Part : 3
Happy reading.
❣ ❣
POV AUTHOR
"Dek!"
"Sudah lah, Arman," senggak Bu Rahma. "Jangan tahan dia! Ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. Memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. Orang miskin saja belagu!"
Arman kembali terduduk di kursinya. Sebenarnya ia ingin sekali mengejar Nia. Tapi, larangan ibunya membuat ia harus mengurungkan niat.
"Kamu itu laki-laki, Man. Jangan sampai kamu menjatuhkan harga dirimu demi wanita kampung itu," tegas Bu Rahma.
"Tapi, Nia itu istriku, Bu. Aku masih mencintainya." Arman bersikeras.
"Halah, per-setan dengan cinta. Kamu bisa mendapatkan seribu wanita yang lebih cantik dan lebih sepantaran dengan kita."
"Iya, benar yang dikatakan Ibu, Man. Kamu ini jangan terlalu mengemis cinta sama wanita ndeso seperti itu. Nanti akan kakak kenalkan kamu sama wanita modis dan yang jelas kelasnya sama dengan kita," timpal Ima--kakak tertua Arman.
Arman hanya tertunduk. Ia memang tidak bisa membantah apa yang dikatakan ibu dan kakaknya. Lelaki berkumis tipis itu paling takut kalau ibunya sudah marah.
"Dari awal ibu sudah tidak menyukai wanita itu. Perempuan kampung yang nggak selevel dengan kita. Lihat, dia sudah berani melawan ibu. Kemudian pergi begitu saja tanpa izin suami. Istri macam apa itu?"
Tangan Arman mengepal geram, mendengar ucapan terakhir Bu Rahma. Dalam hati ia ikut mengutuk kelancangan Nia yang berani pergi membawa Indah tanpa seizin dirinya.
"Nanti dia juga bakalan balik sama kamu. Siapa yang mau biayain anak kamu. Bapaknya? Halah, mana mungkin! Cuma petani upahan doang, mana mungkin sanggup. Apalagi tahun depan anak kamu sudah mulai masuk sekolah 'kan?"
Benar juga yang dikatakan Ibu, batin Arman. Dia pasti kembali padaku.
***H.M***
Satu bulan berlalu, sama sekali tak ada kabar dari Nia. Arman berusaha untuk tidak peduli, tapi tetap saja tidak bisa. Entah rasa cinta atau gengsi karena ia merasa sudah sangat tidak dihargai oleh Nia.
Arman berdiri di teras. Tangan kanannya bersandar pada pilar.
"Kamu mikirin apa, Arman? Nia?"
Lelaki bertinggi 172cm itu mengusap kasar wajahnya. "Nia sama sekali tidak ada kabar, Bu."
"Lalu?"
"Lalu?" Arman mengernyit heran dengan pertanyaan ibunya.
"Ya, sudah kamu telepon saja. Susah amat."
"Gengsi dong, Bu. Masa aku yang nelpon duluan. Ke mana harga diriku sebagai suami?"
Ibu menghela napas. "Dasar, bo-doh! Kamu telepon dia dan beri peringatan keras pada istrimu itu."
"Peringatan bagaimana, Bu?"
"Katakan pada istrimu itu, kalau mau kembali dia harus menuruti semua kemauanmu. Kalau perlu, ancam dia dengan perceraian dan katakan juga, bahwa kamu nggak akan menafkahi Indah kalau dia setuju bercerai. Pasti nanti dia akan kebingungan sendiri."
Benar juga kata Ibu, batin Arman.
"Nia pasti akan kembali pada kamu, Arman. Kamu tenang aja. Kamu itu lelaki mapan. Bo-doh kalau dia sampai meninggalkan kamu. Mana mungkin orang tuanya sanggup menanggung hidup dia dan anak kalian. Tahu sendiri sekarang zaman serba mahal."
Arman segera merogoh kantong celana jeans-nya, untuk mengambil ponsel. Cepat ia mencari nama Nia dari daftar kontak. Setelah menemukan, tanpa membuang waktu pria berkulit putih itu menekan tombol panggil.
Suara nada sambung terdengar. Hingga nada sambung terakhir, Nia tak kunjung mengangkat telepon dari Arman.
"Nggak diangkat, Bu."
"Sudah, telepon saja lagi," ujar Bu Rahma sambil menjatuhkan bokongnya ke atas kursi.
Kembali Arman mencoba menelepon. Lama sekali, tetap saja tak diangkat.
"Halo, ada apa, Bang?" Akhirnya Arman bernapas lega mendengar suara yang sebenarnya sangat dirindukannya.
"Ke mana saja kamu? Dari tadi telepon nggak diangkat," sungut Arman dengan nada ketus.
"Aku baru selesai salat. Memangnya kamu nggak lihat jam, Bang? Ini sudah masuk waktu ashar," balas Nia tak kalah ketus.
Sejenak Arman terdiam. Dirinya memang sangat jarang mengerjakan salat. Bisa dikatakan tidak pernah, kecuali salat ied.
"Nggak usah banyak alasan. Bilang saja kamu tadi tidur. Mentang-mentang kamu di rumah orang tuamu, bisa suka-suka," elak Arman.
"Oh, tentu saja. Aku kalau di rumah orang tuaku serasa seperti ratu. Memangnya di rumah orang tua kamu. Aku jadi babu di sana."
Arman tertegun. Lelaki itu benar-benar terkejut. Nia sudah berani melawan. Biasanya dia lebih banyak diam dan langsung ketakutan.
Tiba-tiba, Bu Rahma menyambar ponsel dari tangan Arman.
"Heh, perempuan tak ta-hu diri! Sudah miskin, sok pula. Kamu itu diperlakukan seperti ba-_bu itu wajar. Kamu hidup dari Arman--anakku. Jadi sudah sewajarnya 'kan kamu melayani kami di sini," bentak Bu Rahma.
"Oh, tentu saja nggak wajar, Bu. Memangnya anak Ibu sendiri sudah memperlakukanku secara wajar? Sedangkan nafkah untukku dan Indah saja Bang Arman masih pelit dan perhitungan padaku." Nia terus membalas makian Arman dan Bu Rahma.
Arman semakin tercenung bingung. Kesambet se-tan apa dia? Atau jangan-jangan orang tuanya di kampung sudah menghasut Nia?
"Sudah 'lah, Nia. Nggak usah banyak bicara deh. Aku akan memaafkan kamu, asal kamu segera pulang ke sini. Atau nggak-- "
"Atau apa?" potong Nia. "Atau kamu akan menceraikan aku 'kan? Begitu?"
Seketika Arman seperti patah langkah. Nia sudah bisa menebak ancamannya.
"Ya-ya, tentu saja. Kalau kamu nggak menurutiku, kali ini aku akan menceraikanmu dan jangan mimpi aku akan mengeluarkan sepeser pun untuk menafkahi Indah," lanjut Arman lagi.
Di seberang telepon, sejenak Nia terdiam.
"Bagaimana, Nia? Cepat putuskan sekarang juga! Aku nggak punya waktu banyak!"
❣ ❣
BERSAMBUNG
“Terima kasih atas semuanya, Nia,” ucap Arman setelah pemakaman selesai. Dia harus kembali ke tahanan, kembali menghabiskan hari-harinya di sana untuk sisa enam bulan ke depan.“Ya,” jawab Kania singkat tanpa sedikitpun menoleh.Arman hanya bisa menelan ludahnya yang terasa pahit. Sebenci itu Kania padanya. Bahkan melirik saja pun tidak.“Sampai jumpa lagi nanti, Nia. Semoga saja sang pemilik semesta masih memberiku kesempatan untuk hidup dan kita bertemu lagi.”Kania berdecak sinis. “Aku malah berdoa, agar Allah mencampakkanmu sejauh-jauhnya dari hidupku dan Indah. Sumpah, aku gak sudi melihatmu, apalagi bertemu.” Puas sekali Kania meluapkan perasaannya di depan laki-laki yang sudah menyakitinya selama lima tahun lebih pernikahan mereka.Arman hanya mend*sah pilu. Memang sudah merupakan kesalahannya, sehingga benar-benar benih kebencian tersemai di hati Kania.“Sudah, Arman. Kita harus balik ke rutan,” ujar salah seorang pria berseragam lengkap.Arman menurut dan melangkahkan kakinya
Entah berapa lama mereka di sana. Kania tak tahu. Dia memilih untuk tidak peduli dan tak mau tahu. Kalau bukan karena suaminya yang seakan sok berhati malaikat, dia pun tak sudi mengurusi jenazah Bu Rahma. Wanita itu sendiri yang sudah menyemai benih kebencian dan meninggalkan bekas luka yang mendalam. Tak hanya pada dirinya, tetapi juga pada Indah, cucunya sendiri.“Sudah selesai, Sayang.” Abimanyu menghampiri Kania yang memilih menunggu di luar bersama Indah dan Keisha, sambil memandangi kolam ikan kecil yang berada di samping dapur tempat para tahanan wanita.“Baguslah, Mas. Aku sudah bosan berada di sini.” Kania tidak bisa menyembunyikan rasa ketidaksukaannya.“Kania.” Abimanyu menarik tangan Kania pelan.Kania menghentikan langkahnya. Tapi, ia tetap tidak menoleh.“Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Mas juga tahu, memaafkan sesuatu yang pernah sangat menyakiti kita juga gak mudah. Mas gak akan memaksa kamu, kok.” Abimanyu sangat lembut dan hati-hati sekali dalam berbicara.
Demikian pula dengan Kania. Pesona sang suami semakin terpancar. Tak henti-hentinya batinnya mengucap syukur, telah diberikan suami seperti lelaki yang tengah memegang lingkar kemudi di sebelahnya. Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ganti yang tepat, untuk menjadi imam dunia akhirat bagi Kania dan Indah. "Ya sudah kalau begitu. Bapak titip anak bapak dan calon cucu bapak ke kamu, ya, Nak Abi.""Njih, Pak. Insya Allah, Kania dan Indah akan aku jaga dengan sangat baik." "Bapak percaya kamu, njih. Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau nyusul ibumu ke sawah. Assalamu'alaikum, salam untuk Kania, ya.""Wa'alaikumussalam. Njih, Pak."Setelah obrolan melalui sambungan whatsapp berakhir, Abimanyu meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dilayangkannya pandangan ke wanita berdagu terbelah yang menatapnya lekat. "Kenapa ngeliatin mas seperti itu?" tanya Abimanyu, lantas sesekali kembali memfokuskan pandangan ke jalan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku semakin merasa beruntung puny
Season 2 Part 30 Kania mengangkat bahu. "Entahlah, aku juga tidak tahu pasti, Mas. Karena Mas Arman belum menjelaskan tentang itu. Mas Arman cuma meminta bantuan kita. Kakak dan adiknya sudah tidak bisa dihubungi sama sekali lagi. Jadi, Mas Arman butuh bantuan kita untuk mengurus jenazah ibunya."Arman terdiam. Lelaki itu tampak tengah berpikir. "Bagaimana, Mas? Apakah kamu mau membantu Arman?" tanya Kania lagi dengan sangat berhati-hati. Ia takut, suaminya tersinggung. "Ya, sudah. Kita bantu dia. Mengurus jenazah itu termasuk fardu kifayah. Apalagi, tidak ada yang mau menguruskan jenazah itu. Termasuk tanggung jawab kita sebagai sesama muslim. Apalagi almarhum itu neneknya Indah."Kania mengembuskan napas lega, sekaligus ia kagum pada sosok pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Terbuat dari apa hati laki-laki di hadapannya ini. Rasanya sangat jarang sekali, ada laki-laki yang mau membantu menguruskan jenazah dari mantan mertua istrinya. Kania masih menatap terkagum-kagum ke
Season 2 Part 48"Minggir, minggir!" ucap salah satu sipir wanita yang berusaha membubarkan kerumunan, agar mayat yang digotong bisa lewat. "ASTAGAAA ... MBAAAAK!"Bruuukkk. Ningsih pingsan, begitu melihat mayat yang digotong melewatinya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sebelum pingsan, Ningsih masih sempat melihat keadaan mayat yang katanya mati bunuh diri itu. Lidahnya terjulur, matanya melotot ngeri. "Bawa dia ke ruang kesehatan," titah salah satu sipir wanita. Segera tiga orang napi wanita mengangkat tubuh ramping Ningsih dan membawanya ke ruang kesehatan yang terletak di pojok. "Nyusahin aja nih perempuan!" Salah satu napi wanita mengumpat kesal. Sebatang kecil rokok filter terselip di antara bibir berwarna kehitaman tersebut. "Emang! Nih perempuan sama aja dengan yang mati bunuh diri itu. Suka nyusahin!" celetuk yang lainnya. "Lapas ini makin serem, dong. Udah berapa banyak napi yang mati bunuh diri di sini. Hiii ...." Napi lain yang sebagian tubuhnya dipenuhi dengan ukir
"Mama gak mau nolong aku. Semua jahat sama aku," lanjutnya lagi. "Kei ...," panggil Kania pelan. "Siapa yang jahat, Sayang?"Keisha sedikit terkejut, sambil menoleh. "Mama, Tante. Om juga. Mama dan Om yang jahat sama aku. ""Kalau tante boleh tahu, jahat gimana, sih, mereka?" Kania mencoba kembali mengajak Keisha mengobrol. "Aku sering dipukul, Tante. Tiap hari malah. Terus, Om juga sering nyuruh aku buka celana dan baju kalau mama gak ada.""Astaghfirullah. Biar apa dia nyuruh Keisha buka baju, Nak?"Keisha mengangkat bahu. "Aku gak tau. Kata om, aku sakit dan harus diperiksa dada dan sininya aku." Gadis berambut panjang lewat bahu itu menunjuk ke arah kem*luannya.Refleks, Kania menutup mulutnya. Dia menepis bayangan kemungkinan yang melintas. Cepat-cepat ditepisnya bayangan itu dengan menggeleng kuat. "Om suka memasukkan jarinya ke sini. Sakit, Tante. Aku pengen teriak, tapi langsung dibentak. Katanya, kalau aku berani teriak apalagi ngadu ke mama, aku dan mama akan dibunuh paka
Season 2 PART : 47Kania yang menyadari kegelisahan sang suami, menggenggam erat tangan yang sudah basah dan terasa dingin seperti es. Wanita itu paham, bagaimana perasaan Abimanyu saat ini. "Hasil visum atas nama korban Keisha Anastasia ada di tangan saya," ujar polisi yang bertugas sebagai penyidik. Terasa bergetar hebat tangan kokoh itu di genggaman Kania. Ayah mana, yang tak merasakan hal yang sama, jika menghadapi situasi seperti ini. Putri kesayangan, satu-satunya pula, diduga mendapatkan kekerasan secara s3k5u4l oleh ayah tirinya. Polisi bertubuh gemuk itu, merobek ujung amplop. Kania dan Abimanyu semakin tegang. Dalam hati, Abimanyu tak henti berkomat-kamit berdoa. Berharap ada keajaiban yang Tuhan berikan atas putri kecilnya tersebut. "Di sini .... " Polisi paruh baya itu menggantung ucapannya. Perasaan Kania dan Abimanyu semakin tak karuan. "Gi-gimana, Pak?" Abimanyu sedikit mendesak. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, padahal, yakin, dia sudah membaca hingga akh
Kania menggeleng sambil tersenyum. "Aku menangis terharu, Mas. Aku baik-baik saja, kok.""Terharu kenapa?""Aku terharu memiliki suami seperti kamu, Mas. Hal yang paling patut aku syukuri. Dari sekian tahun aku merasakan pahitnya pernikahan, sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu," ujar Kania seraya mengusap matanya yang mengembun. "Jangan berubah, ya, Mas. Selamanya seperti ini."Abimanyu membawa Kania ke dalam pelukannya. Bukan hanya Kania, dirinya pun merasakan pahitnya pernikahan dengan Liana yang berselingkuh dan ia sendiri memergoki dengan kedua belah matanya. Belum lagi putrinya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ibu kandungnya sendiri. Belum lagi Keisha yang dic4bul1 ayah tirinya. Itu yang paling membuat dunia Abimanyu sangat hancur. Anak sekecil itu harus mendapatkan hal yang tidak sepantasnya ia dapatkan. "Insya Allah, kita sama-sama membangun rumah tangga kita, ya, Sayang. Senyum kamu dan janin di kandungan kamu ini merupakan obat mujarab buatku."Tok tok tok. Obrola
Season 2 Part 45"Gak, Bang. Jangan tinggalkan aku. Aku sudah gak punya siapa-siapa. Arman di penjara. Ima dan Ella juga aku gak tahu di mana keberadaan mereka. Aku sendirian, Bang."Wahyu hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Rahma. Itu bukan urusanku. Nikmati saja hasil yang sudah kamu tabur selama ini. Itu pula yang akhirnya kamu tuai.""Mas .... " Rahma mencekal pergelangan Wahyu. Matanya menatap nanar, ketika lelaki itu menoleh. Besar harapannya lelaki itu trenyuh dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Bukankah Wahyu selalu seperti itu sejak dulu? Ia paling tidak bisa membantah perintah Rahma. Tak jarang Wahyu langsung menuruti pinta Rahma, jika wanita paruh baya itu merajuk. Wahyu melepaskan tangannya dengan menghempaskan tangan sang istri. Cukup kasar perlakuan Wahyu. Sungguh di luar dugaan Rahma. "Mas ... Apa maksudnya?""Pakai nanya lagi kamu. Perasaan ini sudah habis. Sudah gak ada lagi untukmu, Rahma. Jadi, jangan mimpi aku akan membatalkan perceraian kita. Aku sudah capek,