Satu-satunya wanita asing yang ada disana adalah wanita dengan tinggi 160 cm, berat badan sekitar 48 kg, rambut keriting panjang, kacamata yang tidak dipertipis, menggunakan kawat gigi, menambah jelek penampilannya. Apalagi dengan gaya pakaiannya yang kuno. Benar-benar membuat jijik setiap orang yang melihatnya.
“Sepertinya ayah memiliki dendam kepada salah satu cucunya, tapi siapa?” bisik Gavin gemetar. Kilas balik, satu-satunya sosok yang berani melawan Arthur hanyalah Tristan. Itulah kenapa Gavin dan Mikha khawatir. “Tristan, Krisna. Silahkan kalian pilih sendiri warisan mana yang diinginkan. Bebas,” ujar Arthur dan langsung kembali duduk santai. Ezhar dan Zaskia langsung berbisik pada Krisna, “Cepat pilih nomor satu.” Bukannya mengikuti permintaan orangtunya, Krisna justru diam mematung. Misteri apa yang ada di kotak nomor dua? Sejahat-jahatnya kakek, tak mungkin pembagian warisannya bagaikan langit dan bumi. "Cepatlah ambil, sampai kapan kau diam mematung. Apa sampai Tristan mengambil warisan juga wanita yang kau cintai?" geram ibunya kesal. Mengingat wanita yang berdampingan dengan kotak nomor dua sangatlah jelek, membuat Krisna dengan cepat mengambil kotak nomor satu. Berbeda dengan Krisna, Tristan justru duduk santai. Dia sama sekali tidak peduli dengan pembagian harta gono gini. Gavin dan Mikha hanya dapat menarik nafas, ketika melihat Tristan tak berdiri dari tempat duduknya. “Kenapa kau tak memilih?” Tristan menatap sang ibu, “Untuk apa? Kalau tidak tahu kelola juga percuma, pasti nantinya habis. Aku tidak mau kotak nomor satu maupun dua.” Entah kenapa Gavin dan Mikha selalu tidak berkutik akan keputusan sang putra. Mereka hanya bisa menerima. Bagi Gavin, tabungannya sudah lebih dari cukup untuk kehidupan mereka di masa depan. “Selamat, Krisna. Kau berhak atas kotak nomor satu,” ujar Arthur tersenyum. Kini pandangan matanya jatuh pada Tristan, “Tristan, karena kau tidak memilih, maka secara otomatis kau memiliki hak atas kotak nomor dua. Termasuk bertunangan dengan Kezia Devira.” “Bukankah aku tidak memilih?” ujar Tristan sedingin es. "Kenapa?" "Kareka aku maunya jadi perintis, bukannya pewaris," ujar Tristan santai. “Ok! Kalau kau tidak mau, maka kakek akan langsung menikahi Kezia Devira hari ini juga!” Keputusan Arthur seperti tamparan telak bagi Kezia Devira. Tanpa malu, Kezia langsung saja berlari kearah Tristan. “Tolonglah, aku tidak mau menikah dengan kakek Arthur. Bukankah kita hanya tunangan, bukannya menikah? Aku mohon kasihanilah aku. Selamatkan aku.” Mengingat sang kakek yang egois, membuat Tristan tak tega. “Apa bayaranku, jika membantumu lepas dari kakekku?” “Apapun akan ku kabulkan, asalkan tidak menikah denganmu. Itu saja.” ‘Asalkan?’ Brengsek! Dia yang meminta tolong, tapi sekarang dia yang memberikan syarat? Apa dia pikir pantas menjadi pendampingku? “Bagaimana, Tristan? Kau yang bertunangan dengan Kezia atau kakek yang menikah dengannya hari ini juga!” “Aku memilih kotak nomor dua dan bertunangan dengan Kazia,” ketus Tristan kesal. Kezia langsung bernafas lega. Semua yang berada dalam ruangan saling berpandangan, terutama Gavin dan Mikha. Mereka sama sekali tidak menyangka, satu kalimat Kezia mampu mengubah keputusan pria yang berhati dingin itu. Tristan Ludwig dan Kezia Devira bagaikan langit dan bumi. Kalau Kezia terlihat jelek dan menjijikkan, berbanding terbalik dengan Tristan. Sejak sekolah dasar sampai kuliah, tiada hari tanpa surat cinta yang diterima Tristan. Dari sekian banyaknya surat yang diterima, tak ada satupun yang dibaca. Semua berakhir di tempat sampah, di mana dia lewat. Sedangkan Almira Lopes hanya bisa kecewa. Kenapa harus wanita buruk rupa itu yang menjadi tunangan Tristan? Kenapa bukan aku? Arthur yang telah mempersiapkan semuanya secara matang, langsung menandatangani berkas pengalihan warisan saat itu juga. “Proses secepatnya.” “Baik, Pak,” jawab sang notaris langsung pamit meninggalkan rumah keluarga Ludwig. “Tristan, waktumu hanya tiga hari untuk meninggalkan rumah ini. Karena rumah ini merupakan asset Perusahaan yang nantinya resmi menjadi milik Krisna. Kau akan dipindahkan ke rumah tua, di mana kakek dan nenek tinggal saat merintis karir. Kezia Devira, kau juga ikutan pindah ke sana, tidak ada penolakan.” “Bagaimana dengan kami, Yah?” tanya Gavin bingung. "Apa salah kalau ayahku membeli rumah sendiri? Bukankah itu wajar? Lagian juga tidak menggunakan uang kakek, tapi murni hasil jerih payah ayah sendiri. Tak seperti orang lain, tahunya minta karena merupakan orang pilihan," ujar Tristan menyindir bibinya. Kembali Arthur diam, dia tahu berdebat dengan Tristan tak akan membuatnya menang. Yang ada justru dia malu sendiri. “Krisna, apapun yang terjadi, pastikan kakek tetap tinggal bersama kita. Kita membutuhkan kakek untuk kemulusan bisnis, juga pertunanganmu dengan Almira. Bukankah kau tahu, Almira sudah lama jatuh hati pada Tristan?” bisik Ezhar. “Kakek tidak ikutan pindah, kan? Aku membutuhkan kakek di sini. Masih banyak yang harus ku pelajari dari kakek, karena mengurus Perusahaan sebesar itu tidaklah muda bagiku,” pinta Krisna. “Bagaimana menurutmu, Tristan?” tanya Arthur. “Tinggal saja dengan Krisna. Aku tidak mau berebutan wanita dengan kakek,” jawab Tristan menyindir. “Oh ya, Tristan. Sebagai kompensasi, kakek telah merekomendasikan kau bekerja di Perusahaan FJ. Kau terpilih atau tidak, tergantung pada kualifikasi yang kau miliki. Kau tahu sendiri kan … bekerja di Perusahaan sekelas FJ bukanlah sesuatu yang muda. Ini rekomendasinya. Semoga sukses,” ujar Arthur dan memberikan selembar kertas.“Maaf, acara ini disiapkan untuk penyambutan dan syukuran kakekku selamat dari maut. Bukannya ajang pengesahan warisan!” ketus Krisna pura-pura tak senang.Bukannya menjawab, tapi sang notaris menatap pengacara Arthur meminta kejelasan sekaligus kepastian.“Tapi ini murni keinginan kakekmu, Tuan Muda. Maaf,” jawab sang pengacara menunduk hormat.Krisna mendekati Arthur yang duduk di kursi roda, “Apa benar ini keinginan, Kakek?”Arthur berusaha mengeluarkan suara, tapi semua justru bingung dengan apa yang dikatakannya.“Kalau itu murni keinginan Kakek, maka kami tak punya pilihan. Silahkan diteruskan,” ujar Krisna menarik nafas panjang, seolah tak ikhlas.Ezhar mendorong kursi roda sang ayah, mendekati notaris yang berdiri di atas panggung.“Sesuai pilihan masing-masing, maka Krisna Ludwig berhak atas kotak nomor satu. Kami undang Tuan Muda Krisna untuk maju kedepan guna penandatanganan berkas secara resmi.”Krisna naik ke panggung dan menandatangani berkas yang disodorkan kepadanya.N
Bukannya menjawab, Ezhar justru melangkah maju mendekati sang putra, tiba-tiba .... PLAKKK !!! Darah segar mengalir dari sudut bibir kiri Krisna, akibat tamparan sang ayah. "Ayah tak menyangka selama ini telah membesarkan serigala berbulu domba! Apa salah kakekmu, ha?" bentak Ezhar murka. Krisna tertawa, "Ayah ... Ayah ... aku hanya mengikuti jejak kakek, menggunakan segala cara untuk mempertahankan apa yang harusnya menjadi milikku!" "Kau?" Ezhar terkejut. "Apa ayah ingin melihat aku hidup miskin, karena ulah pria tua brengsek itu, ha? Aku tidak ingin berada dibawah perintah Tristan! Tidak akan pernah!" geram Krisna marah. "Apa yang dikatakan putramu benar, Ezhar. Pria tua itu pasti ingin mengubah wasiatnya didepan semua orang! Kalau tidak? Untuk apa dia membawa kembali keluarga Gavin ke rumah? Bahkan menyiapkan pesta termegah yang belum pernah ada dalam keluarga Ludwig!" ujar Zaskia. "Jadi selama ini, Kau tahu perbuatan putramu?" Ezhar kembali terkejut. "Tidak! Tapi aku juga
Didepan mereka bukanlah sosok yang tegap, tegas, dan arogan. Tapi sebaliknya, hanyalah sesosok pria lemah yang terbaring tanpa daya dengan perban yang menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya. "Kakek." "Kalian jangan khawatir, masa kritis Tuan Arthur sudah lewat," ujar sang dokter ketika melihat kecemasan dari wajah keluarga Ludwig. "Tapi kenapa kakek belum sadar juga, dokter?" tanya Krisna. "Itu karena pengaruh obat bius. Kakekmu akan sadar sekitar delapan jam," jawab sang dokter. Dengan setia keluarga Ludwig menunggu Arthur sadar. Benar saja setelah delapan jam menunggu, akhirnya Arthur menunjukkan tanda-tanda kesadaran. “Kakek, akhirnya kau sadar juga.” Samar-samar Arthur mendengar suara cucunya, dia membuka mata. Di sana anak dan cucunya lengkap beserta calon menantunya. Dimana aku? Apa ini artinya aku tidak meninggal pada saat kecelakaan terjadi? Arthur ingat jelas, ketika sebuah truk yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan dan menabrak mobilnya, hingga
*** Pukul 19.00 Wita, keluarga besar Ludwig sudah berkumpul sesuai permintaan Arthur. Bukan itu saja, tamu undangan juga telah berada di rumah keluarga Ludwig. Begitupun dengan notaris yang dipercayakan Arthur untuk menangani masalah warisan. "Kenapa kakekmu belum sampai? Apa terjadi sesuatu?" ujar Gavin cemas. "Kau benar. Bukankah ayah selalu tepat waktu? Mudah-mudahan saja karena jalanan macet," sambung Mikha ikut khawatir. "Kenapa ayah dan ibu mau diajak kembali ke neraka ini?" protes Tristan. "Sudahlah, Tristan. Berilah satu kesempatan kakekmu untuk berubah. Beliau ingin menebus kebersamaan yang hilang selama bertahun-tahun," Gavin memberi nasehat pada sang putra. "Terus apa ayah juga memikirkan perasaan ibu, ketika paman dan bibi merendahkannya? Bukankah tidak? Ayah justru diam, kan? Dan aku muak dengan sikap ayah!" ketus Tristan kesal. Gavin menundukkan kepalanya. Mikha mengelus pundak putranya dengan penuh kasih sayang, "Jangan bahas masa lalu. Ayahmu juga b
Tidak sampai satu jam, seorang wanita memasuki ruangan Tristan. “Maaf, Pak. Ini berkas yang diminta …” wanita itu tak meneruskan kalimatnya, dia terkejut melihat Tristan yang duduk di kursi dibalik meja kerja Direktur tim retail. Kezia Devira sama sekali tidak tahu, kalau Direktur baru Tim Retail adalah tunangannya sendiri, Tristan. Karena saat pengenalan, dia tidak berada di tempat. “Kenapa di mana-mana ada kamu, ha? Mau di rumah, mau di kantor? Apa kau menguntitku?” ketus Tristan kesal. “Aku di sini. Itu karena aku bekerja di sini. Aku sekretaris Direktur Tim Retail. Yang harusnya bertanya itu aku. Sedang apa kau di ruangan Direktur? Duduk di situ lagi? Kalau Direktur melihatmu, tamat riwayatmu,” ketus Kezia Devira, tanpa menunggu jawaban dia langsung saja menarik dan mendorong Tristan keluar ruangan. Adegan itu sontak saja langsung menjadi perhatian semua karyawan. “Kau sedang apa, Jelek? Apa begini caramu menyambut Direktur baru kita, ha?” ketus seorang wanita menatap K
Arthur Ludwig baru menyadari kesalahan fatalnya. Kesibukannya dalam berkarir membuatnya masa bodoh dengan keluarganya sendiri. Bukan hanya kemampuan dua putranya saja, bahkan kemampuan dua cucunya dia tak tahu. Ya! Dia hanya mendengar laporan dari Ezhar mengenai prestasi yang dicapai Krisna, sedangkan Gavin sama sekali tidak pernah melaporkan prestasi Tristan. “Sekarang aku paham, kenapa Tristan sama sekali tidak tertarik memilih salah satu kotak pun. Dengan kemampuan Tristan, sangatlah mudah untuknya membangun Perusahaan dan menjadikannya nomor satu," ujar sang asisten memberi pendapat. "Kau benar." "Apa Bos menyesal tidak memilih Tristan sebagai pewaris Perusahaan ini?” tanya sang asisten dengan hati-hati sekaligus penasaran. “Sudah aku katakan, pembagian harta goni gini itu adil. Tinggal bagaimana Krisna dan Tristan mengelolahnya! Apa kau pikir aku kakek yang egois, yang mau melihat salah satu hidup cucunya menjadi miskin, ha? Tapi ada bagusnya kalau kotak nomor dua jatuh pad