MasukOke, aku sudah paham. Jadi kamu mau revisi biar alurnya lebih natural, tidak terlalu sering lompat set tempat, tapi tetap dengan panjang kata yang seimbang. Aku rapikan narasi ini agar transisinya halus dan fokus scene lebih lama di satu tempat sebelum pindah. Ini versi revisinya:
Pagi itu di Arvenza Corp, langit mendung seakan mencerminkan suasana hati Nayaka. Ia duduk di ruang rapat utama bersama para direksi, namun pikirannya masih terpaku pada catatan Sofira dan sketsa wajah Kenan Sadiva yang ditunjukkan Ayla semalam. Data yang ditemukan Ayla terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. “Agenda rapat hari ini: evaluasi keuangan kuartal dua,” ujar Pak Dirga, direktur senior, sambil menyalakan proyektor. Namun fokus Nayaka bukan pada grafik yang terpampang di layar. Pandangannya sesekali melirik ke arah seorang wanita dua kursi darinya: Meira Lestari, kepala divisi hukum. Informasi dari Reynard semalam masih mengganggunya—Meira pernah menjadi asisten hukum pribadi Kenan Sadiva, sebelum pindah ke Arvenza Corp dua tahun lalu. Dan kebetulan itu terlalu dekat dengan kematian Sofira. “Apakah ada keberatan mengenai laporan ini?” tanya Meira datar. Tatapannya menusuk seolah menguji. Nayaka berusaha tenang, memutar pena di jarinya. “Laporan bagus. Tapi aku ingin review ulang, khususnya di sektor pengadaan proyek luar negeri.” Meira menaikkan alis. “Itu wilayah yang sudah diaudit tahun lalu.” “Dan aku ingin audit ulang dengan auditor berbeda,” balas Nayaka, nada suaranya terkendali. Ruangan seketika tegang. Beberapa direksi saling pandang, menyadari gesekan halus yang terjadi. Nayaka tahu ia sedang memancing. Ia ingin melihat siapa yang bereaksi ketika tersentuh. Di saat Nayaka sibuk menjaga sikapnya di rapat, Ayla berada di sebuah ruangan kecil yang tersembunyi di belakang gedung, bersama Reynard. Ia baru saja membawa ponsel jadul milik Sofira yang berhasil dibuka secara forensik. Reynard memutar salah satu file video. Layar memperlihatkan rekaman CCTV di dalam lift Arvenza. Sofira berdiri berhadapan dengan Meira. Suaranya bergetar marah: “Aku mempercayaimu, Meira!” Jawaban Meira dingin. “Dan itu kesalahanmu. Kau tahu terlalu banyak. Aku tak bisa melindungimu lagi.” Ayla menutup laptop perlahan, wajahnya pucat. “Dia... pengkhianat. Sofira tidak mati karena kecelakaan.” Reynard mengangguk muram. “Dan sekarang dia duduk di ruang rapat, tepat di samping Nayaka.” Malam harinya, di ruang kerja Nayaka, Ayla menaruh laptop di meja. Rekaman itu diputar kembali. Rahang Nayaka mengeras, napasnya naik turun. “Aku akan menyingkirkannya,” ucapnya pelan. “Tapi aku tak bisa sembarangan. Kalau dia masih punya jaringan Kenan, satu langkah salah dan kita bisa dijatuhkan dari dalam.” Ayla meraih tangannya. “Kita lakukan pelan-pelan. Tapi kamu harus percaya padaku.” Nayaka menatap Ayla lama, lalu mengangguk. “Mulai besok kamu jadi bagian tim pengawasan investigasi internal. Aku jadikanmu asisten pribadi CEO. Dengan begitu, kamu bisa akses semua ruangan.” Mata Ayla melebar. “Apa kamu yakin?” “Justru kamu yang paling bisa menyelesaikan ini. Bahkan lebih dari aku.” Di sisi lain gedung, Meira duduk di ruang kerjanya yang remang. Ia menatap cermin kecil di atas meja, bibirnya membentuk senyum samar. Di bawah meja, sebuah flashdisk terhubung ke laptop. File demi file dipindahkan—salinan data cadangan dari server internal yang tidak diketahui semua orang. “Reynard terlalu percaya pada firewall-nya,” gumamnya. “Tapi aku sudah mempelajari cara kerja mereka sejak lama.” Jemarinya menari cepat, menghapus rekaman CCTV tiga malam lalu ketika ia masuk ke ruang arsip. Tak ada jejak. Seolah ia tak pernah berada di sana. Sebuah pesan terenkripsi masuk di layar: Ayla bergerak terlalu cepat. Saatnya potong jalur. Meira menutup laptopnya, berdiri sambil menatap langit malam dari balik jendela. “Kalau kau pikir bisa menggantikan Sofira, Ayla... kau salah besar.” Keesokan harinya, Ayla melangkah masuk ke Arvenza dengan penampilan berbeda. Blazer hitam, sepatu hak tinggi, tablet di tangan. Beberapa karyawan berbisik, kagum melihat transformasinya. Tapi Ayla tak peduli. Kini dia bukan sekadar istri kontrak—dia mata Nayaka di balik layar, dan suara Sofira yang belum sempat padam. Hari itu penuh rapat, tumpukan dokumen, dan percakapan setengah kode. Ayla sibuk berpura-pura menyiapkan laporan, padahal sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menelusuri log sistem dan arsip lama. Perlahan, pola mulai terlihat: laporan yang hilang, kamera yang mati mendadak, audit yang tak lengkap. Sore hari, ia menemukan satu bukti mengejutkan—akses ke ruang server tengah malam menggunakan ID yang seharusnya nonaktif setahun lalu. ID milik Sofira. Ayla menatap layar, napasnya tercekat. “Ini bukan sekadar sabotase. Ini rekayasa.” Ia segera mencatat temuannya di buku kecil. Bukan hanya karena file digital bisa dihapus, tapi karena tulisan tangannya tidak bisa dimanipulasi siapa pun. Malam itu, ketika menatap pantulan dirinya di kaca lift, Ayla sadar satu hal: Perang yang dulu dimulai Sofira... kini sudah menjadi miliknya. BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan







