Home / Rumah Tangga / Kontrak Cinta, Luka Nyata / Bab 5. Wajah Lama yang Muncul

Share

Bab 5. Wajah Lama yang Muncul

last update Last Updated: 2025-06-17 04:16:00

Alya berdiri mematung, sedangkan Tama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berkata pelan, tetapi jelas:

"Aku takut dia akan mencelakaimu."

Kata-kata itu berputar-putar di kepala Alya sepanjang malam. Siapa yang dimaksud Tama? Kenapa ia terlihat sangat tegang? Alya ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap wajah pria itu, mencari jawaban dari tatapan matanya. Namun, Tama memilih diam. Malam itu, keheningan menyelimuti mereka lebih rapat daripada selimut yang membalut tubuh Alya di ranjang empuk apartemen.

Keesokan harinya, Alya kembali bekerja. Meski tinggal di tempat mewah, ia tak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai cleaning service. Itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa tetap manusia. Pagi itu ia datang lebih awal, mencoba menenangkan diri dengan rutinitas.

Namun, langkahnya terhenti ketika memasuki ruang briefing. Ada seseorang yang baru di sana. Seorang pria yang membuat seluruh udara di paru-parunya mendadak hilang.

"Kenalin, ini pegawai baru kita, Raga. Mulai hari ini dia akan jadi bagian dari tim perawatan gedung," kata koordinator.

Raga menoleh dan ... mata mereka bertemu.

Jantung Alya berdetak begitu kencang hingga ia takut semua orang bisa mendengarnya. Raga—teman SMA-nya. Raga yang dulu pernah membuat hatinya berdebar, yang pernah memintanya menari saat perpisahan, tapi ditolaknya karena rasa malu yang tak pernah sempat ia jelaskan.

Kini, Raga berdiri di depannya. Dewasa, lebih gagah, lebih kalem, dan matanya menyimpan tanya yang begitu besar.

"Alya?" Suaranya pelan, tapi cukup membuat semua kepala menoleh.

Alya menelan ludah. "Hai, Raga."

Sejak hari itu, hidup Alya berubah pelan-pelan. Raga seolah-olah membawa cahaya di lorong yang selama ini hanya diterangi lampu neon pabrik. Ia selalu ramah, selalu membantu, dan sering kali mencuri waktu untuk berbincang.

"Kenapa kamu kerja di sini?" tanya Alya di suatu siang saat mereka sama-sama membersihkan kaca kantor lantai dua.

"Hidup muter, Alya. Aku pernah tinggi, lalu jatuh. Tapi, aku masih punya tangan dan kaki. Jadi kupakai itu. Kamu?"

Alya tersenyum pahit. "Alasanku ... rumit."

"Kalau kamu butuh teman cerita, aku selalu ada."

Kalimat itu terdengar tulus. Dan Alya—yang selama ini hanya bicara dengan dirinya sendiri dalam kesunyian malam—merasa gentar. Gentar karena ingin percaya. Gentar karena ingin bercerita.

Namun, hidup tak semudah membuka jendela pagi hari. Tama tahu Raga. Dan entah bagaimana, Alya mulai merasakan gelombang kecemburuan dalam tiap lirikan Tama.

"Kau dekat dengannya?" tanya Tama saat mengantar Alya malam itu.

"Dia temanku dari SMA. Kami cuma kerja bareng."

"Orang yang mengenal masa lalumu bisa membongkar segalanya. Hati-hati."

Nada itu dingin, tapi penuh peringatan. Alya mulai merasa tercekik oleh dua dunia: dunia Raga yang hangat, dan dunia Tama yang penuh rahasia dan kekuasaan.

Hari-hari berlalu, dan interaksi dengan Raga semakin sering. Mereka makan siang bersama, berbagi cerita masa lalu, tertawa di tengah lelahnya pekerjaan. Raga memperlakukan Alya dengan lembut, tidak menuntut apa pun darinya, tidak juga menghakimi. Sementara Tama semakin menunjukkan sisi posesifnya.

Dalam satu kesempatan, Raga menunjukkan sisi kreatifnya. Ia memperbaiki dispenser rusak dengan alat seadanya dan membuat semua staf kagum. Alya memperhatikannya dari jauh, merasa bangga, sekaligus cemas. Semakin sering mereka bersama, semakin tipis batas yang ia bangun.

***

Malam itu, Alya berdoa lebih lama dari biasanya. Ia meminta kekuatan untuk tidak terjatuh, untuk tetap pada jalurnya. Tapi, saat keesokan paginya ia melihat Raga sedang membawakan sarapan untuknya, hatinya bergetar.

"Nasi kuning buatan rumah. Ibuku kirim dari kampung kemarin. Cuma kamu yang aku ajak makan bareng."

Alya mengangguk, menerima kotak makanan itu. "Makasih, Raga. Aku ... terharu."

"Terharu aja? Nggak jatuh cinta?" Raga bercanda.

Alya tertawa, tapi tawa itu bergetar. Ia tahu ia tak boleh membiarkan hatinya berbelok.

Suatu malam, Raga mengetuk pintu kamar staf, tempat Alya sedang merapikan perlengkapan.

"Aku nemu ini di lokermu. Kayaknya jatuh." Raga mengulurkan benda kecil—foto lama Alya bersama ibunya.

"Terima kasih. Aku kira hilang."

"Aku masih inget wajah ibumu. Waktu kamu bawa dia ke pameran sekolah, dia bangga banget sama kamu."

Alya tercekat. Kenangan itu terlalu manis untuk dibangkitkan.

"Kamu baik, Raga. Terlalu baik buat dunia kayak gini."

"Dan kamu terlalu kuat untuk terus sendirian."

Beberapa hari kemudian, Alya mulai menyadari perubahan sikap Tama. Ia jadi lebih sering menghubungi Alya, bahkan untuk hal-hal sepele. Menanyakan sudah makan atau belum, menunggu di depan tempat kerja hanya untuk memastikan Alya pulang. Sekilas tampak peduli, tapi lama-lama seperti bayangan yang mengintai.

"Aku cuma khawatir," kata Tama saat Alya mulai merasa risih.

"Aku tahu, tapi caramu membuatku takut."

"Kamu nggak tahu apa yang sedang terjadi, Alya. Kamu nggak tahu siapa yang kamu ajak bicara. Raga ... dia bukan sekadar teman SMA."

"Apa maksudmu?"

Tama menggeleng. "Bukan waktunya. Tapi, tolong, hati-hati."

Alya terdiam. Ia merasa seperti boneka di tengah pertunjukan yang naskahnya tak bisa ia baca.

Malam itu, Alya menangis. Diam-diam. Ia menulis di jurnal yang sudah lama tak disentuh:

"Kalau aku bisa memilih, aku ingin hidup tanpa kontrak, tanpa kebohongan, dan tanpa ketakutan. Tapi, nyatanya, aku sudah menjual separuh hidupku ... dan sekarang, masa lalu datang mengetuk pintu."

Besoknya, keanehan terjadi. Ada amplop putih di meja kerja Alya. Isinya: foto dirinya bersama Tama, di dalam mobil, di depan apartemen. Tanpa kata. Tanpa pengirim.

Tangannya gemetar. Ia merasa tubuhnya seperti meleleh.

Dan saat ia menoleh ke arah pintu keluar, ia melihat seseorang berdiri diam di balik kaca.

Ranti.

Tatapan Ranti dingin. Senyumnya tak sampai ke mata. Seperti sinar pisau, tajam, dan tak butuh alasan.

Alya membeku. Semua kemungkinan buruk berputar di kepalanya. Apakah Ranti tahu segalanya? Apakah Tama tahu Ranti mengawasinya? Atau ini semua bagian dari permainan?

Raga muncul dari belakang membawa dua gelas kopi. "Alya, kamu kenapa?"

Alya cepat-cepat menyembunyikan amplop di balik map, lalu memaksa tersenyum. "Nggak apa-apa. Cuma pusing dikit."

Namun, senyumnya tak berhasil menipu. Raga menatap tajam. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

Saat mereka duduk berdua di tangga darurat sore itu, Raga berkata pelan, "Kalau kamu dalam masalah, bilang. Aku tahu kamu kuat, tapi semua orang butuh bahu."

Alya hanya bisa mengangguk.

Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setiap suara langkah di lorong apartemen terdengar seperti ancaman. Ponselnya sunyi. Tak ada pesan dari Tama, juga tidak dari Raga.

Ia membuka kembali amplop itu, mengamati fotonya. Pandangan matanya saat bersama Tama tidak bisa ia dustai. Ada rasa nyaman, ada rasa takut, ada rasa bersalah. Campur aduk.

Ia menutup mata, lalu menarik napas dalam-dalam.

Lalu ponselnya bergetar.

Satu pesan masuk. Tanpa nama.

"Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai."

Tubuh Alya membeku.

Dan malam pun terasa lebih dingin dari biasanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 82. Bayangan di Balik Kabar Baru

    Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 81. Tes Kehamilan dan Luka yang Nyata

    Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 80. Alya Hamil ... Benarkah Kali Ini?

    Angin pagi menelusup lembut lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Cahaya mentari menembus tirai putih, menggambar garis-garis tipis di dinding ruang kecil itu. Suara burung gereja dari genteng terdengar bersahutan, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir yang belum disentuh.Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan kegiatan mingguan Rumah Pulih. Di pojok kanan bawah layar, jam menunjukkan pukul 07.12 pagi. Beberapa bulan telah berlalu sejak surat dari Ranti tiba. Waktu memang tak menghapus semua luka, tapi perlahan menjahitnya, satu per satu.Ia kini menempati rumah kecil di belakang kompleks Rumah Pulih, rumah hasil tabungan dan kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. Dindingnya belum dicat sempurna, tapi wangi kayu dan udara pagi yang bebas dari kebisingan membuat tempat itu terasa seperti pelukan. Tama sering datang menginap di akhir pekan, kadang membantu memperbaiki kran, kadang hanya duduk membaca di teras sambil menyeruput teh buatan Al

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 79. Alya dan Surat dari Ibu Ranti

    Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap setelah semalaman diguyur hujan. Langit masih kelabu, tapi di sela awan tampak secercah cahaya mentari yang malu-malu muncul. Alya membuka jendela kecil kontrakannya. Angin membawa aroma tanah basah dan sisa wangi daun kamboja dari halaman belakang Rumah Pulih. Hari itu seharusnya biasa saja, seperti pagi-pagi lain di mana ia menyiapkan teh, memeriksa daftar kegiatan relawan, dan menulis sedikit di jurnalnya sebelum berangkat.Namun, ketenangan pagi itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu. Pelan, berulang, seolah-olah pengantarnya tak yakin harus mengetuk lebih keras atau tidak.“Sebentar .…” Alya berjalan menghampiri. Di depan pintu, berdiri seorang kurir perempuan muda berseragam abu-abu. Ia tersenyum sopan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan logo jasa pengiriman di pojok kiri atas.“Untuk Ibu Alya. N.?”“Iya, saya sendiri.”“Tolong tanda tangan di sini.”Alya menandatangani lembar kecil itu tanpa curiga. Namun, begitu ku

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 78. Rahasia Keluarga Tama

    Jakarta masih dalam suasana hujan sore yang malas. Awan menggantung rendah di langit, seolah-olah ikut menahan segala kenangan yang belum sempat reda. Rintik air menuruni kaca jendela kontrakan Alya perlahan, menciptakan irama lembut yang menenangkan, seolah-olah dunia sedang beristirahat dari kebisingannya sendiri. Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian di mal, pertemuan tak terduga yang hampir mengguncang ketenangan yang baru saja Alya temukan. Percakapannya dengan Raga di teras kontrakan pun masih sesekali terlintas, tapi tidak lagi menimbulkan perih. Semuanya mulai terasa seperti lembar lama yang sudah rampung dibaca, disimpan di rak ingatan tanpa keinginan untuk dibuka kembali.Kini, hari-hari Alya kembali diisi dengan rutinitas yang ia cintai. Ia kembali ke Rumah Pulih, tempat di mana ia menyalurkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang-orang yang ingin bangkit dari luka masa lalu. Bangunan sederhana di samping kontrakannya itu kini dikelola oleh relawan baru, tetapi

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 77. Detak yang Tertinggal

    Pusat perbelanjaan sore itu ramai, tapi langkah Alya terasa ringan, dan sekaligus berat. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir bertemu Tama. Ia pikir kepergian itu akan memudahkannya melupakan, tapi setiap sudut kota justru mengingatkannya pada pria itu.Ia berhenti di depan etalase toko buku, memandangi rak berisi novel-novel baru.“Lucu,” gumamnya lirih. “Dulu aku selalu ingin menulis kisah tentang orang lain … tapi sekarang malah terjebak dalam kisahku sendiri.”Tangannya gemetar kecil saat mengambil minuman di kios terdekat. Di tengah lamunannya, seseorang menabraknya pelan.“Maaf, Mbak .…” Suara perempuan paruh baya terdengar. Alya menoleh, tersenyum sopan.“Tidak apa-apa, Bu.”Perempuan itu memandangi Alya agak lama sebelum berkata, “Kamu kerja di kantor Tama, ya?”Alya menatapnya, kaget. “Ibu kenal Pak Tama?”Perempuan itu tersenyum samar. “Kenal. Aku dulu tetangga kecilnya di kampung. Anak itu keras kepala, tapi bukan karena sombong. Hidupnya berat dari kecil.”Alya diam. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status