Setiap tenaga medis pasti punya jam favorit. Buatku, itu jam istirahat siang— momen paling berharga setelah seharian dikejar tangisan bayi, rengekan anak tantrum, dan orang tua pasien yang lebih galak dari penyakitnya. Di hari ini saja, aku sudah menangani puluhan bayi demam, lima anak tantrum, dan satu ibu yang yakin semua masalah anaknya gara-gara angin duduk. Saking lelahnya, aku hampir menjatuhkan nampan berisi sop ayam.
Baru saja sendok pertama hampir masuk mulut, ponselku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku meringis: MIRA (🔥💅🏼💃🏻). Aku menatap supku dengan pasrah. “Maaf, Sup. Sepertinya kita belum berjodoh hari ini.” Aku menekan tombol hijau dan meletakkan ponsel ke telinga. “Halo, Mir—” “NAYLA!” suara di seberang terdengar seperti sirine ambulans rusak. “Jangan bilang kamu amnesia, ketabrak becak, atau diculik alien— kenapa kamu nggak datang ke resepsi pernikahanku?!” Aku menarik napas panjang. Inilah momen yang paling kuhindari. “Mira, aku bisa jelasin—” "Jangan bilang kamu ketiduran! Atau tiba-tiba harus operasi jantung bayi!" "Bukan," gumamku pelan. "Aku masuk ke ballroom yang salah." “HAH?” Nadanya naik satu oktaf. “Sumpah, Mir. Aku datang. Tapi ternyata aku masuk ke ballroom sebelah. Dan kesalahan fatal terjadi begitu cepat.” Hening sejenak di seberang. “Too fast how?” tanya Mira. Aku menunduk di atas nampan makan siangku. “Aku... eh… aku malah jadi tunangannya Alvaro Arsenio Juhar.” Hening lagi. Tapi kali ini lama. Sangat lama. “Mira?” Tiba-tiba suara Mira kembali—dengan nada histeris. “TUNANGAN SIAPA?!!!” “Anak pemilik rumah sakit ini. Yang—ya, kebetulan tempat tunangannya di ballroom sebelah ballroom resepsi pernikahanmu.” “Jangan bercanda. Kamu ini kalau ngarang cerita selalu maksimal, tapi ini— THIS IS PEAK NAYLA!” “Aku nggak ngarang! Aku ditarik masuk ke ballroom karena tunangan aslinya kabur. Semua orang ngira aku ‘Nayla’ yang sebenarnya.” Mira terdiam lagi. Lalu— “YA ALLAH, NAYLA! KENAPA KAMU HIDUP SEPERTI DI SINETRON DAN AKU NGGAK DIAJAK?!” jeritnya. Aku menutup mata, memijat pelipis. “Bisa tolong turunin volume suaramu? Aku lagi di kantin.” “Eh, eh, bentar. Jadi kamu sekarang tunangan pura-pura sama Alvaro? Itu CEO paling susah didekati se-Indonesia Raya? Yang digosipin pacaran sama artis tapi nggak pernah mau klarifikasi?” “Ya,” desahku, pasrah. Mira mendengkus panjang. “Oke. Aku butuh dua hal. Satu, bukti. Dua, cerita panjang dengan popcorn.” Aku tertawa lirih. “Nanti malam aku video call, oke? Tapi janji jangan sampai bocor.” “Fine. Tapi kalau dalam seminggu kamu tiba-tiba viral di TokTok karena soft launch sama Alvaro, aku resmi mengklaim sebagai sahabat Nyonya Juhar.” “Mir—” “Oke, oke. Aku sahabat pengertian. Tapi Nay, serius. Kamu nggak apa-apa? Aku tahu kamu perempuan paling tahan banting, tapi ini gila banget menurutku.” Aku terdiam sebentar. Lalu menjawab jujur. “Aku juga nggak tahu, Mir. Semuanya masih terasa membingungkan. Tapi anehnya aku nggak langsung kabur.” “Karena anaknya?” “Karena semuanya. Tapi ya, Rey salah satunya.” “Aku kenal kamu. Kalau kamu masih bertahan, berarti ada alasan kuat. Tapi kalau kamu butuh kabur ke Jogja dan menyamar jadi penjual bakpia, aku siap bantu.” Aku tersenyum. Hangat dan tulus. “Thanks, Mir. Aku balas semua ini dengan nyumbang honeymoon kedua kalian nanti.” “Deal. Tapi aku juga akan nyumbang ide untuk drama pertunangan instan edisi dokter anak dan pewaris rumah sakit.” Aku memandangi layar ponsel yang kembali gelap, lalu melirik sup ayam di hadapanku. Uapnya sudah menghilang. Isinya juga kelihatan sedih, seperti tahu dirinya akan ditinggalkan. Maaf ya, Sup. Hari ini kita memang nggak berjodoh. Bukannya makan, aku malah membuka Insta9ram. Jari-jariku lincah mengetik nama lengkap: Alvaro Arsenio Juhar. Akun centang biru itu muncul di urutan paling atas. Postingan terakhirnya tiga minggu lalu—tentang konferensi kesehatan internasional di Swiss. Foto-fotonya formal, berkelas, dan tanpa satu pun jejak wanita. Bahkan caption-nya pun kaku: "Proud to represent Indonesia at the Global Medtech Leaders Summit." Aku beralih ke kolom tag. Aku yakin semalam banyak orang yang merekam. MC-nya aja bayarannya dua digit, lighting-nya kayak konser, dan dekorasi panggung sangat mewah. Tapi—anehnya, nihil. Tak ada satu pun postingan soal pertunangan Alvaro. Bahkan akun-akun gosip yang biasanya punya mata di mana-mana juga diam seribu bahasa. “Aneh—” gumamku pelan. Aku menelusuri akun gosip, lalu mencari pakai kata kunci: Alvaro Juhar, tunangan, ballroom, pertunangan Tuan Muda Juhar. Semua hasilnya nol besar. Padahal aku yakin banget semalam ada wartawan. Beberapa orang bahkan pakai ID card media online. Aku sempat melirik salah satu kamera mereka saat berdiri di dekat panggung. Tapi sekarang? Seolah semuanya dihapus? Aku bersandar di kursi, menatap kosong ke langit-langit kantin yang dipenuhi lampu LED dan ventilasi sentral. Semuanya terasa terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu bersih— seperti sedang hidup dalam skenario yang bukan milikku. Apa mungkin Alvaro atau keluarganya—atau dua-duanya—memiliki kekuatan untuk mengontrol media? Aku bukan anak kecil yang baru keluar dari desa dan percaya semua hal viral pasti masuk FYP. Tapi tetap saja, ini aneh. Satu-satunya jejak yang tersisa cuma cincin di jari manisku—yang sampai sekarang belum berani aku lepas. Bukan karena enggan melepas, tapi karena aku nggak tahu ini emas beneran atau cuma properti tunangan pura-pura. Lagian, siapa tahu barangnya harus dikembalikan nanti. Aku kan anak baik. “Jadi kamu sekarang tunangan pura-pura sama Alvaro?” Suara Mira mengiang lagi di kepalaku. Dan aku terpaksa mengakui, ya. Aku sekarang tunangan pura-pura dari pria yang bisa membuat berita pertunangannya menghilang dari muka internet. Aku menyandarkan kepala ke kursi, menutup mata sejenak. Kalau ini semua hanya mimpi, boleh nggak aku minta bangunnya nanti aja? Pas sudah lunas bayar kosan.Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”
Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka
“Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku
Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men
Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."
Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap