Home / Rumah Tangga / Kontrak Cinta, Luka Nyata / Bab 4. Hadiah Rahasia

Share

Bab 4. Hadiah Rahasia

last update Last Updated: 2025-06-17 03:34:14

Setibanya di apartemen, Alya melepas gaunnya dan menatap dirinya di cermin. Ia merasa seperti boneka. Dipoles, dihias, dijadikan alat. Wajahnya cantik, rambutnya terurai rapi, tetapi matanya kosong. Seperti cangkang yang diisi oleh kehendak orang lain. Sinar lampu temaram di kamar menciptakan bayangan samar di wajahnya, membuat dirinya seakan-akan asing di mata sendiri. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah-olah mencoba menghapus lapisan kebohongan yang melekat.

Alya mengusap wajahnya dengan kasar, dia sungguh bingung. Hidup yang dijalani saat ini, jauh dari perkiraan sebelumnya. Sungguh, Alya tak pernah terpikirkan akan hidup dalam keadaan seperti sekarang ini. Dia merasa seperti burung dalam sangkar dan penuh kepura-puraan. Entah, sampai kapan dia akan terus hidup seperti ini.

Ia membuka ponselnya, hendak mencari tahu siapa sebenarnya Bu Ratna. Nama itu tak asing, tetapi terlalu jauh dari ingatannya yang penuh luka dan kabut masa kecil. Ia ingat samar-samar suara keras di suatu malam, tangisan ibunya, dan seorang perempuan yang berdiri di ujung tangga. Namun, sebelum sempat mengetik, notifikasi pesan masuk kembali muncul.

[Keluar dari hidupnya sekarang, sebelum kau jadi korban selanjutnya.]

Alya terdiam. Tubuhnya menggigil. Dan kali ini, tak ada senyum yang bisa dipakai untuk pura-pura kuat. Pesan itu menusuk ke dalam batin, membuatnya merasakan bahaya yang nyata dan dekat. Ia merasa sedang berjalan di atas tali yang bisa putus kapan saja. Alya menarik napas dalam, dia masih berharap semua yang dialami ini hanyalah sebuah mimpi, dan saat bangun nanti, semua akan kembali normal seperti dulu.

Alya menghela napas dalam. Sungguh rumit nasib hidupnya.

***

Pagi berikutnya, ia bangun dengan kepala berat dan hati gelisah. Sinar matahari menerobos jendela apartemen yang mewah, tetapi tak mampu menghangatkan perasaan dingin yang menyelimutinya sejak semalam. Ia duduk di tepi ranjang cukup lama, memandangi lantai kayu yang mengilat, seolah-olah sedang menghitung kemungkinan-kemungkinan yang belum bisa dijawab. Ia menyesap udara dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang tak beraturan.

Saat ia turun ke dapur, ada satu kotak hitam di atas meja. Terikat pita emas, mewah, dan mencolok. Ada secarik kertas di atasnya:

"Untuk menyambut awal hidup barumu. —T.W."

Alya membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, tergeletak jam tangan mewah berlapis emas putih, lengkap dengan berlian kecil di pinggirnya. Benda itu tampak lebih mahal dari semua yang pernah ia miliki seumur hidup. Aromanya pun wangi, seperti parfum pria mahal yang menempel samar.

Sejenak ia terpaku. Hatinya campur aduk antara kagum, takut, dan ... risih. Hadiah itu terasa seperti simbol—bahwa ia telah resmi menjadi bagian dari hidup pria itu, Tama Wiratama. Hadiah bukan sekadar benda, tapi pernyataan diam bahwa ia milik seseorang. Ia mendesah pelan, lalu menyentuh jam itu seolah-olah ingin memastikan itu nyata.

Sore harinya, saat ia sedang bersiap menuju tempat kerja, sopir Tama mengantar satu tas lagi.

“Ini dari Pak Tama,” ujar sang sopir singkat sambil menyerahkan tas kulit mahal yang berat.

Di dalam tas itu, ada dua setel pakaian: satu gaun malam berwarna merah marun yang menonjolkan lekuk tubuh, dan satu lagi—seragam cleaning service yang telah dijahit ulang dengan bahan yang lebih halus, seperti buatan butik mahal.

Alya menghela napas panjang. Tama memberinya dua wajah. Satu untuk dunia, satu untuk diam-diam miliknya. Ia memilih mengenakan seragam. Ia tahu, meski glamor memanggil, harga yang dibayar lebih dari sekadar nyawa.

***

Di tempat kerja, suasana mulai berubah.

Beberapa pegawai mulai memperhatikannya lebih dari biasanya. Tatapan mata mereka bukan lagi sekadar pandangan pada petugas kebersihan biasa. Ada bisik-bisik, lirikan sinis, dan beberapa pegawai wanita bahkan terang-terangan mencibirnya.

“Dia tuh kerja bersih-bersih, tapi tasnya Hermes asli. Dapat dari mana, coba?” bisik seorang staf wanita pada temannya saat Alya lewat.

“Ya, pasti dari sugar daddy. Lihat aja jam tangannya. Nggak mungkin afford itu dari gaji bersih-bersih lantai,” balas yang lain.

Alya pura-pura tidak mendengar. Namun, telinganya panas, matanya mulai terasa pedih. Ia melanjutkan pekerjaannya seperti biasa, seolah-olah semua kata-kata itu tak menyentuh hatinya. Namun, ia tahu, ada luka baru yang menganga, luka yang tak bisa ia obati dengan sekadar tidur atau menangis.

Saat berada di pantry, ia mendengar dua karyawan pria berbicara lirih.

"Gua denger dia deket sama Pak Tama. Bisa jadi emang bener, dia tuh ...."

"Maksud lo? Jadi simpanan?"

Mereka tertawa pelan, tetapi tajam di telinga Alya. Hatinya mengerut. Ia mencoba menenangkan diri, mengatur napas, tetapi pikirannya terus dipenuhi suara tawa itu. Menghantui bahkan setelah ia pergi dari ruangan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menggantung di pundaknya. Menjadi simpanan tak pernah ada dalam pikiran Alya, hanya saja semuanya karena terpaksa dan tak ada pilihan lagi. Andai Alya bisa memilih, dia sangat tidak mau menjalani kehidupannya saat ini. Hidup Alya sungguh berat dan rumit.

Malam harinya, Alya pulang dengan langkah lunglai. Di depan pintu apartemen, ia menemukan sesuatu lagi: kotak kecil dengan pita perak. Di dalamnya, ada kalung berliontin safir biru. Warnanya dingin, serupa dengan malam yang menunggu di balik tirai jendela.

Ia tak sempat tersentuh keindahannya karena satu surat kecil di dalamnya membuat napasnya tercekat:

"Untuk mempercantik leher yang harus menahan beban rahasia. —T.W."

Alya terhuyung duduk di sofa. Rahasia. Kata itu kini bergema dalam hidupnya seperti gema di lorong tak berujung. Ia hidup dalam dua dunia yang saling bertabrakan. Dunia glamor dan kekuasaan yang dihadiahkan Tama, dan dunia penuh luka serta tanya yang ia tinggalkan. Dunia yang penuh ketidakpastian.

Ia memegang ponsel. Kali ini ia memberanikan diri membalas pesan dari nomor misterius itu.

Siapa kamu?

Balasan tak langsung datang. Namun, begitu muncul, jantung Alya seperti berhenti berdetak sejenak.

[Aku korban pertama Tama Wiratama. Dan aku bisa buktikan.]

Alya ingin membalas, tetapi tiba-tiba ada ketukan di pintu. Tiga kali. Lembut, tapi tegas.

Ia berjalan ke pintu, membuka dengan hati berdebar.

Tama berdiri di sana. Mengenakan setelan hitam dan senyum kecil yang tak sampai ke mata.

"Kita perlu bicara," ucapnya pelan. "Tentang seseorang dari masa laluku ... yang mungkin mulai mengganggumu."

Alya mundur selangkah. Mulutnya yang kering bertanya, "Siapa?"

Tama menatapnya tajam. "Mantan tunanganku. Dia menghilang bertahun-tahun lalu setelah suatu kejadian. Dan sekarang, dia mengawasi kita."

Alya berdiri mematung, sedangkan Tama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.

Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berkata pelan, tetapi jelas:

"Aku takut dia akan mencelakaimu."

Alya hanya bisa menghela napas berat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 86. Alya Mengambil Alih Toko

    Rumah itu gelap total.Hujan masih deras, menampar genting dan jendela, sementara angin meniup gorden tipis di ruang tamu.Alya berdiri terpaku di tengah ruangan, menggenggam amplop putih yang isinya masih bergetar di tangannya.Tulisan di belakang foto itu, “Berhenti mencari. Atau kamu akan menyusulnya.” Masih terpatri jelas di matanya.Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat. Tak ada tanda siapa pun yang datang. Namun, entah kenapa, hawa dingin yang menyelinap lewat celah pintu terasa bukan cuma dari hujan, tapi seperti napas seseorang yang bersembunyi di luar sana.Perlahan, Alya memungut ponselnya yang jatuh di lantai. Layarnya retak sedikit di pojok, tapi masih menyala. Tak ada sinyal.Listrik padam, lampu mati, dan suara detak jam dinding jadi satu-satunya yang hidup di ruangan itu.Ia menarik napas panjang, lalu memegang perutnya.“Tenang ya … Mama nggak apa-apa,” bisiknya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri daripada janin di dalam kandungannya.Hujan tak kunjung r

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 85. Tama Menghilang

    Jakarta kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, seperti menangisi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di layar ponsel Alya, notifikasi masih berdentum tanpa henti, tagar #AlyaWiratama dan #SkandalRumahPulih belum turun dari trending sejak dua hari terakhir.Namun, pagi itu ada satu hal yang jauh lebih menakutkan dari ribuan komentar kebencian,Tama menghilang.Nomor ponselnya tidak aktif.Kantor lamanya, tempat ia mengelola proyek sosial kecil setelah keluar dari perusahaan sebelumnya, terkunci rapat.Akun media sosialnya tidak lagi bisa diakses; semua hilang, seolahi disapu bersih oleh tangan tak terlihat.Awalnya, Alya mengira Tama hanya butuh waktu menenangkan diri setelah ledakan skandal itu.Namun, ketika malam datang dan tak ada kabar apa pun, ketenangan itu berubah jadi ketakutan.Ia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Tama, Rehan, rekan lamanya, bahkan beberapa staf yang dulu sempat bekerja bersamanya.Jawabannya sama.[Maaf, Bu

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 84. Alya Diserang di Media Sosial

    Pagi itu Jakarta tampak biasa-biasa saja. Langit kelabu, hujan gerimis, dan aroma tanah basah yang masih tertinggal sejak malam sebelumnya. Tapi, bagi Alya, dunia baru saja berubah menjadi ruang yang sempit dan mencekik.Ia baru saja duduk di ruang kerja Rumah Pulih, mengenakan cardigan abu-abu dan memandangi layar laptopnya yang terbuka di atas meja kayu. Laman media sosialnya terbuka otomatis karena pengaturan otomatis browser. Namun, yang terpampang bukan notifikasi biasa dari pasien yang berterima kasih atau rekan sejawat yang membagikan artikel tentang kesehatan mental.Matanya membeku menatap tulisan di layar.“Katanya pendiri Rumah Pulih hamil tanpa suami resmi.Anak siapa? Tama Wiratama? Atau dokter Zaki?”— akun anonim @InsideJakarta_TruthsUnggahan itu disertai foto dirinya, candid dari belakang, saat keluar dari Rumah Pulih dengan perut yang mulai tampak membulat. Di bawahnya, ratusan komentar sudah mengalir deras.“Astaghfirullah, panutanku ternyata munafik.”“Katanya bant

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 83. Zaki Tahu Segalanya

    Hujan belum juga reda ketika Zaki menutup pintu mobilnya di halaman Rumah Pulih. Lampu teras menyala redup, menembus kabut tipis yang menggantung di udara malam. Ia baru kembali dari rumah sakit, kunjungan yang seharusnya rutin, mengecek berkas untuk program kesehatan ibu dan anak yang sedang digarapnya bersama tim. Namun, malam ini, berkas yang ia bawa pulang bukan sekadar data medis biasa.Di tangannya, map putih bertuliskan nama yang terlalu familiar, Alya. N. Wiratama.Zaki menatap tulisan itu lama. Huruf demi huruf seperti meninju dadanya, membuat napasnya sesak. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh membuka data pribadi pasien tanpa izin. Namun, nama itu, nama yang dulu begitu dekat dengannya, yang masih bergema di kepalanya setiap kali malam datang, membuat rasa penasaran menembus batas profesionalisme.Tangannya gemetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar hasil tes laboratorium, termasuk hasil tes kehamilan yang dicetak dua minggu lalu. Positif.Zaki terdiam. De

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 82. Bayangan di Balik Kabar Baru

    Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 81. Tes Kehamilan dan Luka yang Nyata

    Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status