Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Mata-mata di meja rapat

Share

Mata-mata di meja rapat

Author: Reju
last update Last Updated: 2025-08-05 00:06:43

Oke, aku sudah paham. Jadi kamu mau revisi biar alurnya lebih natural, tidak terlalu sering lompat set tempat, tapi tetap dengan panjang kata yang seimbang. Aku rapikan narasi ini agar transisinya halus dan fokus scene lebih lama di satu tempat sebelum pindah. Ini versi revisinya:

Pagi itu di Arvenza Corp, langit mendung seakan mencerminkan suasana hati Nayaka. Ia duduk di ruang rapat utama bersama para direksi, namun pikirannya masih terpaku pada catatan Sofira dan sketsa wajah Kenan Sadiva yang ditunjukkan Ayla semalam. Data yang ditemukan Ayla terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah.

“Agenda rapat hari ini: evaluasi keuangan kuartal dua,” ujar Pak Dirga, direktur senior, sambil menyalakan proyektor.

Namun fokus Nayaka bukan pada grafik yang terpampang di layar. Pandangannya sesekali melirik ke arah seorang wanita dua kursi darinya: Meira Lestari, kepala divisi hukum. Informasi dari Reynard semalam masih mengganggunya—Meira pernah menjadi asisten hukum pribadi Kenan Sadiva, sebelum pindah ke Arvenza Corp dua tahun lalu. Dan kebetulan itu terlalu dekat dengan kematian Sofira.

“Apakah ada keberatan mengenai laporan ini?” tanya Meira datar. Tatapannya menusuk seolah menguji.

Nayaka berusaha tenang, memutar pena di jarinya. “Laporan bagus. Tapi aku ingin review ulang, khususnya di sektor pengadaan proyek luar negeri.”

Meira menaikkan alis. “Itu wilayah yang sudah diaudit tahun lalu.”

“Dan aku ingin audit ulang dengan auditor berbeda,” balas Nayaka, nada suaranya terkendali.

Ruangan seketika tegang. Beberapa direksi saling pandang, menyadari gesekan halus yang terjadi. Nayaka tahu ia sedang memancing. Ia ingin melihat siapa yang bereaksi ketika tersentuh.

Di saat Nayaka sibuk menjaga sikapnya di rapat, Ayla berada di sebuah ruangan kecil yang tersembunyi di belakang gedung, bersama Reynard. Ia baru saja membawa ponsel jadul milik Sofira yang berhasil dibuka secara forensik.

Reynard memutar salah satu file video. Layar memperlihatkan rekaman CCTV di dalam lift Arvenza. Sofira berdiri berhadapan dengan Meira. Suaranya bergetar marah:

“Aku mempercayaimu, Meira!”

Jawaban Meira dingin. “Dan itu kesalahanmu. Kau tahu terlalu banyak. Aku tak bisa melindungimu lagi.”

Ayla menutup laptop perlahan, wajahnya pucat. “Dia... pengkhianat. Sofira tidak mati karena kecelakaan.”

Reynard mengangguk muram. “Dan sekarang dia duduk di ruang rapat, tepat di samping Nayaka.”

Malam harinya, di ruang kerja Nayaka, Ayla menaruh laptop di meja. Rekaman itu diputar kembali. Rahang Nayaka mengeras, napasnya naik turun.

“Aku akan menyingkirkannya,” ucapnya pelan. “Tapi aku tak bisa sembarangan. Kalau dia masih punya jaringan Kenan, satu langkah salah dan kita bisa dijatuhkan dari dalam.”

Ayla meraih tangannya. “Kita lakukan pelan-pelan. Tapi kamu harus percaya padaku.”

Nayaka menatap Ayla lama, lalu mengangguk. “Mulai besok kamu jadi bagian tim pengawasan investigasi internal. Aku jadikanmu asisten pribadi CEO. Dengan begitu, kamu bisa akses semua ruangan.”

Mata Ayla melebar. “Apa kamu yakin?”

“Justru kamu yang paling bisa menyelesaikan ini. Bahkan lebih dari aku.”

Di sisi lain gedung, Meira duduk di ruang kerjanya yang remang. Ia menatap cermin kecil di atas meja, bibirnya membentuk senyum samar. Di bawah meja, sebuah flashdisk terhubung ke laptop. File demi file dipindahkan—salinan data cadangan dari server internal yang tidak diketahui semua orang.

“Reynard terlalu percaya pada firewall-nya,” gumamnya. “Tapi aku sudah mempelajari cara kerja mereka sejak lama.”

Jemarinya menari cepat, menghapus rekaman CCTV tiga malam lalu ketika ia masuk ke ruang arsip. Tak ada jejak. Seolah ia tak pernah berada di sana.

Sebuah pesan terenkripsi masuk di layar: Ayla bergerak terlalu cepat. Saatnya potong jalur.

Meira menutup laptopnya, berdiri sambil menatap langit malam dari balik jendela. “Kalau kau pikir bisa menggantikan Sofira, Ayla... kau salah besar.”

Keesokan harinya, Ayla melangkah masuk ke Arvenza dengan penampilan berbeda. Blazer hitam, sepatu hak tinggi, tablet di tangan. Beberapa karyawan berbisik, kagum melihat transformasinya. Tapi Ayla tak peduli. Kini dia bukan sekadar istri kontrak—dia mata Nayaka di balik layar, dan suara Sofira yang belum sempat padam.

Hari itu penuh rapat, tumpukan dokumen, dan percakapan setengah kode. Ayla sibuk berpura-pura menyiapkan laporan, padahal sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menelusuri log sistem dan arsip lama. Perlahan, pola mulai terlihat: laporan yang hilang, kamera yang mati mendadak, audit yang tak lengkap.

Sore hari, ia menemukan satu bukti mengejutkan—akses ke ruang server tengah malam menggunakan ID yang seharusnya nonaktif setahun lalu. ID milik Sofira.

Ayla menatap layar, napasnya tercekat. “Ini bukan sekadar sabotase. Ini rekayasa.”

Ia segera mencatat temuannya di buku kecil. Bukan hanya karena file digital bisa dihapus, tapi karena tulisan tangannya tidak bisa dimanipulasi siapa pun.

Malam itu, ketika menatap pantulan dirinya di kaca lift, Ayla sadar satu hal:

Perang yang dulu dimulai Sofira... kini sudah menjadi miliknya.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Retak yang mulai terasa

    Suara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pengakuan

    Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pulang bersama

    Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Langkah balasan

    Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Di balik layar yang terbakar

    Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Batas yang semakin kabur

    Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status