LOGINGaun navy itu terasa asing di tubuh Ayla. Bukan karena sempit, bukan pula karena berat, melainkan karena terlalu indah untuk dirinya. Satin yang jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya membuatnya merasa seperti orang lain—bukan Ayla yang dulu bekerja di café, bukan Ayla yang selalu sibuk menambal hidup dengan kesederhanaan.
Rambutnya digelung rapi oleh penata rambut profesional, menyisakan beberapa helai tipis yang sengaja dibiarkan jatuh, membingkai wajahnya. Saat ia menatap pantulan dirinya di cermin besar kamar itu, napasnya tercekat. Ia tampak seperti putri. Sayangnya, bukan dari kisah dongeng. Melainkan dari sandiwara yang disiapkan dunia untuk diejek kapan saja. “Kaak…” Suara ceria Nayla memecah lamunannya. Gadis itu berdiri di pintu, matanya berbinar. “Cantik banget. Kaya pengantin raja beneran.” Ayla tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Cuma baju pinjaman, Nay. Hidup kita tetap gitu-gitu aja.” Nayla masuk, membawa sepasang sepatu hak tinggi dengan hati-hati. “Ya udah, tapi tetap semangat ya, Kak. Walau ini semua cuma kontrak… kamu tetap pantas kelihatan cantik.” Ayla meremas jemarinya sendiri. Pantas? Benarkah ia pantas berdiri di samping Nayaka Arvenza? Gala dinner tahunan Arvenza Corp bukan sekadar pesta. Ruangan itu bagaikan panggung besar, tempat pebisnis, investor, dan sosialita bersaing lewat senyum, tawa, dan kilauan berlian. Lampu gantung kristal berkilau, musik klasik mengalun dari orkestra di sudut ruangan. Champagne dituangkan tanpa henti, tawa bercampur bisik-bisik gosip berputar di udara. Namun suasana itu seketika berubah saat pintu utama terbuka. Nayaka Arvenza masuk dengan langkah tenang, menggandeng istrinya. Ayla meneguk ludah. Ia meluruskan punggung, melangkah sesuai irama Nayaka, meski jantungnya berdetak seolah ingin melarikan diri. “Lihat itu… istrinya?” “Biasa banget, ya. Masa Nayaka pilih yang begitu?” Bisikan-bisikan menusuk datang dari berbagai sudut. Ayla ingin menundukkan kepala, ingin bersembunyi. Tapi tepat ketika ia hampir goyah, Nayaka mempererat genggamannya. Dengan suara rendah yang hanya ia dengar, Nayaka berbisik, “Jangan tundukkan kepala. Mereka bukan siapa-siapa.” Ayla terkejut. Ia menoleh, namun pria itu tetap menatap ke depan, seakan kalimat tadi tak pernah terucap. Belum lama mereka duduk, seorang wanita dalam balutan gaun merah menyala melangkah mendekat. Wajahnya cantik, langkahnya penuh percaya diri, seakan ruangan itu miliknya. “Lama tak bertemu, Nayaka.” Ayla menoleh cepat. Nada suara itu tajam, tapi penuh senyum manis yang dipaksakan. Wanita itu meliriknya singkat, menilai dari ujung kepala hingga kaki. “Dan ini… istrimu?” “Nathania.” Suara Nayaka datar. Ayla tersadar. Keira Nathania. Wanita yang pernah jadi bagian dari masa lalu Nayaka, sekaligus nama yang ia dengar berhubungan dengan kehancuran perusahaan keluarganya dulu. “Kau berubah selera rupanya,” lanjut Keira, senyumnya makin tipis. “Dulu kau suka wanita yang berkarisma. Sekarang malah pilih… pelayan café?” Darah Ayla seakan berhenti mengalir. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Nayaka menjawab tanpa ragu, “Lebih baik pelayan yang jujur daripada sosialita yang menjual keluarganya demi saham.” Keira terdiam. Wajahnya mengeras, rona merah naik di pipinya. Tatapannya menusuk Ayla seolah ingin menguliti. Tapi ia tahu, tak ada kata balasan yang bisa menjatuhkan Nayaka malam itu. “Jangan menyesal nanti,” ucapnya sinis sebelum berbalik, meninggalkan mereka. Ayla tetap terdiam. Hatinya kacau. Kenapa Nayaka membelanya? Bukankah semua ini hanya kontrak? Tak lama, blitz kamera mulai menyambar. Wartawan mengepung meja utama, melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. “Tuan Nayaka, boleh foto bersama istri?” “Kapan menikah? Kenapa tidak ada liputan media?” “Apakah ini cinta pada pandangan pertama?” Seperti biasa, Nayaka menjawab tenang, suaranya dingin tapi jelas. “Pernikahan kami bersifat pribadi. Kami hanya ingin hidup normal.” Ayla hanya bisa tersenyum tipis, menahan rasa canggung. Namun tiba-tiba, sebuah pertanyaan memecah suasana: “Nona Ayla, banyak yang bilang Anda sangat mirip dengan mendiang Sofira Almeira. Apa Anda tahu soal itu?” Keheningan mendadak menyelimuti ballroom. Jantung Ayla berdegup keras. Lidahnya kelu. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Nayaka menyela cepat. “Kemiripan itu kebetulan. Istriku bukan bayangan siapa pun.” Lalu, tanpa memberi kesempatan wartawan menekan lebih jauh, Nayaka menggenggam tangan Ayla lebih erat, menariknya pergi dari kerumunan. Namun Ayla tahu—saat nama Sofira disebut, ada sesuatu yang bergetar di mata dingin itu. Sesuatu yang tak bisa ia pahami. Ayla akhirnya menarik diri ke balkon. Udara malam Jakarta menusuk lembut, meski langit hanya tampak samar di antara gedung-gedung tinggi. Ia menatap ke bawah, lampu kota berkilauan seperti lautan bintang palsu. “Napasmu berat.” Suara Nayaka terdengar dari belakang. Ayla menoleh pelan. “Saya hanya… belum terbiasa.” Pria itu bersandar di pagar balkon, menatap jauh ke kota. “Tapi kau bertahan. Mereka membencimu, tapi kau tak gentar.” Ayla menatapnya. “Bukan karena saya kuat. Saya hanya… tidak ingin mempermalukanmu.” Nayaka beralih menatapnya. Tatapannya dalam, hening, nyaris membuat Ayla sulit bernapas. “Kau membuatku lupa,” katanya perlahan, “bahwa dunia ini pernah membuatku muak.” Ayla membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi suaranya membawa luka yang dalam. Tanpa sadar ia bertanya, “Apa kamu… masih mencintai Sofira?” Nayaka terdiam lama. Angin malam berembus di antara mereka. Lalu suaranya terdengar rendah, nyaris pahit. “Cinta? Aku bahkan tidak tahu artinya lagi.” Ayla akhirnya tertidur dengan resah. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya penuh pertanyaan. Dalam mimpi, ia berdiri di tepi jembatan. Angin berhembus kencang, langit gelap. Ada suara jeritan jauh di belakang. Dan di sana, ia melihat… dirinya sendiri. Atau seseorang yang mirip dirinya. Wajah itu basah oleh air mata. Bibirnya bergetar. Lalu… sosok itu melompat ke dalam kegelapan. Ayla terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin mengalir di pelipis. Tangannya menekan dadanya yang berdebar kencang. “Apa… yang barusan aku lihat?” BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan







