Sementara itu di puncak tempat wisata ski. Ana dan yang lain tiba dengan selamat. Gadis itu masuk mengikuti Kai dan beberapa kru yang terlebih dahulu masuk ke sebuah gedung berdinding bahan kayu.
Ana melepas jaket tebalnya. Udara di kabin luas penuh pengunjung lumayan hangat. Dalam ruang berdinding kayu suara Kai mendominasi. Ana menyerobot, bergerak dalam keramaian pengunjung menuju lokasi sumber suara.
Di sana dia mendapati Kai dan beberapa orang kru bergerombol di depan meja resepsionis. Keberadaan mereka mengundang beberapa pengunjung untuk berbisik-bisik mengomentari.
"Tolong, kalian harus menolong Aira! Gadis itu sedang sakit dan sekarang terjatuh di jalur kereta gantung!" ujar Kai memakai bahasa Inggris fasih dengan nada tinggi seperti orang berteriak. "Kalian harus segera mengirim tim pencari ke sana. Kalau perlu pakai helikopter! Aku tak peduli berapa harga yang harus aku bayar, pokoknya kalian harus--"
"Tuan tenang saja, kami sudah men
Aira mempersenjatai diri memakai gagang sapu tua lapuk. Dengan mengayun senjata di tangan, dia berhasil membuat hewan-hewan sial itu menjauh. Membuat mereka menjaga jarak dari Bayu. "Ayo maju kalian dasar hewan-hewan kurang ajar! Sini, kenalan sama Mbak Aira!" Sepertinya hewan-hewan itu kurang suka terhadap Aira. Mereka menggeram kencang. Seekor serigala berhasil menggigit ujung gagang sapu hingga membuat Aira panik menarik-narik benda itu. "Wah Bayu! Tolong!" "Katanya mau kenalan tadi," ujar Bayu sembari berusaha membuka pintu yang terkunci. "Bayu, cepat sedikit! Aku tidak bisa menahan hewan-hewan ini lebih lama lagi!" "Sabar! Ini juga usaha!" "Cepat sedikit Bayu!" Aira berteriak histeris ketika seekor serigala menggigit kakinya. Beruntung untung celana yang dia pakai cukup tebal sehingga gigi taring itu tidak terlalu menusuk kulit. Wajah Bayu meringis menahan sakit di mata kaki. Dia berusaha membuka pintu yang seperti
Setelah keluar dari area aman, Kai menoleh ke kiri dan kanan mencoba mencari petunjuk. Dia tidak tahu harus memilih jalan yang mana untuk memulai mencari Aira. Beruntung sebuah mobil mendekatinya. Segera dia membuka kacamata ski, melambai hingga mobil itu berhenti. Kai bertanya kepada pengendara memakai bahasa Inggris. "Permisi Tuan, apa Anda tahu tentang kejadian jatuhnya wisatawan dari kereta gantung?" "Ya, ya, aku mendengar kejadian itu melalui radio," ujar pengendara. Gadis di kursi sebelah bicara. "Oh, jadi karena itu banyak polisi berkumpul di sana?" "Ya, di sana mungkin letak kejadian perkara," jawab pengemudi mobil. "Di mana letak para polisi itu berada?" tanya Kai. "Permisi Nona, bisa beri tahu di mana mereka berkumpul?" Pengemudi mobil menunjuk ke arah tebing Matterhorn yang menjulang tinggi di atas pegunungan. "Ikuti jalur ini Nak. Lalu ketika bertemu jalan buntu belok ke kanan. Lurus saja, ikuti jalan raya N0.39 nanti kamu
Pintu terbuka lebar. Udara dingin berembus menerpa kulit juga membuat api mati. Butiran salju tertiup masuk seperti ombak kecil di pantai menghias lantai kayu. Sosok besar berdiri di depan pintu menebar teror, membuat suara teriakan Aira dan Bayu semakin kencang tanpa koma atau titik. Sosok itu bicara memakai bahasa aneh. Aira semakin erat memeluk Bayu. "Jangan mendekat! Astagfirullah! Setan! Bayu, kamu hapal surat kursi?" "Mana hafal!" "Mampus, kita bakal diculik gendruwo!" "Allahuakbar!" teriak Bayu, matanya melotot seperti hendak keluar. "Do you speak English?" tanya makhluk itu, membuat teriakan Aira dan Bayu sontak terhenti. "Mungkin mereka orang Arab," ujar sosok yang menunggu di depan, berucap memakai bahasa Inggris. Cahaya terang senter menyorot wajah Aira dan Bayu, membuat keduanya menyipit karena silau. "Mereka hanya sepasang muda-mudi, Josh." Perlahan mata mereka mulai terb
Kedua pemuda bertukar pandang dingin seakan ingin saling menerkam. Mereka tidak mau mengalah, hingga Lukman dan Kevin memisahkan mereka. Kevin berkata, "Kai, cukup. Bayu sendiri juga cidera, lihat kakinya." Tongkat membantu Bayu berdiri tegak. Kakinya keseleo. Terdapat kantung panda di bawah mata tanda jika dia lelah. Kai melepas cengkeraman pada jaket Bayu. "Maaf. Aku khawatir pada kalian berdua. Mana Aira?" Dengan memakai bahasa Inggris Bayu meminta tolong Nenek untuk mengantar Kai menuju rumah. Ana memutuskan ikut Kai, sementara Bayu dan yang lain pergi menuju pub. Sesekali cahaya kuning keemas-emasan dari lampu penerangan menyinari trotoar berselimut salju. Udara dingin semakin terasa ketika mereka semakin jauh dari pub. "Banyak rumah kosong, ya?" tanya Ana sembari memandang banyak gedung gelap di sekitar mereka. Nenek tertawa kecil. Beliau menceritakan kepada Kai dan Ana apa yang dia ceritakan
Aira tidak bergerak dari duduknya di kursi makan. Bukan berarti dia tidak ingin pergi bersama Kai, bahkan sebenarnya dia sangat ingin. Banyak hal yang hendak dia tanyakan, hanya saja ia menjaga nama baik Bayu. Sebagai seorang istri walau kontrak sekalipun, bagaimana mungkin dia pergi dengan lelaki lain? Seorang Kru datang menaruh disk eksternal ke meja tamu dalam rumah. Ia memandang sekitar sambil bertanya pada Aira, "Kak Kai kok tidak kelihatan, pergi ke mana?" "Katanya tadi pergi mau cari angin. Bayu masih lama pulangnya?" "Masih lama banget." Raut wajah pemuda mulai nakal menggoda Aira. "Cie, kangen sama suami. Baru nikah sih, jadi hangat-hangat tai kucing." Mata Aira berputar." Bukan begitu. Aku tuh mengantuk banget, mau tidur, tapi menunggu dia pulang dulu." Dia menepuk-nepuk mulut yang menguap. "Kira-kira kapan dia pulang?" "Mungkin masih lama banget. Bayu sekarang sedang bertemu wali kota, mendiskusikan hal penting. Oh iya hampir
Beberapa jam yang lalu. Setelah mengambil konten Bayu bersama Aira, Lukman duduk di teras sambil menikmati sarapan bersama yang lain. Suara obrolan mendominasi. Asap tipis aroma cokelat keluar dari atas mug. Benda putih tebal itu memberi hangat pada telapak tangannya. Ia fokus mengamati sosok yang dia kagumi. "Man, lihat." Lukman menoleh. Busa cokelat menutup bagian atas bibir Kevin. Benda itu terlihat seperti kumis unik mirip kumis tokoh pak tua pria monopoli. Tetapi Lukman menanggapi datar. Kevin menyenggol lengan Lukman. "Bagus tidak?" "Bagus sih, tapi tidak sebagus yang di dalam." "Yang di dalam? Siapa?" tanya Kevin penasaran. Dia ikut memandang ke dalam rumah. "Maksudmua Aira?" "Ana." "Ana?" Lukman tersenyum. "Matanya sejernih air danau Swiss. Rambutnya hitam sehalus sutera tertiup angin. Suaranya selembut lantunan dawai. Gue ingin banget memeluk erat tuh cewek, gue memanjakan, gue taruh ke
Sepertinya semua akan berubah. Lukman yakin Ana gadis baik. Dia pasti akan melihat jauh ke depan. Buat apa bersama Kai, sosok yang dingin, sementara ada Lukman yang mencintainya dengan tulus. "Iya, aku suka dia!" Jawab Ana. "Aku suka Kai, karena dia tampan, dia spesial, dia baik sekali, dan dia dingin, tidak peduli padaku. Aku ingin dia peduli padaku!" Sontak cengkeraman lepas begitu saja. Bola mata Lukman mulai basah, bibir tebal sedikit cokelat itu bergetar. Suara hisak terdengar pilu. Cinta tulus tak terbalas, bahkan sosok seperti Lukman rapuh akan hal ini. Ana memandang sekitar. Para kru berbisik-bisik, sementara Kevin membuang wajah. Ia menggapai jempol tangan besar hitam milik Lukman. Tiada reaksi dari pemuda itu. Ana mengambil sapu tangan warna merah jambu dari dalam saku jaket, mengusap pipi Lukman. "Jangan menangis, kamu pria besar, pria kuat. Aku yang salah. Jadi, maaf ya, kita ... kita bersahabat saja--bukan, kita kakak-adik saja, ya.
Keadaan semakin liar dan tidak terkendali. Lukman dan Kai tak mau mengalah, keduanya bertukar tinju menggelepar di lantai. Kevin tak mampu memisah mereka. Para kru seperti setengah-setengah membantu. Bahkan salah satu kru film malah merekam kejadian ini. Aira kesal dengan apa yang terjadi. Dia menendang Lukman dan Kai, menjewer kedua pemuda secara bersamaan hingga keduanya berdiri. Baik Lukman dan Kai tidak melawan. Mungkin keduanya tidak ingin berbuat kasar pada wanita. "Kalian bersahabat, kenapa malah adu jotos!" Aira menarik kencang telinga kedua pemuda, lalu memandang judes pada para kru. "Dan kalian. Kenapa malah merekam? Apa ini settingan?" "Bukan mbak ini--" Lalu Aira beralih memandang Kevin. "Ada apa sebenarnya?" "Sebenarnya ini cuma salah paham," jawab Kevin. "Lepas Aira, sakit," pinta Kai, meringis. "Heh, lepas!" sentak Lukman, berusaha meronta, tapi gagal. "Barbar banget sih lo? Lepas tidak?" "Tidak!" Bentak