Demi ibunya, ia menyerahkan kendali hidup kepada pria yang bahkan belum dipahami seutuhnya. Namun, yang membuat pikirannya tak tenang bukanlah kontrak, bukan pula ancaman perasaan—melainkan ucapan terakhir Tama malam tadi.
“Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.” Apa hubungan ibunya dengan Tama? Apakah ibunya tahu bahwa pria itu sekarang mengatur hidup anaknya? Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya. Tapi, Alya sama sekali tak bisa memecahkannya. Berat, sungguh berat. Sesampainya di kosan, Alya hanya membawa satu koper dan satu tas ransel. Sisa barang ia tinggalkan. Tak penting lagi. Hidup barunya telah menantinya di lantai 25 apartemen mewah. Setiap langkah keluar dari kamar kos itu terasa seperti berpamitan dengan versi lamanya—versi Alya yang masih punya pilihan. Namun, sebelum ia keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. [Hati-hati dengan Tama Wiratama. Dia tidak seperti yang kau kira.] Alya terpaku. Jantungnya memompa cepat. Tangannya gemetar saat memegang layar ponsel. Siapa yang mengirim pesan ini? Kenapa semua serba misterius? Alya tak dapat berpikir dengan jernih, semua terasa begitu cepat. Dan lebih penting lagi—apa yang sebenarnya disembunyikan Tama darinya? Sore hari, ia resmi menempati apartemen barunya. Ruangan itu luas, dengan perabotan serba elegan dan pemandangan langit Jakarta yang memukau. Namun, semua kemewahan itu terasa asing. Dingin. Sunyi. Tak seperti rumah. Alya meletakkan koper dan ransel di kamar utama. Ia menyusuri setiap sudut apartemen dengan langkah pelan, mencoba mencerna kenyataan bahwa kini ia tinggal di tempat yang bahkan tak pernah diimpikan sebelumnya. Ia membuka lemari, menemukan deretan baju kerja baru yang sudah tergantung rapi. Seragam cleaning service yang bersih dan harum. Tama sudah menyiapkan semuanya. Bahkan ada sepatu baru yang masih terbungkus plastik. Alya menatap seragam itu lama, sebelum akhirnya memeluknya. Sebuah kebanggaan aneh menghangatkan hatinya. Meski dikelilingi kemewahan, ia masih menjadi dirinya. Seorang pekerja. Seorang anak perempuan yang tak akan lari dari tanggung jawabnya. Pagi berikutnya, Alya mengenakan seragam barunya dan turun ke lobi dengan kepala tegak. Beberapa penghuni apartemen melirik heran, tak percaya ada cleaning service yang turun dari lantai 25. Namun Alya tak peduli. Ia tiba di kantor pembersih gedung lebih awal dari biasanya. Rekan-rekannya menyambut dengan tatapan aneh. Beberapa berbisik, ada juga yang terang-terangan bertanya. "Lo sekarang tinggal di apartemen elit, ya? Kok, katanya lo dijemput sopir kemarin sore?" Alya hanya tersenyum kecil. "Rezeki orang beda-beda," jawabnya singkat. “Lo jadi ani-ani bos besar ya? Atau jangan-jangan lo jadi psk?” Alya tak menjawabnya, dia langsung pergi tanpa ingin membahas lebih jauh lagi. Dia tak peduli dengan pikiran orang lain. Meskipun dalam hati, ia menyimpan beban yang tak mungkin dibagikan. Kontrak itu, hidup mewah itu, semua punya harga. Dan harga itu bukan sekadar tanda tangan di atas kertas. Sore hari sepulang kerja, Alya memutuskan menjenguk ibunya. Ia membeli buah dan susu, lalu naik ojek menuju rumah sakit. Di bangsal kelas dua yang hangat, ibunya menyambut dengan senyum lemah. "Kamu terlihat lebih segar sekarang, Ya," kata ibunya pelan. Alya menggenggam tangan ibunya. "Aku dapat tempat tinggal baru. Gratis. Dari ... sponsor dermawan." Ibunya tertawa kecil. "Jangan-jangan jodohmu?" Alya hanya tersenyum. Tapi, di dalam dadanya, senyum itu terasa pahit. Dia tak mau berjodoh dengan orang itu. Setelah mengobrol beberapa saat, Alya memutuskan untuk bertanya. "Bu, kamu pernah kenal dengan seseorang bernama Tama Wiratama?" Ibunya terdiam. Senyumnya memudar. Tangannya tiba-tiba berhenti mengelus lengan Alya. "Dari mana kamu kenal nama itu?" "Dia orang yang bantuin aku sekarang. Yang bayarin rumah sakit juga ...." Ibunya memejamkan mata. Napasnya bergetar. "Dulu ... dia orang yang nyaris membuat hidup Ibu hancur. Tapi, mungkin Tuhan sekarang balikkan semuanya." "Apa yang dia lakukan, Bu?" Namun, ibunya hanya menggeleng pelan. "Jangan tanya, ya. Lebih baik kamu jaga jarak. Meski dia tampak menolongmu, ada luka yang belum sembuh di masa lalu itu." Alya pulang dengan hati kacau. Setiap kalimat ibunya seperti menggoreskan misteri baru. Siapa sebenarnya Tama? Kenapa semua orang memperingatkannya? *** Malamnya, Alya duduk di balkon apartemen. Angin malam membelai wajahnya, tetapi pikirannya terus melayang pada satu nama: Tama Wiratama. Ponselnya berdering. Nama Tama muncul di layar. “Halo?" "Besok malam, temani aku ke acara gala dinner perusahaan. Akan kukirimkan gaun dan make up artist ke apartemenmu." "Kenapa aku? Aku hanya cleaning service." "Kau bukan hanya itu sekarang. Kau adalah bagian dari kontrak. Dan publik perlu melihatku datang bersama seseorang. Aku tidak suka ditanya-tanya soal wanita." Alya diam. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Jangan khawatir," lanjut Tama. "Aku tidak akan menyentuhmu. Ini hanya peran. Kau hanya perlu tersenyum dan terlihat seperti seseorang yang sangat mencintaiku." Kata-kata itu seperti ironi. Menyayangi seseorang hanya untuk kepentingan publik. *** Keesokan harinya, semua telah siap. Gaun merah anggun, riasan elegan, sepatu hak tinggi yang membuat Alya merasa seperti orang lain. Ia menatap cermin dan nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Tama menjemputnya dengan mobil hitam panjang. Saat turun dari mobil di depan hotel bintang lima, semua mata tertuju pada mereka. Tama merangkul pinggang Alya, seolah ia adalah miliknya. Dan Alya, memainkan peran yang ia benci, tapi tak bisa tolak. Di dalam ballroom, suasana glamor menyambut. Musik klasik, gelas-gelas kristal, dan aroma parfum mahal memenuhi udara. Alya berusaha tetap tenang. Namun, di salah satu sudut ruangan, matanya menangkap seorang wanita tua dengan rambut putih yang menatap tajam ke arahnya. Wanita itu lalu mendekat, langkahnya tenang tapi penuh tekanan. "Kau anaknya Maria, bukan?" Alya terkejut. "Ibu mengenal mama saya?" Wanita itu tidak menjawab. Ia justru menatap Tama yang berdiri tak jauh di belakang. "Tama, kau membawa anaknya ke sini juga sekarang? Setelah semua yang kau lakukan pada ibunya?" Tama membeku. Tatapannya berubah gelap. "Sudah, Bu Ratna. Ini bukan tempatnya." Alya menatap keduanya bergantian. Jantungnya berdegup tak karuan. Ada rahasia besar yang baru saja mengintip dari balik tirai. Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kontrak ditandatangani, Alya tahu bahwa hidupnya akan jauh lebih rumit dari sekadar berpura-pura mencintai pria itu. Setibanya di apartemen, Alya melepas gaunnya dan menatap dirinya di cermin. Ia merasa seperti boneka. Dipoles, dihias, dijadikan alat. Ia membuka ponselnya, hendak mencari tahu siapa sebenarnya Bu Ratna. Namun sebelum sempat mengetik, notifikasi pesan masuk kembali muncul. [Keluar dari hidupnya sekarang, sebelum kau jadi korban selanjutnya.] Alya terdiam. Tubuhnya menggigil. Dan kali ini, tak ada senyum yang bisa ia pakai untuk pura-pura kuat. ***Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha
Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla
Angin pagi menelusup lembut lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Cahaya mentari menembus tirai putih, menggambar garis-garis tipis di dinding ruang kecil itu. Suara burung gereja dari genteng terdengar bersahutan, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir yang belum disentuh.Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan kegiatan mingguan Rumah Pulih. Di pojok kanan bawah layar, jam menunjukkan pukul 07.12 pagi. Beberapa bulan telah berlalu sejak surat dari Ranti tiba. Waktu memang tak menghapus semua luka, tapi perlahan menjahitnya, satu per satu.Ia kini menempati rumah kecil di belakang kompleks Rumah Pulih, rumah hasil tabungan dan kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. Dindingnya belum dicat sempurna, tapi wangi kayu dan udara pagi yang bebas dari kebisingan membuat tempat itu terasa seperti pelukan. Tama sering datang menginap di akhir pekan, kadang membantu memperbaiki kran, kadang hanya duduk membaca di teras sambil menyeruput teh buatan Al
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap setelah semalaman diguyur hujan. Langit masih kelabu, tapi di sela awan tampak secercah cahaya mentari yang malu-malu muncul. Alya membuka jendela kecil kontrakannya. Angin membawa aroma tanah basah dan sisa wangi daun kamboja dari halaman belakang Rumah Pulih. Hari itu seharusnya biasa saja, seperti pagi-pagi lain di mana ia menyiapkan teh, memeriksa daftar kegiatan relawan, dan menulis sedikit di jurnalnya sebelum berangkat.Namun, ketenangan pagi itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu. Pelan, berulang, seolah-olah pengantarnya tak yakin harus mengetuk lebih keras atau tidak.“Sebentar .…” Alya berjalan menghampiri. Di depan pintu, berdiri seorang kurir perempuan muda berseragam abu-abu. Ia tersenyum sopan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan logo jasa pengiriman di pojok kiri atas.“Untuk Ibu Alya. N.?”“Iya, saya sendiri.”“Tolong tanda tangan di sini.”Alya menandatangani lembar kecil itu tanpa curiga. Namun, begitu ku
Jakarta masih dalam suasana hujan sore yang malas. Awan menggantung rendah di langit, seolah-olah ikut menahan segala kenangan yang belum sempat reda. Rintik air menuruni kaca jendela kontrakan Alya perlahan, menciptakan irama lembut yang menenangkan, seolah-olah dunia sedang beristirahat dari kebisingannya sendiri. Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian di mal, pertemuan tak terduga yang hampir mengguncang ketenangan yang baru saja Alya temukan. Percakapannya dengan Raga di teras kontrakan pun masih sesekali terlintas, tapi tidak lagi menimbulkan perih. Semuanya mulai terasa seperti lembar lama yang sudah rampung dibaca, disimpan di rak ingatan tanpa keinginan untuk dibuka kembali.Kini, hari-hari Alya kembali diisi dengan rutinitas yang ia cintai. Ia kembali ke Rumah Pulih, tempat di mana ia menyalurkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang-orang yang ingin bangkit dari luka masa lalu. Bangunan sederhana di samping kontrakannya itu kini dikelola oleh relawan baru, tetapi
Pusat perbelanjaan sore itu ramai, tapi langkah Alya terasa ringan, dan sekaligus berat. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir bertemu Tama. Ia pikir kepergian itu akan memudahkannya melupakan, tapi setiap sudut kota justru mengingatkannya pada pria itu.Ia berhenti di depan etalase toko buku, memandangi rak berisi novel-novel baru.“Lucu,” gumamnya lirih. “Dulu aku selalu ingin menulis kisah tentang orang lain … tapi sekarang malah terjebak dalam kisahku sendiri.”Tangannya gemetar kecil saat mengambil minuman di kios terdekat. Di tengah lamunannya, seseorang menabraknya pelan.“Maaf, Mbak .…” Suara perempuan paruh baya terdengar. Alya menoleh, tersenyum sopan.“Tidak apa-apa, Bu.”Perempuan itu memandangi Alya agak lama sebelum berkata, “Kamu kerja di kantor Tama, ya?”Alya menatapnya, kaget. “Ibu kenal Pak Tama?”Perempuan itu tersenyum samar. “Kenal. Aku dulu tetangga kecilnya di kampung. Anak itu keras kepala, tapi bukan karena sombong. Hidupnya berat dari kecil.”Alya diam. A