KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!
Pesawat mendarat dengan sukses di bandara baru Yogyakarta International Airport. Kota Jogja ini adalah kota asal di mana aku dilahirkan. Setelah berusia tujuh tahun, aku diboyong pindah ke Bandung, karena Bapak membeli sawah dan perkebunan teh di sana. Kemudian Bapak membeli perkebunan sawit di Jambi. Setelah maju dan memiliki banyak pekerja, Bapak hanya sesekali saja ke sana, sekedar untuk memeriksa kemajuannya.
Tapi, Bapak dan Ibu sosok yang sangat sederhana. Tak ada yang mengira kalau Bapak adalah juragan sawit, padi dan teh. Karena penampilan yang tetap "ngampung", ikut turun ke sawah bahkan ikut juga memetik teh.
"Ayo, Nduk. Taksi kita sudah datang," ajak Bapak.
"Baik, Pak," sahutku.
Kubantu Bapak dan Ibu untuk menaikkan tas dan koper ke bagasi mobil. Kemudian, mobil meluncur membelah jalan kota pelajar tersebut.
Sesampai di sebuah rumah yang ber-desain etnik jawa kental, kami disambut oleh seorang pria yang menggunakan blangkon di kepalanya. Dia adalah penjaga rumah eyang. Lelaki itu sudah ikut Eyang sejak aku masih kecil.
"Sugeng rawuh, Pak, Bu, Non Nia. Mari masuk. Pak pengacara sudah menunggu sejak tadi," ujarnya dengan aksen jawa kental. Ibu jarinya menunjuk ke arah rumah dengan badan sedikit membungkuk. Khas keramahan orang Jawa.
"Matur nuwun, Mas Darmo," jawab Bapak tersenyum.
Seorang lelaki berkemeja biru dongker berdiri menyambut kami di ruang tamu. Sepertinya ini pengacara eyang.
"Sudah lama menunggu, Pak?" sapa Bapak menyalami.
"Belum kok, Pak."
"Ayo, silakan duduk."
Pengacara bernama Pak Surya itu lantas segera mengeluarkan map berwarna hijau.
"Baik 'lah, Pak Danu. Saya akan membacakan isi surat wasiat dari almarhum Ibu Saraswati Cokrodiningrat." Ia membuka map tersebut. Membacakan beberapa pesan awal dari almarhumah. Lalu, ke topik utama yaitu membacakan wasiat dari almarhumah Eyang.
"Saya langsung bacakan saja ya pesan dari almarhumah Ibu Saraswati." Pak Surya membetulkan duduknya. "Untuk cucuku Dewi Kania Suryoprawiro, eyang mewariskan sebuah pabrik batik dan dua buah toko di Pasar Beringharjo dan di Malioboro untuk kamu, Nduk. Eyang sudah mendengar dari bapakmu, selama ini kamu terus dihina oleh suamimu dan ibu mertuamu. Eyang harap kamu bisa mengurus dan mengembangkan pabrik dan toko kita. Supaya kamu bisa membalas perlakuan suami dan mertuamu."
Hatiku trenyuh mendengar surat yang ditulis almarhumah Eyang. Sepeduli itu beliau padaku.
"Demikian surat ini eyang buat dengan sesadar-sadarnya," lanjut Pak Surya. "Jaga diri kamu baik-baik ya, Nduk. Tunjukkan pada keluarga suamimu, kita bukan orang rendahan seperti yang mereka kira. Wassalam, Saraswati Cokrodiningrat."
Air mata semakin tak terbendung. Bapak ternyata sudah menceritakan permasalahan rumah tanggaku pada eyang. Sampai-sampai Eyang berpikir memberikan pabrik dan tokonya padaku, agar aku tak direndahkan Bang Arman dan keluarganya.
"Kamu dengar sendiri 'kan, Nduk, bagaimana kepedulian almarhumah eyang padamu. Urus 'lah toko dan pabrik itu dengan baik. Buktikan pada Arman dan ibunya yang sombong itu kalau kamu itu bukan perempuan sembarangan yang patut direndahkan," tukas Bapak. "Bapak akan membantu kamu sekuat bapak."
❣ HM ❣
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Nia bersiap untuk ke lokasi pabrik dan toko yang kini sudah menjadi miliknya.
Ketika motor distater, tiba-tiba ada tangan yang menahan stang motor matic-nya.
Sontak Nia refleks menoleh. "Bang Arman! Ngapain kamu di sini?"
"Kamu mau ke mana, Dek?"
"Bukan urusanmu!"
"Jelas menjadi urusanku. Kamu istriku, Dek."
"Sebentar lagi sudah bukan. Aku akan mengurus perceraian kita."
Tangan kekar lelaki itu berpindah mencengkeram pergelanganku.
"Kamu nggak bisa sesukanya saja minta cerai, Dek. Karena aku nggak mau cerai dari kamu," ujarkan bersikeras.
"Tapi aku mau cerai. Aku nggak mau hidup dengan lelaki yang terus bersembunyi di bawah ketiak ibunya. Cukup kamu siksa aku, Bang," ketusku.
"Lepaskan aku!" Aku meronta berusaha untuk melepaskan tangan dari cengkeraman Bang Arman. Alih-alih ia melepaskan, justru cengkeramannya semakin kuat.
"Aku nggak akan melepaskan tangan kamu, Dek. Asal kamu mau balik sama aku ke rumah kita." Rahangnya mengeras.
"Aku sudah bilang, aku mau cerai dari kamu, Bang. Aku nggak sudi kembali dengan laki-laki manja dan nggak berpendirian seperti kamu!"
Tangan Bang Arman semakin kuat meremas pergelangan tanganku. Rasanya panas dan perih.
"Tolooong ... Bapak, Ibu, tolong aku!"
"Ya Allah, kamu kenapa, Nduk?" Mendengar teriakanku, Ibu tergopoh-gopoh ke luar dengan tangan masih memegang sendok sayur. "Kamu, Arman? Ngapain di sini?"
"Aku mau menjemput istriku, Bu."
"Tapi untuk apa? Untuk kamu sakiti lagi? Oh, nggak akan saya izinkan!" tegas Ibu.
"Dia istriku, Bu. Seorang istri itu harus taat pada suami. Bahkan harus sujud di kaki suami. Kalian sudah nggak ada hak lagi atas Kania!"
"Heh, Arman, sadar diri dong, ngaca! Kamu itu suami seperti apa memangnya, sampai harus anakku sujud di kakimu, huh? Suami manja dan tak berpendirian sepertimu cocoknya dibuang ke sungai."
"Terserah! Yang penting aku mau membawa pulang istri dan anakku sekarang juga. Ayo, Nia, kamu bereskan pakaianmu dan Indah. Cepat!"
"Nggak mau! Aku nggak mau! Lepaskan, Bang!"
Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.
Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman.
❣ Bersambung ❣
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 6Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman."Aaarrrgggh ... Siapa yang menyiramku?" pekik Bang Arman geram."Saya! Kenapa, kamu mau marah sama saya?" sahut Bapak. Seketika Bang Arman terdiam. "Tapi, kenapa aku disiram, Pak?" "Masih untung kamu saya siram air biasa, bukan air comberan. Kenapa kamu memaksa anak saya, huh? Memangnya kamu siapa?""Saya suaminya. Saya yang lebih berhak atas Nia.""Lelaki seperti kamu itu nggak pantas disebut suami. Lepaskan anak saya! Atau saya teriakin kamu maling!" ancam Bapak.Perlahan cengkeraman di tanganku mengendur. Kuusap-usap bekas cengkeraman Bang Arman tadi. Masih terasa panas dan perih."Ngapain kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu kalau kami di Jogja?" tanya Bapak ketus."Kemarin aku ke Lembang. Tapi kalian nggak ada. Aku nanya ke tetangga. Katanya kalian
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 7*Flashback* POV ARMAN"Kamu yakin gadis itu kaya raya, Man?""Yakin, Bu. Soalnya, beberapa pekerja mengatakan begitu.""Bagus 'lah. Jangan mau sama perempuan miskin. Cuma bakalan nyusahin kita nanti, Man. Ya sudah, kapan kita ke sana.""Besok, Bu. Soalnya, aku malas pacaran lama-lama. Aku rasa dua bulan cukup 'lah. Usiaku sudah 40 tahun, Bu. Keburu makin tua aku nanti.""Oke, besok kita ke sana."❣Matahari bersinar cerah. Ibu, Kak Ima dan Ella sudah siap untuk bertemu dengan Nia, gadis yang tengah kupacari saat ini. Semoga saja Ibu mau menyetujui hubungan kami. Syarat kaya saja sudah cukup untuk mendapatkan restu dari Ibu.Dengan menggunakan mobilku, kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh dari area persawahan.Mobil tidak bisa masuk, karena itu kami harus berjalan kaki sedikit."Yang mana sih rumahnya, Man?" tanya Ella--adikku."Itu," tunjukku pada rumah mungil yang dikelilingi taman bunga kecil."Kamu nggak sala
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK!" Part : 8POV KANIABang Arman dan keluarganya berpamitan pulang. Raut wajah ibunya seperti tidak menyukaiku. Dan sepintas aku mendengar Bu Rahma mengatakan kami miskin. "Nduk."Aku yang tengah membereskan gelas-gelas bekas keluarga Bang Arman tadi menyahut, "Ya, Pak.""Keluarga Arman itu sombong sekali, Nduk. Bapak nggak suka."Tanpa menjawab, aku hanya berjalan ke belakang menyimpan gelas-gelas kotor ke tempat pencucian piring."Lalu, itu yang membuat Bapak berbohong soal sawah dan kebun teh pada mereka tadi?" Terdengar suara Ibu."Ya, aku mau melihat. Apa 'kah mereka tetap menerima Nia, setelah tahu Nia itu ternyata orang miskin.""Terus, kalau akhirnya Arman mundur, bagaimana, Pak?""Itu lebih baik. Dari pada anak kita menderita nantinya."❣ HM ❣Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktu di kebun teh. Cuaca hari ini cerah dan lumayan terik. Topi caping pun selalu menjadi teman setiaku untuk melindungi wajah dari panas matahari. Sedangkan
Part : 9 Agenda sidang kami hari ini masih sidang mediasi. Ada mediator yang menengahi kami untuk mencoba mendamaikan dan kembali mempersatukan. Namun keputusan sudah bulat untuk berpisah dari Bang Arman. Aku tidak bisa terus bertahan dalam rumah tangga, yang masih seratus persen dicampuri ibunya. Lima tahun aku dipaksa untuk berbakti pada ibunya, tanpa boleh berbakti pada orang tua sendiri. Selama hampir lima tahun pula, aku tak diizinkan bertemu orang tua, padahal jarak kota yang tak terlalu jauh. Jika ingat itu, hati ini melenguh perih. Lima tahun rasanya seperti lima abad tersiksa. Sampai tubuh ini bergidik ngeri membayangkan hal itu lagi. Aku terus bersikeras untuk bercerai, kendati mediator berusaha untuk meminta kembali berpikir akan keputusanku. Ia meminta agar mengingat ada Indah yang akan menjadi korban nantinya dari perceraian kami. Tapi, aku sudah tidak peduli. Sebagai seorang Ibu, aku harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Karena itu juga akan mempengaruhi ke Indah
KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! Part : 10 "Tapi, kenapa mereka bisa memiliki utang sebanyak itu, Mas?" tanyaku pada Mas Abimanyu. Ia melemparkan senyum sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. "Itu 'lah yang masih aku pertanyakan. Selama ini Pak Wahyu yang memegang toko. Pak Wahyu itu bapak mertuamu 'kan?" "Ya, benar. Dia bapak mertuaku. Dan kebun teh juga dia yang meng-handle." "Padahal, toko batik mereka itu cukup terkenal laris. Tapi, entah kenapa, mereka bisa sampai terlilit utang seperti sekarang ini." "Kebun teh mereka juga setahuku sangat maju sih, Mas. Tapi--" Kuaduk lemon tea dengan sedotan sambil berpikir keras. Selama ini permasalahan keluarga Bang Arman sama sekali tak kuketahui. Karena mereka selalu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Ternyata, mereka menyimpan sebuah berita besar. "Hei!" Aku tersentak kaget. "Ah, ya, Mas." "Mikirin opo?" "Nggak, Mas. Aku cuma berpikiran, kalau memang toko dan kebun teh itu maju, kenapa sampai bisa mereka terlilit utang b
"Alhamdulillah semua lancar ya, Nduk," ujar Ibu. "Alhamdulillah, Bu. Lega rasanya." "Bagus 'lah, Nduk. Nggak ada gunanya kamu mempertahankan rumah tangga dengan laki-laki labil seperti Arman itu," timpal Bapak. "Apa? Kamu mengatakan anak saya laki-laki labil?" celetuk Ibu tiba-tiba dari belakang. "Memang anakmu itu labil dan nggak punya pendirian 'kan? Salahnya di mana?" sahut Ibu. "Laki-laki seperti ini nggak bisa dijadikan kepala rumah tangga. Karena segala sesuatu urusan dalam rumah tangga, masih dicampuri sama ibunya. Seharusnya kamu jangan menikah, Arman. Tapi terus saja mene-tek pada ibumu." "Kurang a-jar banget kamu. Kamu pikir kamu siapa? Orang miskin saja sombong!" Lagi-lagi kata-kata itu yang ke luar dari mulutnya. "Itu emas yang kamu pakai, palingan juga imitasi 'kan?" Bu Rahma ini benar-benar keterlaluan. Dia tidak tahu, kalung emas yang melingkar di leher ibuku itu bukan emas biasa, melainkan emas murni. "Sudah, Bu. Jangan dilawan. Anggap saja orang gi-la," tukas Ba
KITA BELI KESOMBONSepertinya ini alasan kebun teh milik ibunya Bang Arman mengalami kebangkrutan dan toko mereka juga sampai berutang pada kami. Benar kata Mas Abi. Lelaki yang diam saja ketika ditekan istri, ternyata melawan dengan bermain belakang. Kuputuskan untuk menghampiri ayahnya Bang Arman. Gatal rasanya jika tidak mengganggu kemesraan ABG tua itu dengan kekasihnya. Sekalian membayar tagihan ke kasir. Perlahan aku berjalan menghampiri meja yang berada di tengah itu. Sengaja melintasi meja itu untuk memancing apakah Pak Wahyu menyadari ada aku yang mengawasinya. "Sayang, aku mau beli tas nanti sampai di mall ya," ucap gadis yang lebih cocok menjadi anaknya itu bernada manja. "Oke, Sayang. Apa sih yang aku berikan untuk kamu? Asal kamu bahagia dan jangan pernah meninggalkanku ya. Bisa ma-ti aku kalau kamu pergi." Mataku membelalak. Tak kusangka, pria tua bangka itu bucin juga ternyata. Padahal jika di depan istrinya, lagaknya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kuterusk
"Kamu sendiri 'kan tahu dan melihat sendiri bagaimana perlakuan ibunya Arman padaku. Aku ini bukan suami baginya. Melainkan tak lebih dari jongos saja. Puluhan tahun ibunya terus menekan dan menjadikanku layaknya alas kaki. Aku stres, Nia. Aku stres!" tuturnya. "Kenapa Bapak lebih memilih bertahan? Kenapa nggak ceraikan saja wanita sombong seperti dia?" Lelaki itu mengusap dahinya. "Aku ini sebatang kara, nggak punya keluarga. Kalau cerai dari ibunya Arman, aku jadi gembel lagi dan aku nggak mau itu terjadi!" Ternyata Pak Wahyu ini rela menjatuhkan harga dirinya demi harta. Sungguh tidak menyangka ada sosok pria seperti ini di dunia. Tapi, lelaki bertubuh kurus ini licik juga. Dikurasnya harta istri yang sudah menindasnya selama ini. Panggilan kembali terdengar. Dan aku sudah tidak ada waktu banyak lagi. "Pesawatku akan berangkat, Pak. Urusan ini bukan urusanku. Karena Bapak tahu sendiri 'kan aku dan Bang Arman sudah resmi bercerai." "Apa? Kamu dan Arman sudah bercerai?" "Bapak