MasukMalam turun perlahan di rumah itu, meninggalkan sisa cahaya jingga yang menempel di tirai. Ayla duduk di tepi ranjang, diam, sementara suara hujan rintik di luar terdengar seperti lagu yang menenangkan tapi juga menyayat. Ia memainkan ujung selimut, pikirannya melayang pada percakapan siang tadi tentang masa lalu yang mulai pudar tapi belum sepenuhnya hilang.Nayaka masuk membawa dua cangkir teh hangat. “Kamu belum tidur?” tanyanya pelan.Ayla menoleh, tersenyum samar. “Belum. Rasanya... aneh kalau malam sepi begini.”Nayaka duduk di sebelahnya, menyerahkan secangkir. “Aneh kenapa?”“Karena dulu, tiap malam aku selalu nunggu kamu pulang. Sekarang kamu di sini, tapi kadang aku masih ngerasa sendirian.”Nayaka terdiam. Ia menatap uap teh yang naik pelan, seperti pikirannya yang juga berputar tanpa arah. “Mungkin karena aku belum cukup bikin kamu ngerasa aman.”Ayla menatapnya, mata itu lembut tapi lelah. “Kamu udah berusaha, Nay. Aku tahu. Tapi kadang luka itu nggak sembuh karena waktu,
Pagi itu terasa berbeda. Langit cerah, burung-burung ramai di pohon depan rumah, dan aroma kopi dari dapur mengisi udara. Nayaka mengenakan kemeja abu muda dan jam tangan kesayangannya gaya sederhana yang selalu membuat Ayla diam-diam memperhatikannya.“Kamu kelihatan semangat banget hari ini,” ujar Ayla sambil menuang kopi ke cangkirnya.“Presentasi proyek baru,” jawab Nayaka dengan nada optimis. “Kalau berjalan lancar, aku bisa kerja sama dengan klien baru. Dan itu berarti, waktu kerja bisa lebih fleksibel.”Ayla tersenyum. “Kedengarannya bagus.”Nayaka mendekat dan mencium keningnya singkat. “Doain aku, ya.”“Selalu,” balas Ayla, matanya melembut.Beberapa jam setelah Nayaka pergi, rumah kembali sunyi. Ayla menghabiskan pagi dengan membersihkan ruang tamu, lalu duduk di dekat jendela, menulis di buku jurnal yang kini mulai penuh. Ia menulis hal-hal sederhana rasa syukur, harapan kecil, dan kadang ketakutan yang belum hilang sepenuhnya.Namun siang itu, satu pesan dari teman lama me
Langit sore itu berwarna oranye pucat, seolah matahari menunda tenggelam demi memberi waktu bagi hari yang damai. Ayla duduk di teras belakang rumah sambil memangkas daun kering dari tanaman lavender yang baru tumbuh. Wangi lembutnya menenangkan hati, membuat pikirannya melayang jauh ke masa lalu — tapi untuk pertama kalinya, tanpa perih yang menyesak.Dari dalam rumah terdengar suara langkah Nayaka. Ia keluar sambil membawa dua gelas air lemon dingin, mengenakan kaus putih polos dan celana santai. Ia terlihat jauh lebih santai dari dulu, seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas lega setelah sekian lama menahan napas.“Kamu masih suka duduk di sini,” katanya sambil menyerahkan segelas pada Ayla.Ayla tersenyum kecil. “Tempat ini yang paling tenang. Nggak tahu kenapa, setiap sore duduk di sini rasanya kayak bisa denger dunia berhenti sebentar.”Nayaka ikut duduk di sampingnya. “Atau mungkin karena kamu udah bisa berhenti lari dari semuanya.”Ayla menatapnya sebentar lalu tertawa p
Hujan baru saja berhenti ketika Ayla membuka jendela ruang tamu. Aroma tanah basah bercampur udara dingin menyusup ke dalam rumah, meninggalkan kesejukan yang tenang. Di kejauhan, suara air menetes dari genting terdengar seperti detak waktu yang perlahan melunak.Sudah lama rumah itu tak terasa seramah ini. Tak ada pertengkaran, tak ada dinginnya diam. Hanya dua hati yang mulai belajar berdamai setelah badai.Nayaka muncul dari dapur membawa dua cangkir teh hangat. “Masih suka aroma melati?” tanyanya sambil tersenyum kecil.Ayla menatap teh itu—tepat seperti yang dulu selalu ia buat setiap sore. Ia tersenyum samar. “Masih. Walau dulu aku sempat berhenti suka.”“Karena aku?” Nayaka bertanya dengan nada lembut, menaruh cangkir di hadapannya.Ayla menatap uap teh yang menari perlahan. “Karena setiap kali minum ini, aku keinget malam-malam sendirian nunggu kamu pulang. Jadi rasanya... pahit.”Nayaka tak membalas. Ia hanya duduk di seberang, diam mendengarkan. Dulu, ia sering memotong pemb
Malam turun dengan pelan, seperti seseorang yang tak ingin mengganggu ketenangan rumah itu. Lampu ruang tamu menyala lembut, hanya satu bohlam kuning yang menggantung di langit-langit. Ayla duduk di sofa, memeluk bantal, matanya kosong menatap arah televisi yang menyala tanpa suara.Nayaka baru keluar dari kamar setelah selesai mandi. Rambutnya masih lembap, dan aroma sabun memenuhi ruangan. Ia mengenakan kaus abu-abu sederhana, terlihat santai, tapi matanya langsung menangkap wajah Ayla yang tampak jauh.“Masih kepikiran soal tadi siang?” tanyanya pelan sambil mendekat.Ayla mengangguk tanpa menoleh. “Aku pikir aku udah cukup kuat buat nggak peduli. Tapi ternyata… kata orang tetap bisa nyakitin.”Nayaka duduk di sebelahnya. “Mereka cuma lihat dari luar, Ayla. Mereka nggak tahu gimana perjuangan kita buat sampai ke titik ini.”Ayla menghela napas panjang. “Tapi bukankah mereka juga nggak perlu tahu? Aku capek harus terus jelasin ke dunia kalau kita baik-baik aja.”Nayaka menatapnya la
Langit siang itu begitu terik. Jalanan padat, dan deru kendaraan terasa seperti desah panjang yang tak mau berhenti. Nayaka baru keluar dari gedung kantornya, jasnya rapi, tapi matanya tampak lelah. Ia baru saja menghadiri rapat penting dengan salah satu klien besar dan semua berjalan tidak seperti yang diharapkan.Telepon bergetar di sakunya. Nama Ayla muncul di layar.Ia menatap sebentar, menarik napas panjang, lalu menjawab.“Halo?”“Udah makan?” suara Ayla terdengar lembut, tapi ada nada canggung di baliknya.“Belum,” jawab Nayaka pendek. Ia berusaha terdengar tenang, tapi suaranya berat.“Kamu kenapa? Suaramu beda,” tanya Ayla pelan.Nayaka berhenti berjalan, menatap ke arah langit yang menyilaukan. “Ada yang nggak beres di kantor. Klien besar mereka tiba-tiba tarik kerja sama. Alasannya... pribadi.”Ayla terdiam. “Maksudmu?”“Mereka bilang reputasi perusahaan bisa kena kalau pakai jasa orang yang punya... ‘riwayat rumah tangga’ kayak aku.” Ia mengucapkan kata itu dengan getir. “







