Share

Kita yang Menjadi Kita
Kita yang Menjadi Kita
Penulis: Elle Ryu

Perkenalan Kita

Namanya adalah Rena, seorang mahasiswi tingkat akhir. Sekarang ia tengah berada di perpustakaan karena terlalu sibuk untuk mengurus tugas akhirnya meski hari mulai gelap. Ia tidak sendirian, seorang sahabat menemaninya dan mengurusi tugas akhirnya juga. Tidak ada yang berani untuk sendirian berada di tempat ini saat penjaga perpustakaan bahkan mengambil waktu istirahatnya sebentar.

“Kurasa ini sudah saatnya pulang. Ben telah menjemputku.” Bella berbicara padanya dengan jari yang tampak sibuk menekan layar datar ponselnya. Beberapa pesan memasuki ponselnya yang bergetar, diam-diam juga telah disadari Rena.

“Baiklah, ayo kita pulang. Aku tidak ingin mengganggu waktu kencan kalian.” Rena tersenyum dan menggoda sahabatnya itu. Sebelum ini Bella mengatakan kalau dia memiliki kencan hingga sangat bersemangat untuk mengurus tugas akhirnya.

“Jika saja kamu memiliki satu. Kita mungkin saja kencan bersama.” Bella berkata acuh seraya merapikan peralatannya.

Ia melewatkan reaksi yang Rena berikan. Rena sempat terdiam dengan senyum kecut yang singgah sebentar di wajahnya. Rena menyangkal dalam hati tentang apa yang Bella katakan karena kenyataannya hidupnya sudah bukan lagi milikinya.

Rena berasal dari sebuah panti asuhan di pinggiran kota. Ia terbiasa untuk hidup dalam kekurangan. Bangun pagi lalu menyiapkan selembar roti tawar yang diolesi sedikit selai nanas untuk adik-adiknya hingga kemudian bersekolah dan pulang saat hari hampir gelap karena bekerja. Ia seolah-olah mampu terus menjalani kehidupan seperti itu karena kasih sayang untuk satu sama lain. Tapi saat ia sudah harus mengenyam bangku pendidikan High School, ia tidak memiliki kemampuan ekonomi. Ia memilih menyerah namun takdir membuatnya dapat melanjutkan pendidikan karena diadopsi oleh keluarga yang ternyata malah banyak menyakitinya.

“Rena? Ada apa?” Suara lembut Bella menyadarkannya dari lamunan. Cepat-cepat ia menggeleng lalu segera merapikan peralatannya dengan cepat.

“Ayo! Ben mungkin saja sudah menunggu agak lama.” Rena segera mengajak Bella yang terlihat mulai khawatir padanya.

“Oh, ya! Bagaimana Kamu pulang? Aku tidak keberatan jika kamu menumpang mobil Ben.” Bella memang seseorang yang sangat baik. Dibalik tingkahnya yang terlihat mencintai kebebasan, dia adalah seseorang yang sangat tulus.

“Bukankah kalian akan berkencan? Sudah kukatakan kalau aku tidak akan mengganggu waktu kencan kalian.” Rena terkekeh kecil di akhir perkataannya. Sikap Bella seperti ini terkadang menjadi sedikit lucu. Dia memang bisa menjadi sangat memikirkan orang lain hingga melupakan permasalahannya sendiri.

“Tidak masalah. Kami bisa mengantarmu sebentar baru kemudian pergi berkencan,” ujar Bella acuh. Dia tidak masalah dan dia yakin kalau Ben juga berpikiran sama.

“Bus akan tiba tidak lama lagi. Tidak perlu khawatir. Kalian harus pergi dan bersenang-senang.” Kalimat yang disampaikan dengan senyuman lembut, Bella tidak mampu menolak.

.

.

.

“Kami pergi dulu. Hati-hati selama di jalan, Rena!” Bella berteriak padanya sementara mobil kekasihnya membawa wanita itu menjauh. Sedangkan Ben memberikan senyuman yang lembut.

Rena tersenyum kecil dengan tangan yang melambai. Saat mobil itu menghilang dari pandangan, ia kembali menjadi dirinya yang tenang. Senyum meluntur di wajahnya, tapi tidak juga membentuk wajah yang tidak menyenangkan.

Halte bus dengan lampu penerangan yang redup sebagian berada di pinggir jalan. Ia berhenti sebentar dan menunduk diam di antara orang-orang yang terlihat sibuk dengan diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan, memilih untuh melewatkan bus yang mungkin akan datang dalam kurang dari 15 menit lagi. Ia memilih berjalan menuju apartemen tempat ia menetap sendirian. Meski ia lelah, tapi pikirannya merasa lebih baik jika ia berjalan. Ia akan mampir sejenak di sebuah kafe milik sahabat karibnya, Amora.

Rena berhenti berjalan sebentar saat angin dingin menampar rambut coklat alaminya. Matanya yang juga berwarna coklat tapi lebih cerah menutup karena reflek. Sekarang mulai memasuki musim dingin yang membuat ia kembali mengingat kenangan lama saat ia diadopsi. Ia diadopsi saat musim dingin oleh dua orang wanita yang ia anggap malaikat, ibu dan kakak angkatnya. Mereka memang menjemputnya dengan wajah sedingin batu lalu menyeretnya untuk segera pergi hingga ia tidak sempat untuk sekedar berpamitan dengan kakak, adik dan ibu pengasuh di panti asuhan.

Dulu ia merasa beruntung dan bertanya-tanya untuk apa ia diadopsi saat ia sudah berumur belasan tahun. Tapi ia memutuskan untuk memendam perasaan itu dan menyimpannya dalam hati meski relung itu terasa seperti ingin pecah karena rasa ingin tahu yang besar. Ia hanya tidak ingin disakiti karena ibu dan kakak angkatnya tidak pernah bersikap mudah padanya. Ia biasa disakiti meski ia tidak melakukan kesalahan. Hingga ia tahu bahwa ia diadopsi karena ia harus menjalani perjodohan dengan putra sahabat ayah angkatnya. Ia harus menjalaninya karena saudari seumur dirinya yang harusnya menikah dengan pria yang dijodohkan itu meninggal dalam kecelakaan mobil bersama ayah angkatnya.

Tiba-tiba getaran ponsel di sakunya membuat Rena terkejut. Ia melamun sedikit terlalu lama. Ia segera meraih ponselnya dan memilih untuk segera menyahut panggilan itu.

“Iya, Ibu?” Rena menyahut dengan suara yang lembut. Tangannya yang lain mengeratkan jaket di tubuhnya.

“Kamu dimana? Segeralah pulang!” Ibu angkatnya mengeluarkan nada memerintah yang dingin. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukainya.

“Aku di jalan menuju apartemen. Sebentar lagi aku mungkin akan tiba.” Rena sebenarnya kebingungan tapi ia memilih untuk menurut tanpa pertanyaan agar ibu angkatnya tidak lebih membencinya.

“Orang-orang sudah menunggumu di sini. Segera kembali atau kamu akan berada dalam masalah. Kamu tidak lupa mengenai perjodohan itu, bukan?” Ibunya mulai mengancam dan Rena merasa ia mulai ketakutan. Wanita itu tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.

“Baik, Bu. Aku segera pulang.” Rena menyahut seperti itu lalu kemudian sambungan diputuskan.

Perlahan Rena menghela napas berat. Ia tidak menyukai gagasan tentang perjodohan tapi ibunya tidak memberikannya pilihan lain. Rena tidak tahu siapa orang-orang yang ibunya maksud dan siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak. Tapi ia tidak bisa menolak. Ia hanya berharap bahwa pria yang kelak akan dinikahkan padanya adalah pria yang baik.

Rena memutar tubuhnya untuk kembali lagi ke halte bus yang tadi dia lewatkan. Bibirnya membentuk kuluman dan matanya sedikit menyipit. Gagal sudah keinginannya untuk sedikit bersantai di kafe Annora. Padahal rasa kopi susu yang hangat dan baunya yang harum ditemani beberapa piring kue manis sudah membayang di ujung hidung dan lidahnya. Godaan itu harus ditelan dulu bulat-bulat. Sekarang dia harus kembali dengan segera, menunjukkan setidaknya sekecil itu rasa bakti dan terimakasihnya pada mereka.

Meski itu karena perjodohan yang tidak dia sukai, dia hanya hanya harus menurut. Mengikuti keinginan mereka tanpa memilki hak untuk menolak. Tapi sebenarnya dia tengah tidak menyadari kalau sesuatu yang tidak pernah dia harapkan akan segera terjadi padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status