Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang Tuan Muda / Antara Dusta Dan Diam

Share

Antara Dusta Dan Diam

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 13:03:00

Penthouse di pusat Jakarta terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja melakukan pertunangan dadakan. Lampu-lampu kota berkelap-kelip dari balik jendela besar di ruang tengah, menciptakan pantulan cahaya yang lembut di lantai marmer berwarna krem.

Aku berdiri di ambang pintu dengan gaun yang belum sempat ku ganti, memeluk tas kecilku erat-erat seolah itu satu-satunya hal yang masih nyata dalam hidupku. Kaki masih pegal karena heels lima senti, tapi otakku lebih sibuk merunut kejadian tadi—dan bertanya: bagaimana bisa aku berakhir di sini?

“Aku tahu ini mendadak,” suara Alvaro terdengar dari arah dapur. Dia sedang menuangkan teh panas ke dalam dua cangkir. “Tapi percayalah, lebih mudah menjelaskan segalanya disini daripada di depan para tamu yang akan menyebarkannya gosip ke media esok pagi.”

Aku menatap punggungnya—tegak, tenang, seolah semua ini hanya agenda tambahan di hari sibuknya. “Kamu menyebut pertunangan palsu ini sebagai hal ‘lebih mudah’?”

“Kalau menyebutnya ‘bencana’, media akan menyukainya.”

Aku mendesis pelan. “Dan kamu lebih memilih menarik wanita asing ke panggung pertunangan daripada mengakui tunanganmu kabur?”

Alvaro akhirnya menoleh. Cangkir di tangannya mengepulkan uap tipis. “Kamu bukan wanita asing. Kamu dokter. Latar belakangmu bersih. Namamu juga Nayla. Cukup ‘kebetulan’ untuk menyelamatkan nama baik keluarga.”

Aku tertawa pendek, getir. “Kebetulan? Duniamu penuh perhitungan, Tuan Muda. Jangan pura-pura percaya pada kebetulan.”

Sebelum dia sempat menjawab, suara kecil terdengar dari depan kamar.

“Mama?”

Aku menoleh kaget.

Rey berdiri di sana, mengucek mata dengan tangan mungilnya. Piyama motif roket masih kebesaran di tubuh kurusnya, dan boneka dinosaurus menjuntai di tangannya.

“Rey?” Aku refleks menjongkok, membuka tangan. Bocah itu langsung berjalan mendekat dan memelukku erat.

“Aku mimpi dikejar robot. Tapi Mama nggak ada di samping Rey.”

Jantungku seperti diremas. Pelan, tapi menyakitkan.

Alvaro mendekat. “Rey, Mama harus istirahat. Nanti kita baca buku dinosaurus lagi, ya?”

“Tapi peluk dulu—”

Aku mengangguk. “Peluk sebentar, lalu Rey tidur, oke?”

Rey mengangguk kecil, lalu menempelkan pipinya di bahuku beberapa detik, sebelum berjalan kembali ke kamar. Tapi sebelum pintu tertutup, dia melambaikan tangan dan berkata, “Jangan kabur ya, Mama. Aku suka kamu.”

Begitu pintu kamar tertutup, aku bangkit perlahan. Hening kembali menguasai ruangan.

“Sejak kapan dia menganggap aku Mamanya?” bisikku pelan, hampir tak percaya.

“Sejak kamu muncul di panggung dan tersenyum seperti—ya, seperti ibunya. Dia jarang begitu pada siapa pun.”

“Dan kamu pikir itu alasan yang baik untuk menyeretku ke dalam drama keluarga Juhar?”

Alvaro meletakkan cangkir teh di meja. “Dengar. Kamu bukan hanya menyelamatkanku. Kamu juga membuat Rey tersenyum lagi. Dan aku ingin mempertahankan itu. Setidaknya, sampai berita tentang pertunanganku mereda.”

Aku menatapnya, lama. Dia tidak sedang main-main. Wajahnya terlalu datar untuk orang yang sedang berbohong.

“Apa yang kamu inginkan?” tanyaku akhirnya.

“Kesepakatan. Kita pura-pura bertunangan selama enam bulan. Lalu setelah semuanya reda, kita berpisah baik-baik.”

Aku tertawa hambar. “Kamu pikir ini semudah main rumah-rumahan? Aku punya pekerjaan. Aku punya kehidupan.”

“Kamu juga punya adik yang masih sekolah. Kamu bekerja di rumah sakit Juhar. Dan, kontrakan mu harus diperpanjang akhir bulan ini.”

Mataku langsung membulat.

“Ancaman?” tanyaku tajam.

“Fakta,” jawabnya dingin. “Tapi aku tak akan memaksamu. Kalau kamu mau keluar dari ini, silakan. Tapi siap-siap hadapi media, dan mungkin—kamu akan kehilangan segalanya.”

Aku menggertakkan gigi. Orang ini terlalu logis, terlalu kejam, terlalu tenang.

“Kalau aku setuju, aku punya syarat.”

“Silakan.”

“Jangan campuri urusan pribadiku. Jangan ganggu pekerjaanku. Dan yang paling penting—jangan pernah libatkan perasaan.”

“Hm. Perasaan tidak pernah masuk dalam agenda hidupku.”

Kami berjabat tangan. Tangan dingin, hangat, dan asing—dalam satu genggaman yang lebih menyerupai perang diam-diam daripada kerja sama.

“Lalu soal Rey?” tanyaku, ragu.

“Dia akan mengira kamu mamanya. Untuk sementara. Sampai dia siap tahu yang sebenarnya.”

Aku ingin berkata itu gila. Tapi bagian terdalam dari hatiku sudah menyerah sejak mendengar suara polos itu memanggilku “Mama.”

Karena sudah larut malam dan media masih berseliweran di depan apartemen, Alvaro memintaku untuk menginap.

“Tidur di kamar tamu. Aku akan pastikan Rey tidak masuk ke sana malam ini,” katanya singkat.

Aku mengangguk. Rasa lelah sudah menumpuk dan seluruh tubuhku terasa seperti habis dihantam truk kontainer. Dengan baju pinjaman— yang entah bagaimana ada ukuran pas untukku, aku melangkah ke kamar tamu yang luas dan beraroma lavender. Tapi sebelum rebahan, aku memutuskan untuk berendam sebentar di bathtub, mencoba menenangkan tubuh dan pikiranku yang masih panas karena kesepakatan gila malam ini.

Air hangat perlahan meluruhkan ketegangan dari bahuku. Aku menarik napas lega. Mungkin aku bisa tidur. Mungkin semua ini cuma mimpi buruk yang akan selesai begitu aku bangun besok pagi.

Tok tok tok!

Ketukan keras di pintu kamar membuatku refleks duduk tegak. Lalu—

Tangis.

Tangis kecil, ketakutan, memanggil-manggil namaku.

“Mamaaa… Mama… Rey takut…”

Tanpa pikir panjang, aku berdiri dan melilitkan handuk di tubuhku. Masih basah kuyup, aku membuka pintu kamar dan melihat Rey berdiri di depan pintu, tubuhnya gemetar kecil, wajahnya basah oleh air mata.

“Ada apa, Rey?” Aku jongkok, memeluknya. “Mimpi buruk lagi?”

Dia mengangguk. “Monster air makan boneka Dino.”

“Ya ampun,” gumamku sambil menenangkannya.

Tapi saat itulah langkah kaki berat mendekat. Dan tiba-tiba Alvaro berdiri di depanku—dengan mata terbelalak melihat aku dalam keadaan basah kuyup, hanya dibalut handuk tipis, sambil menggendong Rey.

“Apa yang kamu lakukan?!” suaranya terdengar—lebih pada terkejut daripada marah, tapi cukup untuk membuatku sadar.

Aku menatap ke bawah. Handukku mulai melorot sedikit.

“Astaga!” Aku buru-buru menegakkan tubuh. “Rey menangis! Aku cuma—”

“Masuk kamar. Pakai baju. Sekarang.”

Nada suaranya datar, tapi tegas. Seolah aku adalah asisten pribadi yang habis menjatuhkan laporan keuangan di tengah konferensi.

“Aku tahu! Kamu nggak perlu membentak!” sergahku. Rey masih menempel padaku seperti lintah kecil.

Alvaro menghampiri Rey dan mengambilnya dari pelukanku dengan hati-hati.

“Rey, Mama mau ganti baju dulu. Nanti kamu bisa peluk lagi,” ujarnya lembut.

Rey mengangguk pelan, meski tangannya masih berusaha menggenggam pinggir handukku. Aku hampir jatuh karena keseimbanganku hilang, tapi untung Alvaro cepat menangkap Rey.

Begitu pintu kamar tertutup, aku menempelkan punggung ke daun pintu, napas terengah.

“Ya Tuhan, ini baru hari pertama.”

Dan aku baru saja telanjang di depan pria yang bukan siapa-siapaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
eany ajjach
6 bulan tanpa melibatkan perasaan?? kok gk yakin ya... apalagi ada rey yg memaksa mereka dalam radius dekat
goodnovel comment avatar
~•°Putri Nurril°•~
selalu saja the power of nama besar selalu jadi andalan. sabar yaa nay..
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
ada apa sebenernya Al kamu udah punya Rey dan calon tunangan kamu tiba tiba kabur masih pwnuh mosteri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Apakah Benar?

    Sesampainya di kediaman utama keluarga Juhar, suasananya tampak seperti biasa—tenang dan rapi, khas rumah keluarga terpandang. Mobil berhenti di halaman luas, dan sebelum Alvaro sempat mematikan mesin, ponselnya berdering. Nama sekretarisnya tertera di layar.“Kamu masuk duluan, ya. Aku nyusul setelah angkat telepon,” ucapnya singkat.Aku mengangguk dan turun dari mobil. Udara sore terasa hangat saat aku berjalan menuju pintu utama. Baru saja aku akan mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam.“Ila?” tanyaku, sedikit terkejut melihatnya berdiri di sana masih mengenakan pakaian kerja, dengan raut wajah yang tampak tegang."Nay, ikut aku ke taman samping sebentar," katanya singkat.Aku mengernyit. “Kenapa? Ada apa?”“Ada hal penting dan tidak bisa dibicarakan di dalam,” jawabnya cepat, sambil menoleh ke arah dalam rumah, seolah memastikan tidak ada yang mendengar.Tanpa menunggu persetujuanku, dia langsung berjalan ke arah samping rumah. Aku buru-buru mengikutinya, merasa ada sesuatu

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Harus Di lawan!

    Aku pikir ancaman wanita semalam akan benar-benar terjadi. Ternyata tidak. Hingga sore hari aku terus memantau media sosial, membuka berita gosip selebritis, bahkan sesekali mengecek akun-akun fanbase keluarga Juhar. Tapi tak ada satu pun kabar negatif tentang Alvaro. Yang muncul justru kabar soal rencana pernikahan kami. Beberapa akun gosip memuat foto candid dari acara keluarga kemarin. Judulnya cukup heboh: “Tunangan Pewaris Juhar Group Siap Menikah!” Aku sempat membaca komentar-komentarnya. Kebanyakan orang menyoroti wajah Alvaro yang dianggap terlalu dingin untuk orang yang sedang jatuh cinta. Tapi tidak ada satu pun yang menyebut nama Felisha atau berita soal anak. Aku akhirnya bisa bernapas lega untuk pertama kalinya sejak kejadian semalam. Setidaknya untuk sekarang, semuanya masih aman. Setelah selesai visit ke ruang rawat inap, aku segera berjalan ke kantin rumah sakit. Mira sudah menunggu di pojok dekat jendela, duduk santai dengan dua gelas es kopi susu di atas meja. “Tu

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Mantan Atau Teman Kencan?

    Wanita itu masih berdiri di tempat, lalu mulai melangkah mendekat meski terlihat ragu. “Alvaro, kamu serius nggak mau menyapaku?” ucapnya dengan suara yang lebih keras. “Sudah bertahun-tahun nggak ketemu, tapi kamu segitunya, ya? Cuek banget.”Aku melirik Alvaro, berharap dia menjelaskan sesuatu. Tapi dia malah melangkah pergi. “Ayo, Nay. Kita butuh udang, brokoli, sama paprika, kan?” ujarnya santai, seolah nggak ada apa-apa.Aku mengikuti langkahnya, tapi tak bisa menahan diri untuk berbisik pelan, “Mas, siapa dia?”Alvaro tidak langsung menjawab. Dia berhenti di rak sayur, mengambil sebungkus brokoli dan memeriksanya. “Penjelasannya nanti aja, di mobil,” katanya datar.Sementara itu, wanita tadi masih berdiri tak jauh dari kami. Tatapannya kini bukan lagi ragu, tapi campuran antara kecewa dan emosi yang belum tuntas.“Aku cuma mau bicara sebentar,” katanya lagi. “Lima menit aja cukup, Al. Aku butuh penjelasan. Kamu ninggalin aku tanpa satu kata pun.”Kali ini Alvaro langsung menoleh

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Siapa Wanita Itu?

    Sesampainya di Jakarta, aku dan Alvaro langsung kembali ke apartemen—kali ini tanpa Rey. Si ganteng kecil itu masih ‘ditahan’ oleh Bunda Zura dan Oma Narumi. Awalnya aku sempat ragu meninggalkannya di kediaman keluarga Juhar. Aku bahkan sudah bersiap menginap di sana agar bisa mengawasinya, takut kalau dia bosan atau tiba-tiba rewel. Tapi Alvaro tidak ingin menginap. Dia mengajakku pulang dengan alasan ada beberapa berkas penting yang harus dibacanya—dan berkas itu hanya ada di apartemen. Di perjalanan pulang, Alvaro sempat melirikku sekilas sambil bertanya, “Ada yang mau kamu beli sebelum kita pulang ke apartemen?” Aku sempat berpikir sejenak, mencoba mengingat isi kulkas. “Kayaknya kita kehabisan udang, terus sayuran hijau juga tinggal sisa bayam yang udah layu.” Alvaro mengangguk. “Oke. Kita mampir ke supermarket dulu, ya.” Dia langsung mengarahkan mobilnya keluar dari jalur utama tol dan mengambil arah menuju supermarket. Sinar matahari sore menyusup masuk lewat kaca mobil, m

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Godaan Si Kembar

    "Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta, minibus ini seharusnya jadi tempat beristirahat dengan tenang dan nyaman." Harusnya. Kalau saja El dan Ila tidak duduk di belakang kami— dan tidak kompak menjadi buzzer keluarga dadakan. "Gimana rasanya 'quality time' berdua di ruang ganti?" El bertanya sambil mencondongkan badan ke arah kami. Ila menyikut pelan sambil menyeringai. "Deg-degan, ya? Atau bajunya sekarang udah punya gelar—saksi bisu momen panas di ruang ganti?" Aku mendesah, nyaris menutupi wajah dengan bantal kecil di pangkuanku. “Astaga, kalian berdua bisa diem nggak sih?” Alvaro, yang duduk di sebelahku hanya tertawa ringan. “Mereka emang gitu, Nay. Anggap aja bumbu biar perjalanan nggak ngebosenin.” “Mas Al, tolong bantu jelasin. Aku capek jelasin terus,” gerutuku. “Justru karena kamu jelasin terus, mereka makin semangat menggoda,” balasnya santai sambil bersandar. Ila bersedekap dengan ekspresi pura-pura serius. “Kita kan cuma menyuarakan kekhawatiran,” katanya, se

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Manjanya Alvaro

    Selesai mandi dan berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Alvaro masih berbaring di ranjang dengan mata terpejam. "Mas Al, yuk turun dulu. Kamu belum sarapan, kan?" ucapku sambil merapikan beberapa baju di dalam koper. Dia hanya menggeliat malas, lalu menoleh ke arahku. “Nanti dulu, barang-barangku masih berantakan. Aku belum beresin apapun.” Aku mengerutkan kening. “Lho, emang semalam kamu ngapain aja sih?” “Capek, habis nganter kamu pulang langsung tidur,” jawabnya sambil duduk dan menguap lebar. Aku menggeleng pelan, lalu berjalan ke pintu connecting door dan membuka kuncinya. “Aku cek ke kamar kamu, ya.” “Siap-siap kaget,” ucapnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. Begitu aku masuk ke kamar sebelah, aku langsung terdiam. Mataku menyapu ruangan yang terlihat seperti habis diterjang angin ribut. Baju berserakan di atas koper yang terbuka, kemeja batik lamaran masih tergantung di kepala ranjang, dan handuk te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status