Ia menutup mata, lalu menarik napas dalam-dalam.
Lalu ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Tanpa nama. "Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai." Tubuh Alya membeku. Dan malam pun terasa lebih dingin dari biasanya. Alya menatap layar ponselnya yang perlahan meredup, lalu meletakkannya di atas meja dengan tangan gemetar. Ia menoleh ke jendela, tirainya tertutup rapat, tapi ia merasa seolah-olah ada ratusan mata mengintip dari balik kain itu. Ketakutan menggerayangi pikirannya. Siapa yang mengirim pesan itu? Ranti? Tama? Atau seseorang dari masa lalunya yang lebih kelam? Tak bisa tidur, Alya memilih duduk di lantai sambil memeluk lutut. Malam merayap pelan, dan keheningan berubah jadi teror. Setiap bayangan di dinding seolah-olah punya nyawa, setiap suara dari luar kamar membuat jantungnya melompat. Keesokan paginya, Alya datang ke tempat kerja dengan wajah lesu. Ia menghindari pandangan Raga, takut lelaki itu bisa membaca kecemasan dalam matanya. Namun, satu orang tak bisa ia hindari—Tama. Tama sudah menunggunya di lorong belakang kantor. Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan secangkir kopi panas padanya. Aroma vanila khas kopi favorit Alya menguar, menenangkan, sekaligus membuatnya waspada. "Kamu kelihatan kacau," ujar Tama datar. Alya hanya mengangguk, tidak berani menatap mata pria itu. "Kamu dapat pesan semalam, ya?" tanyanya pelan. Alya langsung mendongak. "Kamu tahu?" "Aku pasang pengaman ganda di ponselmu. Setiap pesan mencurigakan akan terdeteksi di serverku." Alya ingin marah. Merasa privasinya dilanggar. Namun, di sisi lain, ia juga lega. Setidaknya ia tahu Tama tak berniat membunuhnya ... lebih tepatnya belum. Mungkin saja. "Kenapa kamu lakukan ini semua, Tama? Kenapa aku?" Tama menatapnya lama, lalu menjawab, "Karena kamu terlalu polos untuk dunia yang kejam ini." Jawaban itu tidak memuaskan. Namun, Alya tak lagi ingin berdebat. Ia hanya ingin hidup tenang. Selama beberapa hari berikutnya, Tama mulai muncul lebih sering. Ia tak lagi hanya menjemput atau mengantar, tapi juga muncul di kantin tempat Alya makan, berdiri di dekat lift saat Alya turun, atau sekadar menyapa di lorong dengan secarik senyum. Awalnya Alya menganggap semua itu bagian dari pengawasan. Akan tetapi, perlahan, sikap Tama berubah. Tatapannya melembut, ucapannya tak lagi kaku. Pernah suatu sore saat mereka berpapasan di taman belakang gedung, Tama memberikan sebuah buku lusuh. "Aku baca ini waktu kuliah. Kamu suka menulis, kan? Bacalah. Mungkin kamu menemukan dirimu di sana." Alya membuka sampulnya. Judulnya *Perempuan yang Lahir Dua Kali*. Buku itu seperti simbol—tentang Alya yang kini hidup dua dunia: dunia nyata dan dunia rahasia. Di hari lain, Tama mengajak Alya makan malam di restoran kecil pinggiran kota. Tempatnya jauh dari kesan mewah, tapi penuh kehangatan. Sambil menunggu pesanan, mereka duduk berseberangan, dan untuk pertama kalinya, Alya melihat sisi Tama yang manusiawi. "Dulu aku pernah jatuh cinta," kata Tama tiba-tiba. Alya kaget. Tapi, ia diam, mendengarkan. "Gadis itu kuat. Tapi, dia menyerah pada keadaan. Aku benci dunia karena dia memilih pergi. Sejak itu, aku tak pernah benar-benar jatuh cinta lagi." "Kenapa cerita ini sekarang?" tanya Alya pelan. "Karena aku takut mengulang hal yang sama." "Tama ...." "Aku tahu aku terlalu mendekat. Tapi, aku nggak bisa berpura-pura lagi. Alya, kamu membuatku ingin berubah. Dan itu menakutkan." Alya tercekat. Kata-kata itu menusuk pelan, seperti hujan yang jatuh di tanah retak. Ia ingin menjauh, tapi hatinya malah bergerak mendekat. Namun, ia tahu, mencintai Tama adalah rasa yang dilarang. Terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan. Terlalu banyak luka yang belum sembuh. "Aku hanya ingin aman," bisiknya. "Aku akan buat kamu aman, bahkan kalau harus bertarung dengan dunia." Kata-kata itu membuat Alya menangis malam itu. Diam-diam. Dalam diam, ia menulis di jurnalnya: "Jika mencintai berarti membakar diri sendiri, mengapa nyalanya begitu indah?" Seminggu kemudian, Tama memberinya kejutan. Ia menyewa studio kecil dan membiarkan Alya menulis di sana setiap akhir pekan. "Tempat ini milikmu. Menulislah. Aku ingin membaca pikiranmu lewat kata, bukan hanya lewat mata." Tama tak pernah menuntut balasan. Ia hanya hadir, memberi, dan pergi tanpa tanda. Tapi, setiap kehadirannya menyisakan getar dalam hati Alya. Sementara itu, Raga mulai merasa ada jarak. Alya tidak lagi sering tertawa seperti dulu. Ia jadi lebih diam, lebih hati-hati. Suatu malam saat mereka pulang bersama, Raga berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan. "Kamu berubah, Alya. Ada apa?" "Aku cuma lelah." "Jangan bohong. Aku kenal kamu. Kamu takut sama sesuatu. Atau ... seseorang?" Alya tak menjawab. Raga mendekat, menatap dalam. "Kalau Tama menyakitimu, bilang. Aku akan bawa kamu pergi." "Jangan!" seru Alya tiba-tiba. Raga terdiam. "Jangan ikut campur ... Raga, aku mohon. Ini bukan urusan yang bisa kamu selesaikan dengan niat baik. Dunia Tama bukan dunia kita." "Tapi, kamu tetap manusia! Kamu tetap berhak dicintai tanpa rasa takut." Alya menunduk. Ia ingin berteriak, tapi apa yang bisa dikatakan? Bahwa ia mulai jatuh cinta pada pria yang mungkin memegang kendali penuh atas hidupnya? Bahwa ia menikmati perhatian yang seharusnya menakutkan? Malam itu, Alya kembali ke apartemen dengan hati gelisah. Di meja kerjanya, ada setangkai mawar putih dan secarik kertas: "Cinta bukan soal siapa yang paling lama menunggu, tapi siapa yang tetap tinggal meski tahu segalanya bisa hancur." Tama. Alya tak tahu harus senang atau takut. Di satu sisi, Tama bukan lagi hanya sosok dingin yang mengatur hidupnya. Ia menjadi tempat Alya merasa dilihat, didengar. Tapi, di sisi lain, ia tetap misterius. Ia tahu segalanya tentang Alya, tapi Alya tak tahu apa-apa tentangnya. Cintanya mungkin nyata, tapi kontrolnya juga nyata. Dan di atas semuanya itu, ada Ranti—sosok yang tak pernah dibahas, tapi terasa nyata dalam tiap detik kebersamaan mereka. Ranti adalah istri sah Tama. Alya adalah perempuan di balik bayangan. Ranti-lah yang memiliki nama di kartu keluarga Tama, yang mungkin sedang duduk di rumah besar, diam-diam memantau, diam-diam menyusun langkah. Tiba-tiba, Alya teringat sesuatu. Tatapan dingin Ranti di balik kaca kantor tempo hari. Senyum samar yang tidak sampai ke mata. Saat itu, Alya menganggapnya sekadar tamu perusahaan. Namun, kini, semuanya menjadi jelas. Dan kini, satu per satu ancaman mulai berdatangan. Malam itu, Alya menatap cermin. Ia melihat wajah sendiri—lelah, tapi ada cahaya yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Ia mengusap pipi, lalu bergumam pada bayangannya sendiri. "Kalau ini cinta, kenapa rasanya seperti berdiri di ujung tebing?" Ketika ia akan tidur, ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari nomor yang sama. "Kau bisa memilih dia. Tapi, kau harus siap kehilangan semua yang lain." Dan saat Alya membuka tirai jendela kamarnya, ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan gedung apartemen. Diam. Tak bergerak. Seolah-olah menantang. Alya menarik napas dalam. Rasa yang dilarang itu, kini berubah menjadi ancaman.Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha
Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla
Angin pagi menelusup lembut lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Cahaya mentari menembus tirai putih, menggambar garis-garis tipis di dinding ruang kecil itu. Suara burung gereja dari genteng terdengar bersahutan, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir yang belum disentuh.Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan kegiatan mingguan Rumah Pulih. Di pojok kanan bawah layar, jam menunjukkan pukul 07.12 pagi. Beberapa bulan telah berlalu sejak surat dari Ranti tiba. Waktu memang tak menghapus semua luka, tapi perlahan menjahitnya, satu per satu.Ia kini menempati rumah kecil di belakang kompleks Rumah Pulih, rumah hasil tabungan dan kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. Dindingnya belum dicat sempurna, tapi wangi kayu dan udara pagi yang bebas dari kebisingan membuat tempat itu terasa seperti pelukan. Tama sering datang menginap di akhir pekan, kadang membantu memperbaiki kran, kadang hanya duduk membaca di teras sambil menyeruput teh buatan Al
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap setelah semalaman diguyur hujan. Langit masih kelabu, tapi di sela awan tampak secercah cahaya mentari yang malu-malu muncul. Alya membuka jendela kecil kontrakannya. Angin membawa aroma tanah basah dan sisa wangi daun kamboja dari halaman belakang Rumah Pulih. Hari itu seharusnya biasa saja, seperti pagi-pagi lain di mana ia menyiapkan teh, memeriksa daftar kegiatan relawan, dan menulis sedikit di jurnalnya sebelum berangkat.Namun, ketenangan pagi itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu. Pelan, berulang, seolah-olah pengantarnya tak yakin harus mengetuk lebih keras atau tidak.“Sebentar .…” Alya berjalan menghampiri. Di depan pintu, berdiri seorang kurir perempuan muda berseragam abu-abu. Ia tersenyum sopan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan logo jasa pengiriman di pojok kiri atas.“Untuk Ibu Alya. N.?”“Iya, saya sendiri.”“Tolong tanda tangan di sini.”Alya menandatangani lembar kecil itu tanpa curiga. Namun, begitu ku
Jakarta masih dalam suasana hujan sore yang malas. Awan menggantung rendah di langit, seolah-olah ikut menahan segala kenangan yang belum sempat reda. Rintik air menuruni kaca jendela kontrakan Alya perlahan, menciptakan irama lembut yang menenangkan, seolah-olah dunia sedang beristirahat dari kebisingannya sendiri. Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian di mal, pertemuan tak terduga yang hampir mengguncang ketenangan yang baru saja Alya temukan. Percakapannya dengan Raga di teras kontrakan pun masih sesekali terlintas, tapi tidak lagi menimbulkan perih. Semuanya mulai terasa seperti lembar lama yang sudah rampung dibaca, disimpan di rak ingatan tanpa keinginan untuk dibuka kembali.Kini, hari-hari Alya kembali diisi dengan rutinitas yang ia cintai. Ia kembali ke Rumah Pulih, tempat di mana ia menyalurkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang-orang yang ingin bangkit dari luka masa lalu. Bangunan sederhana di samping kontrakannya itu kini dikelola oleh relawan baru, tetapi
Pusat perbelanjaan sore itu ramai, tapi langkah Alya terasa ringan, dan sekaligus berat. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir bertemu Tama. Ia pikir kepergian itu akan memudahkannya melupakan, tapi setiap sudut kota justru mengingatkannya pada pria itu.Ia berhenti di depan etalase toko buku, memandangi rak berisi novel-novel baru.“Lucu,” gumamnya lirih. “Dulu aku selalu ingin menulis kisah tentang orang lain … tapi sekarang malah terjebak dalam kisahku sendiri.”Tangannya gemetar kecil saat mengambil minuman di kios terdekat. Di tengah lamunannya, seseorang menabraknya pelan.“Maaf, Mbak .…” Suara perempuan paruh baya terdengar. Alya menoleh, tersenyum sopan.“Tidak apa-apa, Bu.”Perempuan itu memandangi Alya agak lama sebelum berkata, “Kamu kerja di kantor Tama, ya?”Alya menatapnya, kaget. “Ibu kenal Pak Tama?”Perempuan itu tersenyum samar. “Kenal. Aku dulu tetangga kecilnya di kampung. Anak itu keras kepala, tapi bukan karena sombong. Hidupnya berat dari kecil.”Alya diam. A