share

BAB 4

“Kamu nggak papa “kan, kita nggak bisa honeymoon? Ada projek baru yang harus lounching

secepatnya di perusahaan. Jadi aku harus urus secepatnya sama Pak Prana.” Diran menggenggam tanganku di atas meja makan.

Lagi-lagi tersenyum menjadi andalanku.

“Nggak papa. Aku bisa ngertiin, kok.”

Ya. Tentu saja aku harus bisa mengerti. Sebab laki-laki berengsek di hadapanku itu harus menguras otak untuk bisa bermain-main di belakangku. Lagi pula, tidak akan ada gunanya juga melakukan honeymoon. Toh aku tidak akan pernah sudi memberikan keperawananku.

“Makasih ya, Sayang. Kamu mau ngertiin aku.

“Makasih doang, nih? Nggak mau ngasih aku ciuman, nih?” godaku dengan sengaja, tatkal mendapati sosok Jonna yang duduk di meja belakang

Diran tampak curi-curi pandang ke maja kami.

“Sini, aku kasih ciuman.” Diran kemudian mengecup lembut keningku.

Sedetik itu aku bisa melihat, bagaimana raut wajah Jonna kesal. Hal itu cukup membuat perasaanku senang.

“Makasih ya, Sayang,” ucapku manja. “Oh ya, Sayang. Kamu lihat ponselku nggak?” tanyaku berusaha kebingungan mencari-cari ponselku di dalam tas.

“Aku nggak tahu, Sayang. Emang kamu taruh di mana tadi?” tanya balik Diran.

“Aduh! Apa aku lupa naruh, ya? Perasaan tadi aku masukin tas, deh. Tapi kok nggak ada?” Aku masih berusaha menampakkan kebingungan. “Aku boleh pinjam ponsel kamu nggak? Mungkin jatuh di sekitar sini,” bujukku memulai aksi.

“Oke. Ini.” Diran langsung memberikan ponselnya setelah membuka layar kuncinya yang bersandi dengan sembunyi-sembunyi. Sial. Padahal rencana awalku adalah untuk bisa mengetahui sandi layar kuncinya.

Aku tersenyum menerima ponsel tersebut dan mau tidak mau melanjutkan rencana keduaku.

Ya. Rencana kedua adalah untuk memastikan nomor Pak Prana dan Jonna yang sebenarnya.

Alih-alih membuka kontak namaku, aku juga berselancar mengetikkan nomor Jonna yang sudah aku hapal dari semalam. Lalu ....

Ya. Dugaanku semalam ternyata benar. Nomor Jonna tersembunyi di balik nama Pak Prana.

Perbedaan nomor keduanya cukup bisa dikenali. Nomor Pak Prana yang asli memakai huruf kapital pada huruf awalnya. Jadi, huruf kecil pada huruf awal adalah nomor asli Jonna.

Berengsek memang kalian berdua.

Setelah mendapati kebenaran tersebut, aku kemudian menekan panggilan pada kontak namaku yang ditulis sayang.

Deringan ponselku kemudian samar-samar terdengar, sebelum kemudian Reen melambaikan tangannya ke arahku menunjukkan ponselku.

“Oh, itu dia ponsel aku. Ketinggalan di meja Reen ternyata,” kataku.

“Syukur deh nggak beneran hilang,” ucap Diran.

“Makasih ya sayang ponselnya,” ucapku dengan senyum semanis mungkin yang sebenarnya penuh dengan keperihan. “Aku ke meja Reen dulu buat ngambil ponsel,” sambungku.

Diran mengangguk, sebelum kemudian melihat ponselnya.

“Ternyata ketinggalkan di sini ponsel gue,” kataku menghampiri meja Reen dan Jonna.

“Hah?” Reen tampak kebingungan.

“Makasih ya Reen udah diamanin. Gue kira ilang tadi.” Aku duduk di samping Reen dengan mengerling.

“Ah ... iya ... Gee. Ponsel lo ketinggalan.” Reen kemudian menaggapiku usai mengerti kode yang aku berikan.

“Honeymoon ke mana, Gee?” tanya Jonna berusaha basa-basi. Mungkin juga berusaha memancing reaksiku yang tidak bisa honeymoon.

“Mm ... honeymoon-nya di kamar aja, Jo. Lebih enak menghabiskan waktu berduaan di kamar.

Muas-muasin hasrat dengan berbagai gaya,” kataku centil.

“Uhuk!” Reen yang tengah meneguk minuman langsung tersedak.

“Kenapa lo? Kayak orang nggak pernah ML aja,” ledekku pada Reen.

“Gue udah ahlinya kali Gee soal begituan,” balas Reen.

“Tinggal Jonna brarti ya yang masih perawan di antara kita,” godaku pada Jonna. Mendengar itu, Jonna tampak salah tingkah.

“Lo masih perawan “kan, Jo? Kan lo jomblo.” Aku menyeringai penuh tersirat.

“Mmm ... iya, dong. Mau main sama siapa kalau nggak ada lakinya?” jawab Jonna gugup.

“Nah itu. Kalaupun nanti lo punya laki, usahakan bukan laki-laki orang ya, Jo. Sayang wajah

lo yang cantik kalau sampai main sama laki orang,” kataku menasihati.

Reen kemudian menyubit pinggangku. Namun, aku abaikan.

Jonna menelan ludah dengan wajah pucat pasi.

“Gila apa gue sama laki orang?”

Aku tergelak. “Cuma bercanda. Gue yakin cewek secantik dan sebaik hati lo ini bakalan dapetin

laki-laki baik, mapan, tajir yang masih lajang. Karena cuma perempuan murahan yang mau sama laki-laki orang.” Aku menepuk-nepuk pundak Jonna dengan tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status