LOGINBaik, aku akan revisi teksmu supaya tetap panjang sama, natural, tapi tidak terlalu sering ganti set tempat (alur lebih mengalir, fokus pada suasana dan interaksi). Berikut hasil revisinya:
Amplop itu berat. Bukan karena isinya, tapi karena beban yang dibawanya. Ayla duduk sendirian di ruang kerja kecilnya. Lampu meja redup menyorot ke permukaan kayu, sementara hujan yang turun sejak dini hari belum juga reda. Suara rintiknya seperti irama gelisah yang tak pernah berhenti. Dengan tangan bergetar, Ayla membuka amplop itu. Di dalamnya hanya ada dua benda: satu flashdisk, dan sepucuk surat bertulisan tangan. Tulisan itu miring, rapi, dan teratur—seperti milik seseorang yang tahu betul waktunya akan segera habis. "Jika kau membaca ini, berarti kebenaran belum mati. Dan mungkin... aku belum sepenuhnya menghilang." "Namaku Sofira Almeira. Jika seseorang mengirimkan ini padamu, berarti kamu adalah orang yang mirip denganku. Lebih dari itu, kamu adalah seseorang yang bisa menyelesaikan apa yang tak sempat kulakukan." "Aku tidak bunuh diri. Aku dibungkam. Karena aku tahu rahasia yang seharusnya tidak kuketahui." Ayla menutup mulut dengan tangannya. Tubuhnya mulai bergetar. Ia mencolokkan flashdisk ke laptop, dan sebuah folder langsung terbuka: Pelanggaran Internal. Puluhan file spreadsheet dan rekaman suara tersimpan di dalamnya. Satu rekaman otomatis terputar. Suara pria dewasa, jelas dan dingin: "...Jika proyek ini bocor ke media, saham kita akan anjlok. Kau harus pastikan dia diam. Sofira terlalu pintar untuk posisinya." Ayla membeku. Suara itu tidak asing. Ia tahu betul siapa pemilik suara tersebut. Salah satu petinggi Arvenza Corp. Keesokan paginya, Ayla duduk di dapur sejak matahari terbit. Ponsel di tangannya tak berhenti berputar-putar di jari, sementara pikirannya dilanda pertarungan antara keinginan untuk bicara dan rasa takut akan jawaban yang akan ia terima. Nayaka turun dengan setelan abu-abu gelap, wajahnya tampak letih. “Pagi,” ucapnya singkat, sebelum meraih cangkir kopi. Ayla menelan ludah. “Aku... mau bicara.” Tatapan Nayaka berhenti padanya. “Tentang apa?” “Bisa kita bicara di ruang kerjamu?” Mereka berdua lalu duduk berhadapan di ruangan yang sama dengan malam sebelumnya Ayla membuka amplop itu. Suasana hening, hanya terdengar detak jam di dinding. Ayla mengeluarkan flashdisk dan meletakkannya di meja. “Apa ini?” tanya Nayaka dengan nada curiga. “Peninggalan dari Sofira,” jawab Ayla pelan. “Seseorang memberikannya padaku. Isinya... kau harus dengar sendiri.” Rekaman diputar. Suara yang sama menggema. “...Kalau Sofira buka mulut, habis kita. Gunakan alasan apa saja untuk menyingkirkannya. Buat seolah dia melarikan diri.” Nayaka membeku. Wajahnya menegang, seolah seluruh darah meninggalkan tubuhnya. “Aku kenal suara itu... Komisaris Arvin. Dia orang kepercayaan ayahku.” Ayla menatapnya, suaranya bergetar namun tegas. “Sofira tidak mati bunuh diri. Dia dibungkam karena tahu sesuatu. Dan aku... entah bagaimana, aku bisa merasakan sebagian dari rasa sakitnya.” Nayaka jatuh terduduk di sofa. Untuk pertama kalinya, matanya menunjukkan kehancuran. “Selama ini aku pikir... aku gagal melindunginya. Tapi ternyata aku bahkan tidak tahu dia minta tolong.” Ayla menggenggam tangannya. “Mungkin ini kesempatanmu untuk memperbaiki semuanya. Bukan lewat aku, tapi lewat kebenaran yang dia tinggalkan.” Nayaka menatap dalam ke matanya. “Kau yakin ingin ikut terlibat dalam semua ini?” Ayla mengangguk mantap. “Aku tidak bisa mundur. Aku ingin tahu siapa sebenarnya Sofira... dan kenapa aku merasa seperti mewarisi bagian dirinya.” Malam harinya, ruang kerja itu kembali menjadi saksi. Nayaka duduk gelisah, ponsel di tangannya. Ia akhirnya menekan nomor Reynard. “Temui aku. Sekarang.” Satu jam kemudian, Reynard muncul dengan wajah muram. “Kau sudah tahu, ya?” Nayaka tidak berputar-putar. “Kenapa kau tidak bilang dari awal?” “Karena kalau aku bilang, kau tidak akan percaya. Kau hanya akan semakin hancur. Seperti waktu Sofira pergi.” Reynard lalu mengeluarkan sebuah amplop dari jaketnya. “Ini file pribadi Sofira. Aku simpan diam-diam. Takutnya, kalau sampai tangan yang salah, semuanya akan musnah.” Nayaka menatapnya tajam. “Mulai sekarang... bantu aku. Kita buka semua ini. Sampai ke akar.” Reynard mengangguk. “Aku selalu di pihak Sofira. Dan sekarang... di pihak Ayla.” Dari tangga atas, Ayla berdiri mengintip percakapan itu. Jantungnya berdetak kencang. Saat itu ia sadar—perannya bukan sekadar pengganti. Ia adalah kunci. Dan permainan yang sesungguhnya... baru saja dimulai. BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan







