MasukAyla Meindira hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan, bekerja siang malam demi membiayai sekolah adiknya dan membayar utang keluarganya yang terus menumpuk. Hidupnya sudah cukup berat—hingga datang tawaran absurd dari seorang pria asing: pernikahan kontrak selama satu tahun. Dan pria itu bukan orang biasa. Dia adalah Nayaka Arvenza—CEO muda dingin, kejam, dan terkenal tidak pernah percaya cinta. Ia tak butuh istri, apalagi cinta. Ia hanya butuh alat untuk mencapai tujuannya. Terdesak, Ayla menandatangani kontrak. Namun, ia tidak tahu bahwa pernikahan itu bukanlah sekadar kesepakatan biasa. Ada dendam masa lalu yang terbungkus rapi, dan Ayla terseret di dalamnya—tanpa ia sadari, semua ini berawal dari nama keluarganya sendiri. Namun, saat dua dunia bertabrakan, saat dinginnya Nayaka mulai retak, dan saat Ayla mulai melihat sisi lain dari pria itu—cinta yang mustahil perlahan tumbuh di antara mereka. Tapi, bagaimana jika semuanya hanya ilusi? Bagaimana jika Nayaka tak pernah berniat mencintai Ayla sejak awal? Dan... bagaimana jika Ayla justru jatuh terlalu dalam?
Lihat lebih banyak“Karena saya ingin menikah denganmu.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, berat, dingin, dan tak bisa ditawar. Ayla Meindira hanya bisa menatap pria di depannya—mata tajam, rahang tegas, setelan hitam sempurna yang memantulkan cahaya lampu mahal. Tangannya bergetar memegang tas lusuhnya. Ini apa? Mimpi buruk? “Maaf?” suaranya keluar nyaris tak terdengar. “Kita akan menikah. Secara hukum. Tapi hanya selama satu tahun.” Ayla nyaris tertawa. “Ini… semacam lelucon?” Wajah pria itu tetap datar. Sama sekali tidak ada nada bercanda. “Tidak. Ini kontrak. Kau akan dibayar dua ratus juta rupiah per bulan selama pernikahan berlangsung. Kau akan tinggal bersamaku, dan berperan sebagai istri sahku di depan publik.” Jantung Ayla berdegup tak karuan. Ia memalingkan wajah, berusaha mencerna kata-kata itu. Kenapa saya? gumamnya lirih. “Karena kau adalah bagian dari masa lalu yang harus kubenahi,” jawabnya tajam. Suasana mendadak hening. --- Beberapa jam sebelumnya, Ayla berjalan cepat menyusuri gang sempit. Langit sore perlahan menggelap. Rambutnya yang diikat seadanya tampak berantakan, sementara seragam café tempatnya bekerja masih menempel di tubuh mungilnya, berbau wangi kopi yang belum hilang. Hari ini dia tidak hanya lelah. Dia hancur. “Tunggakan bulan ini belum dibayar, Mbak Ayla.” Suara pemilik kontrakan siang tadi masih terngiang di telinganya. Belum lagi tagihan rumah sakit adiknya yang terus menumpuk, dan telepon ancaman dari penagih utang yang tak henti-henti. Hidup Ayla benar-benar kacau. Lalu satu telepon masuk. Dari nomor tak dikenal. “Nona Ayla Meindira?” “Iya, ini siapa ya?” “Kami dari kantor hukum Arvenza Corp. Tuan Nayaka Arvenza ingin bertemu Anda. Hari ini.” Ayla hampir tertawa mendengarnya. Arvenza Corp? Perusahaan raksasa itu? Kenapa seorang CEO mau bicara denganku—seorang pelayan café yang bahkan tidak tamat kuliah? Namun karena penasaran, dan karena suara lelaki di telepon itu terdengar terlalu serius, Ayla datang. Ia pikir, mungkin hanya kesalahan data. Ternyata tidak. --- Pria di depannya—Tuan Nayaka Arvenza. CEO muda yang namanya lebih terkenal daripada artis. Jam tangan mewah di pergelangan kirinya memantulkan cahaya lampu. Aura dinginnya terasa menampar udara. “Duduklah.” Suaranya berat dan pendek. Ayla menelan ludah, duduk dengan gugup. “Maaf... tapi... kenapa saya dipanggil ke sini?” tanyanya pelan. Nayaka meletakkan map hitam di meja kaca di antara mereka. “Karena saya ingin menikah denganmu.” Kalimat itu kembali terngiang. --- “Baca. Pikirkan. Dan tandatangani jika kau ingin menyelamatkan adikmu dari para rentenir.” Ayla membeku. Dunia seakan berhenti berputar. Tangannya bergetar saat membuka lembar pertama dokumen itu. Kertas berlogo Arvenza Corp tampak tebal, disusun rapi, dan ditandatangani oleh salah satu firma hukum ternama. “PERJANJIAN NIKAH KONTRAK – AYLA MEINDIRA & NAYAKA ARVENZA.” Mata Ayla membelalak. “Saya… nggak ngerti. Ini bukan lelucon, ‘kan?” tanyanya sekali lagi, nyaris berbisik. “Tidak ada waktu untuk bercanda dalam hidup saya,” Nayaka bersandar santai di sofa mahal itu. “Saya tidak butuh cinta. Saya hanya butuh peran istri di atas kertas. Kau akan dibayar, kau akan diberi tempat tinggal, dan kau tidak boleh ikut campur urusan pribadi saya.” Ayla menatapnya tak percaya. “Jadi saya cuma... alat?” Nayaka tersenyum kecil, sinis. “Jika kau butuh istilah itu untuk memahami, silakan.” Ayla berdiri, ingin marah, ingin kabur. Tapi ucapan Nayaka berikutnya menghentikan langkahnya. “Utang keluargamu pada Pak Herman mencapai seratus delapan puluh juta. Dalam dua hari, rumah kontrakanmu akan disita. Dan adikmu yang masih sekolah? Dia akan diusir dari SMA-nya karena tunggakan.” Deg. Ayla menoleh cepat. “A-anda menyelidiki saya?” “Tidak perlu waktu lama untuk mengetahui seseorang yang sedang putus asa. Kau mudah ditebak, Nona Ayla.” Wajah Ayla memucat. Ia menggenggam surat itu erat-erat. “Kau tahu semua ini... dan kau tetap menawarkanku pernikahan seperti ini?” “Kau butuh uang. Aku butuh nama istri. Kita saling menguntungkan.” Ayla mendesah panjang. Akalnya menolak. Hatinya berontak. Tapi saat wajah adiknya—Nayla—melintas dalam bayangan, ia tahu dia tak bisa egois. Adiknya hanya punya dia. Perlahan, Ayla duduk kembali. “Sebutkan syarat-syaratnya.” “Kontrak ini berlaku selama satu tahun. Tidak ada hubungan fisik. Tidak ada cinta. Tidak boleh membawa pria lain ke rumah. Tidak boleh melanggar privasi saya. Dan… setelah kontrak selesai, kita akan cerai secara diam-diam.” “Setelah itu?” “Kau bebas. Dan kau akan mendapatkan satu miliar penuh saat keluar dari pernikahan ini.” Diam. Sunyi. Ayla mengamati tangannya. Satu tahun. Satu miliar. Rumah. Pendidikan Nayla. Semua bisa diselamatkan. Tapi dengan harga… menjual dirinya sebagai istri kontrak. Ia menarik napas panjang. “Dan... satu hal lagi.” Nayaka menaikkan alisnya. “Apa?” “Saya ingin adik saya tetap tinggal bersama saya, walau saya ikut ke rumah Anda.” Untuk pertama kalinya, Nayaka terdiam cukup lama. Lalu ia mengangguk. “Baik. Tapi dia tidak boleh ikut campur urusan rumah tangga ini.” Ayla mengangguk pelan. Dengan jantung berdegup keras dan tangan yang masih gemetar, Ayla mengambil pulpen yang diletakkan pria itu di atas meja. Dan… Tanda tangan itu pun tercoret di kertas. Tuan Nayaka berdiri. Tanpa senyum, tanpa selamat. Ia hanya mengambil dokumen itu, melipatnya, lalu melangkah pergi ke arah pintu. Tepat sebelum ia keluar ruangan, ia berbalik, menatap Ayla sekilas. Tatapan yang dingin, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk meremang. “Selamat datang di hidup saya, Nyonya Arvenza. Mulai hari ini, kau milik saya—secara hukum.” Klik. Pintu tertutup. Dan di ruangan yang tiba-tiba terasa kosong itu, Ayla duduk sendiri, menatap tangannya yang baru saja membuat keputusan paling gila dalam hidupnya. BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen