Hari ini aku tidak ada jadwal praktek. Tidak ada visit pasien, tidak ada rapat dengan tim bedah, juga tidak ada jadwal siaga di ruang operasi.
Artinya—aku bisa bangun lebih siang. Tapi seperti biasa, tubuhku sudah terbiasa bangun otomatis jam tujuh pagi, meski alarm belum berbunyi. Aku melihat sekeliling kamar yang, menurut Alvaro, lebih mirip ruang darurat bencana. Kasur single di pojok, lemari dua pintu yang sudah miring sebelah, dan tumpukan buku medis yang berdampingan dengan setrika dan deterjen. Alvaro bilang kamar ini sempit dan berantakan. Tapi bagiku, ini rumah. Setidaknya selama empat tahun terakhir. Setelah mandi dan memasukkan baju kotor ke mesin cuci, aku menyapu lantai dan menyiram tanaman kaktus di pojok jendela. Aktivitas biasa, tapi cukup bikin hati tenang. Jam sembilan lewat, aku sudah sampai di depan gerbang besi kecil warna hijau—tempat yang jauh lebih luas dan punya arti lebih dari sekadar tempat tinggal. Rumah Singgah Aksara. Rumah ini kami dirikan tiga tahun lalu—aku dan Mira, sahabat sekaligus teman kerja saat jaga malam. Waktu itu kami sering melihat pasien kanker dari luar kota yang terpaksa tidur di lorong rumah sakit karena tidak mampu menyewa penginapan. Ada yang datang dari Sumatera, Kalimantan, bahkan Nusa Tenggara. Jauh-jauh ke Jakarta buat berobat, tapi nggak punya tempat tinggal sementara. Akhirnya kami menyewa bangunan tua dan mulai memperbaikinya sedikit demi sedikit, dibantu donatur, teman-teman sejawat, bahkan pasien-pasien yang dulu pernah tinggal di sini. Begitu masuk, aroma masakan langsung tercium dari dapur. Di ruang tengah, seorang anak kecil sekitar lima tahun sedang main balok warna-warni. Ibunya duduk tak jauh sambil merajut. Seorang bapak tua tertidur di kursi rotan, dengan infus tergantung di sebelahnya. “Naylaaa, akhirnya datang juga,” suara berat menyapaku dari ruang tengah. Aku menoleh dan tersenyum. Pak Harun berdiri sambil mengenakan celemek biru laut, tangannya memegang lap piring. Di belakangnya, Bu Nani muncul membawa segelas air jahe hangat. Mereka adalah pensiunan guru dan perawat yang sekarang ikut mengelola rumah singgah ini. Setelah puluhan tahun bekerja, mereka memilih menghabiskan masa pensiun dengan membantu orang lain—dan entah bagaimana, kami dipertemukan. “Pagi, Pak Harun, Bu Nani,” sapaku sambil menyalami mereka. “Dari luar udah kecium enaknya. Masak apa hari ini?” “Sayur lodeh sama tahu bacem,” jawab Bu Nani, menyodorkan gelas. “Minum dulu. Tadi malam ada pasien baru dari Sumba.” “Yang dirujuk dari RSUD Waikabubak?” tanyaku. “Iya. Namanya Bu Lilis, umur lima puluh lima. Kanker ovarium stadium tiga. Anaknya yang mengantar, masih SMA.” Aku mengangguk pelan. Kasus seperti ini sudah sering kutemui, tapi tetap saja rasanya berat. “Kamar sudah disiapkan?” “Sudah. Di kamar nomor enam. Tadi pagi kami bantu bersih-bersih.” Aku menyeruput air jahe perlahan. Hangatnya langsung terasa. Rumah ini memang bukan rumah sakit, tapi setidaknya memberi tempat yang layak untuk mereka yang sedang berjuang. Setelah ngobrol sebentar, aku menuju dapur. Mira lagi pergi bulan madu ke Turki selama dua minggu, jadi urusan logistik sementara jadi tugasku. Aku mengecek isi lemari penyimpanan. Stok beras masih cukup, mie instan tinggal setengah dus, susu anak-anak mulai habis, sabun cuci tinggal sedikit. Aku menulis daftar di kertas tempel: Susu UHT plain (anak-anak) Sabun cuci cair Mi instan (campur) Telur ayam Pampers ukuran L Kulkas di pojok juga hampir kosong. Cuma ada sisa semangka, beberapa wortel, dan botol air mineral. Sepertinya hari ini aku harus belanja. Belum sempat menutup lemari, terdengar suara tangis dari kamar nomor dua. Aku langsung kesana dan melihat Ayu—pasien usia sepuluh tahun yang sedang menjalani radioterapi—menangis karena mimpi buruk. “Kak Nayla,” isaknya sambil memeluk bantal. Aku duduk di sampingnya, mengusap kepalanya yang botak karena kemoterapi. “Mimpi buruk, ya?” Dia mengangguk, air matanya turun pelan. “Aku mimpi Mama nggak jemput-jemput.” Aku menarik napas. “Mama lagi cari uang buat biaya kamu berobat. Nanti juga dijemput. Tapi sekarang kamu nggak sendirian. Kakak di sini.” Dia menggenggam jariku erat-erat, seperti takut ditinggal. Aku menemani sampai dia tenang dan bisa tidur lagi. Lalu, aku ajak dia ke dapur dan membuatkan roti panggang selai coklat. Nggak sesuai aturan gizi ideal, tapi cukup buat bikin dia nyaman. Saat dia tertawa karena bentuk rotinya mirip kelinci, aku tahu—hari ini berjalan cukup baik. Meskipun paginya diawali dengan kamar sempit dan mesin cuci berisik, dan siangnya harus putar otak untuk stok logistik, bisa berada di sini dan membantu anak-anak yang sedang berjuang tetap jadi hal paling berharga buatku. Rumah ini memang sederhana. Tapi cukup untuk menampung mereka yang butuh tempat bernaung dan tidak menyerah.Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”
Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka
“Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku
Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men
Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."
Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap