Namanya adalah Rena, seorang mahasiswi tingkat akhir. Sekarang ia tengah berada di perpustakaan karena terlalu sibuk untuk mengurus tugas akhirnya meski hari mulai gelap. Ia tidak sendirian, seorang sahabat menemaninya dan mengurusi tugas akhirnya juga. Tidak ada yang berani untuk sendirian berada di tempat ini saat penjaga perpustakaan bahkan mengambil waktu istirahatnya sebentar.
“Kurasa ini sudah saatnya pulang. Ben telah menjemputku.” Bella berbicara padanya dengan jari yang tampak sibuk menekan layar datar ponselnya. Beberapa pesan memasuki ponselnya yang bergetar, diam-diam juga telah disadari Rena.
“Baiklah, ayo kita pulang. Aku tidak ingin mengganggu waktu kencan kalian.” Rena tersenyum dan menggoda sahabatnya itu. Sebelum ini Bella mengatakan kalau dia memiliki kencan hingga sangat bersemangat untuk mengurus tugas akhirnya.
“Jika saja kamu memiliki satu. Kita mungkin saja kencan bersama.” Bella berkata acuh seraya merapikan peralatannya.
Ia melewatkan reaksi yang Rena berikan. Rena sempat terdiam dengan senyum kecut yang singgah sebentar di wajahnya. Rena menyangkal dalam hati tentang apa yang Bella katakan karena kenyataannya hidupnya sudah bukan lagi milikinya.
Rena berasal dari sebuah panti asuhan di pinggiran kota. Ia terbiasa untuk hidup dalam kekurangan. Bangun pagi lalu menyiapkan selembar roti tawar yang diolesi sedikit selai nanas untuk adik-adiknya hingga kemudian bersekolah dan pulang saat hari hampir gelap karena bekerja. Ia seolah-olah mampu terus menjalani kehidupan seperti itu karena kasih sayang untuk satu sama lain. Tapi saat ia sudah harus mengenyam bangku pendidikan High School, ia tidak memiliki kemampuan ekonomi. Ia memilih menyerah namun takdir membuatnya dapat melanjutkan pendidikan karena diadopsi oleh keluarga yang ternyata malah banyak menyakitinya.
“Rena? Ada apa?” Suara lembut Bella menyadarkannya dari lamunan. Cepat-cepat ia menggeleng lalu segera merapikan peralatannya dengan cepat.
“Ayo! Ben mungkin saja sudah menunggu agak lama.” Rena segera mengajak Bella yang terlihat mulai khawatir padanya.
“Oh, ya! Bagaimana Kamu pulang? Aku tidak keberatan jika kamu menumpang mobil Ben.” Bella memang seseorang yang sangat baik. Dibalik tingkahnya yang terlihat mencintai kebebasan, dia adalah seseorang yang sangat tulus.
“Bukankah kalian akan berkencan? Sudah kukatakan kalau aku tidak akan mengganggu waktu kencan kalian.” Rena terkekeh kecil di akhir perkataannya. Sikap Bella seperti ini terkadang menjadi sedikit lucu. Dia memang bisa menjadi sangat memikirkan orang lain hingga melupakan permasalahannya sendiri.
“Tidak masalah. Kami bisa mengantarmu sebentar baru kemudian pergi berkencan,” ujar Bella acuh. Dia tidak masalah dan dia yakin kalau Ben juga berpikiran sama.
“Bus akan tiba tidak lama lagi. Tidak perlu khawatir. Kalian harus pergi dan bersenang-senang.” Kalimat yang disampaikan dengan senyuman lembut, Bella tidak mampu menolak.
.
.
.
“Kami pergi dulu. Hati-hati selama di jalan, Rena!” Bella berteriak padanya sementara mobil kekasihnya membawa wanita itu menjauh. Sedangkan Ben memberikan senyuman yang lembut.
Rena tersenyum kecil dengan tangan yang melambai. Saat mobil itu menghilang dari pandangan, ia kembali menjadi dirinya yang tenang. Senyum meluntur di wajahnya, tapi tidak juga membentuk wajah yang tidak menyenangkan.
Halte bus dengan lampu penerangan yang redup sebagian berada di pinggir jalan. Ia berhenti sebentar dan menunduk diam di antara orang-orang yang terlihat sibuk dengan diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan, memilih untuh melewatkan bus yang mungkin akan datang dalam kurang dari 15 menit lagi. Ia memilih berjalan menuju apartemen tempat ia menetap sendirian. Meski ia lelah, tapi pikirannya merasa lebih baik jika ia berjalan. Ia akan mampir sejenak di sebuah kafe milik sahabat karibnya, Amora.
Rena berhenti berjalan sebentar saat angin dingin menampar rambut coklat alaminya. Matanya yang juga berwarna coklat tapi lebih cerah menutup karena reflek. Sekarang mulai memasuki musim dingin yang membuat ia kembali mengingat kenangan lama saat ia diadopsi. Ia diadopsi saat musim dingin oleh dua orang wanita yang ia anggap malaikat, ibu dan kakak angkatnya. Mereka memang menjemputnya dengan wajah sedingin batu lalu menyeretnya untuk segera pergi hingga ia tidak sempat untuk sekedar berpamitan dengan kakak, adik dan ibu pengasuh di panti asuhan.
Dulu ia merasa beruntung dan bertanya-tanya untuk apa ia diadopsi saat ia sudah berumur belasan tahun. Tapi ia memutuskan untuk memendam perasaan itu dan menyimpannya dalam hati meski relung itu terasa seperti ingin pecah karena rasa ingin tahu yang besar. Ia hanya tidak ingin disakiti karena ibu dan kakak angkatnya tidak pernah bersikap mudah padanya. Ia biasa disakiti meski ia tidak melakukan kesalahan. Hingga ia tahu bahwa ia diadopsi karena ia harus menjalani perjodohan dengan putra sahabat ayah angkatnya. Ia harus menjalaninya karena saudari seumur dirinya yang harusnya menikah dengan pria yang dijodohkan itu meninggal dalam kecelakaan mobil bersama ayah angkatnya.
Tiba-tiba getaran ponsel di sakunya membuat Rena terkejut. Ia melamun sedikit terlalu lama. Ia segera meraih ponselnya dan memilih untuk segera menyahut panggilan itu.
“Iya, Ibu?” Rena menyahut dengan suara yang lembut. Tangannya yang lain mengeratkan jaket di tubuhnya.
“Kamu dimana? Segeralah pulang!” Ibu angkatnya mengeluarkan nada memerintah yang dingin. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukainya.
“Aku di jalan menuju apartemen. Sebentar lagi aku mungkin akan tiba.” Rena sebenarnya kebingungan tapi ia memilih untuk menurut tanpa pertanyaan agar ibu angkatnya tidak lebih membencinya.
“Orang-orang sudah menunggumu di sini. Segera kembali atau kamu akan berada dalam masalah. Kamu tidak lupa mengenai perjodohan itu, bukan?” Ibunya mulai mengancam dan Rena merasa ia mulai ketakutan. Wanita itu tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
“Baik, Bu. Aku segera pulang.” Rena menyahut seperti itu lalu kemudian sambungan diputuskan.
Perlahan Rena menghela napas berat. Ia tidak menyukai gagasan tentang perjodohan tapi ibunya tidak memberikannya pilihan lain. Rena tidak tahu siapa orang-orang yang ibunya maksud dan siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak. Tapi ia tidak bisa menolak. Ia hanya berharap bahwa pria yang kelak akan dinikahkan padanya adalah pria yang baik.
Rena memutar tubuhnya untuk kembali lagi ke halte bus yang tadi dia lewatkan. Bibirnya membentuk kuluman dan matanya sedikit menyipit. Gagal sudah keinginannya untuk sedikit bersantai di kafe Annora. Padahal rasa kopi susu yang hangat dan baunya yang harum ditemani beberapa piring kue manis sudah membayang di ujung hidung dan lidahnya. Godaan itu harus ditelan dulu bulat-bulat. Sekarang dia harus kembali dengan segera, menunjukkan setidaknya sekecil itu rasa bakti dan terimakasihnya pada mereka.
Meski itu karena perjodohan yang tidak dia sukai, dia hanya hanya harus menurut. Mengikuti keinginan mereka tanpa memilki hak untuk menolak. Tapi sebenarnya dia tengah tidak menyadari kalau sesuatu yang tidak pernah dia harapkan akan segera terjadi padanya.
“Maaf karena saya datang terlambat.” Rena memasuki apartemennya dengan gerak tubuh sedikit membungkuk sebagai bentuk permintaan maaf. Seharusnya ia datang lebih cepat dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk tamu-tamunya. Tapi untung saja ia gemar memasak sehingga cookies yang berada di atas meja makan bisa kakaknya sajikan untuk tamu-tamu mereka.“Tidak apa-apa. Nak, ayo bergabung bersama kami.” Sebuah suara yang lembut menyambutnya. Rena segera mengangkat wajahnya dan menemukan wanita paruh baya asing yang berwajah ramah.Rena segera tersenyum dan wanita itu juga menyahutnya dengan senyum yang lembut. Rena dengan cepat meletakkan bokongnya di sebuah kursi di dekat kakaknya saat menemukan seorang pria paruh baya menatap arlojinya beberapa kali. Sepertinya mereka memiliki pekerjaan yang penting.“Kami tidak akan lama karena pekerjaan menuntut kami untuk segera pergi. Kalian tentu tahu bahwa anak-anak ini akan segera menikah dan kurasa memperkenalkan mer
Dingin terasa menyerap masuk menusuk tulang tubuh ringkih yang masih terbaring di lantai tanpa alas. Matanya masih terpejam, masih pingsan setelah pukulan yang meninggalkan tanda biru kehitaman juga kemerahan di kulit putihnya. Tapi tidak terlalu lama kemudian, tubuh itu bergerak menggeliat lalu tersentak dan menggeliat lebih pelan dengan mata terpejam dan wajah berkerut saat merasa tubuhnya sangat sakit.“Oh... Astaga...” Bibirnya mendesis kecil.Matanya terbuka perlahan saat mendengar bebunyian mendesir. Dia pikir itu bunyi hujan, tapi rupanya hanya bebunyian kendaraan yang seperti menyatakan hari telah dimulai. Namun langit tampak gelisah, menampilkan gumpalan-gumpalan tebal keabuan dengan latar biru yang menyejukkan.“Bangun, Pemalas!”Rena sudah membuka matanya. Ia sudah benar-benar terbangun meski masih merasa pening. Tapi mimpi buruk dari bilik memori masih menghampirinya. Terasa menghantam kepalanya yang membuatnya kembali menutup mata dan mendesis
Bella berlari kencang dengan seruan-seruan kecil di tengah napasnya yang memburu. Lalu sesaat setelah tiba, Bella berteriak dramatis sampai terdengar serak. Ia hanya terkaget melihat apa yang terjadi di dalam setelah ia membuka pintu apartemen Rena dengan kasar. Rena sedang terduduk di lantai dengan wajah dan tubuh yang basah. Kepalanya menoleh dengan kaku dan matanya terlihat penuh dengan ketakutan. Bibirnya pucat dan gemetar. Napasnya terengah lalu kemudian ia berubah panik dengan ekspresi yang semakin mengerikan. “P-pergi sebelum kamu terluka. Pergi! “ Rena berteriak frustasi dengan warna wajah yang semakin tampak mati. Bella mulai menangis kemudian terhuyung ke arah Ben yang menangkapnya dengan sigap. “Tidak...” Bella menggeleng kuat dengan frustasi yang terdengar seperti racauan. Rena yang seperti itu, Rena yang terlihat terlalu menyedihkan. “Pergi!” Suara Rena terdengar lebih lirih. Dua manik cokelat gelapnya bergerak-gerak dengan ge
“Sudah lama menunggu?” Seorang perempuan bertanya dengan suara yang terdengar manja pada Luke. Suara itu mengejutkannya karena masih mengingat perkataan Luke sebelumnya.“A-ah! Ti-tidak juga.” Luke tertarik kembali ke dunia nyata, suara Jane berhasil menariknya. Jane, seseorang yang ia sebut kekasih.“Duduklah, Sayang.” Luke berusaha tersenyum dengan cepat, lalu ia membawa perempuan mungil itu duduk tepat di hadapannya. Apapun yang dia pikirkan, dia harus segera melupakannya. Jane telah berada di sini sekarang, dia hanya harus memberikan banyak perhatian.“Cepat sekali. Kukira akan perlu paling tidak 15 menit untuk ke sini.” Luke lalu menemukan Jane yang tertawa dengan manis.“Saat kamu menelepon, sebenarnya aku sedang berada di dekat sini.” Perempuan itu tersenyum cerah. Di dalam suaranya terselip keantusiasan.“Oh, ya? Benar begitu?” Luke menaikkan sebelah alisnya.“Iya. Aku bahkan sempat berbincang dengan Jeffrey di mobilmu.” Jane menunju
“Rena hanya shock, jangan khawatir. Tidak ada yang serius. Rena hanya perlu beristirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Segalanya akan membaik.” Helena berucap dengan suara yang terdengar tenang dan menyenangkan. Tangannya bergerak cepat menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada kakak laki-lakinya. Kemudian dia meraih jas dokternya yang tadi tidak dia kenakan lalu menyampirkannya di tangannya. Dia segera meraih tasnya dan merapikan apa saja yang harus dirapikan. “Baiklah, kami akan pastikan kalau Rena akan meminum obatnya dengan teratur.” Wajah Amora yang manis tampak lega. Di sisinya ada Bella yang juga terlihat tidak kalah lega. “Kalau begitu aku akan pergi. Aku di rumah sakit. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Helena tersenyum lalu berdiri perlahan. Amora adalah kekasih kakaknya. Bella adalah kekasih dari sahabat kakaknya. Sedangkan Rena akan menjadi istri dari seseorang yang ia dan kakaknya anggap sebagai saud
“Phoenix.” Ben menundukkan kepalanya patuh. Sedangkan Bella memandang Luke dengan tatapan yang tajam. Dia memang selalu tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sementara Luke sudah terlalu terbiasa mengabaikannya. “Ben, harus berapa kali aku katakan padamu? Jangan menundukkan kepala padaku, kamu adalah keluargaku.” Luke menepuk bahu Ben dengan hangat, membuat Ben mengangkat kepalanya. Sedikit keangkuhan di wajahnya retak saat dia menatap adik sepupunya itu. “Yang datang sekarang adalah Luke Armstrong yang penuh pengawalan. Kamu yang sekarang adalah Phoenix dan Phoenix tengah menjemput calon pendampingnya. Silakan, dia sudah siap.” Ben sekali lagi menunjukkan sikap patuhnya, memiringkan tubuh dan membiarkan Luke masuk. Dia sedang sangat formal, terlalu terbiasa meletakkan dirinya di kondisi ini hingga ia sudah terlalu hapal mengenai siapa peran yang Luke ambil di kondisi-kondisi tertentu. Luke mengangkat kepalanya untuk membuat sikap angkuh dan aur
Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai. “Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan. Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya. “Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah. “Sepertin
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik