Share

(Bukan) Pagi Pertama

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 15:53:57

Aku bangun sebelum matahari terbit. Bukan karena kebiasaan, tapi karena aku susah tidur di tempat asing— apalagi setelah semalam hampir pingsan gara-gara pertunangan dadakan, insiden handuk melorot, dan tiba-tiba jadi seorang Mama.

Aku melirik sekitar. Rey masih tertidur pulas di sebelahku, terbungkus selimut tebal. Aku tidur di pinggir ranjang, sementara dia sukses menguasai tengah—bahkan sempat menendangku dua kali tadi malam.

Pelan-pelan aku bangkit, merapikan selimut, lalu berjalan ke dapur. Perutku keroncongan. Di kulkas ada beberapa bahan makanan segar. Mungkin aku bisa masak sarapan sederhana—setidaknya sebagai tanda terima kasih karena sudah menumpang semalam.

Tanganku mulai sibuk. Roti gandum masuk ke toaster, sayuran aku cincang cepat, lalu telur aku kocok dengan susu rendah lemak. Omelet ala Nayla sedang diproses. Sambil menunggu, aku siapkan infused water dari irisan lemon dan daun mint—sarapan sehat yang biasa kubuat saat dinas pagi di rumah sakit.

“Not bad,” gumamku sambil mencicipi sedikit.

Rumah Sakit Juhar—ya, rumah sakit milik keluarga tunangan instanku, yang bahkan baru kukenal kemarin. Tapi aku masuk lewat jalur resmi, bukan karena koneksi. Nilai akademikku tinggi, dan aku selalu masuk tiga besar sejak masa koas. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran di Jogja, aku mengirim lamaran ke berbagai rumah sakit. Juhar menerimaku—mungkin karena CV-ku cukup mencolok, atau mungkin karena Tuhan sedang iseng membuka jalan menuju kekacauan manis ini.

Orang tuaku tinggal di Jogja, hidup sederhana tapi bahagia. Bapak seorang guru SD, begitu juga Ibu. Adik lelakiku masih SMA— dan satu-satunya masalah dalam hidupku saat ini adalah kosanku di Jakarta yang sudah minta diperpanjang bulan ini.

“Pagi, sayang—”

Aku menoleh cepat. Bukan Alvaro yang memanggil. Tapi— oh, tidak.

Bunda Zura berdiri di ambang pintu apartemen, dengan gaun kasual dan tas jinjing mewah menggantung di lengan. Dua asisten rumah tangga berdiri di belakangnya, membawa kantong belanjaan.

“Eh—maaf. Saya Nayla.” Suaraku nyaris putus.

“Tentu saja kamu Nayla,” katanya dengan senyum selebar jalan tol. “Selain cantik, kamu ternyata jago masak juga, ya?”

Aku tercekat. Bodohnya aku! Bisa-bisanya memperkenalkan diri lagi. Setelah resmi menjadi calon menantunya—calon menantu bohongan maksudnya. 

“I-ini cuma sarapan sederhana, Bu.”

“Panggil saja Bunda,” sahutnya cepat sambil melangkah masuk dan mencicipi omeletku tanpa malu-malu. “Hmm! Enak banget. Alvaro biasanya cuma makan granola basi dari toples yang telah dibuka dua bulan lalu. Ini kemajuan besar!”

Aku tak tahu harus tersenyum atau sembunyi di bawah kulkas.

Bunda Zura duduk dengan santai di meja makan sambil menyuruh asistennya membersihkan apartemen. Aku yang baru saja menyelesaikan membuat roti panggang, buru-buru menata sarapan.

Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki kecil. Rey muncul dengan rambut acak-acakan dan piyama yang nyaris melorot dari pundaknya.

“Mamaaaa!” serunya, lalu berlari ke arahku dan memeluk sebelah kakiku ku dari samping.

Astaga. Jantungku belum siap.

“Oh, Rey sayang, duduk dulu ya,” kataku sambil mengangkatnya ke kursi makan. Dia langsung duduk manis dan menunjuk roti.

“Pakai madu, Mama.”

Bunda Zura memandangku dengan pandangan yang tidak bisa kutebak. Hangat, tapi menyelidik. “Dia belum pernah semanja ini sama perempuan lain.”

Aku pura-pura sibuk dengan sendok dan pisau.

Langkah kaki berat menyusul. Alvaro muncul dengan rambut sedikit berantakan, masih mengenakan piyama. Tatapan kami langsung bertemu.

“Pagi, Bun,” katanya cepat.

“Pagi, sayang. Lihat tuh, calon istrimu bikin sarapan. Lengkap. Bergizi. Nggak kayak kamu yang cuma bisa menyeduh kopi sachet.”

Aku menahan senyum saat Alvaro melirik piring dan berkata pelan, “Kelihatannya enak.”

“Coba dulu. Baru memuji,” balasku sambil menyodorkan piring.

Kami duduk bersama di meja makan. Sudah lama aku tidak merasakan yang namanya ‘sarapan keluarga’. Tapi ini cuma versi sementara—yang kalau dihapus, bisa langsung mengembalikanku ke realita sebagai dokter anak yang masih ngekos.

Setelah sarapan, aku berdiri dari kursi. “Saya pamit, Bu— eh, Bunda. Pagi ini saya ada jadwal praktek di rumah sakit.”

Bunda Zura menoleh. “Tunggu sebentar, biar Alvaro yang antar.”

Aku langsung gugup. “Ah, nggak perlu, Bunda. Saya biasa naik—”

“Alvaro, cepat siap-siap dan antar Nayla,” kata Bunda Zura tegas, sambil memberi isyarat pada putranya.

Alvaro hanya mengangguk tanpa banyak komentar.

Tiga puluh menit kemudian, aku sudah duduk di kursi penumpang SUV hitam mewah, dengan Alvaro di belakang kemudi. Suasana di dalam mobil terasa sunyi.

“Aku tahu kamu nggak nyaman dengan situasi kayak gini,” katanya akhirnya.

“Benar sekali,” gumamku.

“Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa berhenti kapan saja.”

Aku menoleh cepat. “Aku bukan tipe yang lari saat keadaan jadi sulit, Tuan Muda.”

Dia sempat menoleh, bibirnya terangkat tipis. “Sudah kuduga. Makanya kamu cocok.”

Mobil perlahan keluar dari basement. Di luar, Jakarta masih sepi. Jalanan belum ramai, langit masih sedikit oranye. Aku duduk kaku di samping pria yang mengubah hidupku dalam waktu kurang dari sehari.

“Langsung ke rumah sakit?” tanya Alvaro, masih fokus menatap ke depan.

Aku menggeleng. “Nggak usah. Antar ke kosan aja. Aku mau ganti baju dan berangkat sendiri.”

Alvaro Mengernyit. “Kenapa nggak langsung ke RS aja?”

“Karena aku masih manusia biasa yang butuh mandi, pakai skincare, dan ganti dari kaos oblong ke baju kerja,” sahutku ketus.

Dia menoleh sekilas. “Oke. Aku juga harus segera berangkat ke kantor. Ada rapat jam delapan.”

Aku mengedip dua kali. “Tunggu. Kamu nggak maksa nganterin aku sampai rumah sakit?”

“Kenapa? Kamu pikir aku bakal bersikap kayak calon suami posesif yang suka drama?”

“Kurang lebih begitu.”

Dia tertawa— pertama kalinya aku mendengar, dan sialnya, terdengar cukup menyenangkan.

“Nayla,” katanya dengan nada santai. “Aku tahu kamu cukup mandiri untuk pergi ke rumah sakit sendiri. Kita memang ‘terpaksa’ tunangan, tapi bukan berarti aku tiba-tiba jadi pengatur hidupmu.”

Aku meliriknya. Dia tetap fokus menatap jalan tanpa banyak ekspresi. Tapi entah kenapa, jawabannya barusan membuatku merasa dihargai—dan itu justru lebih berbahaya daripada sikap yang terlalu perhatian.

“Terima kasih,” gumamku akhirnya.

Mobil berhenti di depan gang menuju kosanku. Aku membuka pintu.

“Nggak mau mampir dulu?” tanyaku, setengah bercanda.

Dia mengangkat alis. “Mampir ke kos cewek? No, thanks.”

Aku terkekeh pelan. “Tawaranku tadi hanya sekedar basa-basi.”

"Dasar!" seru Alvaro. "Lain kali jangan mancing-mancing, Nayla. Aku bisa aja nekat masuk ke kosanmu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ovy Mamanya Arum
hey... lain x jngn basa basi nayla, ingat itu
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
ooo kirain bakal jadi laki2 pemaksa al, soalnya tunangannya maksa bgt gitu syukurlah nayla tiba2 ngga terbelenggu
goodnovel comment avatar
sivalatina
hati-hati, Nay. Pria seperti Alvaro mudah bikin linglung
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 2

    Sesampainya di rumah, Alvaro ternyata sudah lebih dulu tiba. Mobil yang ku bawa baru saja berhenti di garasi ketika dia keluar dari pintu depan dengan langkah cepat. Begitu melihat Raina yang tertidur di kursi belakang, senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.“Biar Papa aja,” katanya pelan sambil membuka pintu dan dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Raina ke dalam pelukannya. Kepala gadis kecil itu bersandar di bahu Alvaro, nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka—tampak benar-benar lelap.Aku tersenyum, menatap pemandangan itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Sementara Alvaro melangkah masuk ke rumah membawa Raina ke kamarnya, aku menggandeng tangan Rey menuju taman belakang.“Ganti baju nanti aja, Kak,” ujarku pelan. “Kita duduk sebentar di gazebo.”Rey mengangguk pelan tanpa bicara. Wajahnya tampak murung, matanya menunduk. Di tanganku, genggamannya terasa lemah—tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh cerita.Kami duduk di gazebo yang menghadap taman bel

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 1

    Tiga tahun kemudian—Udara siang ini terasa hangat, matahari tidak terlalu terik, dan angin berhembus lembut di halaman sekolah tempat Rey belajar. Di lobi sekolah yang luas dan dipenuhi mural warna-warni, aku duduk di bangku panjang sambil memangku Raina yang kini sudah berusia tiga tahun.Rey hari inipulang lebih awal karena sekolahnya baru saja mengadakan kegiatan lomba antar kelas untuk memperingati Hari Anak Nasional. Setelah acara selesai, guru-guru memutuskan membubarkan siswa sebelum jam makan siang supaya mereka bisa beristirahat di rumah.“Ma, Kak Rey lama banget,” gumam Raina dengan pipi gembulnya menempel di bahuku. Suaranya manja, dan tangannya sibuk memainkan ujung rambutku.Aku tersenyum sambil merapikan poni di dahinya. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi juga keluar.”Raina mengerucutkan bibirnya. “Tapi Adek mau kasih bunga sekarang.”Aku menatap bunga kecil dari kertas warna yang digenggamnya erat. Sejujurnya, itu hasil kreasinya sendiri tadi pagi, yang dia buat dengan pen

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Akhir yang Manis

    Begitu suster masuk membawa bayi mungil kami, suasana kamar langsung berubah riuh.Bunda Zura dan Bapak yang baru saja datang beriringan langsung bereaksi seperti sedang berebut harta karun. Wajah mereka sama-sama berbinar, mata tak lepas dari sosok kecil yang dibedung di pelukan suster.“Ya ampun cucu Nenek!” seru Bunda sambil menengadahkan tangan, siap menyambut.“Eh, tunggu dulu! Gantian, Bun! Biar Bapak dulu yang gendong,” potong Bapak cepat, separuh langkahnya sudah maju ke arah suster.Suster sampai terkejut, menatap bergantian antara keduanya yang seperti sedang lomba siapa paling cepat menyentuh cucu.Aku dan Alvaro hanya bisa saling pandang sambil menahan tawa melihat dua orang tua itu nyaris ‘adu cepat’ di depan perawat.“Pak, Bun, pelan-pelan, nanti Adek bingung,” kata Alvaro sambil berdiri menenangkan.Tapi tentu saja, ucapan itu diabaikan.Bunda dan Bapak tetap saling adu pandang seperti dua anak kecil yang sama-sama tak mau mengalah.Akhirnya Bunda berucap cepat sambil m

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Hari yang Ditunggu

    Tangisku bercampur dengan teriakan kecil bayi yang baru saja lahir. Suara itu—suara paling indah yang pernah kudengar seumur hidupku.“Selamat ya, Dokter Nayla. Bayinya perempuan, sehat dan cantik sekali,” ujar bidan sambil mengangkat bayi mungil itu agar aku bisa melihatnya.Air mataku langsung mengalir. Aku menatap makhluk kecil yang baru saja hadir ke dunia, kulitnya merah muda, tangisnya kuat, dan di wajah mungilnya seolah ada bayangan dari Alvaro.“Mas,” bisikku dengan suara serak, “Lihat anak kita.”Alvaro mendekat, wajahnya antara lega dan tidak percaya. Tangannya bergetar saat menyentuh pipi bayi itu. “Ya Allah, dia sempurna sekali,” gumamnya.Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Beberapa detik kemudian, aku mulai merasa pusing. Tubuhku lemas, dan pandanganku mengabur. Suara mesin monitor di sebelahku tiba-tiba berbunyi lebih cepat.“Dok… aku… pusing banget…” suaraku nyaris tak terdengar.Wajah Alvaro langsung panik. “Dokter! Ada apa dengan istri saya?!”Dokter yang tadi

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Semakin Dekat

    “Nay, lihat deh,” katanya sambil menurunkan kotak ke lantai. “Aku beli waktu mampir ke toko bayi tadi. Gemes banget, sumpah.”Ibu yang duduk di kursi seberang langsung mencondongkan badan, matanya berbinar. “Lucu-lucu sekali warnanya.”“Si cantik belum lahir sudah dapat banyak hadiah,” sahut Bunda Zura sambil terkekeh pelan. Tangannya mengambil satu setelan berwarna peach dengan renda di bagian leher. “Ya ampun, kecil banget. Ini pasti baru lahir ukuran nol bulan, ya?”Ila mengangguk antusias. “Iya, Bun. Aku sengaja pilih warna-warna pastel. Ada juga selimut rajut, topi, sama kaus kaki mungil. Aduh, gak sabar pengen lihat si adek pakai semua ini.”“Ila, kamu tuh kayaknya lebih semangat dari aku, deh,” ujarku.“Ya jelaslah!” jawabnya cepat. “Aku udah siap jadi tante kesayangan Adek bayi dan tentunya Kakak Rey.”Bunda dan Ibu serempak tertawa. Ibu lalu berkata, “Nay, kamu udah siap, kan? Sekarang tinggal tunggu waktunya aja. Kalau ada kontraksi sedikit pun, langsung kasih tahu, ya. Jang

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Menunggu Sang Buah Hati

    Usia kandunganku sekarang sudah masuk tiga puluh sembilan minggu. Menurut dokter, HPL-ku tinggal seminggu lagi. Rasanya campur aduk — antara nggak sabar, deg-degan, tapi juga sedikit takut. Setiap malam, aku selalu gelisah sendiri, membayangkan gimana nanti proses lahirannya.Sejak usia kandunganku delapan bulan, Ibu sudah pindah ke Jakarta. Alhasil, rumah jadi makin ramai. Apalagi Bunda Zura kelihatan bahagia banget punya partner baru di dapur.Setiap pagi, suara mereka berdua selalu jadi alarm alami di rumah. Kadang terdengar dari dapur, kadang sampai ke ruang tamu.Biasanya Alvaro cuma geleng-geleng kepala sambil nyeruput kopi. Kalau dua ratu dapur udah turun tangan, staf hotel aja kalah ramai.Aku sendiri—resmi jadi tuan putri. Semua orang berlomba-lomba melayaniku.Bunda melarangku melakukan banyak pekerjaan— padahal aku hanya ingin membantu memotong sayuran. Oma Narumi setiap sore datang hanya untuk memastikan aku cukup makan buah. Ibu nggak ngebolehin aku cuci piring atau nyapu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status