Home / Rumah Tangga / Kontrak Cinta, Luka Nyata / Bab 3. Seragam dan Luka

Share

Bab 3. Seragam dan Luka

last update Last Updated: 2025-06-17 03:33:25

Demi ibunya, ia menyerahkan kendali hidup kepada pria yang bahkan belum dipahami seutuhnya. Namun, yang membuat pikirannya tak tenang bukanlah kontrak, bukan pula ancaman perasaan—melainkan ucapan terakhir Tama malam tadi.

“Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.”

Apa hubungan ibunya dengan Tama? Apakah ibunya tahu bahwa pria itu sekarang mengatur hidup anaknya? Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya. Tapi, Alya sama sekali tak bisa memecahkannya. Berat, sungguh berat.

Sesampainya di kosan, Alya hanya membawa satu koper dan satu tas ransel. Sisa barang ia tinggalkan. Tak penting lagi. Hidup barunya telah menantinya di lantai 25 apartemen mewah. Setiap langkah keluar dari kamar kos itu terasa seperti berpamitan dengan versi lamanya—versi Alya yang masih punya pilihan.

Namun, sebelum ia keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Hati-hati dengan Tama Wiratama. Dia tidak seperti yang kau kira.]

Alya terpaku. Jantungnya memompa cepat. Tangannya gemetar saat memegang layar ponsel.

Siapa yang mengirim pesan ini? Kenapa semua serba misterius? Alya tak dapat berpikir dengan jernih, semua terasa begitu cepat.

Dan lebih penting lagi—apa yang sebenarnya disembunyikan Tama darinya?

Sore hari, ia resmi menempati apartemen barunya. Ruangan itu luas, dengan perabotan serba elegan dan pemandangan langit Jakarta yang memukau. Namun, semua kemewahan itu terasa asing. Dingin. Sunyi. Tak seperti rumah.

Alya meletakkan koper dan ransel di kamar utama. Ia menyusuri setiap sudut apartemen dengan langkah pelan, mencoba mencerna kenyataan bahwa kini ia tinggal di tempat yang bahkan tak pernah diimpikan sebelumnya.

Ia membuka lemari, menemukan deretan baju kerja baru yang sudah tergantung rapi. Seragam cleaning service yang bersih dan harum. Tama sudah menyiapkan semuanya. Bahkan ada sepatu baru yang masih terbungkus plastik.

Alya menatap seragam itu lama, sebelum akhirnya memeluknya. Sebuah kebanggaan aneh menghangatkan hatinya. Meski dikelilingi kemewahan, ia masih menjadi dirinya. Seorang pekerja. Seorang anak perempuan yang tak akan lari dari tanggung jawabnya.

Pagi berikutnya, Alya mengenakan seragam barunya dan turun ke lobi dengan kepala tegak. Beberapa penghuni apartemen melirik heran, tak percaya ada cleaning service yang turun dari lantai 25. Namun Alya tak peduli.

Ia tiba di kantor pembersih gedung lebih awal dari biasanya. Rekan-rekannya menyambut dengan tatapan aneh. Beberapa berbisik, ada juga yang terang-terangan bertanya.

"Lo sekarang tinggal di apartemen elit, ya? Kok, katanya lo dijemput sopir kemarin sore?"

Alya hanya tersenyum kecil. "Rezeki orang beda-beda," jawabnya singkat.

“Lo jadi ani-ani bos besar ya? Atau jangan-jangan lo jadi psk?”

Alya tak menjawabnya, dia langsung pergi tanpa ingin membahas lebih jauh lagi. Dia tak peduli dengan pikiran orang lain.

Meskipun dalam hati, ia menyimpan beban yang tak mungkin dibagikan. Kontrak itu, hidup mewah itu, semua punya harga. Dan harga itu bukan sekadar tanda tangan di atas kertas.

Sore hari sepulang kerja, Alya memutuskan menjenguk ibunya. Ia membeli buah dan susu, lalu naik ojek menuju rumah sakit. Di bangsal kelas dua yang hangat, ibunya menyambut dengan senyum lemah.

"Kamu terlihat lebih segar sekarang, Ya," kata ibunya pelan.

Alya menggenggam tangan ibunya. "Aku dapat tempat tinggal baru. Gratis. Dari ... sponsor dermawan."

Ibunya tertawa kecil. "Jangan-jangan jodohmu?"

Alya hanya tersenyum. Tapi, di dalam dadanya, senyum itu terasa pahit. Dia tak mau berjodoh dengan orang itu.

Setelah mengobrol beberapa saat, Alya memutuskan untuk bertanya.

"Bu, kamu pernah kenal dengan seseorang bernama Tama Wiratama?"

Ibunya terdiam. Senyumnya memudar. Tangannya tiba-tiba berhenti mengelus lengan Alya.

"Dari mana kamu kenal nama itu?"

"Dia orang yang bantuin aku sekarang. Yang bayarin rumah sakit juga ...."

Ibunya memejamkan mata. Napasnya bergetar.

"Dulu ... dia orang yang nyaris membuat hidup Ibu hancur. Tapi, mungkin Tuhan sekarang balikkan semuanya."

"Apa yang dia lakukan, Bu?"

Namun, ibunya hanya menggeleng pelan.

"Jangan tanya, ya. Lebih baik kamu jaga jarak. Meski dia tampak menolongmu, ada luka yang belum sembuh di masa lalu itu."

Alya pulang dengan hati kacau. Setiap kalimat ibunya seperti menggoreskan misteri baru. Siapa sebenarnya Tama? Kenapa semua orang memperingatkannya?

***

Malamnya, Alya duduk di balkon apartemen. Angin malam membelai wajahnya, tetapi pikirannya terus melayang pada satu nama: Tama Wiratama.

Ponselnya berdering. Nama Tama muncul di layar.

“Halo?"

"Besok malam, temani aku ke acara gala dinner perusahaan. Akan kukirimkan gaun dan make up artist ke apartemenmu."

"Kenapa aku? Aku hanya cleaning service."

"Kau bukan hanya itu sekarang. Kau adalah bagian dari kontrak. Dan publik perlu melihatku datang bersama seseorang. Aku tidak suka ditanya-tanya soal wanita."

Alya diam. Jantungnya berdetak lebih cepat.

"Jangan khawatir," lanjut Tama. "Aku tidak akan menyentuhmu. Ini hanya peran. Kau hanya perlu tersenyum dan terlihat seperti seseorang yang sangat mencintaiku."

Kata-kata itu seperti ironi. Menyayangi seseorang hanya untuk kepentingan publik.

***

Keesokan harinya, semua telah siap. Gaun merah anggun, riasan elegan, sepatu hak tinggi yang membuat Alya merasa seperti orang lain. Ia menatap cermin dan nyaris tak mengenali dirinya sendiri.

Tama menjemputnya dengan mobil hitam panjang. Saat turun dari mobil di depan hotel bintang lima, semua mata tertuju pada mereka. Tama merangkul pinggang Alya, seolah ia adalah miliknya. Dan Alya, memainkan peran yang ia benci, tapi tak bisa tolak.

Di dalam ballroom, suasana glamor menyambut. Musik klasik, gelas-gelas kristal, dan aroma parfum mahal memenuhi udara. Alya berusaha tetap tenang. Namun, di salah satu sudut ruangan, matanya menangkap seorang wanita tua dengan rambut putih yang menatap tajam ke arahnya. Wanita itu lalu mendekat, langkahnya tenang tapi penuh tekanan.

"Kau anaknya Maria, bukan?"

Alya terkejut. "Ibu mengenal mama saya?"

Wanita itu tidak menjawab. Ia justru menatap Tama yang berdiri tak jauh di belakang.

"Tama, kau membawa anaknya ke sini juga sekarang? Setelah semua yang kau lakukan pada ibunya?"

Tama membeku. Tatapannya berubah gelap.

"Sudah, Bu Ratna. Ini bukan tempatnya."

Alya menatap keduanya bergantian. Jantungnya berdegup tak karuan. Ada rahasia besar yang baru saja mengintip dari balik tirai.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kontrak ditandatangani, Alya tahu bahwa hidupnya akan jauh lebih rumit dari sekadar berpura-pura mencintai pria itu.

Setibanya di apartemen, Alya melepas gaunnya dan menatap dirinya di cermin. Ia merasa seperti boneka. Dipoles, dihias, dijadikan alat. Ia membuka ponselnya, hendak mencari tahu siapa sebenarnya Bu Ratna. Namun sebelum sempat mengetik, notifikasi pesan masuk kembali muncul.

[Keluar dari hidupnya sekarang, sebelum kau jadi korban selanjutnya.]

Alya terdiam. Tubuhnya menggigil.

Dan kali ini, tak ada senyum yang bisa ia pakai untuk pura-pura kuat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 86. Alya Mengambil Alih Toko

    Rumah itu gelap total.Hujan masih deras, menampar genting dan jendela, sementara angin meniup gorden tipis di ruang tamu.Alya berdiri terpaku di tengah ruangan, menggenggam amplop putih yang isinya masih bergetar di tangannya.Tulisan di belakang foto itu, “Berhenti mencari. Atau kamu akan menyusulnya.” Masih terpatri jelas di matanya.Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat. Tak ada tanda siapa pun yang datang. Namun, entah kenapa, hawa dingin yang menyelinap lewat celah pintu terasa bukan cuma dari hujan, tapi seperti napas seseorang yang bersembunyi di luar sana.Perlahan, Alya memungut ponselnya yang jatuh di lantai. Layarnya retak sedikit di pojok, tapi masih menyala. Tak ada sinyal.Listrik padam, lampu mati, dan suara detak jam dinding jadi satu-satunya yang hidup di ruangan itu.Ia menarik napas panjang, lalu memegang perutnya.“Tenang ya … Mama nggak apa-apa,” bisiknya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri daripada janin di dalam kandungannya.Hujan tak kunjung r

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 85. Tama Menghilang

    Jakarta kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, seperti menangisi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di layar ponsel Alya, notifikasi masih berdentum tanpa henti, tagar #AlyaWiratama dan #SkandalRumahPulih belum turun dari trending sejak dua hari terakhir.Namun, pagi itu ada satu hal yang jauh lebih menakutkan dari ribuan komentar kebencian,Tama menghilang.Nomor ponselnya tidak aktif.Kantor lamanya, tempat ia mengelola proyek sosial kecil setelah keluar dari perusahaan sebelumnya, terkunci rapat.Akun media sosialnya tidak lagi bisa diakses; semua hilang, seolahi disapu bersih oleh tangan tak terlihat.Awalnya, Alya mengira Tama hanya butuh waktu menenangkan diri setelah ledakan skandal itu.Namun, ketika malam datang dan tak ada kabar apa pun, ketenangan itu berubah jadi ketakutan.Ia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Tama, Rehan, rekan lamanya, bahkan beberapa staf yang dulu sempat bekerja bersamanya.Jawabannya sama.[Maaf, Bu

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 84. Alya Diserang di Media Sosial

    Pagi itu Jakarta tampak biasa-biasa saja. Langit kelabu, hujan gerimis, dan aroma tanah basah yang masih tertinggal sejak malam sebelumnya. Tapi, bagi Alya, dunia baru saja berubah menjadi ruang yang sempit dan mencekik.Ia baru saja duduk di ruang kerja Rumah Pulih, mengenakan cardigan abu-abu dan memandangi layar laptopnya yang terbuka di atas meja kayu. Laman media sosialnya terbuka otomatis karena pengaturan otomatis browser. Namun, yang terpampang bukan notifikasi biasa dari pasien yang berterima kasih atau rekan sejawat yang membagikan artikel tentang kesehatan mental.Matanya membeku menatap tulisan di layar.“Katanya pendiri Rumah Pulih hamil tanpa suami resmi.Anak siapa? Tama Wiratama? Atau dokter Zaki?”— akun anonim @InsideJakarta_TruthsUnggahan itu disertai foto dirinya, candid dari belakang, saat keluar dari Rumah Pulih dengan perut yang mulai tampak membulat. Di bawahnya, ratusan komentar sudah mengalir deras.“Astaghfirullah, panutanku ternyata munafik.”“Katanya bant

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 83. Zaki Tahu Segalanya

    Hujan belum juga reda ketika Zaki menutup pintu mobilnya di halaman Rumah Pulih. Lampu teras menyala redup, menembus kabut tipis yang menggantung di udara malam. Ia baru kembali dari rumah sakit, kunjungan yang seharusnya rutin, mengecek berkas untuk program kesehatan ibu dan anak yang sedang digarapnya bersama tim. Namun, malam ini, berkas yang ia bawa pulang bukan sekadar data medis biasa.Di tangannya, map putih bertuliskan nama yang terlalu familiar, Alya. N. Wiratama.Zaki menatap tulisan itu lama. Huruf demi huruf seperti meninju dadanya, membuat napasnya sesak. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh membuka data pribadi pasien tanpa izin. Namun, nama itu, nama yang dulu begitu dekat dengannya, yang masih bergema di kepalanya setiap kali malam datang, membuat rasa penasaran menembus batas profesionalisme.Tangannya gemetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar hasil tes laboratorium, termasuk hasil tes kehamilan yang dicetak dua minggu lalu. Positif.Zaki terdiam. De

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 82. Bayangan di Balik Kabar Baru

    Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 81. Tes Kehamilan dan Luka yang Nyata

    Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status