LOGINOke, aku paham. Kamu mau revisi yang tetap panjang sama, lebih natural, dan tidak sering ganti set tempat supaya ceritanya terasa mengalir. Aku sudah perbaiki narasi supaya fokus di suasana dan interaksi, bukan lompat-lompat lokasi. Berikut revisinya:
Gedung itu sunyi. Terpencil di ujung jalan, tersembunyi di antara deretan ruko tua yang sudah lama mati. Ayla berdiri menatap bangunan dua lantai itu dengan hati berdebar. Genggaman tangannya menguat pada amplop kusut yang membawanya ke sini. Ia datang sendirian. Nayaka sempat menawarkan diri menemaninya, tapi Ayla menolak. Kali ini, ia ingin menemukan kebenarannya sendiri. Pintu depan berderit saat didorong. Aroma lembap dan debu langsung menyergap. Ruangan itu kosong, hanya ada meja kayu lapuk, tumpukan kardus usang, dan sebuah lemari besi terkunci di sudut. Namun matanya berhenti pada satu hal: sebuah lukisan wajah Sofira tergantung di dinding. Sorot mata dalam lukisan itu menusuk balik ke arahnya. Ada sesuatu yang aneh di sudut bawah kanvas—angka tahun pembuatan: 2024. Setahun setelah Sofira dinyatakan meninggal. “Siapa yang melukis ini...” gumam Ayla lirih. Langkah berat dari lantai atas membuatnya menegang. Ia meraih ponsel, jempol siap menekan nomor Nayaka. Namun yang muncul bukan ancaman, melainkan sosok pria tua berjas abu-abu. Rambutnya sudah memutih sebagian, wajahnya tirus, tapi matanya masih tajam. “Kau Ayla?” tanyanya. Suaranya tenang, namun mengandung wibawa. “Iya,” jawab Ayla hati-hati. “Siapa Anda?” Pria itu menuruni tangga pelan. “Aku teman lama Sofira. Sebelum ia... menghilang, ada sesuatu yang dia titipkan padaku.” Kata menghilang membuat Ayla terpaku. Tidak seperti kata meninggal yang selalu ia dengar. Pria itu menyerahkan sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, ada ponsel jadul dan sebuah buku catatan lusuh. “Ponsel ini terkunci sidik jari. Hanya Sofira yang bisa membukanya. Tapi catatan ini... bisa kau baca.” Ayla membuka halaman pertama. Tulisan tangan Sofira menatapnya dari balik kertas: “Jika kau membaca ini, berarti aku gagal keluar hidup-hidup.” Tangannya gemetar saat membalik halaman-halaman berikut. Barisan kata-kata itu bukan sekadar catatan pekerjaan. Ada emosi yang menekan, ada kepanikan yang tertulis dengan rapi, seakan Sofira menulis untuk diwariskan. Ia menulis tentang tekanan psikologis, tentang data gelap yang ditemukan, dan tentang ketakutannya sendiri. “Aku mendengar percakapan mereka. Mereka ingin mengubah angka, memanipulasi laporan untuk investor. Tapi yang membuatku takut bukan itu. Aku takut karena aku tahu siapa dalangnya. Orang yang kupikir bisa dipercaya. Orang yang kupikir akan melindungiku.” Ayla menelan ludah, jantungnya mencelos. Ia belum bisa menebak siapa yang dimaksud. Namun kalimat berikutnya membuatnya membeku: “Kalau aku menghilang... mungkin dia sudah memilih. Antara karier dan aku. Dan aku tahu apa yang akan dia pilih.” Ayla menutup buku sejenak, berusaha mengatur napas. Tapi rasa ingin tahu lebih besar. Ia membuka lagi, menelusuri halaman demi halaman. Ada nama-nama, kode-kode, bahkan sketsa wajah seseorang—seorang pria dengan mata tajam dan bekas luka di pelipisnya. Di bawahnya tertulis: Kenan Sadiva. Semakin banyak halaman ia baca, semakin jelas bahwa Sofira tahu terlalu banyak. Ada daftar petinggi perusahaan, mitra bisnis, bahkan media yang dibayar untuk bungkam. “Ada satu server cadangan di lantai bawah yang menyimpan rekaman asli. Tapi aku tak tahu apakah aku bisa menyelamatkan data itu tanpa ditemukan.” Ayla menekan keningnya. Semua ini terlalu besar untuknya. Tapi hatinya tahu, ia tidak bisa mundur. Takdir menempatkannya di jalur Sofira bukan karena wajah mereka mirip, tapi karena tidak ada orang lain yang bisa melanjutkan perjuangan itu. Halaman terakhir membuat darahnya berdesir: “Orang yang paling kau percaya... bisa jadi orang pertama yang ingin membungkamku.” Ayla menutup buku dengan perlahan. Tatapannya beralih ke cermin tua di sudut ruangan. Bayangannya sendiri menatap balik, tapi ia tak lagi merasa melihat dirinya. Ia merasa sedang melihat Sofira—hidup yang tertinggal, rahasia yang belum terjawab. Dan kali ini, Ayla tahu: ia harus menyelesaikan semuanya. BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan







