Hujan deras mengguyur kota sejak sore. Butirannya beradu dengan kaca jendela besar di mansion Arvenza, menciptakan irama yang dingin dan menusuk. Ayla duduk di dekat jendela kamarnya, sebuah jurnal kosong tergeletak di pangkuannya. Pulpen tergenggam erat, namun tangannya bergetar saat mencoba menuliskan sesuatu.
Satu kalimat akhirnya tergores di halaman pertama: "Jika bayangan di cermin bukan aku, lalu siapa yang kutatap setiap hari?" Ia menatap tulisan itu lama, sebelum akhirnya menutup jurnal dengan napas berat. Malam itu dingin, bukan semata karena udara basah hujan, melainkan karena perasaan asing yang terus menyelimuti dirinya. Seolah-olah ia bukan lagi Ayla yang dikenalnya. Mimpi-mimpi tentang Sofira semakin nyata. Tak lagi sekadar bayangan samar. Dalam mimpi terakhir, ia berdiri di sebuah kamar mandi luas, berlapis kaca besar, mengenakan gaun tidur satin putih. Ia melihat pantulan dirinya. Tapi yang menatap balik... bukan dirinya. Wajah itu memang sama, hanya saja sorot matanya berbeda—kosong, dalam, dan putus asa. “Tolong aku...” Suara itu datang dari bayangan dalam cermin. Sesaat kemudian, kaca pecah berkeping-keping. Ayla terbangun dengan teriakan tertahan, jantung berdegup tak terkendali. Keesokan paginya, ia duduk di ruang kerja Nayaka. Aroma kopi hitam memenuhi ruangan, dan pria itu, dengan kemeja biru gelap serta dasi yang longgar, terlihat letih seperti tak tidur semalaman. “Jadi kamu mengalami mimpi itu lagi?” tanyanya, memutar cangkir di tangannya. Ayla, yang duduk di kursi seberang, mengangguk. Wajahnya pucat, namun sorot matanya teguh. “Bukan sekadar mimpi. Aku melihat ruangan ini, cermin, gaun yang bahkan belum pernah kupakai. Semuanya terasa nyata.” Nayaka mengusap wajahnya dengan kasar. “Kau terlalu banyak berpikir.” Ayla menegakkan tubuhnya. “Tapi bagaimana aku bisa bermimpi tentang sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya?” suaranya meninggi, mengguncang keheningan. Ruangan itu hening sesaat. “Aku tahu kamu mencintaiku... karena aku mirip dia,” ucap Ayla lirih. “Tapi bagaimana kalau... aku dan dia punya hubungan lebih dari sekadar wajah?” Nayaka menatapnya lama, seperti ada badai dalam matanya. “Tidak mungkin.” Namun rasa penasaran terus menggerogoti Ayla. Siang itu, ketika gedung Arvenza sedang sibuk rapat, ia memberanikan diri menyelinap ke ruang arsip di lantai dua belas. Ruangan itu dingin, berdebu, penuh laci besi berlabel. Tangannya berhenti pada satu laci dengan tulisan Karyawan Non-Aktif. Ia menariknya perlahan, hingga menemukan nama itu. Sofira Almeira – Desember 2019. Jemarinya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada CV lama, surat pengunduran diri, dan satu lembar foto identitas. Ayla menatap foto itu, dan seakan menatap dirinya sendiri. Mata yang sama, senyum yang lebih tulus. Namun yang membuatnya merinding adalah selembar memo internal yang terlipat di belakang dokumen. "Sofira menghilang 2 hari sebelum pernikahan. Diduga membawa data klien. Segala akses ditutup." Ayla menelan ludah. Mereka pikir dia pengkhianat? Langkah mendekat terdengar dari koridor. Panik, ia segera menyelipkan dokumen kembali ke dalam laci. Saat berbalik hendak keluar, sebuah suara menghentikannya. “Tak kusangka kamu berani menyentuh berkas itu.” Reynard. Pria itu menarik Ayla ke ruang kosong. Tatapannya tajam. “Apa yang kamu cari?” “Aku cuma ingin tahu... siapa Sofira sebenarnya.” Reynard menghela napas berat. “Dan kamu pikir semua jawaban ada di map lusuh itu?” Ia menatapnya lama. “Dengar, Ayla. Aku ada di pihakmu. Tapi ada hal-hal yang lebih baik tidak kau buka.” Ayla mendongak menantang. “Kenapa semua orang ingin aku diam?” “Karena Nayaka belum sembuh. Dan kamu—” Reynard berhenti sejenak, sebelum menambahkan pelan, “kau bukan hanya mirip. Kau seperti... kelanjutan hidup Sofira.” Ayla tercekat. “Apa maksudmu?” Reynard menatap dalam, suaranya merendah. “Kau tahu istilah transference dalam psikologi? Kadang, seseorang bisa mewarisi trauma orang lain. Bahkan kenangan. Jika keterikatannya cukup dalam.” Ayla menggeleng, air matanya hampir pecah. “Aku bukan Sofira... Tapi aku bisa merasakan sakitnya.” Malam itu, hujan belum reda. Nayaka duduk sendiri di balkon, rokok menyala di jarinya, namun tak dihisap. Ayla keluar pelan, berdiri ragu sebelum bertanya, “Boleh duduk?” Nayaka hanya menoleh sebentar, lalu mengangguk. Mereka duduk diam. Hanya suara hujan yang mengisi ruang di antara mereka. “Kau tahu,” Nayaka akhirnya membuka suara, “Sofira pernah duduk di sini. Persis di tempatmu sekarang.” Ayla menoleh. “Apa kamu masih melihat dia... saat menatapku?” Nayaka tak menjawab. Pandangannya tetap lurus pada kegelapan malam. “Sofira bukan wanita lemah. Tapi ia dikhianati banyak orang. Bahkan... aku.” Ayla menahan napas. “Aku terlalu fokus pada bisnis. Terlalu keras. Kupikir cinta bisa menunggu. Tapi dia sendirian menanggung semua tekanan. Lalu... dia pergi.” Suaranya pecah di ujung kalimat. Ayla perlahan menyentuh tangannya. “Kalau kamu percaya dia dibunuh, kenapa tidak kau cari kebenarannya?” Nayaka tertawa hambar. “Karena aku pengecut. Dan sekarang... aku hanya bisa memperbaiki diri lewat kamu.” Ayla berdiri, menatapnya tajam. “Aku bukan alat untuk menebus kesalahan.” Nayaka menoleh, sorot matanya redup. “Tapi kau lebih dari itu. Kau hidup. Kau membuatku punya alasan untuk bangun setiap pagi.” Keesokan harinya, sebuah amplop tanpa nama ditemukan di atas meja kamar Ayla. Tulisan tangannya tegas dan singkat: "Kalau kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sofira, datang ke Gedung Tua Jalan Anggrek No. 17. Tengah malam. Sendiri." Tangan Ayla bergetar memegang surat itu. Sejak pagi ia ingin membuangnya, namun rasa penasaran jauh lebih kuat daripada rasa takut. Jam sebelas malam, ia duduk di tepi ranjang dengan hoodie hitam, celana jeans, dan rambut terselip dalam topi. Mobil pribadi keluarga Arvenza sudah menunggu di garasi, kuncinya ia genggam sendiri. Ia melangkah turun tanpa suara, tak ingin membangunkan siapa pun. Tidak Nayla. Tidak Ibu Lani. Terutama... tidak Nayaka. Jalanan malam sepi, lampu jalan berkedip redup diterpa hujan. Gedung tua di Jalan Anggrek tampak suram, cat dindingnya terkelupas, sebagian atap nyaris runtuh. Namun lampu lorong utama masih menyala samar. Langkah Ayla menggema di dalam bangunan kosong itu. Lalu ia melihatnya—seorang pria dengan hoodie gelap dan masker menunggu di ujung lorong. “Terima kasih sudah datang, Nona Meindira,” ucapnya. Ayla menegang. “Siapa kamu?” Pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaket, lalu menyodorkannya. “Buka ini saat kau sendirian. Itu... peninggalan Sofira.” Tangan Ayla gemetar saat menerimanya. “Kenapa kamu memberiku ini?” Tatapan pria itu menusuk, meski wajahnya tertutup. “Karena tidak semua orang mati secara alami. Kadang... ada yang harus meneruskan apa yang belum selesai.” Sebelum Ayla sempat bertanya lagi, pria itu berbalik dan lenyap dalam kegelapan. Ayla terjatuh berlutut, memeluk amplop itu erat-erat, tubuhnya gemetar. Dan di dalam hatinya, ia tahu satu hal: kebenaran tidak akan menunggu lagi. BERSAMBUNGSuara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha
Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m
Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih
Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta
Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora
Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera