Mag-log inLangit sore meredup, menyisakan warna kelabu yang menggantung berat di atas atap rumah megah tempat Ayla kini tinggal. Dari jendela besar ruang tengah, tirai tipis bergoyang pelan ditiup angin. Semuanya terlihat indah dari luar, nyaris seperti rumah impian… tapi Ayla tahu, di balik dinding dingin itu, ada rahasia yang jauh lebih besar daripada sekadar kemewahan.
Sudah hampir dua minggu sejak pesta pernikahan itu. Semua orang di luar sana sibuk menyebutnya sebagai "istri CEO", seolah status itu adalah mimpi yang didambakan banyak wanita. Tapi Ayla tahu—ia belum pernah benar-benar merasakan apa pun yang menyerupai kehidupan pernikahan. Tak ada sarapan bersama. Tak ada tawa yang mengisi ruangan luas. Tak ada percakapan ringan sebelum tidur. Yang ada hanyalah kesunyian. Dan… misteri. Bau roti panggang menyebar lembut dari dapur, berpadu dengan aroma kopi yang baru diseduh. Ayla duduk di kursi tinggi dekat meja bar, memandangi cangkirnya yang hampir dingin. Pagi itu terlalu hening, sampai suara langkah kecil terdengar begitu jelas. “Pagi, Kak.” Nayla muncul sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, piyamanya penuh gambar kartun warna-warni. Gadis itu langsung duduk tanpa basa-basi, matanya berbinar melihat meja makan yang penuh sajian. “Sarapan di rumah bos kaya tuh rasanya kayak hotel bintang lima terus, ya.” Ayla tersenyum tipis, sedikit terhibur dengan kepolosan adiknya. “Kamu udah cocok tinggal di sini, ya?” “Ya jelas lah.” Nayla mengambil sepotong croissant dan menggigitnya rakus. Namun kemudian ia menunduk sedikit, menatap Ayla dari bawah. “Tapi, Kak… Nayaka itu serem.” Ayla menoleh cepat, alisnya bertaut. “Nayaka. Bukan Kak Nayaka.” Nayla nyengir, tidak peduli pada koreksi itu. “Iya-iya. Tapi serius deh. Dia tuh kayak patung. Diam, dingin, nggak pernah senyum. Tapi kemarin aku lihat dia duduk di mobil… ngelamun. Kayak orang yang lagi nyimpen beban besar.” Ayla terdiam. Jemarinya tanpa sadar mengetuk pelan gelas di depannya. Nayaka memang misterius. Tapi jauh di dalam hatinya, Ayla tahu… ada luka di balik dingin yang ia tunjukkan pada dunia. Luka yang seolah-olah tidak boleh disentuh siapa pun. Rumah itu seperti istana, tapi sekaligus penjara. Seharian ini, Ayla berjalan mondar-mandir di lorong panjang, tanpa tujuan jelas. Lalu pandangannya jatuh pada sebuah pintu kayu gelap di ujung koridor. Ruang kerja Nayaka. Biasanya pintu itu selalu terkunci rapat. Tapi hari ini… gagangnya bisa digerakkan. Ayla menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Dengan langkah hati-hati, ia mendorong pintu itu. Ruangan di baliknya remang, hanya ada cahaya lampu meja yang menerangi. Bau kertas tua dan sedikit aroma parfum maskulin memenuhi udara. Matanya segera tertarik pada satu dinding yang dipenuhi papan besar. Foto-foto, potongan artikel, dan catatan-catatan yang ditempel rapat. Ayla mendekat, perasaan gugup menekan dadanya. Di tengah papan itu, ada foto seorang wanita. Rambut sebahu, mata tajam, dan senyum yang… anehnya terasa familiar. Bahkan garis wajahnya begitu mirip dengan Ayla sendiri. Nama itu tertulis jelas di bawah fotonya: “Sofira Almeira.” Ayla menggenggam erat tangannya sendiri. Ia menatap foto itu lama, seakan berharap ada jawaban keluar dari senyuman beku Sofira. Tepat di sisi kanan papan, sebuah artikel koran tua tertempel. Judulnya membuat darah Ayla seakan berhenti mengalir: “Kecelakaan Misterius – Tunangan CEO Arvenza Gugur, Dugaaan Bunuh Diri.” Mata Ayla membesar. Tunangan Nayaka? Kakinya goyah, ia mundur satu langkah, hampir tersandung meja kecil di belakangnya. Hatinya berteriak menyuruhnya keluar. Tapi sebelum ia sempat berbalik— “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?” Suara itu berat, dingin, dan memaku tubuh Ayla di tempat. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan gelap yang membuat sorot matanya semakin tajam. Ekspresinya nyaris tak terbaca, hanya kegelapan yang memantul di wajahnya. Ayla langsung menunduk, tubuhnya bergetar. “Maaf… saya… hanya ingin tahu… siapa wanita itu.” Nayaka melangkah masuk, perlahan menutup pintu di belakangnya. Suara pintu yang menutup terdengar seperti penjara yang mengunci. Setiap langkahnya mendekat terdengar berat dan menakutkan. “Kau menyentuh apa saja?” suaranya datar, dingin. Ayla menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Saya hanya melihat.” Kini jarak mereka begitu dekat. Ayla bisa merasakan napas Nayaka—pelan, dalam, tapi penuh tekanan. “Kau tidak punya hak,” ujarnya lirih namun tajam, “untuk menyentuh masa lalu yang tidak kau mengerti.” Ayla mendongak, untuk pertama kalinya berani menatap balik. “Kalau memang begitu… kenapa kau menikahiku? Karena aku mirip wanita itu, ya?” Nayaka menegang. Diam membeku. Satu detik. Dua. Hingga akhirnya, suara rendah itu keluar—nyaris seperti bisikan. “Karena kau membuatku ingat… pada rasa yang paling ingin aku lupakan.” Ayla tertegun. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Untuk pertama kali, ia melihat jelas luka di balik mata dingin pria itu. Kehilangan. Penyesalan. Dan kemarahan yang belum sembuh. “Kalau kau belum selesai dengan masa lalu… kenapa menyeretku ke dalamnya?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar. Nayaka tersenyum tipis. Senyum yang tidak ada bahagianya. Senyum yang pahit. “Karena kau bukan siapa-siapa. Dan aku pikir… kau tak akan pernah peduli.” Kamar luas itu hanya diterangi lampu meja. Ayla duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai. Hatinya bising meski rumah tetap hening. “Aku ini cuma pengganti…” bisiknya pada diri sendiri. Tapi kenapa hatinya justru terasa sakit saat menyadari itu? Pintu terbuka, Nayla masuk tanpa mengetuk. “Kak, tadi ada kiriman dari Pak Reynard. Surat undangan. Katanya Kak Ayla harus ikut Nayaka ke gala dinner Arvenza minggu depan.” Ayla hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Nayla.” Adiknya menatap dengan wajah heran. “Kamu kenapa, sih? Kayak ada yang berubah… sejak nikah.” Ayla memaksa tersenyum, mengusap kepala Nayla dengan lembut. “Kakak cuma… mulai paham. Nggak semua rumah besar punya kehangatan.” Malam itu, Reynard duduk sendirian di ruangannya. Lampu monitor memantulkan cahaya pucat di wajahnya. Tangannya bergerak, membuka sebuah file lama di komputer. Foto Sofira muncul di layar. Wajahnya terlalu mirip dengan Ayla. Terlalu. Reynard bergumam pelan, seolah hanya bicara dengan dirinya sendiri. “Wajah mereka… terlalu mirip.” Ia menoleh ke sebuah berkas di mejanya. Catatan dengan tinta hitam pekat. “Kasus Sofira – ditutup mendadak oleh Nayaka. Tidak ada investigasi lanjutan. Diduga… bukan bunuh diri biasa.” Reynard menarik napas panjang, menatap kembali layar komputer. Matanya tajam, penuh tanda tanya. BERSAMBUNGTiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b
Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya
Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N
Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng
Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia
Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan







