LOGIN“Bawa tas dan buka pintu mobil, Ma!” Gunawan langsung mengangkat Adelia sambil memerintahkan istrinya. Dia berusaha menenangkan diri meski khawatir sekali melihat keadaan Adelia yang sudah tidak sadarkan diri. Lelaki itu berkali-kali menghela napas panjang agar bisa fokus mengemudikan mobil. Sesekali, dia melihat keadaan anaknya yang berbaring di kursi tengah bersama Fatma.“Ammar tidak bisa dihubungi sejak tadi sore.” Fatma menjelaskan tanpa diminta. Dia tahu Gunawan tentu bertanya-tanya, tapi lelaki itu menahan diri karena melihat dia yang panik sekali. “Ya, Allah, kalau ada dosa dan kesalahan kami di masa lalu, jangan timpakan balasannya pada anak dan cucu kami. Biar kami yang menanggungnya sendiri.” Fatma mencium kening Adelia yang tak sadarkan diri di pangkuannya. Hatinya patah melihat anaknya melewati masa kehamilan yang demikian berat.“Ammar ….”“Berhenti menyebut nama Ammar!” Gunawan mengembuskan napas kencang saat tanpa sengaja membentak istrinya. Lelaki itu menatap spion te
“Ganteng anak kita, Yang, wajahnya mirip kamu semua kecuali matanya. Berarti, kalau dia besar nanti, wajahnya adalah kamu versi laki-laki. Ah … mau kamu jadi perempuan atau laki-laki, semoga kita tetap berlainan jenis kalau memang ada kehidupan lain, Yang. Mau di kehidupan manapun, aku akan berdoa semoga kita tetap berjodoh nantinya.”Ammar mencengkram rambutnya erat hingga kulit kepalanya terasa sakit mengingat kebahagiaan mereka saat Riko lahir. Lengkap sudah semua. Dua anak sepasang yang sehat. Pekerjaan bagus dan mereka juga saling mencintai. Perasaan itu bahkan tidak berkurang sedikitpun meski sudah bertahun-tahun. Tidak pernah ada definisi bosan meski sesekali mereka ada cekcok kecil juga.“Yang? Kalau nanti Rika dan Riko sudah besar dan bisa ditinggal-tinggal, kita jalan-jalan berdua yuk? Ke pantai atau ke puncak gitu. Aku mau ngerasain pacaran halal. Habisnya begitu menikah, langsung hamil Rika. Kita langsung fokus ke anak. Apalagi sejak ada Riko, perhatian kita hampir sepenuh
Apalagi, hubungannya dengan Ammar juga belum membaik saat ini. Mereka terlibat perang dingin dan saling diam, nyaris tidak pernah ngobrol lagi. Adelia benar-benar merasa sendiri di kehamilan pertamanya.“Sabar-sabar ….” Fatma membantu Adelia berbaring di kasur. Dia memijat pinggang anaknya pelan. Tubuh Adelia ringkih dan kurus sekali. Anaknya itu muntah setiap kali ada makanan dan minuman masuk. Jarang sekali Adelia bisa makan dengan nikmat. Setelah pendarahan kemarin, Adelia sudah dua kali masuk IGD, diinfus karena dehidrasi kekurangan asupan makanan dan minuman.“Bawaan hamil itu beda-beda. Semakin besar kehamilan, nanti kamu semakin sehat.” Fatma tersenyum saat bertatapan dengan Adelia. “Mungkin dari keturunan juga. Dulu, saat hamil kamu, Mama juga bedrest total. Baru setelah memasuki trimester kedua, usia kandungan sudah dua puluhan minggu, baru enak makan. Semangat. Ingat kamu membawa amanah nyawa di rahimmu. Banyak-banyak berdoa yang baik karena doa Ibu hamil insya Allah didenga
"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltahaa 'alaih."Tubuh Zahra masih sedikit gemetar saat merasakan tangan Indra memegang ubun-ubunnya sambil membacakan doa. Wanita itu menghela napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri. Tidak pernah dia sangka kalau hari ini dia akan menjadi seorang istri lagi. Setelah Indra selesai membaca doa, dia mengangkat kepala. Zahra memejamkan mata saat Indra mengecup keningnya. Aduh … baru dicium kening saja rasanya Zahra sudah tersetrum ke seluruh tubuh. Bulu-bulu halus di sekitar bibir Indra terasa menggelitik kulitnya.“Apa bisa dipanggil tetangga sekitar untuk ikut merasakan kebahagiaan hari ini, Om? Eh … Pak?” Indra terkekeh saat masih merasa rikuh mengganti panggilan pada Zaldy. “Tadi saya sudah memesan katering, sekitar satu jam lagi sampai disini katanya. Pas lah untuk jam makan siang kalau ada tetangga yang sedang di rumah.” Sebenarnya, Indra sudah memesan kate
Zaldy mengangguk mantap. Dia sudah yakin sepenuh hati untuk melepas Zahra pada Indra. Zaldy merasa tenang karena anaknya mendapatkan pengganti yang tidak kalah baiknya dengan suami pertamanya dulu.“Om titip Zahra, Nak Indra. Dia pernah patah hati saat sedang mencintai sepenuh hati. Zahra pernah terluka saat cintanya sedang berbunga. Sakit itu adalah kehilangan ketika semua sedang dalam keadaan baik-baik saja. Masih beruntung Zahra tidak gila waktu itu meski terkadang tidak nyambung saat diajak bicara.” Zaldy mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Jaga dia. Jangan torehkan luka untuk kedua kalinya di hati Zahra.”“Insya Allah saya akan menjaga amanah kepercayaan dan tanggung jawab yang Om berikan.” Indra mengangguk mantap, meski dia tidak mengerti sepenuhnya apa maksud Zaldy. Indra memang tidak mencari tahu tentang penyebab perceraian Ammar dan Zahra. Dia tidak mau masa lalu mempengaruhi pandangannya pada mereka. Yang Indra tahu, dia mengenal Ammar dan Zahra sebagai orang baik saat ini
Ammar memejamkan mata. Lelaki itu menghela napas panjang. Tidak mungkin dia mundur untuk pulang. Indra dan Zahra sudah melihat mobilnya. Dia kadung parkir di halaman. Setelah merasa bisa mengendalikan diri, Ammar keluar dari mobil. Dia memaksakan senyum saat berjabat tangan dengan Indra. Tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga, tapi Ammar berusaha menegarkan hati agar bisa berdiri tegak di hadapan Zahra dan Indra.“Anak-anak mana? Aku … mau izin ajak mereka main keluar saja biar tidak mengganggu disini.” Ammar memaksakan tawa saat Indra menepuk bahunya sambil terkekeh. “Tidak lama, paling makan di mall sama main di playground. Sebelum maghrib insya Allah sudah di rumah lagi.” Ammar menoleh ke arah Zahra. Dia berusaha keras menahan pandangan agar tidak melirik ke arah cincin yang melingkar di jari manis mantan istrinya.“Rika dan Riko tidur, Mas.” Zahra menghela napas panjang. Dia sedikit salah tingkah saat Ammar tidak bisa menahan pandangan dan menatap cincin berhias permata zamrud di j







