Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Bayangan yang bangkit

Share

Bayangan yang bangkit

Penulis: Reju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 00:12:31

Gaun navy itu terasa asing di tubuh Ayla. Bukan karena sempit, bukan pula karena berat, melainkan karena terlalu indah untuk dirinya. Satin yang jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya membuatnya merasa seperti orang lain—bukan Ayla yang dulu bekerja di café, bukan Ayla yang selalu sibuk menambal hidup dengan kesederhanaan.

Rambutnya digelung rapi oleh penata rambut profesional, menyisakan beberapa helai tipis yang sengaja dibiarkan jatuh, membingkai wajahnya. Saat ia menatap pantulan dirinya di cermin besar kamar itu, napasnya tercekat.

Ia tampak seperti putri.

Sayangnya, bukan dari kisah dongeng.

Melainkan dari sandiwara yang disiapkan dunia untuk diejek kapan saja.

“Kaak…” Suara ceria Nayla memecah lamunannya. Gadis itu berdiri di pintu, matanya berbinar. “Cantik banget. Kaya pengantin raja beneran.”

Ayla tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Cuma baju pinjaman, Nay. Hidup kita tetap gitu-gitu aja.”

Nayla masuk, membawa sepasang sepatu hak tinggi dengan hati-hati. “Ya udah, tapi tetap semangat ya, Kak. Walau ini semua cuma kontrak… kamu tetap pantas kelihatan cantik.”

Ayla meremas jemarinya sendiri. Pantas?

Benarkah ia pantas berdiri di samping Nayaka Arvenza?

Gala dinner tahunan Arvenza Corp bukan sekadar pesta. Ruangan itu bagaikan panggung besar, tempat pebisnis, investor, dan sosialita bersaing lewat senyum, tawa, dan kilauan berlian.

Lampu gantung kristal berkilau, musik klasik mengalun dari orkestra di sudut ruangan. Champagne dituangkan tanpa henti, tawa bercampur bisik-bisik gosip berputar di udara.

Namun suasana itu seketika berubah saat pintu utama terbuka. Nayaka Arvenza masuk dengan langkah tenang, menggandeng istrinya.

Ayla meneguk ludah. Ia meluruskan punggung, melangkah sesuai irama Nayaka, meski jantungnya berdetak seolah ingin melarikan diri.

“Lihat itu… istrinya?”

“Biasa banget, ya. Masa Nayaka pilih yang begitu?”

Bisikan-bisikan menusuk datang dari berbagai sudut. Ayla ingin menundukkan kepala, ingin bersembunyi. Tapi tepat ketika ia hampir goyah, Nayaka mempererat genggamannya.

Dengan suara rendah yang hanya ia dengar, Nayaka berbisik, “Jangan tundukkan kepala. Mereka bukan siapa-siapa.”

Ayla terkejut. Ia menoleh, namun pria itu tetap menatap ke depan, seakan kalimat tadi tak pernah terucap.

Belum lama mereka duduk, seorang wanita dalam balutan gaun merah menyala melangkah mendekat. Wajahnya cantik, langkahnya penuh percaya diri, seakan ruangan itu miliknya.

“Lama tak bertemu, Nayaka.”

Ayla menoleh cepat. Nada suara itu tajam, tapi penuh senyum manis yang dipaksakan.

Wanita itu meliriknya singkat, menilai dari ujung kepala hingga kaki. “Dan ini… istrimu?”

“Nathania.” Suara Nayaka datar.

Ayla tersadar. Keira Nathania. Wanita yang pernah jadi bagian dari masa lalu Nayaka, sekaligus nama yang ia dengar berhubungan dengan kehancuran perusahaan keluarganya dulu.

“Kau berubah selera rupanya,” lanjut Keira, senyumnya makin tipis. “Dulu kau suka wanita yang berkarisma. Sekarang malah pilih… pelayan café?”

Darah Ayla seakan berhenti mengalir.

Namun sebelum ia sempat bereaksi, Nayaka menjawab tanpa ragu, “Lebih baik pelayan yang jujur daripada sosialita yang menjual keluarganya demi saham.”

Keira terdiam. Wajahnya mengeras, rona merah naik di pipinya. Tatapannya menusuk Ayla seolah ingin menguliti. Tapi ia tahu, tak ada kata balasan yang bisa menjatuhkan Nayaka malam itu.

“Jangan menyesal nanti,” ucapnya sinis sebelum berbalik, meninggalkan mereka.

Ayla tetap terdiam. Hatinya kacau. Kenapa Nayaka membelanya? Bukankah semua ini hanya kontrak?

Tak lama, blitz kamera mulai menyambar. Wartawan mengepung meja utama, melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.

“Tuan Nayaka, boleh foto bersama istri?”

“Kapan menikah? Kenapa tidak ada liputan media?”

“Apakah ini cinta pada pandangan pertama?”

Seperti biasa, Nayaka menjawab tenang, suaranya dingin tapi jelas. “Pernikahan kami bersifat pribadi. Kami hanya ingin hidup normal.”

Ayla hanya bisa tersenyum tipis, menahan rasa canggung.

Namun tiba-tiba, sebuah pertanyaan memecah suasana:

“Nona Ayla, banyak yang bilang Anda sangat mirip dengan mendiang Sofira Almeira. Apa Anda tahu soal itu?”

Keheningan mendadak menyelimuti ballroom.

Jantung Ayla berdegup keras. Lidahnya kelu. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Nayaka menyela cepat.

“Kemiripan itu kebetulan. Istriku bukan bayangan siapa pun.”

Lalu, tanpa memberi kesempatan wartawan menekan lebih jauh, Nayaka menggenggam tangan Ayla lebih erat, menariknya pergi dari kerumunan.

Namun Ayla tahu—saat nama Sofira disebut, ada sesuatu yang bergetar di mata dingin itu. Sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Ayla akhirnya menarik diri ke balkon. Udara malam Jakarta menusuk lembut, meski langit hanya tampak samar di antara gedung-gedung tinggi. Ia menatap ke bawah, lampu kota berkilauan seperti lautan bintang palsu.

“Napasmu berat.” Suara Nayaka terdengar dari belakang.

Ayla menoleh pelan. “Saya hanya… belum terbiasa.”

Pria itu bersandar di pagar balkon, menatap jauh ke kota. “Tapi kau bertahan. Mereka membencimu, tapi kau tak gentar.”

Ayla menatapnya. “Bukan karena saya kuat. Saya hanya… tidak ingin mempermalukanmu.”

Nayaka beralih menatapnya. Tatapannya dalam, hening, nyaris membuat Ayla sulit bernapas.

“Kau membuatku lupa,” katanya perlahan, “bahwa dunia ini pernah membuatku muak.”

Ayla membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi suaranya membawa luka yang dalam.

Tanpa sadar ia bertanya, “Apa kamu… masih mencintai Sofira?”

Nayaka terdiam lama. Angin malam berembus di antara mereka. Lalu suaranya terdengar rendah, nyaris pahit.

“Cinta? Aku bahkan tidak tahu artinya lagi.”

Ayla akhirnya tertidur dengan resah. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya penuh pertanyaan.

Dalam mimpi, ia berdiri di tepi jembatan. Angin berhembus kencang, langit gelap. Ada suara jeritan jauh di belakang.

Dan di sana, ia melihat… dirinya sendiri. Atau seseorang yang mirip dirinya. Wajah itu basah oleh air mata. Bibirnya bergetar. Lalu… sosok itu melompat ke dalam kegelapan.

Ayla terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin mengalir di pelipis. Tangannya menekan dadanya yang berdebar kencang.

“Apa… yang barusan aku lihat?”

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Retak yang mulai terasa

    Suara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pengakuan

    Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pulang bersama

    Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Langkah balasan

    Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Di balik layar yang terbakar

    Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Batas yang semakin kabur

    Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status