Sudah tiga malam berturut-turut Ayla dihantui mimpi yang sama.
Jembatan tinggi. Langit kelabu. Seorang wanita dalam gaun putih berdiri sendirian, bahunya bergetar menahan tangis. Dan saat angin malam berhembus kencang, wanita itu—yang wajahnya begitu mirip dengan Ayla—melompat ke dalam gelap. Ayla terbangun dengan tubuh basah oleh peluh dingin. Nafasnya terengah, dadanya terasa sesak seakan ia baru saja berlari jauh. Tapi yang paling membuatnya takut bukanlah mimpi itu sendiri, melainkan perasaan setelah terjaga. Ia tidak merasa sedang bermimpi. Itu terasa seperti... kenangan. Hanya saja bukan miliknya. Ayla duduk lama di ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Pandangannya akhirnya jatuh pada meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, map berisi dokumen pernikahan masih tergeletak—kontrak yang dulu dianggapnya sebagai jalan keluar. Kini, kertas-kertas itu justru terasa seperti jerat tak kasatmata yang menahan setiap langkahnya. “Apakah aku mulai gila?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Keesokan paginya, Ayla turun ke ruang makan dengan mata sembab. Seperti biasa, kursi di ujung meja panjang sudah kosong. Nayaka selalu pergi lebih pagi, meninggalkan sisa aroma kopi hitam yang dingin. “Ia berangkat jam enam tadi, Bu?” Ayla bertanya sambil mengaduk teh hangat di cangkirnya. Ibu Lani, pelayan utama rumah itu, mengangguk sopan. “Seperti biasa, Nona. Tapi wajah Tuan Nayaka tadi... berbeda. Seperti sedang memikirkan banyak hal.” Ayla hanya mengangguk tipis. Ada yang berubah sejak malam gala. Diam Nayaka lebih panjang dari biasanya. Tatapannya lebih berat. Dan entah kenapa, sejak malam itu ia sering menangkap cara pria itu melihatnya—bukan lagi sekadar menilai, melainkan seakan... mencari sesuatu. Siang hari, Ayla harus memenuhi undangan Reynard ke kantor pusat Arvenza Corp. Katanya, sebagai istri CEO, ia perlu mulai diperkenalkan secara lebih terarah. Dunia luar butuh ‘wajah’ yang mendampingi Nayaka, meskipun hati Ayla masih ragu apakah ia memang pantas berdiri di sana. Selesai berbincang singkat dengan tim PR, Ayla menunggu di ruang transit lantai 39. Saat menoleh, matanya menangkap pintu ruang kerja Nayaka yang sedikit terbuka. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk mendekat. Di dalam ruangan, Nayaka berdiri di depan dinding kaca besar, menatap Jakarta dari ketinggian. Bahunya tegap, tapi ada letih yang sulit disembunyikan. “Kamu baik-baik saja?” suara Ayla terdengar ragu. Nayaka menoleh pelan, sedikit terkejut, tapi ia tidak marah. “Aku... tidak pernah benar-benar baik sejak lama.” Ayla melangkah masuk. Ada jeda hening sebelum ia berkata, “Kalau kamu masih mengingat dia... kamu bisa cerita. Aku nggak akan marah. Aku tahu aku cuma... pengganti dalam hidupmu.” Tatapan Nayaka bertahan lama padanya. Kosong, namun rapuh. “Kalau aku cerita, kau janji tidak akan pergi?” Ayla menunduk, lalu mengangguk. “Janji.” Pria itu berjalan ke meja kerjanya, membuka laci, lalu mengeluarkan sebuah foto. Seorang wanita bergaun putih tersenyum cerah dari balik bingkai. “Sofira Almeira. Tunanganku. Calon istriku. Dua hari sebelum pernikahan, ia menghilang... lalu ditemukan tewas di bawah jembatan.” Ayla merasakan jantungnya mencelos. Jembatan. Sama seperti yang hadir dalam mimpinya. “Waktu itu aku percaya dia bunuh diri,” lanjut Nayaka, suaranya datar. “Tapi banyak hal yang aneh. CCTV rusak. Jejak tak jelas. Bahkan ibunya yakin Sofira dibunuh.” “Kamu percaya?” tanya Ayla hati-hati. Nayaka terdiam lama. “Entah. Tapi setelah itu... aku tidak lagi percaya pada cinta. Aku mati rasa.” Ayla menggenggam jemari tangannya sendiri, menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Lalu lirih ia bertanya, “Dan karena aku mirip dengannya... kamu pikir aku bisa mengisi kekosongan itu?” Nayaka tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjelaskan lebih banyak daripada kata-kata. Malamnya, Ayla kembali sulit tidur. Ia berdiri di balik jendela, menatap cahaya kota yang berkelip dari kejauhan. Hatinya dipenuhi tanya yang tak berani ia ucapkan. “Apa kamu ingin aku jadi dia?” bisiknya pada bayangan dirinya di kaca. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Saat dibuka, Nayaka berdiri di sana. Tidak dengan jas rapi, melainkan kemeja santai. Wajahnya tampak lelah. “Boleh masuk?” tanyanya pelan. Ayla mengangguk. Mereka duduk di sisi ranjang tanpa bicara lama sekali. Hingga akhirnya Nayaka membuka suara. “Aku minta maaf sudah menyeretmu ke dalam hidupku yang berantakan.” Ayla menoleh, suaranya lembut. “Aku ikut karena aku butuh bantuanmu. Kita saling memakai, kan?” Nayaka menatapnya lebih dalam, seolah mencari sesuatu yang tak kasatmata. “Mungkin awalnya begitu. Tapi sekarang... aku tak tahu lagi.” Ayla mengerutkan kening, bingung. “Maksudmu?” Nayaka tidak menjawab. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh dan berkata pelan: “Jangan pernah menyerupai Sofira lagi. Aku ingin melihatmu... sebagai dirimu sendiri.” Dan untuk pertama kalinya, Ayla sadar—Nayaka tak hanya melihat wajahnya. Ia mulai melihat hatinya. BERSAMBUNGSuara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha
Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m
Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih
Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta
Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora
Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera