Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Bayangan di balik layar

Share

Bayangan di balik layar

Penulis: Reju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 23:47:10

Oke, aku paham. Kamu mau revisi yang tetap panjang sama, lebih natural, dan tidak sering ganti set tempat supaya ceritanya terasa mengalir. Aku sudah perbaiki narasi supaya fokus di suasana dan interaksi, bukan lompat-lompat lokasi. Berikut revisinya:

Gedung itu sunyi. Terpencil di ujung jalan, tersembunyi di antara deretan ruko tua yang sudah lama mati. Ayla berdiri menatap bangunan dua lantai itu dengan hati berdebar. Genggaman tangannya menguat pada amplop kusut yang membawanya ke sini.

Ia datang sendirian. Nayaka sempat menawarkan diri menemaninya, tapi Ayla menolak. Kali ini, ia ingin menemukan kebenarannya sendiri.

Pintu depan berderit saat didorong. Aroma lembap dan debu langsung menyergap. Ruangan itu kosong, hanya ada meja kayu lapuk, tumpukan kardus usang, dan sebuah lemari besi terkunci di sudut. Namun matanya berhenti pada satu hal: sebuah lukisan wajah Sofira tergantung di dinding.

Sorot mata dalam lukisan itu menusuk balik ke arahnya. Ada sesuatu yang aneh di sudut bawah kanvas—angka tahun pembuatan: 2024. Setahun setelah Sofira dinyatakan meninggal.

“Siapa yang melukis ini...” gumam Ayla lirih.

Langkah berat dari lantai atas membuatnya menegang. Ia meraih ponsel, jempol siap menekan nomor Nayaka. Namun yang muncul bukan ancaman, melainkan sosok pria tua berjas abu-abu. Rambutnya sudah memutih sebagian, wajahnya tirus, tapi matanya masih tajam.

“Kau Ayla?” tanyanya. Suaranya tenang, namun mengandung wibawa.

“Iya,” jawab Ayla hati-hati. “Siapa Anda?”

Pria itu menuruni tangga pelan. “Aku teman lama Sofira. Sebelum ia... menghilang, ada sesuatu yang dia titipkan padaku.”

Kata menghilang membuat Ayla terpaku. Tidak seperti kata meninggal yang selalu ia dengar.

Pria itu menyerahkan sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, ada ponsel jadul dan sebuah buku catatan lusuh. “Ponsel ini terkunci sidik jari. Hanya Sofira yang bisa membukanya. Tapi catatan ini... bisa kau baca.”

Ayla membuka halaman pertama. Tulisan tangan Sofira menatapnya dari balik kertas:

“Jika kau membaca ini, berarti aku gagal keluar hidup-hidup.”

Tangannya gemetar saat membalik halaman-halaman berikut. Barisan kata-kata itu bukan sekadar catatan pekerjaan. Ada emosi yang menekan, ada kepanikan yang tertulis dengan rapi, seakan Sofira menulis untuk diwariskan.

Ia menulis tentang tekanan psikologis, tentang data gelap yang ditemukan, dan tentang ketakutannya sendiri.

“Aku mendengar percakapan mereka. Mereka ingin mengubah angka, memanipulasi laporan untuk investor. Tapi yang membuatku takut bukan itu. Aku takut karena aku tahu siapa dalangnya. Orang yang kupikir bisa dipercaya. Orang yang kupikir akan melindungiku.”

Ayla menelan ludah, jantungnya mencelos. Ia belum bisa menebak siapa yang dimaksud. Namun kalimat berikutnya membuatnya membeku:

“Kalau aku menghilang... mungkin dia sudah memilih. Antara karier dan aku. Dan aku tahu apa yang akan dia pilih.”

Ayla menutup buku sejenak, berusaha mengatur napas. Tapi rasa ingin tahu lebih besar. Ia membuka lagi, menelusuri halaman demi halaman.

Ada nama-nama, kode-kode, bahkan sketsa wajah seseorang—seorang pria dengan mata tajam dan bekas luka di pelipisnya. Di bawahnya tertulis: Kenan Sadiva.

Semakin banyak halaman ia baca, semakin jelas bahwa Sofira tahu terlalu banyak. Ada daftar petinggi perusahaan, mitra bisnis, bahkan media yang dibayar untuk bungkam.

“Ada satu server cadangan di lantai bawah yang menyimpan rekaman asli. Tapi aku tak tahu apakah aku bisa menyelamatkan data itu tanpa ditemukan.”

Ayla menekan keningnya. Semua ini terlalu besar untuknya. Tapi hatinya tahu, ia tidak bisa mundur. Takdir menempatkannya di jalur Sofira bukan karena wajah mereka mirip, tapi karena tidak ada orang lain yang bisa melanjutkan perjuangan itu.

Halaman terakhir membuat darahnya berdesir:

“Orang yang paling kau percaya... bisa jadi orang pertama yang ingin membungkamku.”

Ayla menutup buku dengan perlahan. Tatapannya beralih ke cermin tua di sudut ruangan. Bayangannya sendiri menatap balik, tapi ia tak lagi merasa melihat dirinya. Ia merasa sedang melihat Sofira—hidup yang tertinggal, rahasia yang belum terjawab.

Dan kali ini, Ayla tahu: ia harus menyelesaikan semuanya.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Retak yang mulai terasa

    Suara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pengakuan

    Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pulang bersama

    Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Langkah balasan

    Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Di balik layar yang terbakar

    Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Batas yang semakin kabur

    Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status