Penthouse di pusat Jakarta terlalu tenang untuk ukuran orang yang baru saja terlibat dalam pertunangan dadakan. Lampu-lampu kota terlihat dari balik jendela besar ruang tengah, memantul di lantai marmer warna krem.
Aku berdiri di ambang pintu, masih memakai gaun yang belum sempat diganti. Tas kecil kupeluk erat, entah kenapa terasa seperti satu-satunya hal yang masih bisa kupegang. Kaki pegal karena heels, tapi pikiranku lebih sibuk memikirkan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa aku berakhir di sini? “Aku tahu ini mendadak,” suara Alvaro terdengar dari arah dapur. Dia sedang menuangkan teh panas ke dua cangkir. “Tapi lebih mudah menjelaskan semuanya di sini, daripada di depan tamu yang bisa langsung menyebarkannya ke media.” Aku menatap punggungnya—tenang dan santai, seolah pertunangan palsu ini hanya agenda tambahan di hari sibuknya. “Kamu anggap pertunangan dadakan ini sebagai cara paling mudah?” “Kalau disebut ‘bencana’, itu justru jadi santapan empuk buat media.” Aku mendengkus. “Jadi kamu lebih pilih menarik orang asing ke atas panggung, daripada mengakui kalau tunanganmu kabur?” Alvaro akhirnya menoleh. Di tangannya, cangkir teh masih mengepulkan uap. “Kamu bukan orang asing. Kamu seorang dokter, reputasimu bersih, dan namamu Nayla. Cukup ‘kebetulan’ untuk menyelamatkan nama baik keluarga Juhar.” Aku tertawa singkat. “Kebetulan? Hidupmu penuh strategi, bukan keberuntungan.” Sebelum dia sempat membalas, suara kecil terdengar dari arah kamar. “Mama?” Aku refleks menoleh. Rey berdiri di sana, mengucek matanya yang masih mengantuk. Piyama bermotif roket tampak kebesaran di tubuhnya, dan dia memeluk erat boneka dinosaurus. “Rey?” Aku langsung jongkok dan merentangkan tangan. Dia berjalan mendekat lalu memelukku erat. “Aku mimpi dikejar robot. Tapi Mama nggak ada di sebelahku.” Jantungku terasa sesak—pelan, tapi menekan. Alvaro mendekat. “Rey, Mama perlu istirahat. Nanti kita baca buku dinosaurus lagi.” “Tapi peluk dulu—” Aku mengangguk. “Peluk sebentar, lalu Rey tidur, ya?” Rey mengangguk, menempelkan pipinya ke bahuku sebentar, lalu kembali ke kamar. Sebelum pintunya tertutup, dia melambaikan tangan dan berkata, “Jangan kabur ya, Mama. Aku suka kamu.” Begitu pintu menutup, aku berdiri lagi. Ruangan kembali hening. “Sejak kapan dia mengira aku ibunya?” bisikku, masih tidak percaya. “Sejak kamu muncul di panggung dan tersenyum. Dia nggak pernah bersikap seperti itu ke orang lain.” “Dan menurutmu itu cukup jadi alasan untuk nyeret aku masuk ke masalah keluargamu?” Alvaro meletakkan cangkir teh di atas meja. “Kamu bukan cuma menyelamatkanku. Kamu juga bikin Rey bahagia lagi. Aku ingin itu tetap bertahan, setidaknya sampai semuanya reda.” Aku menatapnya lama. Wajahnya datar. Nggak kelihatan sedang bohong. “Apa yang kamu mau?” tanyaku. “Kesepakatan. Kita pura-pura tunangan selama enam bulan. Setelah itu, kita pisah baik-baik.” Aku tertawa singkat. “Kamu pikir ini gampang? Aku punya kerjaan dan hidup yang harus aku jalani.” “Kamu juga punya adik yang masih sekolah. Kamu kerja di Rumah Sakit Juhar. Dan kosanmu jatuh tempo akhir bulan.” Mataku membulat. “Kamu mengancamku?” tanyaku tajam. “Fakta,” ucapnya datar. “Pilihan ada di tanganmu. Tapi kalau kamu mundur, tanggung sendiri resikonya— media, gosip, dan mungkin kamu kehilangan pekerjaan.” Aku menggertakkan gigi. Dia terlalu tenang, terlalu rasional. “Aku setuju, tapi dengan beberapa syarat.” “Sebutkan saja.” “Jangan ikut campur urusan pribadiku, jangan ganggu pekerjaanku, dan yang paling penting—jangan bawa-bawa perasaan.” “Perasaan bukan prioritas utama dalam hidupku.” Kami berjabat tangan. Canggung, kaku, dan jelas terasa seperti urusan bisnis, bukan kerja tim. “Rey gimana?” tanyaku, pelan. “Dia akan mengira kamu Mamanya. Untuk sementara, kita beritahu secara perlahan.” Aku ingin bilang ini gila. Tapi suara polos Rey masih terngiang di telingaku, saat memanggilku "Mama." Karena media masih berkeliaran di depan apartemen, Alvaro memintaku menginap. “Kamu bisa tidur di kamar tamu. Aku pastikan Rey nggak akan masuk malam ini,” katanya. Aku mengangguk. Badan capek, kepala terasa berat. Alvaro meminjamkan pakaiannya untukku—anehnya pas di badan—aku masuk ke kamar tamu yang wangi lavender. Sebelum tidur, aku akan berendam di bathtub, mencoba menenangkan diri setelah malam yang kacau. Air hangat lumayan membantu mengurangi tegang di bahu. Mungkin aku bisa tidur. Mungkin besok pagi— semua yang terjadi hanya sebuah mimpi belaka. Tok tok tok! Terdengar ketukan keras di pintu kamar, lalu suara tangisan menyusul. “Mamaaa… Mama… Rey takut…” Tanpa pikir panjang, aku berdiri dan cepat melilitkan handuk. Tubuhku masih basah kuyup saat membuka pintu. Rey berdiri di depan kamar, menangis. “Kenapa, Rey?” Aku jongkok, memeluknya. “Mimpi buruk lagi?” Dia mengangguk. “Monster air makan boneka Dino.” “Ya ampun,” gumamku, berusaha menenangkannya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Alvaro muncul dan langsung diam melihatku— hanya pakai handuk, sambil menggendong Rey. “Apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan suara lantang. Aku langsung sadar. Handukku mulai melorot sedikit. “Ya ampun!” Aku buru-buru berdiri tegak. “Rey nangis! Aku cuma—” “Cepat masuk kamar dan ganti baju. Sekarang.” Nada suaranya datar, tegas. Seperti bos yang baru aja lihat laporan gagal. “Nggak usah bentak-bentak!” balasku kesal. Rey masih menempel di tubuhku. Alvaro menghampiri, lalu pelan-pelan mengambil Rey dari pelukanku. “Rey, Mama mau ganti baju dulu. Nanti peluk lagi, ya?” Rey mengangguk, tapi tangannya masih berusaha meraih handukku. Aku hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan, untung Alvaro sigap. Begitu pintu kamar tertutup, aku menyandarkan punggung ke pintu. Nafasku berat. “Ya Tuhan, ini baru hari pertama.” Dan aku baru saja nyaris telanjang di depan pria yang bahkan bukan siapa-siapaku.Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”
Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka
“Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku
Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men
Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."
Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap