Share

Bab 2

Part : 2

"Dek!"

"Sudah lah, Arman," senggak Ibu. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!"

Kuusap dada sambil meneruskan langkah dengan menuntun Indah. Gadis kecil itu menatap dalam. Kupalingkan pandangan pura-pura tak melihatnya. Air mata ini sudah akan jatuh luruh sebentar lagi. Hanya saja masih berusaha ditahan. Mereka tidak boleh mengira diri ini lemah.

"Bunda ...."

Aku mengerjap. Duh, air mata sia-lan ini justru jatuh di saat tidak tepat.

"Ya, Sayang." Aku mendongak menatap langit yang sedikit mendung.

"Bunda menangis?" tanyanya polos. Di usia empat tahun, Indah sudah bicara dengan lancar, kecuali ketika huruf "R" di tengah kalimat, baru ia kesulitan.

"Ah, nggak. Siapa bilang?" Cepat kuusap air mata yang jatuh.

"Bunda jangan bohong sama aku. Bunda nangis kan?"

Kuhela napas panjang. Gadis kecil itu sedikit kesulitan hendak naik ke bangku halte.

"Sini bunda bantu, Sayang." Kugendong dan mendudukkannya di bangku halte.

"Kamu nggak usah mikir yang macam-macam yah. Pokoknya sekarang kita ke rumah Eyang di Bandung."

"Ayah nggak ikut?"

Aku menggeleng. "Ayah nanti nyusul. Ayah mau sama Nenek dulu di sini."

"Eyang bakalan sayang sama aku nggak, Bun? Kayak Nenek yang nggak pernah sayang sama aku."

Hatiku mencelos pahit. Anak sekecil Indah sudah paham, bahwa kehadirannya tidak pernah diterima.

"Eyang itu pengen banget ketemu sama Indah. Dan pasti Eyang Kung dan Eyang Uti nggak akan sama kayak Nenek."

**H.M**

Akhirnya aku dan Indah sampai juga di sebuah desa kecil di lereng Gunung di Bandung. Benar yang dikatakan ibu mertua. Bapak dan Ibu hanya orang kampung dengan pekerjaan sebagai petani. Mereka menggarap beberapa sawah dan sebuah kebun sawit.

Tapi, Bu Rahma--mertuaku, Bang Arman dan keluarganya tak mengetahui kalau sawah dan kebun sawit itu milik kami. Bukan aku tak pernah memberi tahu, tapi tetap saja mereka terus saja menghina. Mungkin mereka tidak percaya, karena melihat rumah di kampung tidak mewah dan tidak berlantai keramik.

"Assalamu'alaikum, Pak, Bu," ucapku sambil menurunkan Indah dari gendongan.

"Wa'alaikumussalam, Nia. Ya Allah, ibu kangen banget, Nduk," sambut Ibu langsung memelukku.

"Aku juga, Bu. Aku kangen banget. Sudah lima tahun kita nggak ketemu." Kupeluk erat orang yang sudah melahirkanku itu.

Ibu mengurai pelukannya dan beralih pada Indah yang menatap bingung.

"Cah ayu iki sopo toh, Nduk. Cucuku toh?" Ibu berjongkok di depan Indah.

"Iya, itu Indah, Bu. Cucu Ibu dan Bapak."

"Ya Allah, rindunya eyang, Nduk. Akhirnya eyang ketemu juga sama kamu." Dibawanya putri kecil berambut sebahu itu dalam pelukannya. "Kamu sudah makan, Sayang?"

Indah menggeleng.

"Kasihannya cucu eyang. Ya sudah, yuk kita makan."

Aku terharu hingga mata ini berkaca-kaca, melihat Ibu yang tampak begitu merindukan cucunya. Terakhir bertemu, saat Ibu dan Bapak menjengukku ketika baru melahirkan.

"Pak, Pak, itu Nia dan Indah sudah datang." Terdengar Ibu berteriak memanggil.

Tak lama, lelaki paruh baya berkulit gelap, berjalan mendekati.

"Nduk."

"Iya, Pak."

"Apa Arman ada berusaha mengejarmu ke sini?" Bapak duduk lalu menyesap teh dari cangkir kalengnya.

Aku menggeleng. "Nggak ada, Pak. Pasti dilarang ibunya."

"Ya sudah, ndak apa-apa. Kamu tinggal di sini saja. Ndak ada yang bisa diharapkan dari pria sombong seperti itu. Nanti bapak akan uruskan perceraian kalian."

Deg. Jantungku berdegup mendengar kata perceraian. Pernikahan baru lima tahun, sudah berada di ujung tanduk. Tapi, memang sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi dari pernikahan tak sehat ini.

"Kenapa, Nduk? Jangan bilang kamu menolak perceraian," tegur Bapak membuyarkan lamunan.

Aku tersenyum pada pria yang menghabiskan separuh hidupnya demi kebahagiaanku itu.

"Nggak, Pak. Aku mau cerai kok. Lelaki seperti Bang Arman nggak cocok untuk dipertahankan."

"Bagus! Sekarang kamu ikut bapak."

"Ke mana, Pak?"

"Sudah, ikut saja!"

Bapak membawaku melintasi perkebunan teh, dengan menggunakan motor. Udara segar khas pegunungan, menerpa kulit dan masuk ke rongga dada. Suasana segar yang tak kudapat selama lima tahun di ibukota.

Kendaraan roda dua itu berhenti tepat di sebuah kebun teh yang tak asing bagiku. Bukan 'kah ini perkebunan teh milik ibunya Bang Arman?

"Pak, ini 'kan kebun teh milik ibunya Bang Arman."

"Ya, memang benar. Ini kebun teh milik mertuamu." Bapak tersenyum, yang menyimpan arti yang masih menjadi tanda tanya bagiku.

"Terus, ngapain kita ke sini, Pak?"

"Kebun teh ini akan dijual. Kabar ini sudah santer ke seluruh kampung. Makanya bapak sengaja menjual kebun sawit kita dan bapak akan membeli kebun teh ini khusus untukmu dan Indah."

"Bapak serius?"

"Tentu saja bapak serius. Sebenarnya mereka itu sudah mendekati kebangkrutan. Hanya saja masih berusaha menutupi. Bapak 'kan sudah bilang di telepon tempo hari, bahwa kita akan membeli kesombongan mertuamu dan keluarganya. Ini 'lah awalnya." Bapak menjatuhkan puntung rokoknya kemudian memijaknya kasar.

"Kamu akan melihat sendiri bagaimana wajah mertuamu itu, ketika tahu bahwa pembeli kebun tehnya adalah menantu yang dia hina selama ini," lanjutnya lagi.

Aku tersenyum miring. "Pasti wanita sombong itu akan jatuh pingsan, Pak. Sungguh aku nggak sabar menunggu waktu itu."

❣ ❣

BERSAMBUNG

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Yanti Blacksweet
cerai aja Nia...cari yg lbh baik.........
goodnovel comment avatar
Christie
di bab 1 katanya author eyang ada di Yogya di bab 2 eyangnya tinggal di Bandung gw sbg pembaca jd binun thor... udh gitu bahasanya pake bhs Jawa .........
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka sama caranya orang tua nya Nia membalas kepada orang tua nya Arman
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status