Share

Bab : 5

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! 

Pesawat mendarat dengan sukses di bandara baru Yogyakarta International Airport. Kota Jogja ini adalah kota asal di mana aku dilahirkan. Setelah berusia tujuh tahun, aku diboyong pindah ke Bandung, karena Bapak membeli sawah dan perkebunan teh di sana. Kemudian Bapak membeli perkebunan sawit di Jambi. Setelah maju dan memiliki banyak pekerja, Bapak hanya sesekali saja ke sana, sekedar untuk memeriksa kemajuannya.

Tapi, Bapak dan Ibu sosok yang sangat sederhana. Tak ada yang mengira kalau Bapak adalah juragan sawit, padi dan teh. Karena penampilan yang tetap "ngampung", ikut turun ke sawah bahkan ikut juga memetik teh.

"Ayo, Nduk. Taksi kita sudah datang," ajak Bapak.

"Baik, Pak," sahutku. 

Kubantu Bapak dan Ibu untuk menaikkan tas dan koper ke bagasi mobil. Kemudian, mobil meluncur membelah jalan kota pelajar tersebut.

Sesampai di sebuah rumah yang ber-desain etnik jawa kental, kami disambut oleh seorang pria yang menggunakan blangkon di kepalanya. Dia adalah penjaga rumah eyang. Lelaki itu sudah ikut Eyang sejak aku masih kecil.

"Sugeng rawuh, Pak, Bu, Non Nia. Mari masuk. Pak pengacara sudah menunggu sejak tadi," ujarnya dengan aksen jawa kental. Ibu jarinya menunjuk ke arah rumah dengan badan sedikit membungkuk. Khas keramahan orang Jawa.

"Matur nuwun, Mas Darmo," jawab Bapak tersenyum.

Seorang lelaki berkemeja biru dongker berdiri menyambut kami di ruang tamu. Sepertinya ini pengacara eyang.

"Sudah lama menunggu, Pak?" sapa Bapak menyalami.

"Belum kok, Pak."

"Ayo, silakan duduk."

Pengacara bernama Pak Surya itu lantas segera mengeluarkan map berwarna hijau. 

"Baik 'lah, Pak Danu. Saya akan membacakan isi surat wasiat dari almarhum Ibu Saraswati Cokrodiningrat." Ia membuka map tersebut. Membacakan beberapa pesan awal dari almarhumah. Lalu, ke topik utama yaitu membacakan wasiat dari almarhumah Eyang.

"Saya langsung bacakan saja ya pesan dari almarhumah Ibu Saraswati." Pak Surya membetulkan duduknya. "Untuk cucuku Dewi Kania Suryoprawiro, eyang mewariskan sebuah pabrik batik dan dua buah toko di Pasar Beringharjo dan di Malioboro untuk kamu, Nduk. Eyang sudah mendengar dari bapakmu, selama ini kamu terus dihina oleh suamimu dan ibu mertuamu. Eyang harap kamu bisa mengurus dan mengembangkan pabrik dan toko kita. Supaya kamu bisa membalas perlakuan suami dan mertuamu."

Hatiku trenyuh mendengar surat yang ditulis almarhumah Eyang. Sepeduli itu beliau padaku. 

"Demikian surat ini eyang buat dengan sesadar-sadarnya," lanjut Pak Surya. "Jaga diri kamu baik-baik ya, Nduk. Tunjukkan pada keluarga suamimu, kita bukan orang rendahan seperti yang mereka kira. Wassalam, Saraswati Cokrodiningrat."

Air mata semakin tak terbendung. Bapak ternyata sudah menceritakan permasalahan rumah tanggaku pada eyang. Sampai-sampai Eyang berpikir memberikan pabrik dan tokonya padaku, agar aku tak direndahkan Bang Arman dan keluarganya.

"Kamu dengar sendiri 'kan, Nduk, bagaimana kepedulian almarhumah eyang padamu. Urus 'lah toko dan pabrik itu dengan baik. Buktikan pada Arman dan ibunya yang sombong itu kalau kamu itu bukan perempuan sembarangan yang patut direndahkan," tukas Bapak. "Bapak akan membantu kamu sekuat bapak."

❣ HM ❣

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Nia bersiap untuk ke lokasi pabrik dan toko yang kini sudah menjadi miliknya.

Ketika motor distater, tiba-tiba ada tangan yang menahan stang motor matic-nya. 

Sontak Nia refleks menoleh. "Bang Arman! Ngapain kamu di sini?"

"Kamu mau ke mana, Dek?"

"Bukan urusanmu!"

"Jelas menjadi urusanku. Kamu istriku, Dek."

"Sebentar lagi sudah bukan. Aku akan mengurus perceraian kita."

Tangan kekar lelaki itu berpindah mencengkeram pergelanganku.

"Kamu nggak bisa sesukanya saja minta cerai, Dek. Karena aku nggak mau cerai dari kamu," ujarkan bersikeras.

"Tapi aku mau cerai. Aku nggak mau hidup dengan lelaki yang terus bersembunyi di bawah ketiak ibunya. Cukup kamu siksa aku, Bang," ketusku. 

"Lepaskan aku!" Aku meronta berusaha untuk melepaskan tangan dari cengkeraman Bang Arman. Alih-alih ia melepaskan, justru cengkeramannya semakin kuat.

"Aku nggak akan melepaskan tangan kamu, Dek. Asal kamu mau balik sama aku ke rumah kita." Rahangnya mengeras.

"Aku sudah bilang, aku mau cerai dari kamu, Bang. Aku nggak sudi kembali dengan laki-laki manja dan nggak berpendirian seperti kamu!" 

Tangan Bang Arman semakin kuat meremas pergelangan tanganku. Rasanya panas dan perih.

"Tolooong ... Bapak, Ibu, tolong aku!"

"Ya Allah, kamu kenapa, Nduk?" Mendengar teriakanku, Ibu tergopoh-gopoh ke luar dengan tangan masih memegang sendok sayur. "Kamu, Arman? Ngapain di sini?"

"Aku mau menjemput istriku, Bu."

"Tapi untuk apa? Untuk kamu sakiti lagi? Oh, nggak akan saya izinkan!" tegas Ibu.

"Dia istriku, Bu. Seorang istri itu harus taat pada suami. Bahkan harus sujud di kaki suami. Kalian sudah nggak ada hak lagi atas Kania!"

"Heh, Arman, sadar diri dong, ngaca! Kamu itu suami seperti apa memangnya, sampai harus anakku sujud di kakimu, huh? Suami manja dan tak berpendirian sepertimu cocoknya dibuang ke sungai."

"Terserah! Yang penting aku mau membawa pulang istri dan anakku sekarang juga. Ayo, Nia, kamu bereskan pakaianmu dan Indah. Cepat!"

"Nggak mau! Aku nggak mau! Lepaskan, Bang!" 

Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.

Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman.

❣ Bersambung ❣

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ternyata Nia orang tua nya kaya hanya sederhana gaya hidupnya
goodnovel comment avatar
Nuniee
Oohhh ternyata kamu berasal dri keluarga kaya yg style berpakaiannya ndeso,,jdi ya diremehin mertua...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status