“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”
Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?
Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via w******p. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!
Dia menyentuh pelan layar ponselnya, hanya untuk memastikan bahwa bahkan sampai sekarang tidak ada balasan terhadap pertanyaannya itu. Pada dasarnya, kekasihnya memang tidak berniat memberikan penjelasan apapun dan hanya ingin memutus jalinan mereka yang bahkan sudah tertaut tujuh tahun lamanya itu.
Arina menuang lagi cairan ke dalam gelasnya. Entah sudah berapa banyak yang dia tenggak dan berharap dapat meredakan kegaduhan dalam hati dan kepalanya. Namun sayang, bahkan mabuk pun sepertinya tidak bisa jadi solusi.
Bibirnya menyunggingkan senyum miring, tertawa miris setelah mengingat kembali bagaimana lima jam lalu dia menyalahkan dirinya sendiri atas keputusan sepihak yang kekasihnya ambil ini. Arina berlari dan mengemudi gila-gilaan dari kampus menuju apartemen sementara tempat Jefan—kekasihnya sejak di masa kuliah itu tinggal. Mengusap air mata sembari terus menerus menghubungi nomor Jefan seperti orang gila. Dia bahkan diblokir lebih awal.
Hubungan mereka ini tak bisa dia sepelekan. Arina menghabiskan masa-masa mudanya dengan menjadi kekasih dari seorang Jefan Gutomo dan menghadapi banyak hal bersama. Keluarga sudah sama-sama saling kenal dan bahkan sudah ada percakapan menuju hubungan yang lebih serius. Tapi bagaimana bisa Jefan justru memutuskannya secara sepihak tanpa ada penjelasan apapun begini?
Memutar kembali memori dimana ia telah sampai di apartemen Jefan dengan nafas terengah dan hati yang minta penjelasan. Tapi sampai disana, ia justru harus mendapati dan mendengarkan percakapan gila yang sama sekali tidak pernah dia duga sebelumnya.
“Aku nggak akan buang-buang waktu lagi dengan wanita membosankan seperti dia! Wanita yang hanya pintar secara akademis tapi bahkan tidak bisa berciuman dengan benar!”
Sebuah kalimat pedas yang entah mengapa Arina yakini ditujukan padanya.
Ranjang Jefan berdecit. Diatasnya dua tubuh polos sepasang insan tengah beradu saling memuja kenikmatan. Arina tanpa sadar mematung, pantulan dari sebuah cermin mahal disana sudah cukup membuatnya melihat dengan jelas siapa yang ada disana dan apa yang tengah dilakukan.
Wanita yang tengah bergerak diatas tubuh kekasihnya itu kembali melenguh dan menimpali, “Jadi sekarang kita sudah tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi? Maksudnya, aku akan segera menjadi Nyonya Jefan Gutomo, kan?”
Jefan yang berada dibawahnya menggeram lagi, “Tentu. Posisi itu memang seharusnya sejak awal milik kamu. Aku sudah mengatakannya bahkan saat malam pertama kita tiga tahun yang lalu, kan?”
Arina menggigit bibirnya sendiri, apa yang dia dengar ini? Kekasihnya dan wanita diatas ranjang yang dengan berat hati masih dia sebut sebagai sahabatnya ternyata berselingkuh dibelakangnya selama tiga tahun ini? Mengapa Arina sama sekali tidak menyadarinya? Apakah dia benar-benar sebodoh itu?
“Kamu yakin nggak akan menyesal meninggalkan dia demi aku?”
Jantung Arina berdegub lebih kencang daripada biasanya. Kakinya gemetar sepertinya tak sanggup mendengarkan jawaban menyakitkan dari Jefan. Namun entah mengapa dia masih diam membatu disana.
“Ck! Wanita egois seperti dia yang mengagung-agungkan prestasi akademisnya. Bertingkah seolah sulit didapatkan dan meletakkan dagunya tinggi-tinggi. Dia hanyalah tropi yang kuraih dari hasil penasaranku dan rasa tertantang untuk memiliki seseorang yang kelihatan tak butuh siapa-siapa itu. Egonya terlalu tinggi dan bahkan tidak bisa bersikap manis kepada lelaki. Siapa yang suka tipe wanita kolot dan kaku seperti dia? Aku memacarinya hanya karena dia kelihatan sulit diraih.”
“Bajingan!” Umpatnya pelan.
Arina menandaskan cairan yang terasa bak membakar tenggorokan itu dengan cepat. Wanita dua puluh tujuh tahun itu lantas bangkit dan berjalan sempoyongan keluar dari area yang berisik ini.
Arina tidak ingat pukul berapa saat ini, tapi yang pasti sudah masuk tengah malam dan teman-temannya yang tadinya juga disini bersamanya sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Arina merasa kelelahan. Bahkan kakinya terasa seperti jelly yang menumpu pada jalanan yang dia tapaki saat sedang berusaha keluar dari tempat yang bahkan sebelumnya tak pernah terpikirkan akan dia sambangi begini.
Melintasi lorong, Arina sempat terhuyung saat dia menabrak tubuh keras yang entah milik siapa itu. Syukurnya pinggangnya dengan cepat ditahan sehingga Arina tidak sampai harus mendarat mencium lantai.
“Anda baik-baik saja?”
Arina bahkan tidak dapat membuka matanya dengan jelas saat suara dalam tersebut itu terdengar sangat dekat dan memastikan keadaannya. Wajah lelaki itu tidak jelas terlihat dari penglihatannya, namun aroma lelaki itu jelas membangkitkan sisi lain dalam dirinya.
“Aku nggak akan menghabiskan waktu dengan wanita membosankan seperti dia. Pintar secara akademis tapi bahkan nggak bisa berciuman dengan benar.”
Kalimat itu lagi-lagi menyerang kepalanya. Wanita itu menyeringai tipis. Alih-alih menjawab, dia justru dengan santai mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki bertubuh tinggi dengan wajah samar tersebut. Bahkan entah punya kekuatan darimana untuk menyudutkan lelaki tersebut ke tembok.
“Hi, tolong biarkan aku memastikan sesuatu,” ujarnya lantas reflek menjinjit kakinya dan menyatukan bibir mereka.
Entah pengaruh alkohol atau bukan, yang jelas Arina mengecup, melumat dan bahkan menggigit pelan bibir lawan mainnya yang hanya diam saja itu. Arina bahkan tidak ragu untuk menekan ciuman tersebut agar makin dalam dan intens. Mengabaikan panas di sekujur tubuh mereka yang mulai membara.
Semakin lama semakin dalam hingga hampir saja orang asing itu ikut membalas kecupan panasnya. Tapi sebelum itu terjadi, Arina dengan setengah kesadarannya ingat untuk melepaskan diri. Bahkan masih ingat untuk menghapus sisa lipstik yang belepotan di sudut-sudut bibirnya.
Dia tersenyum sembari memegang kepalanya yang semakin pening, “Aku tidak seburuk itu, kan? I am not a bad kisser!”
Akhir pekan minggu ini Arina akhirnya benar-benar menginjakkan kaki ke rumah orang tuanya setelah menyetir selama kurang lebih dua jam. Dua hari lalu via telepon, Arina sudah berjanji untuk berkunjung, terlebih dia mungkin sudah tidak pulang ke kampung halamannya ini selama kurang lebih dua bulan. Memilih untuk menempuh pendidikan dan bekerja di kota yang lebih besar, Arina tinggal di sebuah rumah sederhana yang dia bersama orang tuanya beli lima tahun yang lalu. Papa Arina berpikir akan lebih baik untuk membeli sebuah rumah dengan harga masuk akal di daerah tersebut sebab Arina kuliah dan bekerja disana. Selain itu, adik- adik sepupunya juga bisa tinggal disana nantinya kelak mereka kuliah atau bekerja. Biaya sewa indekos atau apartemen bagi keturunan mereka setidaknya tidak akan jadi masalah kedepannya. Begitu harapannya.Yah, lima tahun keluar dari rumah orang tuanya, Arina justru perlahan berubah jadi orang tua. Sebagai sulung di generasi cucu keluarga besarnya, Arina menjadi ibu
"Jangan pernah melarang saya untuk mendekati kamu. Sederhana, bukan?"Arina meneguk kasar ludahnya sendiri kala mendengar permintaan Askara yang tak terdengar masuk akal baginya. Apapun alasan yang Askara sebutkan tadi, sama sekali tak mengubah persepsinya bahwa lelaki dihadapannya mungkin hanya tengah berusaha bermain-main dengannya. Apalagi seolah dengan memanfaatkan kejadian malam itu yang jelas berada diluar kendali dan kesadaran Arina. Arina mendengus, nafasnya jadi tak beraturan sebab mulai tersulut emosi. Bukankah ini berarti Askara berusaha untuk memanfaatkan dirinya sekarang? Arina merasa seolah-olah dia diperas dengan diperlakukan seperti ini. "T-tunggu dulu! Saya bukan wanita seperti yang Anda pikirkan," jawabnya impulsif.Satu alis Askara tergerak naik, "Menurutmu apa yang saya pikirkan tentang kamu memangnya?" Tanya Askara balik.Lidah Arina kelu, seolah keberaniannya tadi menciut dan bahkan memudar dengan mudahnya. Sekarang dia sama sekali tak punya jawaban yang dia ra
Askara menahan senyumnya melihat gestur perempuan yang entah sudah berapa kali singgah dalam mimpi-mimpi indahnya beberapa malam belakangan ini. Netra indah itu membulat dengan sempurna, pun bibir mungilnya yang menganga kala mendengar ucapan Askara yang harus dia akui cukup berbahaya itu. Sejujurnya, jangan tanya apakah Askara bahkan berani melakukan reka ulangnya itu. "Pak Askara!" Arina mundur selangkah dengan dua tangan mengapung di udara. Entah apa yang tengah gadis itu lakukan. Tapi di mata Askara, Arina hanya nampak menggemaskan.Mereka berdua kemudian terdiam sesaat, sebelum akhirnya Askara kembali membuka suara. "Jadi, apa pilihan kamu?"Arina menelan ludahnya sendiri dengan gugup. Wanita itu mulai mendapatkan kembali potongan bayangan yang justru kini membuatnya kikuk sendiri. Sejujurnya, dia bahkan belum bisa mempercayai Askara seratus persen. Jelas sekali terlihat dari gesture tubuhnya. Wanita itu bahkan ragu semua potongan itu adalah nyata.Tapi akhirnya, wanita dengan
Sebuah desiran halus menjalari tubuhnya. Terutama sebab netra yang saling tenggelam seolah menjajah kedalaman hati masing-masing berpadu dengan genggaman yang terasa menyengat. Suara dalam Askara yang melantunkan sebuah kalimat tanya memperparah kinerja otak Arina yang serasa melambat. Apa maksudnya?Seingatnya, ini adalah kali kedua Askara menyebutkan kalimat ini. Pertama saat mereka bertemu di kampus. Namun saat itu Arina tidak ambil pusing. Terlebih Askara seperti tidak juga memperpanjangnya. Tapi pria itu kali ini menyebutkannya lagi dan kali ini dari tatapannya seolah meminta sebuah jawaban. Senyumnya tipis, seperti menyimpan rahasia kecil yang baru akan ia buka. “Kamu pernah kesini karena tempat ini adalah tempat pertama kali kita bertemu.”Alisnya terangkat, Arina menatap Askara dengan ragu, tapi juga tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum lebih keras. Lorong itu memang familiar—tapi bukan hanya karena ruangannya, melainkan karena getaran yang kini kemba
Askara dan Arina baru saja melangkah masuk ke dalam restoran Ciel Bleu, yang berada di lantai atas sebuah hotel bintang lima di pusat kota. Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menyatu sempurna dengan panorama malam kota yang terlihat jelas dari jendela kaca besar di sisi restoran. Aroma sedap dari dapur terbuka langsung menyambut mereka begitu tiba di area meja yang telah dipesan sebelumnya.Arina menoleh sejenak, matanya menyapu sekeliling ruangan yang tampak familiar. Ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. Beberapa kesempatan lalu, ia sempat menghadiri acara bridal shower sahabatnya, di dekat tempat ini. Private room di lantai atas yang disulap seperti sebuah Pub untuk pesta lajang terakhir bagi kawannya yang segera dipinang. Tempat dan waktu dimana dia saat itu merasa frustasi akan masalah hubungannya yang kandas. Kala itu, suasana penuh gelak tawa dan kilatan kamera. Berbeda dengan malam ini, yang justru terasa lebih sunyi meski penuh orang.“Kenapa pilih restoran in
Arina sempat membatu. Dalam hati merutuki setiap kalimat yang meluncur dengan ringan dari mulut Askara. Bisa-bisanya laki-laki itu mengucapkan kalimat seperti itu dengan nada super santai seolah tanpa beban sama sekali.Bagaimana bisa Arina menganggapnya serius? Ekspresi Askara hampir selalu datar, dan dia juga justru terkesan seperti seseorang yang terbiasa bermain kata-kata. Sulit membedakan mana yang tulus mana yang bukan. Wajar bukan kalau Arina trust issue dan merasa ini hanya bagian dari permainan biasa oleh seorang Askara Danendra? Sempat terpikir di benaknya, mungkin bukan Askara yang terkesan terlalu dalam tanda kutip friendly, tapi bisa saja dirinya sendiri yang terlalu perasa. Dia juga mungkin tipikal kaku dan tidak begitu luwes menanggapi candaan sosial semacam ini. Sebuah kesenjangan pemikiran, huh?!Tak mau berlarut-larut, Arina akhirnya mengembalikan fokusnya, "Jadi, apa yang perlu kita bahas, Pak Askara?" Tanyanya to the point.Askara masih meninggalkan dua tangannya