Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Mimpi yang bukan milikku

Share

Mimpi yang bukan milikku

Author: Reju
last update Last Updated: 2025-08-04 00:19:02

Sudah tiga malam berturut-turut Ayla dihantui mimpi yang sama.

Jembatan tinggi.

Langit kelabu.

Seorang wanita dalam gaun putih berdiri sendirian, bahunya bergetar menahan tangis.

Dan saat angin malam berhembus kencang, wanita itu—yang wajahnya begitu mirip dengan Ayla—melompat ke dalam gelap.

Ayla terbangun dengan tubuh basah oleh peluh dingin. Nafasnya terengah, dadanya terasa sesak seakan ia baru saja berlari jauh. Tapi yang paling membuatnya takut bukanlah mimpi itu sendiri, melainkan perasaan setelah terjaga.

Ia tidak merasa sedang bermimpi.

Itu terasa seperti... kenangan. Hanya saja bukan miliknya.

Ayla duduk lama di ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Pandangannya akhirnya jatuh pada meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, map berisi dokumen pernikahan masih tergeletak—kontrak yang dulu dianggapnya sebagai jalan keluar. Kini, kertas-kertas itu justru terasa seperti jerat tak kasatmata yang menahan setiap langkahnya.

“Apakah aku mulai gila?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Keesokan paginya, Ayla turun ke ruang makan dengan mata sembab. Seperti biasa, kursi di ujung meja panjang sudah kosong. Nayaka selalu pergi lebih pagi, meninggalkan sisa aroma kopi hitam yang dingin.

“Ia berangkat jam enam tadi, Bu?” Ayla bertanya sambil mengaduk teh hangat di cangkirnya.

Ibu Lani, pelayan utama rumah itu, mengangguk sopan. “Seperti biasa, Nona. Tapi wajah Tuan Nayaka tadi... berbeda. Seperti sedang memikirkan banyak hal.”

Ayla hanya mengangguk tipis. Ada yang berubah sejak malam gala. Diam Nayaka lebih panjang dari biasanya. Tatapannya lebih berat. Dan entah kenapa, sejak malam itu ia sering menangkap cara pria itu melihatnya—bukan lagi sekadar menilai, melainkan seakan... mencari sesuatu.

Siang hari, Ayla harus memenuhi undangan Reynard ke kantor pusat Arvenza Corp. Katanya, sebagai istri CEO, ia perlu mulai diperkenalkan secara lebih terarah. Dunia luar butuh ‘wajah’ yang mendampingi Nayaka, meskipun hati Ayla masih ragu apakah ia memang pantas berdiri di sana.

Selesai berbincang singkat dengan tim PR, Ayla menunggu di ruang transit lantai 39. Saat menoleh, matanya menangkap pintu ruang kerja Nayaka yang sedikit terbuka. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk mendekat.

Di dalam ruangan, Nayaka berdiri di depan dinding kaca besar, menatap Jakarta dari ketinggian. Bahunya tegap, tapi ada letih yang sulit disembunyikan.

“Kamu baik-baik saja?” suara Ayla terdengar ragu.

Nayaka menoleh pelan, sedikit terkejut, tapi ia tidak marah. “Aku... tidak pernah benar-benar baik sejak lama.”

Ayla melangkah masuk. Ada jeda hening sebelum ia berkata, “Kalau kamu masih mengingat dia... kamu bisa cerita. Aku nggak akan marah. Aku tahu aku cuma... pengganti dalam hidupmu.”

Tatapan Nayaka bertahan lama padanya. Kosong, namun rapuh. “Kalau aku cerita, kau janji tidak akan pergi?”

Ayla menunduk, lalu mengangguk. “Janji.”

Pria itu berjalan ke meja kerjanya, membuka laci, lalu mengeluarkan sebuah foto. Seorang wanita bergaun putih tersenyum cerah dari balik bingkai.

“Sofira Almeira. Tunanganku. Calon istriku. Dua hari sebelum pernikahan, ia menghilang... lalu ditemukan tewas di bawah jembatan.”

Ayla merasakan jantungnya mencelos. Jembatan. Sama seperti yang hadir dalam mimpinya.

“Waktu itu aku percaya dia bunuh diri,” lanjut Nayaka, suaranya datar. “Tapi banyak hal yang aneh. CCTV rusak. Jejak tak jelas. Bahkan ibunya yakin Sofira dibunuh.”

“Kamu percaya?” tanya Ayla hati-hati.

Nayaka terdiam lama. “Entah. Tapi setelah itu... aku tidak lagi percaya pada cinta. Aku mati rasa.”

Ayla menggenggam jemari tangannya sendiri, menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Lalu lirih ia bertanya, “Dan karena aku mirip dengannya... kamu pikir aku bisa mengisi kekosongan itu?”

Nayaka tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjelaskan lebih banyak daripada kata-kata.

Malamnya, Ayla kembali sulit tidur. Ia berdiri di balik jendela, menatap cahaya kota yang berkelip dari kejauhan. Hatinya dipenuhi tanya yang tak berani ia ucapkan.

“Apa kamu ingin aku jadi dia?” bisiknya pada bayangan dirinya di kaca.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Saat dibuka, Nayaka berdiri di sana. Tidak dengan jas rapi, melainkan kemeja santai. Wajahnya tampak lelah.

“Boleh masuk?” tanyanya pelan.

Ayla mengangguk. Mereka duduk di sisi ranjang tanpa bicara lama sekali. Hingga akhirnya Nayaka membuka suara.

“Aku minta maaf sudah menyeretmu ke dalam hidupku yang berantakan.”

Ayla menoleh, suaranya lembut. “Aku ikut karena aku butuh bantuanmu. Kita saling memakai, kan?”

Nayaka menatapnya lebih dalam, seolah mencari sesuatu yang tak kasatmata. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang... aku tak tahu lagi.”

Ayla mengerutkan kening, bingung. “Maksudmu?”

Nayaka tidak menjawab. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh dan berkata pelan:

“Jangan pernah menyerupai Sofira lagi. Aku ingin melihatmu... sebagai dirimu sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya, Ayla sadar—Nayaka tak hanya melihat wajahnya. Ia mulai melihat hatinya.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Epilog

    Tiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menyempurnakan Segalanya

    Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menjadi Orang Tua

    Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Malam Pertama Bersama Putri Kecil

    Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Hadiah Kecil Dari Langit

    Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Saat Dunia Menjadi Satu

    Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status