Aku bangun sebelum matahari benar-benar menampakkan diri. Bukan karena sudah terbiasa bangun pagi, tapi karena tubuhku menolak tidur di tempat asing—apalagi setelah semalam nyaris pingsan gara-gara pertunangan instan, handuk melorot, dan menjadi seorang Mama.
Aku melirik sekeliling. Rey masih tertidur pulas di sebelahku, berbalut selimut tebal. Aku tidur di sisi pinggir ranjang dan Rey sukses mendominasi seluruh area tengah—bahkan menendangku dua kali tadi malam. Pelan-pelan aku bangkit, merapikan selimut, lalu berjalan ke dapur. Perutku keroncongan. Di kulkas ada bahan-bahan makanan segar. Mungkin aku bisa membuat sarapan cepat. Setidaknya, ini bentuk rasa terimakasih karena telah menumpang semalam. Tanganku mulai sibuk. Roti gandum masuk toaster, sayuran aku cincang cepat, lalu telur dikocok bersama susu rendah lemak. Omelet ala Nayla in progress. Sementara itu, aku menyiapkan infused water dari irisan lemon dan daun mint. Tipe sarapan sehat yang biasa kubuat saat dinas pagi di RS. “Not bad,” gumamku sambil mencicipi sedikit. Aku bekerja sebagai dokter anak di Rumah Sakit Juhar—ya, rumah sakit milik keluarga tunangan instanku yang bahkan baru kukenal kemarin. Tapi aku masuk lewat jalur resmi, bukan koneksi. Nilai akademik ku tinggi, dan aku selalu berada di tiga besar sejak koas. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran di Jogja, aku mengirim lamaran ke berbagai rumah sakit. Juhar menerimaku—mungkin karena CV-ku mencolok, atau karena Tuhan sedang iseng membukakan jalan menuju kekacauan manis ini. Orang tuaku tinggal di Jogja, sederhana tapi bahagia. Bapak guru SD. Ibu juga. Adik lelakiku masih SMA—dan satu-satunya masalah dalam hidupku adalah kontrakanku di Jakarta yang sudah minta diperpanjang bulan ini. “Pagi, sayang—” Aku menoleh cepat. Bukan Alvaro. Tapi—oh, tidak. Bunda Zura berdiri di ambang pintu apartemen, dengan gaun kasual dan tas jinjing mewah menggantung di lengan. Dua asisten rumah tangga berdiri di belakangnya, membawa kantong belanjaan. “Eh—maaf. Saya Nayla.” Suaraku nyaris putus. “Tentu saja kamu Nayla,” katanya dengan senyum selebar jalan tol. “Selain cantik, kamu ternyata jago masak juga, ya?” Aku tercekat. Bodohnya aku! Bisa-bisanya memperkenalkan diri lagi. Setelah resmi menjadi calon menantunya—calon menantu bohongan maksudnya. “I-ini cuma sarapan sederhana, Bu.” “Panggil saja Bunda,” sahutnya cepat sambil melangkah masuk dan mencicipi omeletku tanpa malu-malu. “Hmm! Enak banget. Alvaro biasanya cuma makan granola basi dari toples yang telah dibuka dua bulan lalu. Ini kemajuan besar!” Aku tak tahu harus tersenyum atau sembunyi di bawah kulkas. Bunda Zura duduk dengan santai di meja makan sambil menyuruh asistennya membersihkan apartemen. Aku yang baru saja menyelesaikan membuat roti panggang, buru-buru menata sarapan. Tak lama kemudian, suara kaki kecil terdengar. Rey muncul dengan rambut acak-acakan dan piyama yang hampir melorot dari pundaknya. “Mamaaaa!” serunya, lalu berlari ke arahku dan memeluk sebelah kakiku ku dari samping. Astaga. Jantungku belum siap. “Oh, Rey sayang, duduk dulu ya,” kataku sambil mengangkatnya ke kursi makan. Dia langsung duduk manis dan menunjuk roti. “Pakai madu, Mama.” Bunda Zura memandangku dengan pandangan yang tidak bisa kutebak. Hangat, tapi menyelidik. “Dia belum pernah semanja ini sama perempuan lain.” Aku mengangkat bahu, pura-pura sibuk dengan sendok dan pisau. Suara langkah berat menyusul. Alvaro muncul dengan rambut sedikit berantakan, masih memakai piyama. Tatapannya langsung bertabrakan dengan milikku. “Pagi, Bun,” katanya cepat. “Pagi, sayang. Lihat tuh, calon istrimu bikin sarapan. Lengkap. Bergizi. Nggak kayak kamu yang cuma bisa menyeduh kopi sachet.” Aku menahan senyum saat Alvaro melirik piring dan berkata pelan, “Kelihatannya enak.” “Coba dulu. Baru memuji,” balasku sambil menyodorkan piring. Kami duduk bersama di meja makan. Sudah lama aku tidak merasakan yang namanya ‘sarapan keluarga’. Tapi dalam versi sementara. Yang kalau dihapus bisa bikin aku terlempar kembali ke realita sebagai dokter anak yang masih ngontrak. Setelah sarapan selesai, aku bangkit dari kursi. “Saya pamit, Bu—eh, Bunda. Ada jadwal praktek pagi ini di rumah sakit.” Bunda Zura menoleh. “Tunggu sebentar. Biar Alvaro yang mengantar.” Aku langsung gelagapan. “Ah, nggak usah, Bunda. Saya biasa naik—” “Alvaro, cepat bersiap dan antar Nayla,” kata Bunda Zura tegas, sambil memberi isyarat pada putranya. Alvaro hanya mengangguk tanpa banyak komentar. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah duduk di kursi penumpang mobil SUV hitam mewah, dengan Alvaro di balik kemudi. Kami terjebak dalam keheningan. “Aku tahu kamu nggak suka drama seperti ini,” katanya akhirnya. “Cerdas juga,” gumamku. “Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa mengakhiri kapan saja.” Aku menoleh cepat. “Aku bukan tipe orang yang kabur saat keadaan jadi sulit, Tuan Muda.” Dia menoleh sesaat, bibirnya terangkat tipis. “Sudah ku duga. Makanya kamu cocok.” Mobil melaju perlahan keluar dari basement. Di luar, Jakarta baru saja membuka matanya. Jalanan masih lengang, langit masih menggantungkan sisa warna jingga, dan aku masih duduk kaku di sebelah pria yang membuat kehidupanku berubah drastis dalam waktu kurang dari 24 jam. “Langsung ke rumah sakit?” tanya Alvaro singkat, matanya fokus ke depan. Aku menggeleng cepat. “Nggak usah. Antarkan aku ke kosan aja. Aku mau ganti baju dan berangkat sendiri.” Alvaro mengernyit. “Kenapa nggak langsung ke RS?” “Karena aku masih manusia biasa yang butuh mandi, pakai skincare, dan berganti dari kaos oblong ke setelan kerja,” sahutku ketus. Dia menoleh sekilas. “Oke. Aku juga harus langsung ke kantor. Ada rapat jam delapan.” Aku mengedip dua kali. “Tunggu. Kamu nggak maksa nganterin aku sampai RS?” “Kenapa? Kamu kira aku bakal drama ala calon suami posesif?” “Yah semacam itu.” Dia tertawa—suara yang baru pertama kali kudengar dan, sialnya, agak enak didengar. “Nayla,” katanya, masih dengan nada ringan. “Aku tahu kamu cukup tangguh untuk pergi ke rumah sakit sendiri. Kita memang ‘terpaksa’ bertunangan, bukan berarti aku mendadak jadi pengatur hidupmu.” Aku melirik dia sekilas. Pria itu tetap menatap ke jalan, tenang, tanpa ekspresi macam patung pahlawan. Tapi entah kenapa, responsnya membuatku merasa dihargai. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada perhatian berlebihan. “Terima kasih,” gumamku akhirnya. Mobil berhenti di depan gang menuju kosanku. Aku membuka pintu. “Nggak mau mampir dulu?” tanyaku setengah iseng. Dia mengangkat alis. “Mampir ke kos cewek? No, thanks.” Aku terkekeh kecil. “Tawaranku tadi hanya sekedar basa-basi.” Dan aku menutup pintu dengan hati yang sedikit lebih ringan, kepala penuh tanya. Tentang Alvaro, tentang pertunangan dadakan.Sesampainya di Jakarta, aku dan Alvaro langsung kembali ke apartemen—kali ini tanpa Rey. Si ganteng kecil itu masih ‘ditahan’ oleh Bunda Zura dan Oma Narumi. Awalnya aku sempat ragu meninggalkannya di kediaman keluarga Juhar. Aku bahkan sudah bersiap menginap di sana agar bisa mengawasinya, takut kalau dia bosan atau tiba-tiba rewel. Tapi Alvaro tidak ingin menginap. Dia mengajakku pulang dengan alasan ada beberapa berkas penting yang harus dibacanya—dan berkas itu hanya ada di apartemen. Di perjalanan pulang, Alvaro sempat melirikku sekilas sambil bertanya, “Ada yang mau kamu beli sebelum kita pulang ke apartemen?” Aku sempat berpikir sejenak, mencoba mengingat isi kulkas. “Kayaknya kita kehabisan udang, terus sayuran hijau juga tinggal sisa bayam yang udah layu.” Alvaro mengangguk. “Oke. Kita mampir ke supermarket dulu, ya.” Dia langsung mengarahkan mobilnya keluar dari jalur utama tol dan mengambil arah menuju supermarket. Sinar matahari sore menyusup masuk lewat kaca mobil, m
"Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta, minibus ini seharusnya jadi tempat beristirahat dengan tenang dan nyaman." Harusnya. Kalau saja El dan Ila tidak duduk di belakang kami— dan tidak kompak menjadi buzzer keluarga dadakan. "Gimana rasanya 'quality time' berdua di ruang ganti?" El bertanya sambil mencondongkan badan ke arah kami. Ila menyikut pelan sambil menyeringai. "Deg-degan, ya? Atau bajunya sekarang udah punya gelar—saksi bisu momen panas di ruang ganti?" Aku mendesah, nyaris menutupi wajah dengan bantal kecil di pangkuanku. “Astaga, kalian berdua bisa diem nggak sih?” Alvaro, yang duduk di sebelahku hanya tertawa ringan. “Mereka emang gitu, Nay. Anggap aja bumbu biar perjalanan nggak ngebosenin.” “Mas Al, tolong bantu jelasin. Aku capek jelasin terus,” gerutuku. “Justru karena kamu jelasin terus, mereka makin semangat menggoda,” balasnya santai sambil bersandar. Ila bersedekap dengan ekspresi pura-pura serius. “Kita kan cuma menyuarakan kekhawatiran,” katanya, se
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Alvaro masih berbaring di ranjang dengan mata terpejam. "Mas Al, yuk turun dulu. Kamu belum sarapan, kan?" ucapku sambil merapikan beberapa baju di dalam koper. Dia hanya menggeliat malas, lalu menoleh ke arahku. “Nanti dulu, barang-barangku masih berantakan. Aku belum beresin apapun.” Aku mengerutkan kening. “Lho, emang semalam kamu ngapain aja sih?” “Capek, habis nganter kamu pulang langsung tidur,” jawabnya sambil duduk dan menguap lebar. Aku menggeleng pelan, lalu berjalan ke pintu connecting door dan membuka kuncinya. “Aku cek ke kamar kamu, ya.” “Siap-siap kaget,” ucapnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. Begitu aku masuk ke kamar sebelah, aku langsung terdiam. Mataku menyapu ruangan yang terlihat seperti habis diterjang angin ribut. Baju berserakan di atas koper yang terbuka, kemeja batik lamaran masih tergantung di kepala ranjang, dan handuk te
Ketukan pelan di pintu membuyarkan kantukku. Saat kulirik jam, baru menunjukkan pukul enam pagi. Sinar matahari perlahan menembus celah gorden, menyapa kamar yang masih remang."Mbak Nay, Pak Zain sudah datang," teriak Naren dari luar kamar.Aku langsung terbangun sepenuhnya. Bapak sudah datang? Secepat ini?Kulirik ke samping tempat tidur. Rey masih tertidur pulas, posisinya miring menghadapku dengan rambut yang sedikit berantakan. Wajahnya yang polos saat tidur membuatku tersenyum sejenak sebelum akhirnya bergegas bangun.Setelah mandi dan bersiap, aku keluar kamar menuju ruang makan. Di sana, Bapak sudah duduk di kursi sambil ngobrol dengan Ayah. "Selamat pagi, Bapak," sapaku sambil menunduk sedikit.Bapak tersenyum hangat. "Pagi, Nak Nay. Maaf Bapak mengganggu waktu istirahatmu."Ayah menepuk sandaran sofa. "Duduk, Nay. Bapak mau sarapan dulu di sini sebelum ajak kalian balik ke hotel."Aku mengangguk, lalu duduk di kursi sebelah Ayah. "Rey masih tidur, Pak.""Gapapa, biarkan dia
Setelah seluruh rangkaian acara selesai, para tamu satu per satu mulai berpamitan. Aku akhirnya bisa menarik napas panjang dan duduk sejenak di kursi teras, menikmati ketenangan yang perlahan kembali menyelimuti rumah.Rey sudah tertidur pulas di pelukan Ibu, dan akan menginap di rumahku. Sementara keluarga Juhar—termasuk Alvaro—bersiap kembali ke hotel.Kupikir semuanya akan selesai sampai di sini. Sampai langkah kaki Alvaro terdengar mendekat.“Nay,” panggilnya, membuatku menoleh.Dia sudah tidak mengenakan kemeja batik, tinggal kaos dalaman warna putih. Rambutnya sedikit berantakan tapi tetap mempesona.Aku berdiri. “Mau pulang ke hotel sekarang?”Alvaro menggeleng. “Nggak. Aku lapar. Mau cari mie tek-tek.”Aku mengerutkan dahi. “Mie tek-tek?”Dia mengangguk. “Yang bunyinya ‘tek tek tek’ itu. Dulu pas kecil pernah makan dan sekarang aku pengen makan lagi.”Aku tertawa pelan. “Mas yakin masih lapar? Soalnya tadi aku lihat sempat nambah waktu makan, loh.”Alvaro menyeringai kecil, la
MC mempersilahkan pihak keluarga laki-laki untuk menyampaikan maksud kedatangan. Suasana menjadi hening— bahkan suara detik jam dinding pun terasa lebih keras. Semua mata tertuju ke arah depan ruangan, di mana Alvaro berdiri berdampingan dengan kedua orang tuanya.Bapak melangkah maju. Suaranya tenang, berwibawa, tapi penuh kehangatan saat mulai bicara,“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.Kami, keluarga besar Juhar dan saya sendiri, Zain Juhar, datang malam ini dengan niat yang baik dan tulus.Kami membawa seorang putra— Alvaro Arsenio Juhar— yang dengan segala hormat memohon izin serta restu dari keluarga Bapak Prasetyo Bawazier dan Amara Bawazier, untuk meminang, Nayla Azzahra Bawazier, sebagai calon istri sekaligus pendamping hidup anak kami— InsyaAllah, untuk selamanya.”Suara isak kecil terdengar dari beberapa tamu perempuan. Ibu menggenggam tanganku, menoleh padaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.MC mengangguk pelan dan mempersilakan Alvaro untuk maju ke depan.Lan