Share

Bab : 4

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! 

Part : 4

❣ ❣

"Bagaimana, Nia? Cepat putuskan sekarang juga! Aku nggak punya waktu banyak!" tekan Bang Arman.

Aku terdiam. Tak kupungkiri rasa cinta tentu masih ada. Pernikahan lima tahun rasanya bukan waktu yang sebentar. 

Tapi, jika mengingat apa yang sudah mereka lakukan, hinaan demi hinaan yang terus dilontarkan tak hanya padaku tapi juga pada Bapak dan Ibu, rasanya tak mungkin dapat termaafkan. Apalagi ketika Bapak dan Ibu ingin menemui, selalu saja dihalang-halangi. Padahal jarak Jakarta-Bandung tidak lah terlalu jauh. Sampai-sampai mereka kapok dan tidak mau mendatangiku lagi, sampai Indah sebesar sekarang.

"Nia! Kamu dengar nggak sih?" bentak Bang Arman menyadarkanku.

"Ya, aku dengar." 

"Cepat jawab! Lama amat sih tinggal jawab doang."

Kutarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjawab yang sejujurnya.

"Aku nggak akan kembali sama kamu. Apalagi ke rumah ibumu," jawabku tegas. 

"Mak-maksud kamu?"

"Apa ucapanku kurang jelas? Aku nggak akan kembali sama kamu, Bang. Paham?"

Keadaan di seberang hening. Hanya deru napas yang terdengar.

"Bu, Nia nggak mau kembali padaku," ujar Bang Arman. Sepertinya dia berbicara pada ibunya. Ternyata Ibu ada di sebelah Bang Arman.

"Apa? Mana biar ibu bicara." Terdengar suara Ibu. "Halo, Nia!"

"Ya, Bu."

"Kamu berani menolak ajakan anakku untuk kembali? Sudah hebat kamu? Kamu pikir siapa yang akan menghidupi kamu dan anakmu, huh?" 

Aku tersenyum sinis mendengar kesombongan Ibu barusan. 

"Memangnya Ibu itu Tuhan yang bisa menentukan hidupku dan Indah? Ibu lupa aku hanya masih punya orang tua."

Decakan sinis terdengar di ujung telepon. "Orang tua kamu? Hahaha ... Bisa apa orang tua kamu? Mungkin untuk makan sehari-hari saja mungkin mereka harus memutar otak. Hahaha ...." Tawa bernada ejekan Ibu membangkitkan amarahku. Perempuan se-tan ini tidak bisa dibiarkan.

"Cukup, Bu, cukup!" Aku mulai naik darah. "Selama ini Ibu menghinaku dan kedua orang tuaku, aku diam. Tapi, nggak kali ini. Kalian bukan Tuhan yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Semakin bulat keputusanku untuk cerai dari anak mami yang nggak punya kepribadian seperti anak Ibu itu."

"Apa kamu bilang? Beraninya kamu menghina Arman."

"Memang kenyataannya seperti itu 'kan? Makanya, anak Ibu itu jangan disuruh nikah. Suruh saja dia untuk terus tidur di bawah ketiak Ibu. Atau kalau perlu Ibu saja yang menikah sama Arman."

"Kurang a-jar kamu, Nia! Berani-beraninya kamu--" 

Klik. 

Belum siap ibunya Bang Arman berucap, sambungan telepon segera kuputuskan. Capek telinga mendengar ocehan nenek lam-pir itu.

"Telepon siapa, Nduk?" tanya Bapak. Ibu menyusul jalan di belakangnya dengan nampan berisi tiga gelas teh manis dan cemilan.

"Bang Arman, Pak. Tapi ibunya ikut campur." Aku ikut duduk di sebelah Bapak. 

"Ibu nggak nyangka kamu mendapatkan suami seperti Arman. Padahal dulu ketika mendekati lalu melamarmu, dia kelihatan seperti pria baik," ujar Ibu.

"Ah, dia baik juga karena mengira sawah di sini dan kebun sawit yang berada di Jambi itu punya kita. Karena saat itu Bapak 'kan masih tinggal di sana dan sesekali saja pulang ke Bandung." Bapak menyesap tehnya. "Begitu bapak bilang kalau semua itu bukan punya kita, dia langsung berubah dingin dan sombong. Bahkan setiap kita ke sana untuk bertemu Nia dan Indah, tidak pernah diizinkan. Padahal bapak cuma ngetes doang. Ternyata mereka hanya memandang harta saja."

"Lalu, apa rencana kamu selanjutnya, Nduk? Masa kamu masih mau balik lagi ke laki-laki dan keluarganya yang seperti itu sih?" tanya Ibu sambil menyuapkan nasi ke mulut Indah. Gadis itu begitu bahagia tinggal di sini. Bahkan ia lebih lengket dengan eyang uti-nya dibandingkan dengan aku--ibunya.

"Aku mau cerai!"

"Kamu serius, Nduk?"

"Ya, serius banget, Pak."

"Bagus. Bapak sangat setuju dengan keputusanmu. Bapak dukung 100%. Nanti dia akan tahu siapa kita sebenarnya." 

"Tapi, memangnya Bapak nggak sayang, kalau kebun sawit kita sampai dijual?" 

"Semua demi kamu, Nduk. Uang hasil kebun sawit itu akan bapak pakai untuk membeli kebun teh mereka. Bapak juga mendengar perusahaan mereka akan mengalami kebangkrutan. Kita akan masuk sebagai investor nantinya."

Bibirku tertarik ke sudut kiri atas. Ide Bapak memang benar-benar brilian. Tak sabar rasanya menunggu waktu itu.

"Besok kita berangkat ke Jogja. Pasti kamu kangen dengan desa kelahiranmu 'kan?"

"Kangen banget, Pak."

"Sebelum meninggal, almarhumah eyang sudah meninggalkan wasiat. Kata pengacara, almarhumah juga akan memberikan warisan ke kamu. Dan itu tentu akan kita gunakan untuk menjatuhkan mertuamu yang sombong itu."

❣ HM ❣

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Arman kamu akan menyesal telah merendahkan istri mu dan keluarganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status