Aku bisa merasakan napasku sendiri tercekat. Setiap langkah terasa seperti langkah terakhir.
Ketika kami hampir sampai ke pintu belakang, terdengar suara seretan besi. Seseorang berdiri menghadang di sana. Wajahnya separuh tertutup masker hitam, tapi mata itu… mata yang penuh kebencian. “Akhirnya kita bertemu, Nadine…” suaranya dingin menusuk, membuat darahku seolah berhenti mengalir. Aku membeku di tempat, tidak bisa bergerak. Arkana langsung berdiri di depanku, melindungi tubuhku dengan seluruh keberadaannya. “Kau tidak akan menyentuhnya.” Pria itu menyeringai tipis, menodongkan senjata ke arah Arkana. “Kita lihat saja siapa yang bertahan hidup malam ini.” Dan dalam detik berikutnya—suara tembakan kembali memecah malam.Suara tembakan meledak memekakkan telinga. Sekilas aku melihat percikan api kecil di udara, lalu tubuh Arkana bergerak cepat menahanku agar tidak terkena peluru.Aku bisa merasakan napasku sendiri tercekat. Setiap langkah terasa seperti langkah terakhir. Ketika kami hampir sampai ke pintu belakang, terdengar suara seretan besi. Seseorang berdiri menghadang di sana. Wajahnya separuh tertutup masker hitam, tapi mata itu… mata yang penuh kebencian. “Akhirnya kita bertemu, Nadine…” suaranya dingin menusuk, membuat darahku seolah berhenti mengalir. Aku membeku di tempat, tidak bisa bergerak. Arkana langsung berdiri di depanku, melindungi tubuhku dengan seluruh keberadaannya. “Kau tidak akan menyentuhnya.” Pria itu menyeringai tipis, menodongkan senjata ke arah Arkana. “Kita lihat saja siapa yang bertahan hidup malam ini.” Dan dalam detik berikutnya—suara tembakan kembali memecah malam.Suara tembakan meledak memekakkan telinga. Sekilas aku melihat percikan api kecil di udara, lalu tubuh Arkana bergerak cepat menahanku agar tidak terkena peluru.
Arkana memasukkan ponsel ke saku, lalu menatapku dengan mata tajam penuh api. “Ya. Dan aku harus menghadapi mereka. Tapi kali ini… aku tidak sendirian. Kau ada di sisiku.” Aku menggenggam tangannya erat, meski tubuhku masih gemetar. Dalam hati aku tahu, apa pun yang menunggu di depan akan jauh lebih berbahaya. Tapi anehnya, ada kekuatan baru yang muncul—karena aku tak lagi hanya berjuang demi diriku sendiri, melainkan juga demi pria yang kini kucintai dengan seluruh hatiku. Malam itu, di balik ketakutan, aku sadar: pertarungan kami baru saja dimulai.Malam itu terasa panjang, lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya. Aku tidak bisa tidur. Setiap suara kecil dari luar membuatku tersentak. Degup jantungku terus berpacu, seolah aku sedang berdiri di tepi jurang. Arkana duduk di ruang tamu, matanya tajam memperhatikan layar ponselnya. Sesekali ia berbicara singkat dengan orang-orangnya. Wajahnya tegas, penuh fokus, tapi aku bisa
Arkana menatapku serius. Tatapan yang biasanya menenangkan kini malah menambah rasa waswasku. “Mereka akan mencoba. Tapi aku sudah bersiap. Ada orang-orang yang masih berutang budi padaku, ada jaringan kecil yang kubentuk diam-diam. Selama ini aku memang menunggu waktu yang tepat. Dan mungkin… waktunya sudah tiba.” Aku menelan ludah. Menunggu waktu yang tepat? Jadi semua yang ia lakukan selama ini—menjadi CEO sukses, menutup diri, bersikap dingin—hanyalah bagian dari strategi untuk hari ini? “Tapi, Nadine…” suaranya menurun, agak serak. “Aku tak bisa melakukannya kalau kau tidak kuat. Kau harus bersiap. Mereka akan mencarimu. Mereka mungkin mencoba mendekatimu dengan cara yang paling tidak terduga. Bisa jadi dengan ancaman, bisa juga dengan tipu muslihat. Aku tidak bisa selalu di sisimu setiap detik.” Tubuhku seketika merinding. Bayangan mengerikan muncul di kepalaku. “Jadi… nyawaku benar-benar terancam?” Arkana mengangguk pelan. “Ya. Karena kau adalah satu-satunya yang bisa
Ia mengangguk pelan. “Aku keluar. Aku mencoba meninggalkan semuanya, memulai hidup baru, menjadi orang biasa—seorang CEO, seorang pria normal yang bisa kau kenal tanpa curiga. Tapi ternyata, masa lalu tidak pernah benar-benar melepaskanku.” Aku terdiam. Tanganku gemetar hebat. Arkana melangkah mendekat, menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Aku tahu kau pasti takut padaku sekarang. Aku bahkan tidak akan menyalahkanmu kalau kau pergi malam ini juga. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Nadine… semua yang kulakukan setelah bertemu denganmu—setiap langkah, setiap keputusan—semua untuk melindungimu. Bahkan kalau aku harus menukar nyawaku.”Air mataku jatuh begitu saja. Rasanya ingin marah, ingin menamparnya karena menyembunyikan semua ini. Tapi di sisi lain, hatiku sakit melihat wajahnya yang penuh penyesalan itu. Aku menggeleng, lalu melangkah mendekat meski ia sempat mundur lagi. “Jangan berani-beraninya bilang aku harus pergi, Arkana. Aku sudah ada di sini. Kalau memang ada bahaya
BRAK! BRAK! BRAK! Ketukan keras itu kembali terdengar, bahkan lebih keras, menggema ke seluruh rumah. Aku bisa merasakan lantai di bawah kakiku bergetar pelan. Tanganku refleks menutup mulut agar tidak bersuara. Dari balik pintu kamar yang hanya setengah terbuka, aku bisa melihat Arkana berdiri di ruang tamu. Tubuhnya tegap, matanya tajam penuh kewaspadaan. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara berat, penuh ancaman. Tidak ada jawaban. Hanya ketukan lagi—lebih keras, lebih mendesak. BRAK! Aku ingin sekali keluar, berdiri di sampingnya, tapi kata-katanya tadi masih bergema di kepalaku: “Masuk ke kamar, kunci pintu, dan jangan keluar sampai aku bilang aman.” Arkana melangkah mendekati pintu, tangannya sudah mengepal. Tepat sebelum ia membuka, suara asing terdengar dari luar. “Arkana Dirgantara! Aku tahu kau ada di dalam. Buka pintunya atau aku dobrak sekarang juga!” Aku membeku. Suara itu… dingin, berat, dan penuh amarah. Arkana hanya diam sejenak, lalu menarik napas
Wajah Arkana berubah muram. Ada luka dalam sorot matanya, seolah ia ingin bicara tapi terhalang sesuatu. Ia menggenggam tanganku erat, suaranya bergetar. “Percayalah, aku tidak pernah ingin menyeretmu ke dalam ini. Aku ingin kau tetap bersih, tetap jauh dari dunia kotor keluargaku. Tapi… mungkin sudah terlambat.” Aku menatapnya, bingung dan marah sekaligus. “Terlambat? Apa maksudmu?” Arkana tidak menjawab. Ia hanya menarikku ke dalam pelukan yang hangat tapi penuh kepedihan. “Maafkan aku, Nadine. Maafkan aku…” Aku ingin menolaknya, ingin menendangnya pergi, tapi tubuhku lemah. Aku tetap berdiri dalam pelukannya, meski pikiranku penuh dengan pertanyaan. Satu hal yang jelas: mulai saat itu, aku tidak hanya jatuh cinta pada Arkana… aku juga jatuh ke dalam lingkaran bahaya yang mengelilinginya. Dan aku tahu, sekali aku masuk, tidak ada jalan keluar yang mudah.Pagi itu udara di rumah begitu tegang. Aku duduk di kursi ruang makan, menatap secangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh.