3 bulan kemudian.Usai ketukan palu di pengadilan, maka selesai sudah hubunganku dengan Diran Diran dalam tali pernikahan. Selama proses berlangsung, Diran tampak kooperatif, meski tak mengatakan apa pun.Ya. Aku rasa Diran memang tidak bisa berbuat banyak, usai menyadari kesalahannya. Bahkan dia tak menggunakan pengacara selama proses persidangan. Meski dia tak pernah mangkir setiap kali sidang mediasi, sayangnya aku tak sudi barang satu kali pun untuk datang ke sidang mediasi.Keluar dari ruang pengadilan, kulihat Diranberjalan menunduk dengan wajah ditekuk. Sementara aku berjalan bersama Om Riwan selalu mendampingiku selama prosesnya."Gee."Aku menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Diran berjalan menghampiriku. Lalu mengulurkan tangan dengan wajah penuh penyesalan padaku.“Sekali lagi aku minta maaf. Aku harap kita masih bisa berjabat tangan untuk terakhir kalinya,” ucap Diran.Aku cukup tertegun, tetapi juga masihdipenuhikebencian. Namun, memperlihatkanketangguhan di hadapan se
Di dalam kamar hotel yang sudah disulap begitu indah dengan berbagai bunga mawar, rasa sakit hatiku masih terus membara. Wajah ayuku di hadapan cermin tampak begitu dingin. Sementara otakku terus berkelana menyunsun sandiwara malam pertama.“Capek nggak, Sayang?” Diran mengecupi leher dan pundakku yang polos begitu mendamba. “Aku bantu lepasin gaunnya, ya,” lirihnya dengan embusan napas yang meremang.Aku tersenyum penuh tersirat menatap sosok bajingannya di cermin. “Iya, nih. Capek banget aku, Sayang. Kita langsung tidur aja, ya,” kataku manja.“Nggak mau malam pertama, nih?” godanya yang perlahan membuka ritsleting belakang gaun putihku.“Jangan sekarang ya malam pertamanya. Aku beneran capek banget, Sayang.” Aku menahangaunku yang akan jatuh ke lantai usai ritsleting di belakangnya terbuka penuh.“Bentar doang, Sayang. Aku bakalan pelan-pelan mainnya,” rayunya seraya b
Tengah malam aku terbangun oleh kemelut perasaan sakit. Sementara Diran tampak pulas tertidur memelukku dari belakang. Laki-laki berengsek itu bahkan tidak terganggu sama sekali oleh isak tangisku. Sesaat, aku teringat pesan Reen untuk memeriksa ponsel Diran. Karena ada kemungkinan Diran merahasiakan selingkuhannya itu di sana dengan nama lain. Mereka tidak mungkin bisa saling bertemu begitu saja, jika tidak lewat ponsel. Perlahan-lahan aku beranjak melepaskan diri dari pelukan Diran. Lalu menghampiri ponsel milik Diran di atas nakas yang tampak dicas. Dengan hati-hati aku meraih ponsel yang kebetulan sekali tidak dalam mode mati. Namun, sayangnya aku tidak bisa membuka layarnya yang dikunci dengan kata sandi. Aku mengembuskan napas sesal. Ada penyelasan, kenapa aku tidak pernah sekali pun ingin tahu dengan isi ponselnya dari dulu. Bahkan hanya untuk sekadar mengetahui kata sandinya pun aku tidak tahu. Aku memutuskan ke kamar mandi untuk membasuh waja
“Sayang, kamu sarapan duluan, ya. Aku angkat telepon dulu dari Pak Prana.” Diranmenunjukkan layar ponselnya yang terpampang tulisan Pak Prana tengah memanggil. Aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Sepeninggal Diran, Reen melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk menghampiri mejanya. Kulihat beberapa meja lainnya dihuni oleh beberapa kerabat yang masih ikut bermalam di hotel usai acara resepsi. “Mau ke mana tuh suami lo?” tanya Reen, tepat setelah aku duduk di hadapannya. “Katanya mau ngangkat teleponnya Pak Prana. Nggak tahu Pak Prana yang asli apa Pak Prana Pak Prana-an,” kataku mendengkus kesal. “Maksud lo ?” Reen mengernyit. “Gue yakin nama kontak selingkuhannya itu dikasih nama Pak Prana. Masak iya urusan kerjaan sampai telepon berkali-kali tengah malam?” Reen menganga. “Terus kenapa nggak Io ikutin aja dia?” “Males gue. Mending gue ngisi perut di sini.” Aku menyendok creamy ravioli milik R
“Kamu nggak papa “kan, kita nggak bisa honeymoon? Ada projek baru yang harus lounchingsecepatnya di perusahaan. Jadi aku harus urus secepatnya sama Pak Prana.” Diran menggenggam tanganku di atas meja makan.Lagi-lagi tersenyum menjadi andalanku.“Nggak papa. Aku bisa ngertiin, kok.”Ya. Tentu saja aku harus bisa mengerti. Sebab laki-laki berengsek di hadapanku itu harus menguras otak untuk bisa bermain-main di belakangku. Lagi pula, tidak akan ada gunanya juga melakukan honeymoon. Toh aku tidak akan pernah sudi memberikan keperawananku.“Makasih ya, Sayang. Kamu mau ngertiin aku.“Makasih doang, nih? Nggak mau ngasih aku ciuman, nih?” godaku dengan sengaja, tatkal mendapati sosok Jonna yang duduk di meja belakangDiran tampak curi-curi pandang ke maja kami.“Sini, aku kasih ciuman.” Diran kemudian mengecup lembut keningku.Sedetik itu aku bisa melihat, bagaimana
Sepeninggal dari hotel, aku dan Diran kemudian menempati rumah yang memang sudah Diran persiapkan untuk berkeluarga—rumah minimalis seperti impianku. Membuatku cukup tersentuh dengan usahanya mempersiapkan rumah.Sayangnya, rumah itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena suatu saat nanti, sudah aku pastikan akan keluar dari sana.Malam kedua berikutnya akan menjadi permainan berikutnya untuk membuat Diran kesakitan.Lingerie merah pemberian Jonna memang cukup menggoda memperlihatkan lekuk tubuhku.Tidak lupa juga rambut panjangku yang aku cepol untuk memperlihatkan leher jenjang polosku.Keluar dari kamar mandi, Diran langsung memeluk tubuhku dari belakang. “Kamu sengajamancing aku “kan?” tanyanya dengan embusan napas tak beraturan. Seperti birahi yang sudah terbakar.Aku tersenyum kecut. “Siapa bilang aku mau mancing kamu? Aku cuma pengen pamerin lingerie seksi pemberian Jonna ke kamu.”K
“Mbak Gee Andhra?” Seorang laki-laki memakai t-shirt berpadu jacket, celana jeans, sneakers hitam putih dan balck cap menghampiri mejaku.“Iya,” jawabku ragu-ragu menyelisik wajah rupawannya.“Saya Adirajada. Orang kiriman dari XO ekpress.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangan padaku.“Oh, iya, Mas. Halo.” Aku kemudian membalas uluran tangannya.“Silakan, duduk,” ucapku mempersilakan kursi di hadapanku.Seperti yang sudah aku rencanakan, bahwa aku akan mengunakan mata-mata untuk membantuku mempermainkan Diran dan Jonna. Berkat otak intel Reen, aku berhasil menemukan jasa mata-mata yang juga merangkap sebagai kurir.“Sebelum kita memulai kerja samanya, boleh saya tahu detail permasalahannya?” tanyanya usai menyeruput es teh leci soda.Jujur, aku ragu untuk menceritakan detail permasalahan. Ada rasa tidak nyaman untuk terbuka dengan orang baru.“Anggap
Pukul 8 malam lewat 15 menit ponselku menampilkan notif pesan. Tampak sebuah foto Jonna tengah membuka pintu kamar hotel bernomor B606.A : Suami Mbak katanya pulang jam berapa?Reply : Katanya malam. Ada rapat.15 menit kemudian Adira mengirimkan fotoDiran yang tengah membuka pintu kamar hotel B606.A : Rapatnya kayaknya penting banget sampai ke hotel, Mbak.Berengsek! Mataku memanas memandang foto tersebut.A : Jangan nunggu suami Mbak pulang. Dia lagi sibuk sama ceweknya sekarang. Kemungkinan pulangnya besok pagi, bukan malam.Aku langsung beranjak dari ranjang. Kakiku rasanya begitu gatal untuk melangkah menghampiri mereka berdua. Ingin sekali aku melabrak untuk melontarkan segala macam kata binatang dan sumpah serapah tepat di wajah mereka. Namun ... aku harus menahannya.Ya, menahan. Jika aku melabrak mereka sekarang, maka permainan yang aku buat telah selesai. Sementara permainan ini masih baru dimulai.Mela