LOGINAlya berdiri mematung, sedangkan Tama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berkata pelan, tetapi jelas:
"Aku takut dia akan mencelakaimu." Kata-kata itu berputar-putar di kepala Alya sepanjang malam. Siapa yang dimaksud Tama? Kenapa ia terlihat sangat tegang? Alya ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap wajah pria itu, mencari jawaban dari tatapan matanya. Namun, Tama memilih diam. Malam itu, keheningan menyelimuti mereka lebih rapat daripada selimut yang membalut tubuh Alya di ranjang empuk apartemen. Keesokan harinya, Alya kembali bekerja. Meski tinggal di tempat mewah, ia tak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai cleaning service. Itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa tetap manusia. Pagi itu ia datang lebih awal, mencoba menenangkan diri dengan rutinitas. Namun, langkahnya terhenti ketika memasuki ruang briefing. Ada seseorang yang baru di sana. Seorang pria yang membuat seluruh udara di paru-parunya mendadak hilang. "Kenalin, ini pegawai baru kita, Raga. Mulai hari ini dia akan jadi bagian dari tim perawatan gedung," kata koordinator. Raga menoleh dan ... mata mereka bertemu. Jantung Alya berdetak begitu kencang hingga ia takut semua orang bisa mendengarnya. Raga—teman SMA-nya. Raga yang dulu pernah membuat hatinya berdebar, yang pernah memintanya menari saat perpisahan, tapi ditolaknya karena rasa malu yang tak pernah sempat ia jelaskan. Kini, Raga berdiri di depannya. Dewasa, lebih gagah, lebih kalem, dan matanya menyimpan tanya yang begitu besar. "Alya?" Suaranya pelan, tapi cukup membuat semua kepala menoleh. Alya menelan ludah. "Hai, Raga." Sejak hari itu, hidup Alya berubah pelan-pelan. Raga seolah-olah membawa cahaya di lorong yang selama ini hanya diterangi lampu neon pabrik. Ia selalu ramah, selalu membantu, dan sering kali mencuri waktu untuk berbincang. "Kenapa kamu kerja di sini?" tanya Alya di suatu siang saat mereka sama-sama membersihkan kaca kantor lantai dua. "Hidup muter, Alya. Aku pernah tinggi, lalu jatuh. Tapi, aku masih punya tangan dan kaki. Jadi kupakai itu. Kamu?" Alya tersenyum pahit. "Alasanku ... rumit." "Kalau kamu butuh teman cerita, aku selalu ada." Kalimat itu terdengar tulus. Dan Alya—yang selama ini hanya bicara dengan dirinya sendiri dalam kesunyian malam—merasa gentar. Gentar karena ingin percaya. Gentar karena ingin bercerita. Namun, hidup tak semudah membuka jendela pagi hari. Tama tahu Raga. Dan entah bagaimana, Alya mulai merasakan gelombang kecemburuan dalam tiap lirikan Tama. "Kau dekat dengannya?" tanya Tama saat mengantar Alya malam itu. "Dia temanku dari SMA. Kami cuma kerja bareng." "Orang yang mengenal masa lalumu bisa membongkar segalanya. Hati-hati." Nada itu dingin, tapi penuh peringatan. Alya mulai merasa tercekik oleh dua dunia: dunia Raga yang hangat, dan dunia Tama yang penuh rahasia dan kekuasaan. Hari-hari berlalu, dan interaksi dengan Raga semakin sering. Mereka makan siang bersama, berbagi cerita masa lalu, tertawa di tengah lelahnya pekerjaan. Raga memperlakukan Alya dengan lembut, tidak menuntut apa pun darinya, tidak juga menghakimi. Sementara Tama semakin menunjukkan sisi posesifnya. Dalam satu kesempatan, Raga menunjukkan sisi kreatifnya. Ia memperbaiki dispenser rusak dengan alat seadanya dan membuat semua staf kagum. Alya memperhatikannya dari jauh, merasa bangga, sekaligus cemas. Semakin sering mereka bersama, semakin tipis batas yang ia bangun. *** Malam itu, Alya berdoa lebih lama dari biasanya. Ia meminta kekuatan untuk tidak terjatuh, untuk tetap pada jalurnya. Tapi, saat keesokan paginya ia melihat Raga sedang membawakan sarapan untuknya, hatinya bergetar. "Nasi kuning buatan rumah. Ibuku kirim dari kampung kemarin. Cuma kamu yang aku ajak makan bareng." Alya mengangguk, menerima kotak makanan itu. "Makasih, Raga. Aku ... terharu." "Terharu aja? Nggak jatuh cinta?" Raga bercanda. Alya tertawa, tapi tawa itu bergetar. Ia tahu ia tak boleh membiarkan hatinya berbelok. Suatu malam, Raga mengetuk pintu kamar staf, tempat Alya sedang merapikan perlengkapan. "Aku nemu ini di lokermu. Kayaknya jatuh." Raga mengulurkan benda kecil—foto lama Alya bersama ibunya. "Terima kasih. Aku kira hilang." "Aku masih inget wajah ibumu. Waktu kamu bawa dia ke pameran sekolah, dia bangga banget sama kamu." Alya tercekat. Kenangan itu terlalu manis untuk dibangkitkan. "Kamu baik, Raga. Terlalu baik buat dunia kayak gini." "Dan kamu terlalu kuat untuk terus sendirian." Beberapa hari kemudian, Alya mulai menyadari perubahan sikap Tama. Ia jadi lebih sering menghubungi Alya, bahkan untuk hal-hal sepele. Menanyakan sudah makan atau belum, menunggu di depan tempat kerja hanya untuk memastikan Alya pulang. Sekilas tampak peduli, tapi lama-lama seperti bayangan yang mengintai. "Aku cuma khawatir," kata Tama saat Alya mulai merasa risih. "Aku tahu, tapi caramu membuatku takut." "Kamu nggak tahu apa yang sedang terjadi, Alya. Kamu nggak tahu siapa yang kamu ajak bicara. Raga ... dia bukan sekadar teman SMA." "Apa maksudmu?" Tama menggeleng. "Bukan waktunya. Tapi, tolong, hati-hati." Alya terdiam. Ia merasa seperti boneka di tengah pertunjukan yang naskahnya tak bisa ia baca. Malam itu, Alya menangis. Diam-diam. Ia menulis di jurnal yang sudah lama tak disentuh: "Kalau aku bisa memilih, aku ingin hidup tanpa kontrak, tanpa kebohongan, dan tanpa ketakutan. Tapi, nyatanya, aku sudah menjual separuh hidupku ... dan sekarang, masa lalu datang mengetuk pintu." Besoknya, keanehan terjadi. Ada amplop putih di meja kerja Alya. Isinya: foto dirinya bersama Tama, di dalam mobil, di depan apartemen. Tanpa kata. Tanpa pengirim. Tangannya gemetar. Ia merasa tubuhnya seperti meleleh. Dan saat ia menoleh ke arah pintu keluar, ia melihat seseorang berdiri diam di balik kaca. Ranti. Tatapan Ranti dingin. Senyumnya tak sampai ke mata. Seperti sinar pisau, tajam, dan tak butuh alasan. Alya membeku. Semua kemungkinan buruk berputar di kepalanya. Apakah Ranti tahu segalanya? Apakah Tama tahu Ranti mengawasinya? Atau ini semua bagian dari permainan? Raga muncul dari belakang membawa dua gelas kopi. "Alya, kamu kenapa?" Alya cepat-cepat menyembunyikan amplop di balik map, lalu memaksa tersenyum. "Nggak apa-apa. Cuma pusing dikit." Namun, senyumnya tak berhasil menipu. Raga menatap tajam. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Saat mereka duduk berdua di tangga darurat sore itu, Raga berkata pelan, "Kalau kamu dalam masalah, bilang. Aku tahu kamu kuat, tapi semua orang butuh bahu." Alya hanya bisa mengangguk. Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setiap suara langkah di lorong apartemen terdengar seperti ancaman. Ponselnya sunyi. Tak ada pesan dari Tama, juga tidak dari Raga. Ia membuka kembali amplop itu, mengamati fotonya. Pandangan matanya saat bersama Tama tidak bisa ia dustai. Ada rasa nyaman, ada rasa takut, ada rasa bersalah. Campur aduk. Ia menutup mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Lalu ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Tanpa nama. "Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai." Tubuh Alya membeku. Dan malam pun terasa lebih dingin dari biasanya.Rumah itu gelap total.Hujan masih deras, menampar genting dan jendela, sementara angin meniup gorden tipis di ruang tamu.Alya berdiri terpaku di tengah ruangan, menggenggam amplop putih yang isinya masih bergetar di tangannya.Tulisan di belakang foto itu, “Berhenti mencari. Atau kamu akan menyusulnya.” Masih terpatri jelas di matanya.Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat. Tak ada tanda siapa pun yang datang. Namun, entah kenapa, hawa dingin yang menyelinap lewat celah pintu terasa bukan cuma dari hujan, tapi seperti napas seseorang yang bersembunyi di luar sana.Perlahan, Alya memungut ponselnya yang jatuh di lantai. Layarnya retak sedikit di pojok, tapi masih menyala. Tak ada sinyal.Listrik padam, lampu mati, dan suara detak jam dinding jadi satu-satunya yang hidup di ruangan itu.Ia menarik napas panjang, lalu memegang perutnya.“Tenang ya … Mama nggak apa-apa,” bisiknya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri daripada janin di dalam kandungannya.Hujan tak kunjung r
Jakarta kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, seperti menangisi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di layar ponsel Alya, notifikasi masih berdentum tanpa henti, tagar #AlyaWiratama dan #SkandalRumahPulih belum turun dari trending sejak dua hari terakhir.Namun, pagi itu ada satu hal yang jauh lebih menakutkan dari ribuan komentar kebencian,Tama menghilang.Nomor ponselnya tidak aktif.Kantor lamanya, tempat ia mengelola proyek sosial kecil setelah keluar dari perusahaan sebelumnya, terkunci rapat.Akun media sosialnya tidak lagi bisa diakses; semua hilang, seolahi disapu bersih oleh tangan tak terlihat.Awalnya, Alya mengira Tama hanya butuh waktu menenangkan diri setelah ledakan skandal itu.Namun, ketika malam datang dan tak ada kabar apa pun, ketenangan itu berubah jadi ketakutan.Ia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Tama, Rehan, rekan lamanya, bahkan beberapa staf yang dulu sempat bekerja bersamanya.Jawabannya sama.[Maaf, Bu
Pagi itu Jakarta tampak biasa-biasa saja. Langit kelabu, hujan gerimis, dan aroma tanah basah yang masih tertinggal sejak malam sebelumnya. Tapi, bagi Alya, dunia baru saja berubah menjadi ruang yang sempit dan mencekik.Ia baru saja duduk di ruang kerja Rumah Pulih, mengenakan cardigan abu-abu dan memandangi layar laptopnya yang terbuka di atas meja kayu. Laman media sosialnya terbuka otomatis karena pengaturan otomatis browser. Namun, yang terpampang bukan notifikasi biasa dari pasien yang berterima kasih atau rekan sejawat yang membagikan artikel tentang kesehatan mental.Matanya membeku menatap tulisan di layar.“Katanya pendiri Rumah Pulih hamil tanpa suami resmi.Anak siapa? Tama Wiratama? Atau dokter Zaki?”— akun anonim @InsideJakarta_TruthsUnggahan itu disertai foto dirinya, candid dari belakang, saat keluar dari Rumah Pulih dengan perut yang mulai tampak membulat. Di bawahnya, ratusan komentar sudah mengalir deras.“Astaghfirullah, panutanku ternyata munafik.”“Katanya bant
Hujan belum juga reda ketika Zaki menutup pintu mobilnya di halaman Rumah Pulih. Lampu teras menyala redup, menembus kabut tipis yang menggantung di udara malam. Ia baru kembali dari rumah sakit, kunjungan yang seharusnya rutin, mengecek berkas untuk program kesehatan ibu dan anak yang sedang digarapnya bersama tim. Namun, malam ini, berkas yang ia bawa pulang bukan sekadar data medis biasa.Di tangannya, map putih bertuliskan nama yang terlalu familiar, Alya. N. Wiratama.Zaki menatap tulisan itu lama. Huruf demi huruf seperti meninju dadanya, membuat napasnya sesak. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh membuka data pribadi pasien tanpa izin. Namun, nama itu, nama yang dulu begitu dekat dengannya, yang masih bergema di kepalanya setiap kali malam datang, membuat rasa penasaran menembus batas profesionalisme.Tangannya gemetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar hasil tes laboratorium, termasuk hasil tes kehamilan yang dicetak dua minggu lalu. Positif.Zaki terdiam. De
Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha
Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla







