Share

Wanita dalam foto

Penulis: Reju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 00:06:12

Langit sore meredup, menyisakan warna kelabu yang menggantung berat di atas atap rumah megah tempat Ayla kini tinggal. Dari jendela besar ruang tengah, tirai tipis bergoyang pelan ditiup angin. Semuanya terlihat indah dari luar, nyaris seperti rumah impian… tapi Ayla tahu, di balik dinding dingin itu, ada rahasia yang jauh lebih besar daripada sekadar kemewahan.

Sudah hampir dua minggu sejak pesta pernikahan itu. Semua orang di luar sana sibuk menyebutnya sebagai "istri CEO", seolah status itu adalah mimpi yang didambakan banyak wanita. Tapi Ayla tahu—ia belum pernah benar-benar merasakan apa pun yang menyerupai kehidupan pernikahan.

Tak ada sarapan bersama.

Tak ada tawa yang mengisi ruangan luas.

Tak ada percakapan ringan sebelum tidur.

Yang ada hanyalah kesunyian.

Dan… misteri.

Bau roti panggang menyebar lembut dari dapur, berpadu dengan aroma kopi yang baru diseduh. Ayla duduk di kursi tinggi dekat meja bar, memandangi cangkirnya yang hampir dingin. Pagi itu terlalu hening, sampai suara langkah kecil terdengar begitu jelas.

“Pagi, Kak.” Nayla muncul sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, piyamanya penuh gambar kartun warna-warni. Gadis itu langsung duduk tanpa basa-basi, matanya berbinar melihat meja makan yang penuh sajian. “Sarapan di rumah bos kaya tuh rasanya kayak hotel bintang lima terus, ya.”

Ayla tersenyum tipis, sedikit terhibur dengan kepolosan adiknya. “Kamu udah cocok tinggal di sini, ya?”

“Ya jelas lah.” Nayla mengambil sepotong croissant dan menggigitnya rakus. Namun kemudian ia menunduk sedikit, menatap Ayla dari bawah. “Tapi, Kak… Nayaka itu serem.”

Ayla menoleh cepat, alisnya bertaut. “Nayaka. Bukan Kak Nayaka.”

Nayla nyengir, tidak peduli pada koreksi itu. “Iya-iya. Tapi serius deh. Dia tuh kayak patung. Diam, dingin, nggak pernah senyum. Tapi kemarin aku lihat dia duduk di mobil… ngelamun. Kayak orang yang lagi nyimpen beban besar.”

Ayla terdiam. Jemarinya tanpa sadar mengetuk pelan gelas di depannya.

Nayaka memang misterius. Tapi jauh di dalam hatinya, Ayla tahu… ada luka di balik dingin yang ia tunjukkan pada dunia. Luka yang seolah-olah tidak boleh disentuh siapa pun.

Rumah itu seperti istana, tapi sekaligus penjara. Seharian ini, Ayla berjalan mondar-mandir di lorong panjang, tanpa tujuan jelas. Lalu pandangannya jatuh pada sebuah pintu kayu gelap di ujung koridor. Ruang kerja Nayaka.

Biasanya pintu itu selalu terkunci rapat. Tapi hari ini… gagangnya bisa digerakkan.

Ayla menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Dengan langkah hati-hati, ia mendorong pintu itu. Ruangan di baliknya remang, hanya ada cahaya lampu meja yang menerangi. Bau kertas tua dan sedikit aroma parfum maskulin memenuhi udara.

Matanya segera tertarik pada satu dinding yang dipenuhi papan besar. Foto-foto, potongan artikel, dan catatan-catatan yang ditempel rapat. Ayla mendekat, perasaan gugup menekan dadanya.

Di tengah papan itu, ada foto seorang wanita. Rambut sebahu, mata tajam, dan senyum yang… anehnya terasa familiar. Bahkan garis wajahnya begitu mirip dengan Ayla sendiri.

Nama itu tertulis jelas di bawah fotonya:

“Sofira Almeira.”

Ayla menggenggam erat tangannya sendiri. Ia menatap foto itu lama, seakan berharap ada jawaban keluar dari senyuman beku Sofira.

Tepat di sisi kanan papan, sebuah artikel koran tua tertempel. Judulnya membuat darah Ayla seakan berhenti mengalir:

“Kecelakaan Misterius – Tunangan CEO Arvenza Gugur, Dugaaan Bunuh Diri.”

Mata Ayla membesar. Tunangan Nayaka?

Kakinya goyah, ia mundur satu langkah, hampir tersandung meja kecil di belakangnya. Hatinya berteriak menyuruhnya keluar. Tapi sebelum ia sempat berbalik—

“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?”

Suara itu berat, dingin, dan memaku tubuh Ayla di tempat.

Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan gelap yang membuat sorot matanya semakin tajam. Ekspresinya nyaris tak terbaca, hanya kegelapan yang memantul di wajahnya.

Ayla langsung menunduk, tubuhnya bergetar. “Maaf… saya… hanya ingin tahu… siapa wanita itu.”

Nayaka melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Suara pintu yang menutup terdengar seperti penjara yang mengunci. Setiap langkahnya mendekat terdengar berat dan menakutkan.

“Kau menyentuh apa saja?” suaranya datar, dingin.

Ayla menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Saya hanya melihat.”

Kini jarak mereka begitu dekat. Ayla bisa merasakan napas Nayaka—pelan, dalam, tapi penuh tekanan.

“Kau tidak punya hak,” ujarnya lirih namun tajam, “untuk menyentuh masa lalu yang tidak kau mengerti.”

Ayla mendongak, untuk pertama kalinya berani menatap balik. “Kalau memang begitu… kenapa kau menikahiku? Karena aku mirip wanita itu, ya?”

Nayaka menegang. Diam membeku. Satu detik. Dua.

Hingga akhirnya, suara rendah itu keluar—nyaris seperti bisikan.

“Karena kau membuatku ingat… pada rasa yang paling ingin aku lupakan.”

Ayla tertegun. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Untuk pertama kali, ia melihat jelas luka di balik mata dingin pria itu. Kehilangan. Penyesalan. Dan kemarahan yang belum sembuh.

“Kalau kau belum selesai dengan masa lalu… kenapa menyeretku ke dalamnya?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.

Nayaka tersenyum tipis. Senyum yang tidak ada bahagianya. Senyum yang pahit.

“Karena kau bukan siapa-siapa. Dan aku pikir… kau tak akan pernah peduli.”

Kamar luas itu hanya diterangi lampu meja. Ayla duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai. Hatinya bising meski rumah tetap hening.

“Aku ini cuma pengganti…” bisiknya pada diri sendiri.

Tapi kenapa hatinya justru terasa sakit saat menyadari itu?

Pintu terbuka, Nayla masuk tanpa mengetuk. “Kak, tadi ada kiriman dari Pak Reynard. Surat undangan. Katanya Kak Ayla harus ikut Nayaka ke gala dinner Arvenza minggu depan.”

Ayla hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Nayla.”

Adiknya menatap dengan wajah heran. “Kamu kenapa, sih? Kayak ada yang berubah… sejak nikah.”

Ayla memaksa tersenyum, mengusap kepala Nayla dengan lembut. “Kakak cuma… mulai paham. Nggak semua rumah besar punya kehangatan.”

Malam itu, Reynard duduk sendirian di ruangannya. Lampu monitor memantulkan cahaya pucat di wajahnya. Tangannya bergerak, membuka sebuah file lama di komputer.

Foto Sofira muncul di layar. Wajahnya terlalu mirip dengan Ayla. Terlalu.

Reynard bergumam pelan, seolah hanya bicara dengan dirinya sendiri. “Wajah mereka… terlalu mirip.”

Ia menoleh ke sebuah berkas di mejanya. Catatan dengan tinta hitam pekat.

“Kasus Sofira – ditutup mendadak oleh Nayaka. Tidak ada investigasi lanjutan. Diduga… bukan bunuh diri biasa.”

Reynard menarik napas panjang, menatap kembali layar komputer. Matanya tajam, penuh tanda tanya.

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Retak yang mulai terasa

    Suara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pengakuan

    Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Pulang bersama

    Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Langkah balasan

    Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Di balik layar yang terbakar

    Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Batas yang semakin kabur

    Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status