Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Bayangan di balik cermin

Share

Bayangan di balik cermin

Author: Reju
last update Huling Na-update: 2025-08-04 00:25:58

Hujan deras mengguyur kota sejak sore. Butirannya beradu dengan kaca jendela besar di mansion Arvenza, menciptakan irama yang dingin dan menusuk. Ayla duduk di dekat jendela kamarnya, sebuah jurnal kosong tergeletak di pangkuannya. Pulpen tergenggam erat, namun tangannya bergetar saat mencoba menuliskan sesuatu.

Satu kalimat akhirnya tergores di halaman pertama:

"Jika bayangan di cermin bukan aku, lalu siapa yang kutatap setiap hari?"

Ia menatap tulisan itu lama, sebelum akhirnya menutup jurnal dengan napas berat. Malam itu dingin, bukan semata karena udara basah hujan, melainkan karena perasaan asing yang terus menyelimuti dirinya. Seolah-olah ia bukan lagi Ayla yang dikenalnya.

Mimpi-mimpi tentang Sofira semakin nyata. Tak lagi sekadar bayangan samar. Dalam mimpi terakhir, ia berdiri di sebuah kamar mandi luas, berlapis kaca besar, mengenakan gaun tidur satin putih.

Ia melihat pantulan dirinya. Tapi yang menatap balik... bukan dirinya. Wajah itu memang sama, hanya saja sorot matanya berbeda—kosong, dalam, dan putus asa.

“Tolong aku...”

Suara itu datang dari bayangan dalam cermin. Sesaat kemudian, kaca pecah berkeping-keping. Ayla terbangun dengan teriakan tertahan, jantung berdegup tak terkendali.

Keesokan paginya, ia duduk di ruang kerja Nayaka. Aroma kopi hitam memenuhi ruangan, dan pria itu, dengan kemeja biru gelap serta dasi yang longgar, terlihat letih seperti tak tidur semalaman.

“Jadi kamu mengalami mimpi itu lagi?” tanyanya, memutar cangkir di tangannya.

Ayla, yang duduk di kursi seberang, mengangguk. Wajahnya pucat, namun sorot matanya teguh. “Bukan sekadar mimpi. Aku melihat ruangan ini, cermin, gaun yang bahkan belum pernah kupakai. Semuanya terasa nyata.”

Nayaka mengusap wajahnya dengan kasar. “Kau terlalu banyak berpikir.”

Ayla menegakkan tubuhnya. “Tapi bagaimana aku bisa bermimpi tentang sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya?” suaranya meninggi, mengguncang keheningan.

Ruangan itu hening sesaat.

“Aku tahu kamu mencintaiku... karena aku mirip dia,” ucap Ayla lirih. “Tapi bagaimana kalau... aku dan dia punya hubungan lebih dari sekadar wajah?”

Nayaka menatapnya lama, seperti ada badai dalam matanya. “Tidak mungkin.”

Namun rasa penasaran terus menggerogoti Ayla. Siang itu, ketika gedung Arvenza sedang sibuk rapat, ia memberanikan diri menyelinap ke ruang arsip di lantai dua belas. Ruangan itu dingin, berdebu, penuh laci besi berlabel.

Tangannya berhenti pada satu laci dengan tulisan Karyawan Non-Aktif. Ia menariknya perlahan, hingga menemukan nama itu.

Sofira Almeira – Desember 2019.

Jemarinya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada CV lama, surat pengunduran diri, dan satu lembar foto identitas. Ayla menatap foto itu, dan seakan menatap dirinya sendiri. Mata yang sama, senyum yang lebih tulus.

Namun yang membuatnya merinding adalah selembar memo internal yang terlipat di belakang dokumen.

"Sofira menghilang 2 hari sebelum pernikahan. Diduga membawa data klien. Segala akses ditutup."

Ayla menelan ludah. Mereka pikir dia pengkhianat?

Langkah mendekat terdengar dari koridor. Panik, ia segera menyelipkan dokumen kembali ke dalam laci. Saat berbalik hendak keluar, sebuah suara menghentikannya.

“Tak kusangka kamu berani menyentuh berkas itu.”

Reynard.

Pria itu menarik Ayla ke ruang kosong. Tatapannya tajam. “Apa yang kamu cari?”

“Aku cuma ingin tahu... siapa Sofira sebenarnya.”

Reynard menghela napas berat. “Dan kamu pikir semua jawaban ada di map lusuh itu?” Ia menatapnya lama. “Dengar, Ayla. Aku ada di pihakmu. Tapi ada hal-hal yang lebih baik tidak kau buka.”

Ayla mendongak menantang. “Kenapa semua orang ingin aku diam?”

“Karena Nayaka belum sembuh. Dan kamu—” Reynard berhenti sejenak, sebelum menambahkan pelan, “kau bukan hanya mirip. Kau seperti... kelanjutan hidup Sofira.”

Ayla tercekat. “Apa maksudmu?”

Reynard menatap dalam, suaranya merendah. “Kau tahu istilah transference dalam psikologi? Kadang, seseorang bisa mewarisi trauma orang lain. Bahkan kenangan. Jika keterikatannya cukup dalam.”

Ayla menggeleng, air matanya hampir pecah. “Aku bukan Sofira... Tapi aku bisa merasakan sakitnya.”

Malam itu, hujan belum reda. Nayaka duduk sendiri di balkon, rokok menyala di jarinya, namun tak dihisap. Ayla keluar pelan, berdiri ragu sebelum bertanya, “Boleh duduk?”

Nayaka hanya menoleh sebentar, lalu mengangguk.

Mereka duduk diam. Hanya suara hujan yang mengisi ruang di antara mereka.

“Kau tahu,” Nayaka akhirnya membuka suara, “Sofira pernah duduk di sini. Persis di tempatmu sekarang.”

Ayla menoleh. “Apa kamu masih melihat dia... saat menatapku?”

Nayaka tak menjawab. Pandangannya tetap lurus pada kegelapan malam. “Sofira bukan wanita lemah. Tapi ia dikhianati banyak orang. Bahkan... aku.”

Ayla menahan napas.

“Aku terlalu fokus pada bisnis. Terlalu keras. Kupikir cinta bisa menunggu. Tapi dia sendirian menanggung semua tekanan. Lalu... dia pergi.”

Suaranya pecah di ujung kalimat.

Ayla perlahan menyentuh tangannya. “Kalau kamu percaya dia dibunuh, kenapa tidak kau cari kebenarannya?”

Nayaka tertawa hambar. “Karena aku pengecut. Dan sekarang... aku hanya bisa memperbaiki diri lewat kamu.”

Ayla berdiri, menatapnya tajam. “Aku bukan alat untuk menebus kesalahan.”

Nayaka menoleh, sorot matanya redup. “Tapi kau lebih dari itu. Kau hidup. Kau membuatku punya alasan untuk bangun setiap pagi.”

Keesokan harinya, sebuah amplop tanpa nama ditemukan di atas meja kamar Ayla. Tulisan tangannya tegas dan singkat:

"Kalau kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sofira, datang ke Gedung Tua Jalan Anggrek No. 17. Tengah malam. Sendiri."

Tangan Ayla bergetar memegang surat itu. Sejak pagi ia ingin membuangnya, namun rasa penasaran jauh lebih kuat daripada rasa takut.

Jam sebelas malam, ia duduk di tepi ranjang dengan hoodie hitam, celana jeans, dan rambut terselip dalam topi. Mobil pribadi keluarga Arvenza sudah menunggu di garasi, kuncinya ia genggam sendiri. Ia melangkah turun tanpa suara, tak ingin membangunkan siapa pun. Tidak Nayla. Tidak Ibu Lani. Terutama... tidak Nayaka.

Jalanan malam sepi, lampu jalan berkedip redup diterpa hujan. Gedung tua di Jalan Anggrek tampak suram, cat dindingnya terkelupas, sebagian atap nyaris runtuh. Namun lampu lorong utama masih menyala samar.

Langkah Ayla menggema di dalam bangunan kosong itu. Lalu ia melihatnya—seorang pria dengan hoodie gelap dan masker menunggu di ujung lorong.

“Terima kasih sudah datang, Nona Meindira,” ucapnya.

Ayla menegang. “Siapa kamu?”

Pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaket, lalu menyodorkannya. “Buka ini saat kau sendirian. Itu... peninggalan Sofira.”

Tangan Ayla gemetar saat menerimanya. “Kenapa kamu memberiku ini?”

Tatapan pria itu menusuk, meski wajahnya tertutup. “Karena tidak semua orang mati secara alami. Kadang... ada yang harus meneruskan apa yang belum selesai.”

Sebelum Ayla sempat bertanya lagi, pria itu berbalik dan lenyap dalam kegelapan. Ayla terjatuh berlutut, memeluk amplop itu erat-erat, tubuhnya gemetar.

Dan di dalam hatinya, ia tahu satu hal: kebenaran tidak akan menunggu lagi.

BERSAMBUNG

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Epilog

    Tiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menyempurnakan Segalanya

    Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menjadi Orang Tua

    Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Malam Pertama Bersama Putri Kecil

    Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Hadiah Kecil Dari Langit

    Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Saat Dunia Menjadi Satu

    Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status