Beranda / Rumah Tangga / Kontrak Cinta, Luka Nyata / Bab 6. Rasa yang Dilarang

Share

Bab 6. Rasa yang Dilarang

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 06:08:33

Ia menutup mata, lalu menarik napas dalam-dalam.

Lalu ponselnya bergetar.

Satu pesan masuk. Tanpa nama.

"Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai."

Tubuh Alya membeku.

Dan malam pun terasa lebih dingin dari biasanya.

Alya menatap layar ponselnya yang perlahan meredup, lalu meletakkannya di atas meja dengan tangan gemetar. Ia menoleh ke jendela, tirainya tertutup rapat, tapi ia merasa seolah-olah ada ratusan mata mengintip dari balik kain itu. Ketakutan menggerayangi pikirannya. Siapa yang mengirim pesan itu? Ranti? Tama? Atau seseorang dari masa lalunya yang lebih kelam?

Tak bisa tidur, Alya memilih duduk di lantai sambil memeluk lutut. Malam merayap pelan, dan keheningan berubah jadi teror. Setiap bayangan di dinding seolah-olah punya nyawa, setiap suara dari luar kamar membuat jantungnya melompat.

Keesokan paginya, Alya datang ke tempat kerja dengan wajah lesu. Ia menghindari pandangan Raga, takut lelaki itu bisa membaca kecemasan dalam matanya. Namun, satu orang tak bisa ia hindari—Tama.

Tama sudah menunggunya di lorong belakang kantor. Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan secangkir kopi panas padanya. Aroma vanila khas kopi favorit Alya menguar, menenangkan, sekaligus membuatnya waspada.

"Kamu kelihatan kacau," ujar Tama datar.

Alya hanya mengangguk, tidak berani menatap mata pria itu.

"Kamu dapat pesan semalam, ya?" tanyanya pelan.

Alya langsung mendongak. "Kamu tahu?"

"Aku pasang pengaman ganda di ponselmu. Setiap pesan mencurigakan akan terdeteksi di serverku."

Alya ingin marah. Merasa privasinya dilanggar. Namun, di sisi lain, ia juga lega. Setidaknya ia tahu Tama tak berniat membunuhnya ... lebih tepatnya belum. Mungkin saja.

"Kenapa kamu lakukan ini semua, Tama? Kenapa aku?"

Tama menatapnya lama, lalu menjawab, "Karena kamu terlalu polos untuk dunia yang kejam ini."

Jawaban itu tidak memuaskan. Namun, Alya tak lagi ingin berdebat. Ia hanya ingin hidup tenang.

Selama beberapa hari berikutnya, Tama mulai muncul lebih sering. Ia tak lagi hanya menjemput atau mengantar, tapi juga muncul di kantin tempat Alya makan, berdiri di dekat lift saat Alya turun, atau sekadar menyapa di lorong dengan secarik senyum.

Awalnya Alya menganggap semua itu bagian dari pengawasan. Akan tetapi, perlahan, sikap Tama berubah. Tatapannya melembut, ucapannya tak lagi kaku. Pernah suatu sore saat mereka berpapasan di taman belakang gedung, Tama memberikan sebuah buku lusuh.

"Aku baca ini waktu kuliah. Kamu suka menulis, kan? Bacalah. Mungkin kamu menemukan dirimu di sana."

Alya membuka sampulnya. Judulnya *Perempuan yang Lahir Dua Kali*. Buku itu seperti simbol—tentang Alya yang kini hidup dua dunia: dunia nyata dan dunia rahasia.

Di hari lain, Tama mengajak Alya makan malam di restoran kecil pinggiran kota. Tempatnya jauh dari kesan mewah, tapi penuh kehangatan. Sambil menunggu pesanan, mereka duduk berseberangan, dan untuk pertama kalinya, Alya melihat sisi Tama yang manusiawi.

"Dulu aku pernah jatuh cinta," kata Tama tiba-tiba.

Alya kaget. Tapi, ia diam, mendengarkan.

"Gadis itu kuat. Tapi, dia menyerah pada keadaan. Aku benci dunia karena dia memilih pergi. Sejak itu, aku tak pernah benar-benar jatuh cinta lagi."

"Kenapa cerita ini sekarang?" tanya Alya pelan.

"Karena aku takut mengulang hal yang sama."

"Tama ...."

"Aku tahu aku terlalu mendekat. Tapi, aku nggak bisa berpura-pura lagi. Alya, kamu membuatku ingin berubah. Dan itu menakutkan."

Alya tercekat. Kata-kata itu menusuk pelan, seperti hujan yang jatuh di tanah retak. Ia ingin menjauh, tapi hatinya malah bergerak mendekat. Namun, ia tahu, mencintai Tama adalah rasa yang dilarang. Terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan. Terlalu banyak luka yang belum sembuh.

"Aku hanya ingin aman," bisiknya.

"Aku akan buat kamu aman, bahkan kalau harus bertarung dengan dunia."

Kata-kata itu membuat Alya menangis malam itu. Diam-diam. Dalam diam, ia menulis di jurnalnya:

"Jika mencintai berarti membakar diri sendiri, mengapa nyalanya begitu indah?"

Seminggu kemudian, Tama memberinya kejutan. Ia menyewa studio kecil dan membiarkan Alya menulis di sana setiap akhir pekan.

"Tempat ini milikmu. Menulislah. Aku ingin membaca pikiranmu lewat kata, bukan hanya lewat mata."

Tama tak pernah menuntut balasan. Ia hanya hadir, memberi, dan pergi tanpa tanda. Tapi, setiap kehadirannya menyisakan getar dalam hati Alya.

Sementara itu, Raga mulai merasa ada jarak. Alya tidak lagi sering tertawa seperti dulu. Ia jadi lebih diam, lebih hati-hati. Suatu malam saat mereka pulang bersama, Raga berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan.

"Kamu berubah, Alya. Ada apa?"

"Aku cuma lelah."

"Jangan bohong. Aku kenal kamu. Kamu takut sama sesuatu. Atau ... seseorang?"

Alya tak menjawab.

Raga mendekat, menatap dalam. "Kalau Tama menyakitimu, bilang. Aku akan bawa kamu pergi."

"Jangan!" seru Alya tiba-tiba.

Raga terdiam.

"Jangan ikut campur ... Raga, aku mohon. Ini bukan urusan yang bisa kamu selesaikan dengan niat baik. Dunia Tama bukan dunia kita."

"Tapi, kamu tetap manusia! Kamu tetap berhak dicintai tanpa rasa takut."

Alya menunduk. Ia ingin berteriak, tapi apa yang bisa dikatakan? Bahwa ia mulai jatuh cinta pada pria yang mungkin memegang kendali penuh atas hidupnya? Bahwa ia menikmati perhatian yang seharusnya menakutkan?

Malam itu, Alya kembali ke apartemen dengan hati gelisah. Di meja kerjanya, ada setangkai mawar putih dan secarik kertas:

"Cinta bukan soal siapa yang paling lama menunggu, tapi siapa yang tetap tinggal meski tahu segalanya bisa hancur."

Tama.

Alya tak tahu harus senang atau takut.

Di satu sisi, Tama bukan lagi hanya sosok dingin yang mengatur hidupnya. Ia menjadi tempat Alya merasa dilihat, didengar. Tapi, di sisi lain, ia tetap misterius. Ia tahu segalanya tentang Alya, tapi Alya tak tahu apa-apa tentangnya. Cintanya mungkin nyata, tapi kontrolnya juga nyata.

Dan di atas semuanya itu, ada Ranti—sosok yang tak pernah dibahas, tapi terasa nyata dalam tiap detik kebersamaan mereka.

Ranti adalah istri sah Tama.

Alya adalah perempuan di balik bayangan.

Ranti-lah yang memiliki nama di kartu keluarga Tama, yang mungkin sedang duduk di rumah besar, diam-diam memantau, diam-diam menyusun langkah.

Tiba-tiba, Alya teringat sesuatu. Tatapan dingin Ranti di balik kaca kantor tempo hari. Senyum samar yang tidak sampai ke mata. Saat itu, Alya menganggapnya sekadar tamu perusahaan. Namun, kini, semuanya menjadi jelas.

Dan kini, satu per satu ancaman mulai berdatangan.

Malam itu, Alya menatap cermin. Ia melihat wajah sendiri—lelah, tapi ada cahaya yang tak pernah ia sadari sebelumnya.

Ia mengusap pipi, lalu bergumam pada bayangannya sendiri.

"Kalau ini cinta, kenapa rasanya seperti berdiri di ujung tebing?"

Ketika ia akan tidur, ponselnya kembali bergetar.

Kali ini dari nomor yang sama.

"Kau bisa memilih dia. Tapi, kau harus siap kehilangan semua yang lain."

Dan saat Alya membuka tirai jendela kamarnya, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan gedung apartemen. Diam. Tak bergerak. Seolah-olah menantang.

Alya menarik napas dalam.

Rasa yang dilarang itu, kini berubah menjadi ancaman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 47. Alya Hampir Jatuh Cinta

    Udara dini hari masih menyisakan dingin saat Alya membuka matanya. Lampu kamar sudah mati, hanya sinar samar dari luar jendela yang masuk menembus tirai tipis. Napasnya berat, seperti habis menempuh mimpi panjang yang penuh luka. Di meja kecil di samping ranjang, ponselnya bergetar pelan, pesan dari Zaki semalam masih belum ia balas.“Kenapa harus dia lagi?” gumam Alya, menatap layar ponselnya dengan hati yang berat. Kata-kata sederhana dari Zaki, bahwa dirinya berharga, sebenarnya membuat dada Alya hangat, tapi sekaligus menakutkan.Karena setiap kali hatinya bergetar, bayangan lama datang. Tama. Raga. Dua nama yang selalu menorehkan jejak, meski dengan cara berbeda.Tama, lelaki yang dulu hanya sebagai suami kontrak, kemudian menjadi lelaki yang begitu ia cintai, kini hanya bisa mengirimkan masa lalu dalam bentuk buku harian usang dan paket-paket aneh yang menyayat hati. Lalu Raga, masa lalu, yang dulu selalu menjadi rumah, justru menghadirkan luka paling dalam, setelah dia memutus

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 46. Zaki Membaca Terlalu Dalam

    Siang itu, kafe kecil di sudut jalan utama kampus dipenuhi hiruk-pikuk mahasiswa. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan tawa serta percakapan ramai yang berbaur jadi musik latar kehidupan. Di salah satu meja dekat jendela, Zaki duduk dengan laptop di depannya. Earphone tergeletak tak terpakai, karena fokusnya tak tertuju pada musik atau pekerjaan, melainkan pada layar yang menampilkan blog lama, blog yang sudah lama tak pernah diperbarui, milik Alya.Ia menemukannya tanpa sengaja beberapa minggu lalu. Saat itu, Zaki membantu Alya mengatur portofolio tulisannya untuk seminar sastra daring. Dalam daftar link lama, ada satu yang sempat terhapus, tapi ia berhasil menemukannya lewat arsip. Sejak saat itu, ia diam-diam membaca tulisan-tulisan Alya. Bukan hanya satu atau dua. Hampir semuanya. Dan semakin ia membaca, semakin dalam ia terperangkap.Tulisan-tulisan itu bukan sekadar rangkaian kata. Mereka adalah dunia batin Alya yang terbuka tanpa filter, tangis, tawa, k

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 45. Kiriman Buku dari Indonesia

    Siang itu, apartemen mungil Alya dipenuhi aroma teh melati yang baru saja ia seduh. Di luar jendela, dedaunan bergoyang tertiup angin awal musim semi. Hujan semalam meninggalkan bekas dingin di udara, tetapi sinar matahari yang malu-malu menerobos tirai tipis membawa sedikit kehangatan.Alya duduk di lantai, bersandar pada sofa, laptop terbuka di meja rendah. Ia baru saja menutup pesanan terakhir toko onlinenya hari itu. Notifikasi transaksi sukses terdengar, tapi tidak membuatnya sesemangat dulu. Jantungnya terasa berat.Ketukan pintu membuatnya menoleh. Nayla yang baru pulang kuliah bergegas membuka, dan suara kurir terdengar samar dari luar. “Paket untuk Alya.”Alya mengernyit. “Paket? Aku nggak pesan apa-apa minggu ini.”Nayla membawa sebuah kotak kardus sedang, rapi terbungkus isolasi. Di sisi atasnya, tertera alamat asal, Jakarta, Indonesia. Dan di pojok kiri atas, nama pengirim: T. Wiratama.Jantung Alya seketika meloncat ke kerongkongan. Tangannya bergetar ketika menerima pak

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 44. Toko Online, Hati yang Kosong

    Siang itu, sinar matahari menembus tipis gorden jendela apartemen kecil itu. Udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh Nayla. Di meja kerja mungil dekat jendela, Alya menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi. Jarinya lincah mengetik, sesekali membuka tab lain untuk mengecek stok barang, membalas pesan pelanggan, hingga mengatur jadwal pengiriman.Toko online yang ia bangun selama beberapa bulan terakhir berkembang jauh lebih cepat dari yang ia bayangkan. Mulanya hanya sekadar menjual barang kecil-kecilan, aksesori, pernak-pernik rumah tangga, hingga pakaian, kini ia sudah punya alur distribusi tetap. Ada reseller, ada pelanggan tetap, bahkan rating tokonya mencapai bintang lima di hampir semua platform.Notifikasi terus berbunyi. Pesanan masuk satu demi satu. Beberapa customer menuliskan review positif."Barangnya bagus banget, pengiriman cepat, pasti langganan deh.""Terima kasih, seller ramah banget. Sukses selalu ya."Alya tersenyum tipi

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 43. Email dari Nama Tak Dikenal

    Hujan yang sejak sore mengguyur kota itu akhirnya reda menjelang tengah malam. Udara terasa lebih dingin, meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar masuk melalui jendela kecil apartemen. Alya duduk di depan meja belajarnya, layar laptop menyala, lembar tugas terbuka, tetapi matanya tak benar-benar menatap tulisan. Beberapa jam sebelumnya ia dan Nayla masih bercanda sambil makan mie instan. Namun, begitu pintu kamar tertutup, sunyi kembali menyelimuti. Dan di sanalah, kesunyian itu selalu membuka celah untuk luka-luka lama menyeruak. Alya mengusap wajahnya, lalu menarik napas panjang. Ia mencoba fokus pada tulisannya. Tapi, suara notifikasi email yang tiba-tiba muncul dari laptop membuatnya menoleh. 📩 New Message Alamat pengirim: A. Wiratama Subjek: Halo Alya terdiam. Tangannya refleks membeku di atas meja. Nama itu, Wiratama. Ia mengedipkan mata, memastikan dirinya tidak salah lihat. Wiratama. Nama belakang yang selama ini ia kenal hanya melekat pada satu orang.

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 42. Luka Lama, Luka Baru

    Hujan turun lagi malam itu, meski tidak selebat beberapa hari sebelumnya. Rintiknya jatuh pelan, menimbulkan bunyi ritmis di kaca jendela apartemen kecil itu. Alya duduk bersandar di sofa, buku di pangkuannya terbuka, tapi pikirannya tidak benar-benar berada di halaman yang ia baca.Nayla baru saja pulang dari kampus. Rambutnya basah, jaketnya lembap, tapi wajahnya tetap cerah. Ia meletakkan tas di kursi, lalu menghampiri dapur kecil. “Aku bikin teh, mau sekalian?” tanyanya sambil membuka lemari.Alya menutup bukunya. “Iya, boleh.”Tak lama kemudian dua cangkir teh hangat tersaji di meja. Mereka duduk berhadapan, hening beberapa saat, hanya ditemani suara hujan. Alya sempat menatap sekilas wajah Nayla yang tampak lebih letih dari biasanya. Ada sesuatu di matanya malam itu, bukan sekadar kelelahan fisik, tapi beban yang jauh lebih dalam.“Capek banget?” tanya Alya pelan.Nayla mengangkat bahu, tersenyum tipis. “Lumayan.” Ia menyesap tehnya, lalu menatap ke arah jendela. “Kadang … aku m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status