Share

Rumah Singgah Aksara

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 19:47:45

Hari ini aku tidak ada jadwal praktek. Tidak ada visit pasien, tidak ada rapat dengan  tim bedah, tidak ada jadwal siaga di ruang operasi.

Dan itu artinya—aku bisa bangun siang. Tapi seperti biasa, tubuhku sudah terprogram bangun otomatis jam tujuh pagi, meski alarm belum sempat teriak. Aku melirik sekitar kamar yang, kalau menurut Alvaro, lebih cocok disebut ruang darurat bencana. Kasur single di pojok, lemari dua pintu yang sudah miring sebelah, dan tumpukan buku medis yang hidup berdampingan damai dengan setrika dan deterjen.

Alvaro memang menyebutnya sempit dan kumuh. Tapi bagiku, ini rumah. Setidaknya selama empat tahun terakhir.

Setelah mandi dan memasukkan tumpukan baju kotor ke dalam mesin cuci, aku menyapu lantai dan menyiram tanaman kaktus di pojok jendela. Aktivitas yang tak mewah, tapi menyenangkan. 

Jam sembilan lewat, aku sudah berdiri di depan gerbang besi kecil berwarna hijau, tempat yang jauh lebih luas dan lebih berarti dari apa pun yang kupunya.

Rumah Singgah Aksara.

Rumah ini kami dirikan tiga tahun lalu—aku dan Mira, sahabat sekaligus rekan sesama pejuang shift malam. Waktu itu kami lelah melihat pasien kanker dari luar kota yang harus tidur di lantai lorong rumah sakit karena tidak mampu menyewa penginapan. Ada yang datang dari pelosok Sumatera, Kalimantan, bahkan Nusa Tenggara. Jauh-jauh ke Jakarta demi berobat, tapi tak punya tempat layak untuk berteduh.

Maka terciptalah rumah ini. Sebuah bangunan tua yang kami sewa dan perbaiki sedikit demi sedikit, dibantu oleh para donatur, teman sejawat, dan—di luar dugaan—pasien-pasien sendiri yang pernah tinggal di sini.

Begitu aku masuk, masakan dari dapur menyambutku. Di ruang tengah, seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun sedang bermain balok warna-warni, sementara ibunya duduk tak jauh sambil merajut. Seorang bapak tua tertidur di kursi rotan dengan infus tergantung di sebelahnya.

“Naylaaaa, akhirnya datang juga,” suara berat dan hangat menyambutku dari arah ruang tengah.

Aku menoleh dan langsung tersenyum. Pak Harun berdiri dengan celemek biru laut, tangannya masih memegang lap piring. Di belakangnya, Bu Nani muncul dengan senyum lembut seperti biasa, membawa segelas air jahe hangat.

Pasangan pensiunan itu adalah tulang punggung rumah singgah Aksara. Setelah puluhan tahun mengabdi sebagai guru dan perawat, mereka memutuskan menghabiskan masa tua dengan membantu orang lain—dan entah bagaimana, semesta mempertemukan kami.

“Pagi, Pak Harun, Bu Nani,” sapaku sambil mencium tangan mereka satu per satu. “Baunya enak banget dari luar. Masak apa hari ini?”

“Sayur lodeh dan tahu bacem,” jawab Bu Nani sambil menyodorkan gelas. “Minum dulu sebelum kamu keliling. Tadi malam ada pasien baru datang dari Sumba.”

Aku mengangguk pelan. “Yang dirujuk dari RSUD Waikabubak, ya?”

“Betul. Namanya Bu Lilis. Usia lima puluh lima, kanker ovarium stadium tiga. Anaknya yang bawa, masih SMA.”

Aku menelan ludah. Kombinasi yang sudah terlalu sering kulihat tapi tetap saja membuat dadaku berat. “Kamar sudah siap?”

“Sudah. Di kamar nomor enam. Kami bantu bersihkan tadi pagi.”

Aku mengangguk, lalu menyesap air jahe perlahan. Hangatnya menjalar ke tenggorokan dan dada. Rumah ini memang bukan rumah sakit, tapi terasa seperti tempat di mana luka—fisik maupun batin—diperlakukan dengan lebih manusiawi.

Setelah mengobrol sebentar, aku berjalan ke dapur. Mira pergi honeymoon ke Turki selama dua minggu, aku yang pegang penuh dapur dan logistik.

Aku membuka lemari penyimpanan. Stok beras masih ada, mie instan tinggal setengah dus, susu anak-anak sudah menipis, dan sabun cuci hampir habis.

Catatan kecil mulai kutulis di kertas tempel:

Susu UHT plain (anak-anak)

Sabun cuci (cair)

Mie instan (campur)

Telur ayam

Pampers ukuran L

Kulkas utama di pojok juga nyaris kosong. Hanya ada sisa semangka, wortel, dan beberapa botol air mineral. Sepertinya aku harus belanja hari ini.

Aku belum sempat menutup lemari ketika terdengar suara tangis dari arah kamar nomor dua. Cepat-cepat aku ke sana dan mendapati Ayu, pasien usia sepuluh tahun yang sedang menjalani radioterapi, menangis karena mimpi buruk.

“Kak Nayla,” isaknya sambil meremas bantal.

Aku langsung duduk di sisi ranjang dan mengusap kepalanya yang sudah botak karena kemoterapi. “Tenang ya, Sayang. Mimpinya buruk, ya?”

Dia mengangguk. Air mata bening menetes di pipinya yang pucat. “Aku mimpi Mama nggak jemput-jemput—”

Aku menarik nafas pelan, menahan gelombang sedih yang menyerbu tanpa izin. “Mama lagi cari uang buat biaya kamu berobat, kan? Nanti Mama pasti jemput. Tapi sekarang Ayu nggak sendiri. Ada Kak Nayla di sini.”

Tangannya meraih jari-jari tanganku, menggenggam erat seperti takut akan kutinggalkan.

Aku duduk di situ cukup lama, sampai tangisnya reda dan napasnya kembali teratur. Setelah itu, aku membawanya ke dapur dan membuatkan roti panggang selai coklat. Tidak sesuai standar nutrisi dokter, tapi sangat sesuai standar cinta dan kenyamanan.

Saat Ayu tertawa kecil karena roti panggangnya terbentuk seperti kelinci—aku tahu, ini hari yang baik.

Meski pagi tadi aku bangun di kamar sempit dengan mesin cuci bersuara cempreng, dan siangnya harus mengecek satu per satu isi dapur yang makin tipis—tapi bisa berada di sini, di antara anak-anak dan orang-orang yang berjuang untuk sembuh, adalah hal paling mewah dalam hidupku.

Rumah ini mungkin tidak besar. Tapi cukup luas untuk menampung banyak hati yang tak ingin menyerah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
eany ajjach
andai kamu tahu alasan nayla menimimalkan pengeluarannya alvaro, kau akan merasa menjadi orang yg buruk. disaat oranglain terlunta² kamu tinggal di istana
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
wah rumah singgah yang benar benar sangat penuh dengan kasih sayang
goodnovel comment avatar
Kania Putri
rumah singgah aksara ini berguna banget, wah semua tanggung jawab ada pada nayla ini ya abis mira lagi honeymoon
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Alvaro Mecum

    “Mas, jangan kayak gini!” seruku panik, saat Alvaro terus menciumi tengkukku tanpa jeda.Namun dia tak berhenti. Malah tertawa pelan di dekat telingaku, nafasnya hangat menyapu kulitku. “Kenapa? Kamu geli, ya?” godanya, suaranya berat tapi dibungkus tawa nakal yang khas Alvaro.“Mas Al!” seruku lagi, mencoba mendorong tubuhnya pelan. Tapi tentu saja, dia lebih kuat.“Bukankah aku sudah minta maaf?” gumamnya sambil tetap memelukku erat.Aku mendelik. “Itu minta maaf untuk apa?!”Dia mengangkat wajah, masih dengan senyum jahil yang bikin deg-degan. “Ya, siapa tahu aku bakal bikin kamu marah. Jadi mending minta maaf duluan.”Aku memukul dadanya pelan. “Mas, itu namanya licik.”“Lho, bukankah lebih baik minta maaf dulu, daripada menyesal nanti?” ujarnya enteng, lalu mencuri satu kecupan lagi di ujung bahuku.Aku menjerit pelan. “Mas!”Alvaro tertawa geli, lalu berkata dengan nada penuh pembelaan, “Mana aku tahu kalau mencium istri sendiri bisa dikategorikan sebagai ‘pelanggaran berat’.”“

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Maaf Untuk Apa?

    "Mas—kok belum tidur?" tanyaku sambil berdiri di ambang pintu balkon, dengan segelas air putih di tangan.Alvaro menoleh, terlihat agak terkejut. Ponsel masih tergenggam di tangannya, meski layarnya sudah mati. Raut wajahnya tegang, tapi langsung melunak begitu melihatku.“Belum ngantuk,” jawabnya, berusaha terdengar santai. “Kamu ngapain bangun?”“Aku haus,” kataku sambil mendekat. “Tapi sepertinya kamu baru saja menelpon seseorang. Ada masalah?”Bukannya menjawab, Alvaro malah melambaikan tangan pelan, menyuruhku mendekat. Tanpa pikir panjang, aku melangkah mendekatinya, dan begitu cukup dekat, dia langsung menarikku ke dalam pelukannya.“Yang nelpon barusan El,” jawabnya, dagunya bertumpu di atas kepalaku.“El?” tanyaku sambil sedikit mendongak, mencoba menatap wajahnya. “Kenapa malam-malam gini?”“Katanya dia juga nggak bisa tidur. Jadi ya, ujung-ujungnya ngajak bahas kerjaan,” balasnya.Aku mengangkat alis. “Serius? Solusi insomnia di keluarga Juhar itu ngobrolin kerjaan?”Dia te

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Inspeksi Mendadak

    Keesokan harinya, suasana rumah sakit terasa berbeda. Ada ketegangan samar yang sulit kujelaskan. Senyum para perawat yang biasanya ramah kini tampak kaku, dan beberapa staf medis terlihat terburu-buru saat bertemu denganku—seolah sengaja menghindariku.Saat makan siang bersama Mira di kantin, aku akhirnya tak bisa menahan diri untuk bertanya.“Kok orang-orang di rumah sakit kelihatan aneh, ya?” bisikku sambil menyeruput jus semangka. “Apa cuma perasaanku saja?”Mira mengangkat alis, lalu menoleh ke sekeliling. Setelah memastikan tak ada yang terlalu dekat, dia membalas dengan suara pelan.“Bukan cuma kamu yang ngerasa. Aku juga,” ucapnya sambil meletakkan sumpit. “Tapi keanehan ini bukan dimulai dari pagi. Semuanya mulai terasa ganjil sejak aku jemput kamu di ruang praktek tadi.”“Apa ini ada kaitannya sama kabar pertunanganku dengan Alvaro?” tanyaku pelan, nyaris berbisik.Mira menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Mungkin iya,” jawabnya akhirnya. “Soalnya aku denger-denger, sekarang

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Sekelumit Cerita Alvaro 2

    Sesampainya di apartemen, aku langsung menggendong Rey ke kamarnya. Pelan-pelan aku membaringkannya di ranjang, menarik selimut sampai ke dagunya. Dia hanya bergumam sebentar dan membalikkan badan, lalu kembali tidur. Aku duduk sebentar di tepi ranjang, memandangi wajah kecilnya yang tenang, sebelum akhirnya berdiri dan keluar, menutup pintu dengan pelan.Aku berjalan menuju balkon. Alvaro ada di sana, berdiri membelakangi pintu, bersandar di pagar balkon. Tangannya memegang rokok yang belum dinyalakan. Dia menoleh saat mendengar suara pintu. “Rey udah tidur?”Aku mengangguk. “Hmmm.”Dia kembali menatap ke arah jalanan kota. Lampu-lampu dan kendaraan yang lalu-lalang memantul di matanya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya dia bicara, menjawab pertanyaan yang tadi sempat menggantung.“Nggak pernah,” ucapnya pelan. “Aku nggak pernah bilang hal kayak gitu ke siapa pun. Nggak ada juga yang pernah nanya. Mereka datang, lalu pergi, dan aku nggak pernah coba untuk menahan siapa pun.”A

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Sekelumit Cerita Alvaro

    Sepanjang makan malam, Rey tampak sangat lengket dengan Opa Barra. Bahkan untuk makan pun, dia minta disuapi—padahal di rumah, dia biasanya makan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Aku sengaja membiarkannya, sekalian memberi kesempatan agar hubungan Rey dengan keluarga Juhar semakin dekat. Lagi pula, melihat kedekatan Opa dan cucunya itu membuat hatiku ikut hangat.Sementara itu, papanya— masih saja bersikap manja padaku. Belum juga sempat menyentuh makananku, Alvaro sudah merengek minta diambilkan lauk ini dan itu. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali, sampai piringnya penuh sesak dengan berbagai macam makanan."Nay, boleh minta tolong ambilin ikan bakarnya juga? Sama sambalnya sekalian," ucapnya sambil menyodorkan piring—lagi.Aku menghela napas, mencoba tersenyum meski dalam hati sudah ingin menjitak kepala pria satu ini. “Mas, tanganku cuma dua. Mau sekalian minta disuapin?”Dia malah mengangguk cepat. “Kalau boleh sih, iya.”Sebelum aku sempat merespons, suara Oma Narumi terden

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ayo, Jelaskan!

    Aku dibuat pusing dengan kelakuan Alvaro. Sejak kami masuk rumah, dia terus saja bergelayut manja padaku, seperti anak kecil yang takut ditinggal. Padahal saat ini aku sedang sibuk membantu Oma Narumi memasak makan malam di dapur.“Mas, serius deh, sana temenin Rey main,” bisikku sambil berusaha mengaduk sup di panci besar.“Tapi aku lebih suka nemenin kamu,” jawabnya santai, dagunya bersandar di pundakku.Aku meliriknya tajam. “Mas Alvaro.”“Hmm?” sahutnya pura-pura polos.Aku menghela napas. Sudah tiga kali kusuruh dia pergi dari dapur, tapi tetap saja kembali dan menempel seperti lem. Bahkan Ila yang baru saja lewat sampai geleng-geleng kepala dan menegurnya.“Al, kamu tuh ganggu Nayla masak. Lagian Rey dari tadi manggil-manggil kamu. Jangan manja banget, deh. Geli tau,” semprot Ila dengan nada setengah kesal.Alvaro hanya melirik sepupunya sekilas, lalu menoleh padaku. “Liat, bahkan Ila cemburu karena aku nggak nempel sama dia.”Ila mendengkus, lalu berlalu begitu saja tanpa menan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status