Home / Romansa / Kontrak Cinta Sang Tuan Muda / Kemana Perginya Semua Berita?

Share

Kemana Perginya Semua Berita?

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 16:20:22

Setiap tenaga medis pasti punya jam favorit. Buatku, itu jam istirahat siang— momen paling berharga setelah seharian dikejar tangisan bayi, rengekan anak tantrum, dan orang tua pasien yang lebih galak dari penyakitnya. Di hari ini saja, aku sudah menangani puluhan bayi demam, lima anak tantrum, dan satu ibu yang yakin semua masalah anaknya gara-gara angin duduk. Saking lelahnya, aku hampir menjatuhkan nampan berisi sop ayam.

Baru saja sendok pertama hampir masuk mulut, ponselku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku meringis: MIRA (🔥💅🏼💃🏻).

Aku menatap supku dengan pasrah. “Maaf, Sup. Sepertinya kita belum berjodoh hari ini.”

Aku menekan tombol hijau dan meletakkan ponsel ke telinga. “Halo, Mir—”

“NAYLA!” suara di seberang terdengar seperti sirine ambulans rusak. “Jangan bilang kamu amnesia, ketabrak becak, atau diculik alien— kenapa kamu nggak datang ke resepsi pernikahanku?!”

Aku menarik napas panjang. Inilah momen yang paling kuhindari.

 “Mira, aku bisa jelasin—”

"Jangan bilang kamu ketiduran! Atau tiba-tiba harus operasi jantung bayi!"

"Bukan," gumamku pelan. "Aku masuk ke ballroom yang salah."

 “HAH?” Nadanya naik satu oktaf.

 “Sumpah, Mir. Aku datang. Tapi ternyata aku masuk ke ballroom sebelah. Dan kesalahan fatal terjadi begitu cepat.”

 Hening sejenak di seberang.

 “Too fast how?” tanya Mira.

 Aku menunduk di atas nampan makan siangku. “Aku... eh… aku malah jadi tunangannya Alvaro Arsenio Juhar.”

 Hening lagi. Tapi kali ini lama. Sangat lama.

 “Mira?”

 Tiba-tiba suara Mira kembali—dengan nada histeris.

 “TUNANGAN SIAPA?!!!”

 “Anak pemilik rumah sakit ini. Yang—ya, kebetulan tempat tunangannya di ballroom sebelah ballroom resepsi pernikahanmu.”

 “Jangan bercanda. Kamu ini kalau ngarang cerita selalu maksimal, tapi ini— THIS IS PEAK NAYLA!”

 “Aku nggak ngarang! Aku ditarik masuk ke ballroom karena tunangan aslinya kabur. Semua orang ngira aku ‘Nayla’ yang sebenarnya.”

 Mira terdiam lagi.

 Lalu—

 “YA ALLAH, NAYLA! KENAPA KAMU HIDUP SEPERTI DI SINETRON DAN AKU NGGAK DIAJAK?!” jeritnya.

 Aku menutup mata, memijat pelipis. “Bisa tolong turunin volume suaramu? Aku lagi di kantin.”

 “Eh, eh, bentar. Jadi kamu sekarang tunangan pura-pura sama Alvaro? Itu CEO paling susah didekati se-Indonesia Raya? Yang digosipin pacaran sama artis tapi nggak pernah mau klarifikasi?”

 “Ya,” desahku, pasrah.

Mira mendengkus panjang. “Oke. Aku butuh dua hal. Satu, bukti. Dua, cerita panjang dengan popcorn.”

Aku tertawa lirih. “Nanti malam aku video call, oke? Tapi janji jangan sampai bocor.”

 “Fine. Tapi kalau dalam seminggu kamu tiba-tiba viral di TokTok karena soft launch sama Alvaro, aku resmi mengklaim sebagai sahabat Nyonya Juhar.”

 “Mir—”

 “Oke, oke. Aku sahabat pengertian. Tapi Nay, serius. Kamu nggak apa-apa? Aku tahu kamu perempuan paling tahan banting, tapi ini gila banget menurutku.”

 Aku terdiam sebentar. Lalu menjawab jujur.

 “Aku juga nggak tahu, Mir. Semuanya masih terasa membingungkan. Tapi anehnya aku nggak langsung kabur.”

 “Karena anaknya?”

 “Karena semuanya. Tapi ya, Rey salah satunya.”

 “Aku kenal kamu. Kalau kamu masih bertahan, berarti ada alasan kuat. Tapi kalau kamu butuh kabur ke Jogja dan menyamar jadi penjual bakpia, aku siap bantu.”

 Aku tersenyum. Hangat dan tulus. “Thanks, Mir. Aku balas semua ini dengan nyumbang honeymoon kedua kalian nanti.”

 “Deal. Tapi aku juga akan nyumbang ide untuk drama pertunangan instan edisi dokter anak dan pewaris rumah sakit.”

Aku memandangi layar ponsel yang kembali gelap, lalu melirik sup ayam di hadapanku. Uapnya sudah menghilang. Isinya juga kelihatan sedih, seperti tahu dirinya akan ditinggalkan.

 Maaf ya, Sup. Hari ini kita memang nggak berjodoh.

 Bukannya makan, aku malah membuka Insta9ram. Jari-jariku lincah mengetik nama lengkap: Alvaro Arsenio Juhar. Akun centang biru itu muncul di urutan paling atas. Postingan terakhirnya tiga minggu lalu—tentang konferensi kesehatan internasional di Swiss. Foto-fotonya formal, berkelas, dan tanpa satu pun jejak wanita. Bahkan caption-nya pun kaku: "Proud to represent Indonesia at the Global Medtech Leaders Summit."

 Aku beralih ke kolom tag. Aku yakin semalam banyak orang yang merekam. MC-nya aja bayarannya dua digit, lighting-nya kayak konser, dan dekorasi panggung sangat mewah.

 Tapi—anehnya, nihil.

 Tak ada satu pun postingan soal pertunangan Alvaro. Bahkan akun-akun gosip yang biasanya punya mata di mana-mana juga diam seribu bahasa.

 “Aneh—” gumamku pelan.

 Aku menelusuri akun gosip, lalu mencari pakai kata kunci: Alvaro Juhar, tunangan, ballroom, pertunangan Tuan Muda Juhar.

 Semua hasilnya nol besar. Padahal aku yakin banget semalam ada wartawan. Beberapa orang bahkan pakai ID card media online. Aku sempat melirik salah satu kamera mereka saat berdiri di dekat panggung.

 Tapi sekarang?

 Seolah semuanya dihapus?

Aku bersandar di kursi, menatap kosong ke langit-langit kantin yang dipenuhi lampu LED dan ventilasi sentral. Semuanya terasa terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu bersih— seperti sedang hidup dalam skenario yang bukan milikku.

 Apa mungkin Alvaro atau keluarganya—atau dua-duanya—memiliki kekuatan untuk mengontrol media?

 Aku bukan anak kecil yang baru keluar dari desa dan percaya semua hal viral pasti masuk FYP. Tapi tetap saja, ini aneh.

 Satu-satunya jejak yang tersisa cuma cincin di jari manisku—yang sampai sekarang belum berani aku lepas. Bukan karena enggan melepas, tapi karena aku nggak tahu ini emas beneran atau cuma properti tunangan pura-pura. Lagian, siapa tahu barangnya harus dikembalikan nanti. Aku kan anak baik.

 “Jadi kamu sekarang tunangan pura-pura sama Alvaro?”

 Suara Mira mengiang lagi di kepalaku. Dan aku terpaksa mengakui, ya. Aku sekarang tunangan pura-pura dari pria yang bisa membuat berita pertunangannya menghilang dari muka internet.

 Aku menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sejenak.

 Kalau ini semua hanya mimpi, boleh nggak aku minta bangunnya nanti aja? Pas sudah lunas bayar kosan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
siapa yg narik nayla ke balroom, emang dia langsung ngeh gitu klo ini nayla
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
brapa lama emang nay nunggak uang kosannya dihh nay bangun bangun...
goodnovel comment avatar
sivalatina
Nay, jual aja cincinnya buat beli apartemen ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 2

    Sesampainya di rumah, Alvaro ternyata sudah lebih dulu tiba. Mobil yang ku bawa baru saja berhenti di garasi ketika dia keluar dari pintu depan dengan langkah cepat. Begitu melihat Raina yang tertidur di kursi belakang, senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.“Biar Papa aja,” katanya pelan sambil membuka pintu dan dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Raina ke dalam pelukannya. Kepala gadis kecil itu bersandar di bahu Alvaro, nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka—tampak benar-benar lelap.Aku tersenyum, menatap pemandangan itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Sementara Alvaro melangkah masuk ke rumah membawa Raina ke kamarnya, aku menggandeng tangan Rey menuju taman belakang.“Ganti baju nanti aja, Kak,” ujarku pelan. “Kita duduk sebentar di gazebo.”Rey mengangguk pelan tanpa bicara. Wajahnya tampak murung, matanya menunduk. Di tanganku, genggamannya terasa lemah—tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh cerita.Kami duduk di gazebo yang menghadap taman bel

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 1

    Tiga tahun kemudian—Udara siang ini terasa hangat, matahari tidak terlalu terik, dan angin berhembus lembut di halaman sekolah tempat Rey belajar. Di lobi sekolah yang luas dan dipenuhi mural warna-warni, aku duduk di bangku panjang sambil memangku Raina yang kini sudah berusia tiga tahun.Rey hari inipulang lebih awal karena sekolahnya baru saja mengadakan kegiatan lomba antar kelas untuk memperingati Hari Anak Nasional. Setelah acara selesai, guru-guru memutuskan membubarkan siswa sebelum jam makan siang supaya mereka bisa beristirahat di rumah.“Ma, Kak Rey lama banget,” gumam Raina dengan pipi gembulnya menempel di bahuku. Suaranya manja, dan tangannya sibuk memainkan ujung rambutku.Aku tersenyum sambil merapikan poni di dahinya. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi juga keluar.”Raina mengerucutkan bibirnya. “Tapi Adek mau kasih bunga sekarang.”Aku menatap bunga kecil dari kertas warna yang digenggamnya erat. Sejujurnya, itu hasil kreasinya sendiri tadi pagi, yang dia buat dengan pen

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Akhir yang Manis

    Begitu suster masuk membawa bayi mungil kami, suasana kamar langsung berubah riuh.Bunda Zura dan Bapak yang baru saja datang beriringan langsung bereaksi seperti sedang berebut harta karun. Wajah mereka sama-sama berbinar, mata tak lepas dari sosok kecil yang dibedung di pelukan suster.“Ya ampun cucu Nenek!” seru Bunda sambil menengadahkan tangan, siap menyambut.“Eh, tunggu dulu! Gantian, Bun! Biar Bapak dulu yang gendong,” potong Bapak cepat, separuh langkahnya sudah maju ke arah suster.Suster sampai terkejut, menatap bergantian antara keduanya yang seperti sedang lomba siapa paling cepat menyentuh cucu.Aku dan Alvaro hanya bisa saling pandang sambil menahan tawa melihat dua orang tua itu nyaris ‘adu cepat’ di depan perawat.“Pak, Bun, pelan-pelan, nanti Adek bingung,” kata Alvaro sambil berdiri menenangkan.Tapi tentu saja, ucapan itu diabaikan.Bunda dan Bapak tetap saling adu pandang seperti dua anak kecil yang sama-sama tak mau mengalah.Akhirnya Bunda berucap cepat sambil m

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Hari yang Ditunggu

    Tangisku bercampur dengan teriakan kecil bayi yang baru saja lahir. Suara itu—suara paling indah yang pernah kudengar seumur hidupku.“Selamat ya, Dokter Nayla. Bayinya perempuan, sehat dan cantik sekali,” ujar bidan sambil mengangkat bayi mungil itu agar aku bisa melihatnya.Air mataku langsung mengalir. Aku menatap makhluk kecil yang baru saja hadir ke dunia, kulitnya merah muda, tangisnya kuat, dan di wajah mungilnya seolah ada bayangan dari Alvaro.“Mas,” bisikku dengan suara serak, “Lihat anak kita.”Alvaro mendekat, wajahnya antara lega dan tidak percaya. Tangannya bergetar saat menyentuh pipi bayi itu. “Ya Allah, dia sempurna sekali,” gumamnya.Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Beberapa detik kemudian, aku mulai merasa pusing. Tubuhku lemas, dan pandanganku mengabur. Suara mesin monitor di sebelahku tiba-tiba berbunyi lebih cepat.“Dok… aku… pusing banget…” suaraku nyaris tak terdengar.Wajah Alvaro langsung panik. “Dokter! Ada apa dengan istri saya?!”Dokter yang tadi

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Semakin Dekat

    “Nay, lihat deh,” katanya sambil menurunkan kotak ke lantai. “Aku beli waktu mampir ke toko bayi tadi. Gemes banget, sumpah.”Ibu yang duduk di kursi seberang langsung mencondongkan badan, matanya berbinar. “Lucu-lucu sekali warnanya.”“Si cantik belum lahir sudah dapat banyak hadiah,” sahut Bunda Zura sambil terkekeh pelan. Tangannya mengambil satu setelan berwarna peach dengan renda di bagian leher. “Ya ampun, kecil banget. Ini pasti baru lahir ukuran nol bulan, ya?”Ila mengangguk antusias. “Iya, Bun. Aku sengaja pilih warna-warna pastel. Ada juga selimut rajut, topi, sama kaus kaki mungil. Aduh, gak sabar pengen lihat si adek pakai semua ini.”“Ila, kamu tuh kayaknya lebih semangat dari aku, deh,” ujarku.“Ya jelaslah!” jawabnya cepat. “Aku udah siap jadi tante kesayangan Adek bayi dan tentunya Kakak Rey.”Bunda dan Ibu serempak tertawa. Ibu lalu berkata, “Nay, kamu udah siap, kan? Sekarang tinggal tunggu waktunya aja. Kalau ada kontraksi sedikit pun, langsung kasih tahu, ya. Jang

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Menunggu Sang Buah Hati

    Usia kandunganku sekarang sudah masuk tiga puluh sembilan minggu. Menurut dokter, HPL-ku tinggal seminggu lagi. Rasanya campur aduk — antara nggak sabar, deg-degan, tapi juga sedikit takut. Setiap malam, aku selalu gelisah sendiri, membayangkan gimana nanti proses lahirannya.Sejak usia kandunganku delapan bulan, Ibu sudah pindah ke Jakarta. Alhasil, rumah jadi makin ramai. Apalagi Bunda Zura kelihatan bahagia banget punya partner baru di dapur.Setiap pagi, suara mereka berdua selalu jadi alarm alami di rumah. Kadang terdengar dari dapur, kadang sampai ke ruang tamu.Biasanya Alvaro cuma geleng-geleng kepala sambil nyeruput kopi. Kalau dua ratu dapur udah turun tangan, staf hotel aja kalah ramai.Aku sendiri—resmi jadi tuan putri. Semua orang berlomba-lomba melayaniku.Bunda melarangku melakukan banyak pekerjaan— padahal aku hanya ingin membantu memotong sayuran. Oma Narumi setiap sore datang hanya untuk memastikan aku cukup makan buah. Ibu nggak ngebolehin aku cuci piring atau nyapu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status