Setibanya di apartemen, Alya melepas gaunnya dan menatap dirinya di cermin. Ia merasa seperti boneka. Dipoles, dihias, dijadikan alat. Wajahnya cantik, rambutnya terurai rapi, tetapi matanya kosong. Seperti cangkang yang diisi oleh kehendak orang lain. Sinar lampu temaram di kamar menciptakan bayangan samar di wajahnya, membuat dirinya seakan-akan asing di mata sendiri. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah-olah mencoba menghapus lapisan kebohongan yang melekat.
Alya mengusap wajahnya dengan kasar, dia sungguh bingung. Hidup yang dijalani saat ini, jauh dari perkiraan sebelumnya. Sungguh, Alya tak pernah terpikirkan akan hidup dalam keadaan seperti sekarang ini. Dia merasa seperti burung dalam sangkar dan penuh kepura-puraan. Entah, sampai kapan dia akan terus hidup seperti ini. Ia membuka ponselnya, hendak mencari tahu siapa sebenarnya Bu Ratna. Nama itu tak asing, tetapi terlalu jauh dari ingatannya yang penuh luka dan kabut masa kecil. Ia ingat samar-samar suara keras di suatu malam, tangisan ibunya, dan seorang perempuan yang berdiri di ujung tangga. Namun, sebelum sempat mengetik, notifikasi pesan masuk kembali muncul. [Keluar dari hidupnya sekarang, sebelum kau jadi korban selanjutnya.] Alya terdiam. Tubuhnya menggigil. Dan kali ini, tak ada senyum yang bisa dipakai untuk pura-pura kuat. Pesan itu menusuk ke dalam batin, membuatnya merasakan bahaya yang nyata dan dekat. Ia merasa sedang berjalan di atas tali yang bisa putus kapan saja. Alya menarik napas dalam, dia masih berharap semua yang dialami ini hanyalah sebuah mimpi, dan saat bangun nanti, semua akan kembali normal seperti dulu. Alya menghela napas dalam. Sungguh rumit nasib hidupnya. *** Pagi berikutnya, ia bangun dengan kepala berat dan hati gelisah. Sinar matahari menerobos jendela apartemen yang mewah, tetapi tak mampu menghangatkan perasaan dingin yang menyelimutinya sejak semalam. Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, memandangi lantai kayu yang mengilat, seolah-olah sedang menghitung kemungkinan-kemungkinan yang belum bisa dijawab. Ia menyesap udara dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Saat ia turun ke dapur, ada satu kotak hitam di atas meja. Terikat pita emas, mewah, dan mencolok. Ada secarik kertas di atasnya: "Untuk menyambut awal hidup barumu. —T.W." Alya membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, tergeletak jam tangan mewah berlapis emas putih, lengkap dengan berlian kecil di pinggirnya. Benda itu tampak lebih mahal dari semua yang pernah ia miliki seumur hidup. Aromanya pun wangi, seperti parfum pria mahal yang menempel samar. Sejenak ia terpaku. Hatinya campur aduk antara kagum, takut, dan ... risih. Hadiah itu terasa seperti simbol—bahwa ia telah resmi menjadi bagian dari hidup pria itu, Tama Wiratama. Hadiah bukan sekadar benda, tapi pernyataan diam bahwa ia milik seseorang. Ia mendesah pelan, lalu menyentuh jam itu seolah-olah ingin memastikan itu nyata. Sore harinya, saat ia sedang bersiap menuju tempat kerja, sopir Tama mengantar satu tas lagi. “Ini dari Pak Tama,” ujar sang sopir singkat sambil menyerahkan tas kulit mahal yang berat. Di dalam tas itu, ada dua setel pakaian: satu gaun malam berwarna merah marun yang menonjolkan lekuk tubuh, dan satu lagi—seragam cleaning service yang telah dijahit ulang dengan bahan yang lebih halus, seperti buatan butik mahal. Alya menghela napas panjang. Tama memberinya dua wajah. Satu untuk dunia, satu untuk diam-diam miliknya. Ia memilih mengenakan seragam. Ia tahu, meski glamor memanggil, harga yang dibayar lebih dari sekadar nyawa. *** Di tempat kerja, suasana mulai berubah. Beberapa pegawai mulai memperhatikannya lebih dari biasanya. Tatapan mata mereka bukan lagi sekadar pandangan pada petugas kebersihan biasa. Ada bisik-bisik, lirikan sinis, dan beberapa pegawai wanita bahkan terang-terangan mencibirnya. “Dia tuh kerja bersih-bersih, tapi tasnya Hermes asli. Dapat dari mana, coba?” bisik seorang staf wanita pada temannya saat Alya lewat. “Ya, pasti dari sugar daddy. Lihat aja jam tangannya. Nggak mungkin afford itu dari gaji bersih-bersih lantai,” balas yang lain. Alya pura-pura tidak mendengar. Namun, telinganya panas, matanya mulai terasa pedih. Ia melanjutkan pekerjaannya seperti biasa, seolah-olah semua kata-kata itu tak menyentuh hatinya. Namun, ia tahu, ada luka baru yang menganga, luka yang tak bisa ia obati dengan sekadar tidur atau menangis. Saat berada di pantry, ia mendengar dua karyawan pria berbicara lirih. "Gua denger dia deket sama Pak Tama. Bisa jadi emang bener, dia tuh ...." "Maksud lo? Jadi simpanan?" Mereka tertawa pelan, tetapi tajam di telinga Alya. Hatinya mengerut. Ia mencoba menenangkan diri, mengatur napas, tetapi pikirannya terus dipenuhi suara tawa itu. Menghantui bahkan setelah ia pergi dari ruangan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menggantung di pundaknya. Menjadi simpanan tak pernah ada dalam pikiran Alya, hanya saja semuanya karena terpaksa dan tak ada pilihan lagi. Andai Alya bisa memilih, dia sangat tidak mau menjalani kehidupannya saat ini. Hidup Alya sungguh berat dan rumit. Malam harinya, Alya pulang dengan langkah lunglai. Di depan pintu apartemen, ia menemukan sesuatu lagi: kotak kecil dengan pita perak. Di dalamnya, ada kalung berliontin safir biru. Warnanya dingin, serupa dengan malam yang menunggu di balik tirai jendela. Ia tak sempat tersentuh keindahannya karena satu surat kecil di dalamnya membuat napasnya tercekat: "Untuk mempercantik leher yang harus menahan beban rahasia. —T.W." Alya terhuyung duduk di sofa. Rahasia. Kata itu kini bergema dalam hidupnya seperti gema di lorong tak berujung. Ia hidup dalam dua dunia yang saling bertabrakan. Dunia glamor dan kekuasaan yang dihadiahkan Tama, dan dunia penuh luka serta tanya yang ia tinggalkan. Dunia yang penuh ketidakpastian. Ia memegang ponsel. Kali ini ia memberanikan diri membalas pesan dari nomor misterius itu. Siapa kamu? Balasan tak langsung datang. Namun, begitu muncul, jantung Alya seperti berhenti berdetak sejenak. [Aku korban pertama Tama Wiratama. Dan aku bisa buktikan.] Alya ingin membalas, tetapi tiba-tiba ada ketukan di pintu. Tiga kali. Lembut, tapi tegas. Ia berjalan ke pintu, membuka dengan hati berdebar. Tama berdiri di sana. Mengenakan setelan hitam dan senyum kecil yang tak sampai ke mata. "Kita perlu bicara," ucapnya pelan. "Tentang seseorang dari masa laluku ... yang mungkin mulai mengganggumu." Alya mundur selangkah. Mulutnya yang kering bertanya, "Siapa?" Tama menatapnya tajam. "Mantan tunanganku. Dia menghilang bertahun-tahun lalu setelah suatu kejadian. Dan sekarang, dia mengawasi kita." Alya berdiri mematung, sedangkan Tama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berkata pelan, tetapi jelas: "Aku takut dia akan mencelakaimu." Alya hanya bisa menghela napas berat.Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha
Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla
Angin pagi menelusup lembut lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Cahaya mentari menembus tirai putih, menggambar garis-garis tipis di dinding ruang kecil itu. Suara burung gereja dari genteng terdengar bersahutan, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir yang belum disentuh.Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan kegiatan mingguan Rumah Pulih. Di pojok kanan bawah layar, jam menunjukkan pukul 07.12 pagi. Beberapa bulan telah berlalu sejak surat dari Ranti tiba. Waktu memang tak menghapus semua luka, tapi perlahan menjahitnya, satu per satu.Ia kini menempati rumah kecil di belakang kompleks Rumah Pulih, rumah hasil tabungan dan kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. Dindingnya belum dicat sempurna, tapi wangi kayu dan udara pagi yang bebas dari kebisingan membuat tempat itu terasa seperti pelukan. Tama sering datang menginap di akhir pekan, kadang membantu memperbaiki kran, kadang hanya duduk membaca di teras sambil menyeruput teh buatan Al
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap setelah semalaman diguyur hujan. Langit masih kelabu, tapi di sela awan tampak secercah cahaya mentari yang malu-malu muncul. Alya membuka jendela kecil kontrakannya. Angin membawa aroma tanah basah dan sisa wangi daun kamboja dari halaman belakang Rumah Pulih. Hari itu seharusnya biasa saja, seperti pagi-pagi lain di mana ia menyiapkan teh, memeriksa daftar kegiatan relawan, dan menulis sedikit di jurnalnya sebelum berangkat.Namun, ketenangan pagi itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu. Pelan, berulang, seolah-olah pengantarnya tak yakin harus mengetuk lebih keras atau tidak.“Sebentar .…” Alya berjalan menghampiri. Di depan pintu, berdiri seorang kurir perempuan muda berseragam abu-abu. Ia tersenyum sopan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan logo jasa pengiriman di pojok kiri atas.“Untuk Ibu Alya. N.?”“Iya, saya sendiri.”“Tolong tanda tangan di sini.”Alya menandatangani lembar kecil itu tanpa curiga. Namun, begitu ku
Jakarta masih dalam suasana hujan sore yang malas. Awan menggantung rendah di langit, seolah-olah ikut menahan segala kenangan yang belum sempat reda. Rintik air menuruni kaca jendela kontrakan Alya perlahan, menciptakan irama lembut yang menenangkan, seolah-olah dunia sedang beristirahat dari kebisingannya sendiri. Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian di mal, pertemuan tak terduga yang hampir mengguncang ketenangan yang baru saja Alya temukan. Percakapannya dengan Raga di teras kontrakan pun masih sesekali terlintas, tapi tidak lagi menimbulkan perih. Semuanya mulai terasa seperti lembar lama yang sudah rampung dibaca, disimpan di rak ingatan tanpa keinginan untuk dibuka kembali.Kini, hari-hari Alya kembali diisi dengan rutinitas yang ia cintai. Ia kembali ke Rumah Pulih, tempat di mana ia menyalurkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang-orang yang ingin bangkit dari luka masa lalu. Bangunan sederhana di samping kontrakannya itu kini dikelola oleh relawan baru, tetapi
Pusat perbelanjaan sore itu ramai, tapi langkah Alya terasa ringan, dan sekaligus berat. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir bertemu Tama. Ia pikir kepergian itu akan memudahkannya melupakan, tapi setiap sudut kota justru mengingatkannya pada pria itu.Ia berhenti di depan etalase toko buku, memandangi rak berisi novel-novel baru.“Lucu,” gumamnya lirih. “Dulu aku selalu ingin menulis kisah tentang orang lain … tapi sekarang malah terjebak dalam kisahku sendiri.”Tangannya gemetar kecil saat mengambil minuman di kios terdekat. Di tengah lamunannya, seseorang menabraknya pelan.“Maaf, Mbak .…” Suara perempuan paruh baya terdengar. Alya menoleh, tersenyum sopan.“Tidak apa-apa, Bu.”Perempuan itu memandangi Alya agak lama sebelum berkata, “Kamu kerja di kantor Tama, ya?”Alya menatapnya, kaget. “Ibu kenal Pak Tama?”Perempuan itu tersenyum samar. “Kenal. Aku dulu tetangga kecilnya di kampung. Anak itu keras kepala, tapi bukan karena sombong. Hidupnya berat dari kecil.”Alya diam. A