Tama mendekat selangkah, sorot matanya menembus gelapnya ruangan seolah mengetahui isi hati Alya.
"Kau bukan hanya sekadar pelarian. Ada masa laluku ... yang berkaitan denganmu." Alya membeku. Hatinya tercekat, dadanya terasa seperti dicekik udara yang tak bisa lolos keluar. Ia menatap Tama seolah pria itu baru saja membuka pintu ke dunia lain—dunia yang selama ini tertutup rapat, bahkan dari ingatannya sendiri. "Apa maksudnya?" tanyanya dengan suara serak, nyaris tak terdengar. Tama menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan pelan, tetapi tajam, “Karena dulu, aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.” Alya mundur satu langkah, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak disangka. Rasa ngeri menjalari tengkuknya, dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Detik itu juga, tubuhnya terasa ringan, tetapi bukan karena lega, melainkan seperti ditarik gravitasi dari kebenaran yang terlalu berat untuk dipikul. Namun, sebelum pikirannya sempat membentuk pertanyaan baru, Tama membalikkan badan dan berkata dingin, "Besok pagi, kita akan menandatangani kontrak. Termasuk biaya rumah sakit dan tunjangan hidupmu." Ia pergi begitu saja, menyisakan udara berat dan napas Alya yang memburu. Kata-kata itu terus berputar dalam kepalanya. "Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu." Apa maksudnya? Hubungan apa yang dimiliki Tama dengan masa lalu ibunya? Apakah ini hanya permainan? Atau balas dendam yang dibalut dalam bungkus mewah bernama perjanjian? Ah, Alya tak tahu lagi harus bagaimana. Alya berdiri mematung cukup lama di tengah ruangan gelap itu, hanya ditemani suara detak jam dinding dan gemuruh dari dalam dadanya. Saat akhirnya ia melangkah keluar, malam telah menelan Jakarta dengan lampu-lampunya yang temaram. Namun, bagi Alya, tak ada satu pun cahaya yang benar-benar bisa menerangi pikirannya malam itu. *** Pagi itu, langit Jakarta kelabu. Seolah ikut menyesap kecemasan yang sejak subuh menghuni benak Alya. Kabut tipis menggantung di antara gedung-gedung tinggi, membuat kota terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung bangun. Ia berdiri di depan gedung pencakar langit tempat Tama bekerja. Tangannya menggenggam map kecil berisi dokumen pribadinya, tetapi hatinya terasa kosong. Jasanya sudah dibayar, hidupnya seolah telah ditentukan dengan pulpen dan tanda tangan. Langkah kakinya berat saat memasuki lobi gedung. Aroma kopi dan parfum mahal bercampur di udara ber-AC, menyambutnya seperti selamat datang di dunia yang asing. Dunia tempat keputusan tak dibuat oleh hati, tapi oleh kekuasaan dan uang. Satu jam kemudian, mereka duduk di ruang rapat eksklusif dengan jendela menghadap ke jalanan ibu kota. Ruangan itu hening, hanya suara detik jam dan desah napas mereka yang terdengar. Di hadapan Alya, tergeletak dua berkas kontrak. Satu tentang pembelian apartemen, satu lagi tentang tunjangan hidup dan biaya rumah sakit. "Bacalah dengan saksama sebelum menandatangani," ucap Tama dingin, mengenakan kemeja putih bersih dan jas hitam yang menyatu dengan sikapnya yang tak tersentuh. Ia duduk di seberangnya, menatap tanpa emosi. "Aku tidak suka drama atau kesalahpahaman di kemudian hari." Alya mengangguk kecil. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh halaman pertama. Ia membaca setiap kalimat, dan setiap baris seperti tali yang makin mengikat dirinya dalam jerat tak kasatmata. Isi kontraknya jelas. Apartemen mewah lengkap dengan perabot. Tunjangan hidup bulanan sebesar angka yang tak pernah bisa ia bayangkan sebelumnya. Biaya rumah sakit ditanggung penuh hingga ibunya benar-benar pulih. Semuanya tampak seperti mimpi bagi seseorang seperti Alya—tapi juga seperti jebakan yang tak bisa dihindari. Namun, ada satu kalimat tebal dan digarisbawahi yang membuat hatinya nyeri: “Pihak kedua dilarang mencintai, berharap, atau menuntut perasaan apa pun dari Pihak Pertama. Hubungan ini murni kontrak, tanpa keterikatan emosi.” Tama membuka suara, "Itu syarat utamanya. Jangan jatuh cinta padaku, Alya. Aku tidak akan membalasnya. Aku tidak percaya cinta." Alya menggigit bibir. Ingin mentertawakan dirinya sendiri. Jatuh cinta? Pada pria ini? Pria yang sedingin musim dingin di negara yang tak pernah ia kunjungi? Namun, hatinya tahu, kebersamaan bisa memupus batasan. Dan ia tak yakin hatinya bisa sekeras yang diminta. "Aku mengerti," gumamnya pelan, meski tenggorokannya kering. "Dan satu hal lagi," lanjut Tama, memandangnya lurus. "Tidak ada yang boleh tahu tentang hubungan ini. Di hadapan dunia, kau tetap Alya, perempuan biasa. Aku tetap Tama, pria yang tidak memiliki siapa-siapa." Alya menarik napas panjang. Ia mengambil pulpen, menatap lembar kontrak itu dalam-dalam, seolah sedang menatap hidupnya sendiri yang hendak ditukar. Ia merasa seperti sedang menandatangani kesepakatan dengan takdir—takdir yang tidak bisa ditawar. Dengan satu goresan tinta, semuanya dimulai. Namanya tertera di sana, berdampingan dengan nama Tama Wiratama. Tama mengulurkan tangannya dan Alya memberikannya kontrak yang sudah ditandatangani. Ia menekan tombol interkom di mejanya. "Fina, kirimkan berkas ini ke legal. Pastikan selesai hari ini juga." Alya berdiri, siap untuk pergi. Namun, Tama menahannya. "Tunggu," katanya. Ia mengambil sebuah kartu akses dari dalam laci dan menyerahkannya pada Alya. "Ini akses ke apartemen. Lantai 25. Hari ini juga kamu pindah. Sopirku akan menjemputmu sore nanti." "Baik," jawab Alya pendek. Suaranya datar, tetapi di dalam hatinya sedang berusaha keras untuk tetap berdiri. "Dan Alya." Suara Tama menurun, lebih lembut, tapi mengandung tekanan. "Jangan pernah lupa kesepakatan kita. Ini bukan cinta. Ini kontrak." Alya mengangguk, tetapi dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai terasa retak. Ia pergi meninggalkan ruangan itu dengan dada berat dan hati yang tak karuan. *** Di dalam taksi menuju kosan, Alya menatap jalanan yang mulai padat. Klakson, motor, pejalan kaki—semuanya bergerak, tapi bagi Alya, waktu seolah melambat. Hidupnya baru saja berubah total dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Demi ibunya, ia menyerahkan kendali hidup kepada pria yang bahkan belum ia pahami seutuhnya. Namun, yang membuat pikirannya tak tenang bukanlah kontrak, bukan pula ancaman perasaan—melainkan ucapan terakhir Tama malam tadi. “Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.” Apa hubungan ibunya dengan Tama? Apakah ibunya tahu bahwa pria itu sekarang mengatur hidup anaknya? Sesampainya di kosan, Alya hanya membawa satu koper dan satu tas ransel. Sisa barang ia tinggalkan. Tak penting lagi. Hidup barunya telah menantinya di lantai 25 apartemen mewah. Setiap langkah keluar dari kamar kos itu terasa seperti berpamitan dengan versi lamanya—versi Alya yang masih punya pilihan. Namun, sebelum ia keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. [Hati-hati dengan Tama Wiratama. Dia tidak seperti yang kau kira.] Alya terpaku. Jantungnya memompa cepat. Tangannya gemetar saat memegang layar ponsel. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan lebih penting lagi—apa yang sebenarnya disembunyikan Tama darinya? ***Udara dini hari masih menyisakan dingin saat Alya membuka matanya. Lampu kamar sudah mati, hanya sinar samar dari luar jendela yang masuk menembus tirai tipis. Napasnya berat, seperti habis menempuh mimpi panjang yang penuh luka. Di meja kecil di samping ranjang, ponselnya bergetar pelan, pesan dari Zaki semalam masih belum ia balas.“Kenapa harus dia lagi?” gumam Alya, menatap layar ponselnya dengan hati yang berat. Kata-kata sederhana dari Zaki, bahwa dirinya berharga, sebenarnya membuat dada Alya hangat, tapi sekaligus menakutkan.Karena setiap kali hatinya bergetar, bayangan lama datang. Tama. Raga. Dua nama yang selalu menorehkan jejak, meski dengan cara berbeda.Tama, lelaki yang dulu hanya sebagai suami kontrak, kemudian menjadi lelaki yang begitu ia cintai, kini hanya bisa mengirimkan masa lalu dalam bentuk buku harian usang dan paket-paket aneh yang menyayat hati. Lalu Raga, masa lalu, yang dulu selalu menjadi rumah, justru menghadirkan luka paling dalam, setelah dia memutus
Siang itu, kafe kecil di sudut jalan utama kampus dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan tawa serta percakapan ramai yang berbaur jadi musik latar kehidupan. Di salah satu meja dekat jendela, Zaki duduk dengan laptop di depannya. Earphone tergeletak tak terpakai, karena fokusnya tak tertuju pada musik atau pekerjaan, melainkan pada layar yang menampilkan blog lama, blog yang sudah lama tak pernah diperbarui, milik Alya.Ia menemukannya tanpa sengaja beberapa minggu lalu. Saat itu, Zaki membantu Alya mengatur portofolio tulisannya untuk seminar sastra daring. Dalam daftar link lama, ada satu yang sempat terhapus, tapi ia berhasil menemukannya lewat arsip. Sejak saat itu, ia diam-diam membaca tulisan-tulisan Alya. Bukan hanya satu atau dua. Hampir semuanya. Dan semakin ia membaca, semakin dalam ia terperangkap.Tulisan-tulisan itu bukan sekadar rangkaian kata. Mereka adalah dunia batin Alya yang terbuka tanpa filter, tangis, tawa, k
Siang itu, apartemen mungil Alya dipenuhi aroma teh melati yang baru saja ia seduh. Di luar jendela, dedaunan bergoyang tertiup angin awal musim semi. Hujan semalam meninggalkan bekas dingin di udara, tetapi sinar matahari yang malu-malu menerobos tirai tipis membawa sedikit kehangatan.Alya duduk di lantai, bersandar pada sofa, laptop terbuka di meja rendah. Ia baru saja menutup pesanan terakhir toko onlinenya hari itu. Notifikasi transaksi sukses terdengar, tapi tidak membuatnya sesemangat dulu. Jantungnya terasa berat.Ketukan pintu membuatnya menoleh. Nayla yang baru pulang kuliah bergegas membuka, dan suara kurir terdengar samar dari luar. “Paket untuk Alya.”Alya mengernyit. “Paket? Aku nggak pesan apa-apa minggu ini.”Nayla membawa sebuah kotak kardus sedang, rapi terbungkus isolasi. Di sisi atasnya, tertera alamat asal, Jakarta, Indonesia. Dan di pojok kiri atas, nama pengirim: T. Wiratama.Jantung Alya seketika meloncat ke kerongkongan. Tangannya bergetar ketika menerima pak
Siang itu, sinar matahari menembus tipis gorden jendela apartemen kecil itu. Udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh Nayla. Di meja kerja mungil dekat jendela, Alya menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Jarinya lincah mengetik, sesekali membuka tab lain untuk mengecek stok barang, membalas pesan pelanggan, hingga mengatur jadwal pengiriman.Toko online yang ia bangun selama beberapa bulan terakhir berkembang jauh lebih cepat dari yang ia bayangkan. Mulanya hanya sekadar menjual barang kecil-kecilan, aksesori, pernak-pernik rumah tangga, hingga pakaian, kini ia sudah punya alur distribusi tetap. Ada reseller, ada pelanggan tetap, bahkan rating tokonya mencapai bintang lima di hampir semua platform.Notifikasi terus berbunyi. Pesanan masuk satu demi satu. Beberapa customer menuliskan review positif."Barangnya bagus banget, pengiriman cepat, pasti langganan deh.""Terima kasih, seller ramah banget. Sukses selalu ya."Alya tersenyum tipi
Hujan yang sejak sore mengguyur kota itu akhirnya reda menjelang tengah malam. Udara terasa lebih dingin, meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar masuk melalui jendela kecil apartemen. Alya duduk di depan meja belajarnya, layar laptop menyala, lembar tugas terbuka, tetapi matanya tak benar-benar menatap tulisan. Beberapa jam sebelumnya ia dan Nayla masih bercanda sambil makan mie instan. Namun, begitu pintu kamar tertutup, sunyi kembali menyelimuti. Dan di sanalah, kesunyian itu selalu membuka celah untuk luka-luka lama menyeruak. Alya mengusap wajahnya, lalu menarik napas panjang. Ia mencoba fokus pada tulisannya. Tapi, suara notifikasi email yang tiba-tiba muncul dari laptop membuatnya menoleh. 📩 New Message Alamat pengirim: A. Wiratama Subjek: Halo Alya terdiam. Tangannya refleks membeku di atas meja. Nama itu, Wiratama. Ia mengedipkan mata, memastikan dirinya tidak salah lihat. Wiratama. Nama belakang yang selama ini ia kenal hanya melekat pada satu orang.
Hujan turun lagi malam itu, meski tidak selebat beberapa hari sebelumnya. Rintiknya jatuh pelan, menimbulkan bunyi ritmis di kaca jendela apartemen kecil itu. Alya duduk bersandar di sofa, buku di pangkuannya terbuka, tapi pikirannya tidak benar-benar berada di halaman yang ia baca.Nayla baru saja pulang dari kampus. Rambutnya basah, jaketnya lembap, tapi wajahnya tetap cerah. Ia meletakkan tas di kursi, lalu menghampiri dapur kecil. “Aku bikin teh, mau sekalian?” tanyanya sambil membuka lemari.Alya menutup bukunya. “Iya, boleh.”Tak lama kemudian dua cangkir teh hangat tersaji di meja. Mereka duduk berhadapan, hening beberapa saat, hanya ditemani suara hujan. Alya sempat menatap sekilas wajah Nayla yang tampak lebih letih dari biasanya. Ada sesuatu di matanya malam itu, bukan sekadar kelelahan fisik, tapi beban yang jauh lebih dalam.“Capek banget?” tanya Alya pelan.Nayla mengangkat bahu, tersenyum tipis. “Lumayan.” Ia menyesap tehnya, lalu menatap ke arah jendela. “Kadang … aku m