Beranda / Rumah Tangga / Kontrak Cinta, Luka Nyata / Bab 2. Tanda Tangan Berdarah

Share

Bab 2. Tanda Tangan Berdarah

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 03:32:45

Tama mendekat selangkah, sorot matanya menembus gelapnya ruangan seolah mengetahui isi hati Alya.

"Kau bukan hanya sekadar pelarian. Ada masa laluku ... yang berkaitan denganmu."

Alya membeku. Hatinya tercekat, dadanya terasa seperti dicekik udara yang tak bisa lolos keluar. Ia menatap Tama seolah pria itu baru saja membuka pintu ke dunia lain—dunia yang selama ini tertutup rapat, bahkan dari ingatannya sendiri.

"Apa maksudnya?" tanyanya dengan suara serak, nyaris tak terdengar.

Tama menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan pelan, tetapi tajam, “Karena dulu, aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.”

Alya mundur satu langkah, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak disangka. Rasa ngeri menjalari tengkuknya, dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Detik itu juga, tubuhnya terasa ringan, tetapi bukan karena lega, melainkan seperti ditarik gravitasi dari kebenaran yang terlalu berat untuk dipikul.

Namun, sebelum pikirannya sempat membentuk pertanyaan baru, Tama membalikkan badan dan berkata dingin, "Besok pagi, kita akan menandatangani kontrak. Termasuk biaya rumah sakit dan tunjangan hidupmu."

Ia pergi begitu saja, menyisakan udara berat dan napas Alya yang memburu. Kata-kata itu terus berputar dalam kepalanya. "Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu."

Apa maksudnya? Hubungan apa yang dimiliki Tama dengan masa lalu ibunya? Apakah ini hanya permainan? Atau balas dendam yang dibalut dalam bungkus mewah bernama perjanjian?

Ah, Alya tak tahu lagi harus bagaimana.

Alya berdiri mematung cukup lama di tengah ruangan gelap itu, hanya ditemani suara detak jam dinding dan gemuruh dari dalam dadanya. Saat akhirnya ia melangkah keluar, malam telah menelan Jakarta dengan lampu-lampunya yang temaram. Namun, bagi Alya, tak ada satu pun cahaya yang benar-benar bisa menerangi pikirannya malam itu.

***

Pagi itu, langit Jakarta kelabu. Seolah ikut menyesap kecemasan yang sejak subuh menghuni benak Alya. Kabut tipis menggantung di antara gedung-gedung tinggi, membuat kota terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung bangun.

Ia berdiri di depan gedung pencakar langit tempat Tama bekerja. Tangannya menggenggam map kecil berisi dokumen pribadinya, tetapi hatinya terasa kosong. Jasanya sudah dibayar, hidupnya seolah telah ditentukan dengan pulpen dan tanda tangan.

Langkah kakinya berat saat memasuki lobi gedung. Aroma kopi dan parfum mahal bercampur di udara ber-AC, menyambutnya seperti selamat datang di dunia yang asing. Dunia tempat keputusan tak dibuat oleh hati, tapi oleh kekuasaan dan uang.

Satu jam kemudian, mereka duduk di ruang rapat eksklusif dengan jendela menghadap ke jalanan ibu kota. Ruangan itu hening, hanya suara detik jam dan desah napas mereka yang terdengar. Di hadapan Alya, tergeletak dua berkas kontrak. Satu tentang pembelian apartemen, satu lagi tentang tunjangan hidup dan biaya rumah sakit.

"Bacalah dengan saksama sebelum menandatangani," ucap Tama dingin, mengenakan kemeja putih bersih dan jas hitam yang menyatu dengan sikapnya yang tak tersentuh. Ia duduk di seberangnya, menatap tanpa emosi. "Aku tidak suka drama atau kesalahpahaman di kemudian hari."

Alya mengangguk kecil. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh halaman pertama. Ia membaca setiap kalimat, dan setiap baris seperti tali yang makin mengikat dirinya dalam jerat tak kasatmata.

Isi kontraknya jelas. Apartemen mewah lengkap dengan perabot. Tunjangan hidup bulanan sebesar angka yang tak pernah bisa ia bayangkan sebelumnya. Biaya rumah sakit ditanggung penuh hingga ibunya benar-benar pulih. Semuanya tampak seperti mimpi bagi seseorang seperti Alya—tapi juga seperti jebakan yang tak bisa dihindari.

Namun, ada satu kalimat tebal dan digarisbawahi yang membuat hatinya nyeri:

“Pihak kedua dilarang mencintai, berharap, atau menuntut perasaan apa pun dari Pihak Pertama. Hubungan ini murni kontrak, tanpa keterikatan emosi.”

Tama membuka suara, "Itu syarat utamanya. Jangan jatuh cinta padaku, Alya. Aku tidak akan membalasnya. Aku tidak percaya cinta."

Alya menggigit bibir. Ingin mentertawakan dirinya sendiri. Jatuh cinta? Pada pria ini? Pria yang sedingin musim dingin di negara yang tak pernah ia kunjungi?

Namun, hatinya tahu, kebersamaan bisa memupus batasan. Dan ia tak yakin hatinya bisa sekeras yang diminta.

"Aku mengerti," gumamnya pelan, meski tenggorokannya kering.

"Dan satu hal lagi," lanjut Tama, memandangnya lurus. "Tidak ada yang boleh tahu tentang hubungan ini. Di hadapan dunia, kau tetap Alya, perempuan biasa. Aku tetap Tama, pria yang tidak memiliki siapa-siapa."

Alya menarik napas panjang. Ia mengambil pulpen, menatap lembar kontrak itu dalam-dalam, seolah sedang menatap hidupnya sendiri yang hendak ditukar. Ia merasa seperti sedang menandatangani kesepakatan dengan takdir—takdir yang tidak bisa ditawar.

Dengan satu goresan tinta, semuanya dimulai. Namanya tertera di sana, berdampingan dengan nama Tama Wiratama.

Tama mengulurkan tangannya dan Alya memberikannya kontrak yang sudah ditandatangani. Ia menekan tombol interkom di mejanya. "Fina, kirimkan berkas ini ke legal. Pastikan selesai hari ini juga."

Alya berdiri, siap untuk pergi. Namun, Tama menahannya.

"Tunggu," katanya. Ia mengambil sebuah kartu akses dari dalam laci dan menyerahkannya pada Alya. "Ini akses ke apartemen. Lantai 25. Hari ini juga kamu pindah. Sopirku akan menjemputmu sore nanti."

"Baik," jawab Alya pendek. Suaranya datar, tetapi di dalam hatinya sedang berusaha keras untuk tetap berdiri.

"Dan Alya." Suara Tama menurun, lebih lembut, tapi mengandung tekanan. "Jangan pernah lupa kesepakatan kita. Ini bukan cinta. Ini kontrak."

Alya mengangguk, tetapi dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai terasa retak. Ia pergi meninggalkan ruangan itu dengan dada berat dan hati yang tak karuan.

***

Di dalam taksi menuju kosan, Alya menatap jalanan yang mulai padat. Klakson, motor, pejalan kaki—semuanya bergerak, tapi bagi Alya, waktu seolah melambat. Hidupnya baru saja berubah total dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Demi ibunya, ia menyerahkan kendali hidup kepada pria yang bahkan belum ia pahami seutuhnya. Namun, yang membuat pikirannya tak tenang bukanlah kontrak, bukan pula ancaman perasaan—melainkan ucapan terakhir Tama malam tadi.

“Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.”

Apa hubungan ibunya dengan Tama? Apakah ibunya tahu bahwa pria itu sekarang mengatur hidup anaknya?

Sesampainya di kosan, Alya hanya membawa satu koper dan satu tas ransel. Sisa barang ia tinggalkan. Tak penting lagi. Hidup barunya telah menantinya di lantai 25 apartemen mewah. Setiap langkah keluar dari kamar kos itu terasa seperti berpamitan dengan versi lamanya—versi Alya yang masih punya pilihan.

Namun, sebelum ia keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Hati-hati dengan Tama Wiratama. Dia tidak seperti yang kau kira.]

Alya terpaku. Jantungnya memompa cepat. Tangannya gemetar saat memegang layar ponsel.

Siapa yang mengirim pesan ini?

Dan lebih penting lagi—apa yang sebenarnya disembunyikan Tama darinya?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 86. Alya Mengambil Alih Toko

    Rumah itu gelap total.Hujan masih deras, menampar genting dan jendela, sementara angin meniup gorden tipis di ruang tamu.Alya berdiri terpaku di tengah ruangan, menggenggam amplop putih yang isinya masih bergetar di tangannya.Tulisan di belakang foto itu, “Berhenti mencari. Atau kamu akan menyusulnya.” Masih terpatri jelas di matanya.Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat. Tak ada tanda siapa pun yang datang. Namun, entah kenapa, hawa dingin yang menyelinap lewat celah pintu terasa bukan cuma dari hujan, tapi seperti napas seseorang yang bersembunyi di luar sana.Perlahan, Alya memungut ponselnya yang jatuh di lantai. Layarnya retak sedikit di pojok, tapi masih menyala. Tak ada sinyal.Listrik padam, lampu mati, dan suara detak jam dinding jadi satu-satunya yang hidup di ruangan itu.Ia menarik napas panjang, lalu memegang perutnya.“Tenang ya … Mama nggak apa-apa,” bisiknya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri daripada janin di dalam kandungannya.Hujan tak kunjung r

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 85. Tama Menghilang

    Jakarta kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, seperti menangisi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di layar ponsel Alya, notifikasi masih berdentum tanpa henti, tagar #AlyaWiratama dan #SkandalRumahPulih belum turun dari trending sejak dua hari terakhir.Namun, pagi itu ada satu hal yang jauh lebih menakutkan dari ribuan komentar kebencian,Tama menghilang.Nomor ponselnya tidak aktif.Kantor lamanya, tempat ia mengelola proyek sosial kecil setelah keluar dari perusahaan sebelumnya, terkunci rapat.Akun media sosialnya tidak lagi bisa diakses; semua hilang, seolahi disapu bersih oleh tangan tak terlihat.Awalnya, Alya mengira Tama hanya butuh waktu menenangkan diri setelah ledakan skandal itu.Namun, ketika malam datang dan tak ada kabar apa pun, ketenangan itu berubah jadi ketakutan.Ia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Tama, Rehan, rekan lamanya, bahkan beberapa staf yang dulu sempat bekerja bersamanya.Jawabannya sama.[Maaf, Bu

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 84. Alya Diserang di Media Sosial

    Pagi itu Jakarta tampak biasa-biasa saja. Langit kelabu, hujan gerimis, dan aroma tanah basah yang masih tertinggal sejak malam sebelumnya. Tapi, bagi Alya, dunia baru saja berubah menjadi ruang yang sempit dan mencekik.Ia baru saja duduk di ruang kerja Rumah Pulih, mengenakan cardigan abu-abu dan memandangi layar laptopnya yang terbuka di atas meja kayu. Laman media sosialnya terbuka otomatis karena pengaturan otomatis browser. Namun, yang terpampang bukan notifikasi biasa dari pasien yang berterima kasih atau rekan sejawat yang membagikan artikel tentang kesehatan mental.Matanya membeku menatap tulisan di layar.“Katanya pendiri Rumah Pulih hamil tanpa suami resmi.Anak siapa? Tama Wiratama? Atau dokter Zaki?”— akun anonim @InsideJakarta_TruthsUnggahan itu disertai foto dirinya, candid dari belakang, saat keluar dari Rumah Pulih dengan perut yang mulai tampak membulat. Di bawahnya, ratusan komentar sudah mengalir deras.“Astaghfirullah, panutanku ternyata munafik.”“Katanya bant

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 83. Zaki Tahu Segalanya

    Hujan belum juga reda ketika Zaki menutup pintu mobilnya di halaman Rumah Pulih. Lampu teras menyala redup, menembus kabut tipis yang menggantung di udara malam. Ia baru kembali dari rumah sakit, kunjungan yang seharusnya rutin, mengecek berkas untuk program kesehatan ibu dan anak yang sedang digarapnya bersama tim. Namun, malam ini, berkas yang ia bawa pulang bukan sekadar data medis biasa.Di tangannya, map putih bertuliskan nama yang terlalu familiar, Alya. N. Wiratama.Zaki menatap tulisan itu lama. Huruf demi huruf seperti meninju dadanya, membuat napasnya sesak. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh membuka data pribadi pasien tanpa izin. Namun, nama itu, nama yang dulu begitu dekat dengannya, yang masih bergema di kepalanya setiap kali malam datang, membuat rasa penasaran menembus batas profesionalisme.Tangannya gemetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar hasil tes laboratorium, termasuk hasil tes kehamilan yang dicetak dua minggu lalu. Positif.Zaki terdiam. De

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 82. Bayangan di Balik Kabar Baru

    Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 81. Tes Kehamilan dan Luka yang Nyata

    Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status