MasukPagi itu, rumah mereka kembali terasa seperti biasa tapi hanya di permukaan.Ayla duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Tapi justru itu yang membuat dadanya sesak. Biasanya Nayaka akan meninggalkan pesan kecil setiap berangkat kerja: “Aku duluan ya,” atau sekadar emoji kopi. Hari ini, tidak ada apa-apa.Ia menatap jendela, memperhatikan hujan yang turun pelan di halaman. Dingin menyelinap ke ujung jemarinya, tapi pikiran Ayla lebih dingin lagi.“Nayaka berubah,” gumamnya lirih.Tapi di sisi lain, ia tahu suaminya tidak sedang menjauh Nayaka justru makin melindungi, makin lembut, makin berhati-hati. Terlalu hati-hati.Dan itu yang justru terasa aneh.Nayaka menatap layar komputernya, tapi pikirannya berkelana jauh.Reynard baru saja meninggalkan ruangannya, setelah membawa beberapa dokumen lama — file yang seharusnya sudah dimusnahkan.Salah satunya berisi nama Kenan Sadiva dan sebuah foto lama: Kenan bersama beberapa orang yang
Pagi itu, udara di rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam masih menyisakan embun di kaca jendela, dan aroma kopi memenuhi dapur.Ayla berdiri di depan kompor, mengenakan daster panjang dan celemek polos. Ia menyiapkan sarapan sederhana roti panggang, telur setengah matang, dan segelas susu hangat. Tapi matanya kosong, pikirannya melayang pada percakapan semalam.Suara langkah kaki terdengar. Nayaka turun dengan kemeja biru muda, rambutnya masih sedikit basah sehabis mandi. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Ayla, tapi cepat hilang ketika ia menyadari suasana di ruangan itu.“Pagi,” katanya pelan.“Pagi,” jawab Ayla tanpa menoleh.Mereka duduk berhadapan di meja makan. Hanya suara sendok beradu dengan cangkir. Nayaka menatap istrinya sejenak ekspresi yang ia kenal: tenang di luar, tapi banyak hal berputar di dalam.“Kamu tidur nyenyak?” tanya Nayaka akhirnya.Ayla mengangkat bahu. “Lumayan.”Keheningan lagi. Nayaka hendak berbicara, tapi ponselnya bergetar di
Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, saat Nayaka berjanji akan pulang lebih awal. Dan sejauh ini, ia menepati janjinya. Pulang sebelum magrib, makan malam bersama, bahkan beberapa kali membantu Ayla mencuci piring atau menyiapkan teh.Namun, meski segalanya tampak baik di permukaan, ada sesuatu yang masih menekan di dada Ayla rasa cemas yang tak bisa dijelaskan.Sore itu, hujan turun lagi. Kantor mulai sepi, sebagian besar karyawan sudah pulang. Ayla masih duduk di ruang kerjanya, menyusun laporan evaluasi proyek. Lampu putih di langit-langit membuat bayangan di wajahnya tampak lembut, tapi lelah.“Nayaka belum keluar?” tanya Risa, salah satu staf administrasi yang lewat.Ayla tersenyum tipis. “Belum, kayaknya masih di ruang meeting.”Risa mengangguk. “Oh iya, barusan aku lihat mobil Nara di parkiran bawah. Mungkin dia masih diskusi bareng Pak Nayaka.”Hanya kalimat ringan, tapi jantung Ayla menegang sesaat.Ia berusaha tetap tersenyum. “Iya, mungkin. Terima kasih, Ris.”Setelah R
Sudah hampir dua minggu sejak Ayla mulai membantu Nayaka di kantor. Awalnya semua berjalan lancar mereka terlihat serasi, saling menutupi kekurangan satu sama lain. Tapi seperti permukaan air yang tenang, di bawahnya mulai muncul riak kecil yang tak disadari siapa pun.Pagi itu, kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Nayaka sedang menyiapkan presentasi untuk klien baru, sementara Ayla sibuk menata dokumen. Beberapa pegawai lalu-lalang membawa map, suara printer dan telepon bercampur jadi satu.“Mas, ini revisi konsep yang kemarin kamu minta.” Ayla meletakkan map di meja Nayaka.Nayaka yang sejak tadi menatap layar laptop hanya menoleh sekilas. “Taruh aja di situ dulu, Ay. Aku masih fokus ke file presentasi.”Ayla menatapnya beberapa detik. “Kamu udah sarapan belum?”“Belum sempat. Nanti aja, ya,” jawab Nayaka cepat, jemarinya tak berhenti mengetik.Ayla menghela napas pelan. Ia tak marah, hanya sedikit kecewa — karena baru beberapa hari lalu Nayaka sendiri yang berjanji tak akan men
Matahari menembus tirai jendela kamar, menyorot wajah Ayla yang masih tertidur dengan rambut berantakan menutupi sebagian pipinya. Suara burung di halaman belakang terdengar samar, bersamaan dengan aroma roti panggang yang mulai memenuhi udara.Nayaka berdiri di dapur, masih dengan celemek hitam yang sedikit kebesaran di tubuhnya. Ia menatap roti yang baru keluar dari toaster dan tersenyum kecil ketika salah satu sisi roti gosong. “Yah… kayaknya belum bisa juga, ya,” gumamnya, setengah kesal, setengah geli.Pintu dapur terbuka pelan. Ayla muncul dengan piyama bermotif sederhana, wajahnya masih sedikit bengkak karena tidur. “Kamu bikin asap pagi-pagi gini, Nay?” tanyanya, suaranya serak tapi manis.Nayaka menoleh, terkejut lalu tertawa kecil. “Bukan asap, itu aroma eksperimen sarapan.”Ayla menyipitkan mata. “Eksperimen yang hasilnya gosong, maksudmu?”“Aku sengaja bikin gosong dikit biar ada rasa ‘crispy’, gitu loh.” Nayaka beralasan, sok serius, membuat Ayla menahan tawa.Ia mengambi
Pagi datang dengan sinar lembut menembus tirai ruang tamu. Aroma kopi perlahan memenuhi udara, namun kehangatan itu terasa semu bagi Ayla. Ia duduk di meja makan, mengenakan sweater abu-abu, pandangannya kosong menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Di luar, sisa hujan malam tadi masih menetes dari ujung daun.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Nayaka muncul dengan kemeja kasual, rambutnya masih sedikit berantakan, wajahnya lelah tapi matanya tetap menatap Ayla dengan hati-hati seolah setiap kata bisa jadi pemicu ledakan kecil.“Belum sarapan?” suaranya pelan.Ayla tidak menjawab. Ia hanya mengangkat cangkirnya, menyesap sedikit, lalu berkata lirih, “Kopi ini rasanya pahit.”“Karena kamu lupa tambahkan gula,” jawab Nayaka dengan senyum kaku, mencoba mencairkan suasana.Ayla menatapnya lama. “Aku rasa, memang tidak semua hal bisa dibuat manis lagi.”Hening. Kalimat itu membuat dada Nayaka terasa sesak. Ia berjalan mendekat, duduk di hadapannya. “Ayla, aku tahu ini berat. Tapi a







