“Kamu nggak papa “kan, kita nggak bisa honeymoon? Ada projek baru yang harus lounching
secepatnya di perusahaan. Jadi aku harus urus secepatnya sama Pak Prana.” Diran menggenggam tanganku di atas meja makan.Lagi-lagi tersenyum menjadi andalanku.
“Nggak papa. Aku bisa ngertiin, kok.”
Ya. Tentu saja aku harus bisa mengerti. Sebab laki-laki berengsek di hadapanku itu harus menguras otak untuk bisa bermain-main di belakangku. Lagi pula, tidak akan ada gunanya juga melakukan honeymoon. Toh aku tidak akan pernah sudi memberikan keperawananku.
“Makasih ya, Sayang. Kamu mau ngertiin aku.
“Makasih doang, nih? Nggak mau ngasih aku ciuman, nih?” godaku dengan sengaja, tatkal mendapati sosok Jonna yang duduk di meja belakang
Diran tampak curi-curi pandang ke maja kami.
“Sini, aku kasih ciuman.” Diran kemudian mengecup lembut keningku.
Sedetik itu aku bisa melihat, bagaimana raut wajah Jonna kesal. Hal itu cukup membuat perasaanku senang.
“Makasih ya, Sayang,” ucapku manja. “Oh ya, Sayang. Kamu lihat ponselku nggak?” tanyaku berusaha kebingungan mencari-cari ponselku di dalam tas.
“Aku nggak tahu, Sayang. Emang kamu taruh di mana tadi?” tanya balik Diran.
“Aduh! Apa aku lupa naruh, ya? Perasaan tadi aku masukin tas, deh. Tapi kok nggak ada?” Aku masih berusaha menampakkan kebingungan. “Aku boleh pinjam ponsel kamu nggak? Mungkin jatuh di sekitar sini,” bujukku memulai aksi.
“Oke. Ini.” Diran langsung memberikan ponselnya setelah membuka layar kuncinya yang bersandi dengan sembunyi-sembunyi. Sial. Padahal rencana awalku adalah untuk bisa mengetahui sandi layar kuncinya.
Aku tersenyum menerima ponsel tersebut dan mau tidak mau melanjutkan rencana keduaku.
Ya. Rencana kedua adalah untuk memastikan nomor Pak Prana dan Jonna yang sebenarnya.
Alih-alih membuka kontak namaku, aku juga berselancar mengetikkan nomor Jonna yang sudah aku hapal dari semalam. Lalu ....
Ya. Dugaanku semalam ternyata benar. Nomor Jonna tersembunyi di balik nama Pak Prana.
Perbedaan nomor keduanya cukup bisa dikenali. Nomor Pak Prana yang asli memakai huruf kapital pada huruf awalnya. Jadi, huruf kecil pada huruf awal adalah nomor asli Jonna.Berengsek memang kalian berdua.
Setelah mendapati kebenaran tersebut, aku kemudian menekan panggilan pada kontak namaku yang ditulis sayang.
Deringan ponselku kemudian samar-samar terdengar, sebelum kemudian Reen melambaikan tangannya ke arahku menunjukkan ponselku.
“Oh, itu dia ponsel aku. Ketinggalan di meja Reen ternyata,” kataku.
“Syukur deh nggak beneran hilang,” ucap Diran.
“Makasih ya sayang ponselnya,” ucapku dengan senyum semanis mungkin yang sebenarnya penuh dengan keperihan. “Aku ke meja Reen dulu buat ngambil ponsel,” sambungku.
Diran mengangguk, sebelum kemudian melihat ponselnya.
“Ternyata ketinggalkan di sini ponsel gue,” kataku menghampiri meja Reen dan Jonna.
“Hah?” Reen tampak kebingungan.
“Makasih ya Reen udah diamanin. Gue kira ilang tadi.” Aku duduk di samping Reen dengan mengerling.
“Ah ... iya ... Gee. Ponsel lo ketinggalan.” Reen kemudian menaggapiku usai mengerti kode yang aku berikan.
“Honeymoon ke mana, Gee?” tanya Jonna berusaha basa-basi. Mungkin juga berusaha memancing reaksiku yang tidak bisa honeymoon.
“Mm ... honeymoon-nya di kamar aja, Jo. Lebih enak menghabiskan waktu berduaan di kamar.
Muas-muasin hasrat dengan berbagai gaya,” kataku centil.“Uhuk!” Reen yang tengah meneguk minuman langsung tersedak.
“Kenapa lo? Kayak orang nggak pernah ML aja,” ledekku pada Reen.
“Gue udah ahlinya kali Gee soal begituan,” balas Reen.
“Tinggal Jonna brarti ya yang masih perawan di antara kita,” godaku pada Jonna. Mendengar itu, Jonna tampak salah tingkah.
“Lo masih perawan “kan, Jo? Kan lo jomblo.” Aku menyeringai penuh tersirat.
“Mmm ... iya, dong. Mau main sama siapa kalau nggak ada lakinya?” jawab Jonna gugup.
“Nah itu. Kalaupun nanti lo punya laki, usahakan bukan laki-laki orang ya, Jo. Sayang wajah
lo yang cantik kalau sampai main sama laki orang,” kataku menasihati.Reen kemudian menyubit pinggangku. Namun, aku abaikan.
Jonna menelan ludah dengan wajah pucat pasi.
“Gila apa gue sama laki orang?”
Aku tergelak. “Cuma bercanda. Gue yakin cewek secantik dan sebaik hati lo ini bakalan dapetin
laki-laki baik, mapan, tajir yang masih lajang. Karena cuma perempuan murahan yang mau sama laki-laki orang.” Aku menepuk-nepuk pundak Jonna dengan tersenyum.Sepeninggal dari hotel, aku dan Diran kemudian menempati rumah yang memang sudah Diran persiapkan untuk berkeluarga—rumah minimalis seperti impianku. Membuatku cukup tersentuh dengan usahanya mempersiapkan rumah.Sayangnya, rumah itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena suatu saat nanti, sudah aku pastikan akan keluar dari sana.Malam kedua berikutnya akan menjadi permainan berikutnya untuk membuat Diran kesakitan.Lingerie merah pemberian Jonna memang cukup menggoda memperlihatkan lekuk tubuhku.Tidak lupa juga rambut panjangku yang aku cepol untuk memperlihatkan leher jenjang polosku.Keluar dari kamar mandi, Diran langsung memeluk tubuhku dari belakang. “Kamu sengajamancing aku “kan?” tanyanya dengan embusan napas tak beraturan. Seperti birahi yang sudah terbakar.Aku tersenyum kecut. “Siapa bilang aku mau mancing kamu? Aku cuma pengen pamerin lingerie seksi pemberian Jonna ke kamu.”K
“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.“Anggap
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela
Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala
Aku terus memandangi perut Jonna yang tengah duduk di hadapanku dengan perasaan geram. Membayangkan, bagaimana benih laknak itu tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjangnya dan menyiram wajahnya dengan segelas honey mint green tea di tanganku. Namun, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku masih harus memalsukan wajahku di hadapannya sebagai seorang sahabat. Cih! Harus aku akui, perempuan berprofesi sebagai selebgram di hadapanku saat ini memang sangat memikat. Aku yakin, siapa pun laki-laki akan jatuh dengan begitu saja ke dalam pelukannya, jika dia menginginkan. “Lo kok ngelamun aja sih, Gee?” Reen menyenggol lenganku. “Ah, nggak papa, kok.” Aku berusaha tersenyum. “Kenapa? Ada masalah, ya?” tanya Jonna penuh perhatian. Cih! Aku rasa itu bukan perhatian, melainkan bentuk pancingan. “Lagi berantem sama Diran?” terka Jonna. Aku tergelak mendengar terkaanya. Entah bagiamana, bisa-bisanya dia berp