Usai mengajar, Arina memutuskan untuk langsung menuju hotel tempat acara bridal shower diadakan semalam. Berangkat menggunakan transportasi online, menjemput mobil kesayangan yang terpaksa bermalam sendirian di hotel sebab terpaksa dia tinggalkan akibat terlalu mabuk. Brio putih kesayangan yang berhasil dibeli lunas dua tahun lalu menggunakan tabungannya sejak SMA dari hasil menang lomba dan aneka pekerjaannya yang palugada ditambah hidup sedikit lebih berhemat.
Arina lebih sering membawa bekal, tidak membeli es kopi premium setiap hari, dan tidak menghabiskan uangnya demi membuka table atau mentraktir teman-temannya. Arina juga jarang jalan-jalan ataupun belanja outift sehingga pakaiannya sekarang murni karena upaya kerasnya untuk mix and match pakaian basic yang dia miliki dengan baik.
Arina duduk di kursi belakang dengan pandangan menerawang keluar jendela. Samar-samar, ia teringat tawa riuh, musik menggelegar, dan lampu-lampu temaram yang mengisi pesta semalam. Belum lagi minuman yang tak hentinya mengalir, membuatnya kehilangan kendali lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Oh dan juga, mana bisa dia melupakan hal yang membuatnya frustasi hingga hampir hilang kesadaran akibat alkohol?
“Rin, aku harap kamu nggak salah paham tentang apapun.Tapi sekarang, Jefan sudah bersamaku. Aku harap kamu mengirimkan doa baik untuk hubungan kami berdua.”
Arina berdecak dengan sebuah senyum remeh saat membaca kembali pesan masuk dari Nindy beberapa saat lalu. Wanita itu sepertinya bermain sok polos seolah tak punya kesalahan apapun, kan? Benar-benar tidak tahu malu.
Jelas sekali mereka berselingkuh, tapi tidak mau mengaku. Selain itu, ada etika pertemanan tentang mengencani bekas teman, kan?
Sejujurnya, bisakah dia menganggap Nindy sebagai teman atau bahkan sahabatnya? Mereka sempat dekat—khususnya saat masa Sekolah Menengah Pertama, tapi setelah beberapa kejadian...sepertinya ada jarak kasat mata yang memisahkan mereka.
Sialnya, Arina harus kembali menelan pil pahit yang sama, atau mungkin jauh lebih parah dari sebelumnya?
Mereka berasal dari daerah yang sama dan kebetulan juga punya hubungan keluarga jauh. Sekolah di tempat yang sama dan cukup akrab untuk beberapa kali kembali nongkrong bersama. Tapi, jelas ada sesuatu dalam diri Nindy yang membuat Arina sudah cukup berjarak dengannya selama ini. Arina hanya tidak menyangka bahwa kepercayaannya benar-benar kembali dikhianati entah untuk keberapa kalinya. Sepertinya mereka memang tidak bisa berteman lagi, kan?
Tunggu saja sampai keluarga besarnya tahu, Arina sudah berat sekali membayangkan cercaan apalagi yang akan dia terima, terutama dari tante-tantenya yang luar biasa cerewet. Gagal menikahi kekasih yang dipacarinya selama tujuh tahun, direnggut orang yang familiar pula. Lengkap sudah, Arina jelas tidak akan siap pulang ke daerah kelahirannya dalam waktu dekat.
Saking beratnya isi pikiran, Arina sampai tidak sadar bahwa ia telah sampai di lokasi tujuan. Driver sempat memanggilnya beberapa kali sampai akhirnya wanita dua puluh tujuh tahun itu bisa kembali lagi pada peradaban dunia nyata.
Begitu tiba di lobi hotel, Arina segera melangkah menuju area parkir. Udara sore yang hangat menyapa kulitnya saat ia berjalan melewati deretan kendaraan. Jantungnya sempat berdebar takut kalau mobilnya sudah ditarik atau berpindah tempat. Namun, beberapa langkah kemudian, ia mendapati mobilnya masih terparkir di sudut yang sama.
Arina menghela napas lega, seakan beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, aroma interior yang familiar menyambutnya. Sekilas, ia menatap bayangannya di kaca spion. Wajahnya sedikit lelah, tapi senyum tipis tetap dia usahakan untuk selalu terlukis di sana.
Ia meletakkan barang bawaannya, menyesuaikan dan menyamankan posisi diri bersiap untuk membawa pulang kendaraannya. Namun ketika netranya menelisik gedung dihadapannya, tiba-tiba saja kilas memori aneh menyergapnya.
Dua siluet yang terkena cahaya bulan. Bersandar pada dinding dengan pagutan yang begitu liar.
Netra Arina membulat, bersamaan dengan pekikan yang secara alami keluar dari mulutnya. Astaga! Bayangan macam apa itu? Dia bukan seorang wanita haus belaian yang memikirkan hal-hal erotis di sore temaram macam ini, kan?
Dia memegang pipinya yang menghangat, menepuk-nepuk wajahnya sendiri guna menghilangkan pikiran-pikiran aneh tersebut. Ada apa ini? Ingatan siapa yang baru saja mengganggunya?
Jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Arina mulai berpikir keras, itu bukan bayangan atau ingatannya sendiri, kan? Siapa yang berciuman dengan brutal dalam kilas bayang yang mendebarkan itu?
Disentuhnya bibirnya sendiri, entah mengapa terasa nyata namun juga maya. Sulit digambarkan, tapi mengapa bayangan erotis itu justru membuat dirinya berdebar sampai separah ini?
Belum selesai dengan kilat bayangan tersebut, sebuah pesan masuk kembali menyadarkannya kembali ke dunia nyata. Jemari lentik itu mengusap layar dan menemukan sebuah nomor tidak dikenal mengiriminya pesan.
“Bu Arina, ini saya Askara Danendra. Kebetulan dua hari lagi saya ada kegiatan di luar daerah. Bisakah kita bertemu besok sore?”
Membaca pesan tersebut, Arina menarik lantas menghela nafas. Yap, dia punya terlalu banyak hal untuk dikerjakan. Arina tak punya waktu untuk berlarut-larut sakit hati akibat pengkhianatan dan juga kandasnya hubungan percintaan yang dia jaga bertahun-tahun itu.
"Keep calm, Arina! Belum waktunya untuk menjadi gila sekarang!" Dia mengingatkan dirinya sendiri. Sekencang apapun masalah hidup, dia masih harus menjaga kewarasan dan dirinya sendiri. Ada banyak hal yang masih harus dia capai dan lakukan.
Sebagai sulung, Arina masih harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya di keluarga besar. Arina juga masih harus menabung dan terus mengumpulkan uang. Wanita itu masih harus membuktikan bahwa gelar yang dia perjuangkan akan membawanya ke sebuah destinasi yang baik itu.
Setelah mengetik balasan, Arina menyalakan mesin mobil. Perlahan Arina meninggalkan hotel itu. Masih ada pekerjaan yang menunggunya di rumah.
"Kamu tahu bagaimana senangnya nenek saat mendengar kabar sore tadi bahwa kamu akan berkunjung dengan pacarmu?''Wajah nenek terlihat amat sangat bahagia. Dia mengamit lengan Arina, mengajaknya berjalan menuju ruang makan dan meninggalkan Askara yang mengekor di belakang."Wah, akhirnya cucuku datang juga bawa calon!" serunya ceria. Nenek itu memperagakan kembali kurang lebih isi pikirannya. Dan ya, itu terbukti dari bagaimana stadi dia memeluk Arina erat sebelum sempat gadis itu berkata apa-apa. Arina tersenyum gugup, sementara Askara hanya terkekeh, mengusap punggung neneknya pelan."Nenek sempat khawatir. Pergaulan di luar negeri bisa saja membuat orientasinya menjadi berbeda."Ucapan nenek membuat Askara yang mendengarnya jadi tersedak angin. Bisa-bisanya sang nenek mengatakan itu di depan calonnya. Sementara itu, Arina hendak tertawa tapi sungkan. Dalam hati bergumam bahwa dia cukup yakin bahwa Askara masih menyukai perempuan. At least, lelaki itu sempat 'berdiri' saat bersaman
Matahari sudah mulai condong ke barat saat Arina melangkah keluar dari gedung kampus. Beberapa mahasiswa masih tampak sibuk berdiskusi, namun pandangan Arina teralihkan pada sosok pria yang berdiri bersandar di samping mobil hitamnya—Askara. Tangan Askara melambai santai, senyumnya terangkat setengah, seolah menyimpan rahasia kecil yang ingin segera ia bagi."Udah selesai ngajar?" tanya Askara begitu Arina mendekat."Baru aja. Kamu kenapa tiba-tiba jemput?" Arina menaikkan alis, curiga namun tak bisa menahan senyum kecilnya.Seharusnya tak cukup heran sebab memang hari ini Arina tidak membawa mobilnya sendiri. Bahkan Askara pun secara tidak langsung memang menegaskan bahwa untuk beberapa hari ke depan, dia akan menemani Arina."Aku kangen," jawab Askara ringan.Terdengar sangat menyebalkan di telinga Arina, dia pukul pelan lengan Askara dan itu menimbulkan tawa ringan di wajah keduanya.Pemandangan itu jelas tidak luput dari mata orang-orang yang secara diam-diam memperhatikan. Bagaim
Langkah kaki Askara terdengar mantap menyusuri lorong kantor pagi itu. Setelan jas hitam yang dikenakannya tak sedikitpun menunjukkan gelagat bahwa pria itu tengah menjadi buah bibir. Tapi sorot mata para karyawan yang menatap diam-diam cukup jadi bukti. Kabar tentang pertunangannya dengan Arina telah menyebar luas seperti api menjilat jerami.Sesampainya di ruangannya, pintu belum sempat tertutup rapat saat suara familiar menyelinap masuk.“Bos besar datang juga akhirnya,” Damian bersandar santai di ambang pintu, ekspresi jail sudah terpasang sejak awal. “Gimana rasanya jadi hot topic se-kantor, Mas Tunangan?” Ucapnya dengan penekanan di akhir kalimat.Askara mengangkat alis, tak membalas, hanya menjatuhkan map di meja lalu duduk dengan tenang.Damian tertawa pelan. “Serius, Ka! Nenekku—nenek kita, maksudku—sudah nanya tiga kali semalam. Katanya, ‘Damian, kamu tahu nggak siapa perempuan yang bisa bikin Askara akhirnya serius?’” Ia menirukan suara nenek mereka dengan lebay, membuat As
Apa maksud Askara?Kepala wanita itu terasa sudah cukup pening pagi hari ini. Bukan hanya karena dia baru ingat hari ini ada kelas pagi, tapi juga karena teka-teki yang Askara ciptakan. Bersamaan dengan kehangatan dan juga cukup banyak sorotan yang mengiringi. Siapa yang harus tahu batasnya?Arina menggeleng lanjut berjalan. Dia baru saja melangkahkan kaki ke halaman kampus ketika tatapan itu menghantamnya lebih dingin dari hembusan angin pagi. Bu Widya, dosen yang belakangan ini terlihat sangat sentimen padanya, berdiri tak jauh dari pintu lobi fakultas dengan tangan terlipat di depan dada. Mata sang dosen menatap tajam dari ujung kepala hingga sepatu yang Arina kenakan."Hm, pagi yang... dramatis ya, Bu Arina," sindirnya, senyuman kaku terpahat di wajahnya. "Tapi semoga hari ini tidak ada adegan tambahan, kampus ini kan tempat belajar, bukan panggung sinetron."Arina tidak membalas. Hanya menghela napas pelan, menundukkan kepala sedikit sambil tetap menjaga langkahnya tetap tegap.
Arina terbangun perlahan ketika cahaya matahari yang hampir menyelinap masuk lewat celah tirai mulai menari-nari di kelopak matanya. Tubuhnya terasa hangat, lebih hangat dari biasanya. Saat kesadarannya terkumpul, ia menunduk — dan mendapati sepasang tangan kokoh melingkari pinggangnya erat, seolah menjaganya agar tak pergi ke mana-mana.Itu tangan Askara.Lelaki itu masih terlelap di belakangnya, napasnya teratur dan wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibanding biasanya. Entah sejak kapan Askara memeluknya seperti ini, tapi jelas ia telah melakukannya sepanjang malam, menjaga Arina dalam diam, bahkan tanpa sadar.Untuk beberapa detik, Arina hanya memejamkan mata lagi, membiarkan detak jantungnya berdentum pelan menyesap kenyamanan yang asing namun menenangkan. Seakan-akan, di antara cahaya pagi yang baru menapak masuk, ia menemukan secuil rasa aman yang tak pernah ia duga berasal dari Askara.Wajahnya mendadak memerah kala ingatan tentang semalam muncul lagi. Ciuman dan bahkan sentu
Jemari besar Askara menari di wajah Arina, membelainya lembut saat sekaligus membawanya bergerak lebih dekat guna menyatukan ranum keduanya. Bibir mereka bersentuhan lembut. Cukup lembut untuk mengirimkan sengatan-sengatan listrik pada sekujur tubuh keduanya. Dimulai dengan kecupan tipis, perlahan meningkat menjadi sedikit lebih menuntut dan panas. Jarak yang terus terpangkas dan tubuh keduanya yang kini merapat saling mendamba kehangatan. Suara decapan ikut memenuhi heningnya malam. Sepasang insan yang kini berusaha saling mendominasi. Intensitas pergerakan yang awalnya lembut dan bergerak menjadi semakin liar. Askara dengan mudah mengangkat tubuh Arina dalam gendongannya untuk dia boyong kembali masuk ke dalam rumah. Menggeser pintu kaca di balkon dengan sebelah kakinya dan langsung mendudukkan kembali wanitanya itu diatas tubuhnya yang terduduk di sofa.Arina diatasnya, mengalungkan lengannya di leher Askara. Meraup oksigen sebanyak yang dia bisa dalam waktu singkat hanya karena