Tepat pukul 11 malam, aku mendapat kabar bahwa salah satu pasienku mengalami kejang hebat. Tanpa membuang waktu, aku segera memesan ojek online dan menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, aku langsung memeriksa anak berusia lima tahun itu. Setelah pemeriksaan menyeluruh dan melihat kondisinya yang memburuk, aku memutuskan untuk memindahkannya ke ruang ICU agar bisa mendapat pengawasan dan perawatan intensif.
Melihat wajah cemas kedua orang tua yang menunggu di luar ruang ICU, hatiku terasa berat. Sebagai dokter, aku paham betapa menakutkannya situasi ini bagi mereka. Aku menyempatkan diri menjelaskan kondisi anak mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti, memberikan gambaran realistis tentang rencana perawatan, sambil tetap berusaha memberi dukungan moral. Perutku tiba-tiba berbunyi. Sebelum pulang, aku menyeret kaki menuju kantin 24 jam yang tersembunyi di pojok sayap barat rumah sakit. Tempat ini mungkin jarang dilirik, tapi jadi penyelamat bagi staf medis kelaparan seperti aku. Di antara semua menu instan yang tersedia, P0p Mie rasa ayam bawang tetap jadi favoritku. Tanganku sudah menggenggam satu cup P0p Mie hangat yang baru saja kuseduh. Aku menoleh ke arah meja kasir, siap membayar dan mencari sudut sepi untuk melahapnya. "P0p Mie di jam segini? Nekat juga kamu, Bu Dokter," suara berat itu terdengar dari belakangku. Aku menoleh. Ternyata Alvaro. Sejak aku mulai bekerja di rumah sakit ini, baru kali ini kami bertemu. Pria itu berdiri santai—dasi terlepas dari leher, jas disampirkan di satu tangan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap menyimpan karisma menyebalkan yang sukses bikin jantungku nge-lag sepersekian detik. "Baru selesai lembur?" tanyaku, berusaha terdengar santai meski tangan hampir gemetar—entah karena lapar, atau mungkin... sedikit karena dia. "Hmm," jawabnya singkat. "Rapat direksi baru selesai jam sebelas. Tanda tangan dokumen selesai setengah dua belas." Aku mengangguk pelan. “Sungguh pekerja keras.” Tatapan kami bertabrakan dalam keheningan kantin. Lalu— “P0p Mie kamu kelihatan enak.” “Aku tahu.” Aku melirik cup di tanganku. “P0p Mie selalu setia menemani di jam-jam krisis.” Tanpa aba-aba, Alvaro mengulurkan tangan dan—dengan tenang—merebut P0p Mie dari genggamanku. “Aku lapar.” “HEY!” “Aku akan membayarnya.” Dia meninggalkanku dengan senyum seolah baru saja menyelamatkan dunia. Aku mengerjap. “Kamu mencuri P0p Mie seorang dokter yang sedang kelaparan!” Dia menoleh. “Kamu bisa ambil satu lagi, kan? Disana masih ada stok.” Aku mendengkus, mengutuk dalam hati, lalu kembali ke rak. Satu P0p Mie tersisa. Nasibmu beruntung, Nayla, batinku. Beberapa menit kemudian kami duduk berdua di meja kecil dekat jendela, menghadap ke arah taman yang hanya kelihatan samar karena kabut malam. Kami makan dalam diam. Setiap sendok kuah p0p mie serasa oase. “Enak, kan?” aku menyipitkan mata ke arahnya. Alvaro mengangguk. “Kamu benar. P0p Mie dan jam dua belas malam memang pasangan cocok.” Aku terkikik pelan. “Harusnya kamu lebih sering nyicip makanan orang biasa. Biar tahu, kami punya kekayaan rasa yang bahkan restoran bintang lima pun nggak punya.” Dia menatapku. “Kamu sering makan ini?” “Dulu, saat begadang jaga IGD. Kadang bukan soal rasa, tapi kebersamaan.” Aku memutar cup mie. “P0p Mie nggak pernah pergi saat aku lagi drop.” Senyumnya muncul samar. Hening mengisi ruang di antara kami—bukan hening yang canggung, tapi jeda yang terasa seperti penanda akan datangnya pertanyaan penting. Aku menatap P0p Mie-ku, lalu beralih padanya. “Aku cari-cari berita tentang pertunangan kita—” Alvaro menatapku sekilas, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “—nggak ada satu pun berita. Padahal semalam rasanya setengah Jakarta lihat aku jadi ‘Nayla gadungan’.” Alvaro menyeruput kuah mi sebelum berkata, “Aku tahu. Karena memang nggak akan ada beritanya.” Aku menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Kenapa begitu?” “Media sudah dibungkam. Sekretarisku yang mengurus semuanya. Keluargaku memang nggak suka jadi sorotan—apalagi soal urusan pribadi. Hal-hal seperti itu selalu dijaga rapat.” Aku menggigit bibir. “Padahal kejadian itu cukup heboh, setidaknya di duniaku.” “Justru karena itu,” ujar Alvaro, meletakkan cup-nya yang sudah kosong. “Kami nggak mau drama ini jadi konsumsi publik. Kamu juga pasti nggak mau tiba-tiba wajahmu jadi stiker Wh4tsApp dengan caption ‘Tunangan gadungan CEO ganteng’, kan?” Aku mencibir pelan. “Dihhh, ogah banget.” Alvaro terkekeh. “Makanya, dinikmati aja dulu. Anggap saja kamu dapat tiket masuk ke dunia lain.” “Dunia yang penuh drama dan pura-pura?” “Kurang lebih begitu.” Selesai makan, aku menyingkirkan cup kosongku ke tempat sampah. Pop Mie dan CEO. Dua hal yang tak pernah kupikir akan duduk dalam satu meja denganku di jam dua belas lewat tiga puluh malam. “Aku pulang dulu ya,” kata ku, sambil meraih ponsel dan kunci loker. “Thanks for the mie robbery.” “Wait,” sahut Alvaro. “Aku antar.” Aku mengerutkan kening. “Aku bisa pesan ojek atau taksi.” “Sudah tengah malam, Nayla. Dan kamu seorang gadis. Nggak usah sok mandiri.” Aku menatapnya beberapa detik. Antara malas debat dan memang kaki ini sudah mulai goyah. “Oke. Tapi jangan anggap aku manja. Ini cuma efisiensi.” Dia mengangkat bahu. “Tentu saja, Dokter Efisien.” Kami berjalan beriringan melewati lorong sunyi rumah sakit, keluar melalui pintu belakang yang khusus untuk staf. Mobil Alvaro terparkir tak jauh dari pintu. Hitam, mengilap, dan sangat CEO-ish. Begitu duduk di dalam mobil, aku baru sadar: mobil ini lebih wangi dari kamarku. “Sudah berapa lama kamu tinggal di kosan sempit itu?” tanyanya begitu mesin menyala. Suara mesinnya nyaris tak terdengar—mobilnya terlalu mewah untuk mengganggu keheningan malam. Aku menyandarkan kepala ke jok, menoleh sebentar. “Empat tahun.” “Empat tahun?” Dia melirik ke arahku, lalu ke jalan lagi. “Serius?” “Yap. Sejak hari pertama pindah ke Jakarta sampai sekarang. Dan, aku sangat betah.” “Betah?” Nadanya seperti baru dengar seseorang bilang mereka betah tinggal di gua kelelawar. “Itu kamar bahkan nggak punya ventilasi yang layak. AC-nya pakai model jendela yang bunyinya kayak pesawat mau lepas landas.” Aku mendecak. “Kamu sok tahu! Memangnya pernah masuk ke kosanku?!” “Lihat dari jauh saja—aku sudah bisa menebak jika tempat itu kumuh dan tidak layak huni,” balas Alvaro. “Kamu pikir aku harus tinggal di apartemen penuh kaca dan lift pribadi juga?” Aku menoleh, sedikit jengkel. “Nggak semua orang mengukur kebahagiaan dari tempat tinggal, Pak CEO.” Alvaro menarik napas. “Ini bukan soal tempat tinggal, Nayla. Ini soal standar hidup. Kamu dokter spesialis dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Juhar menggaji tinggi demi kesejahteraan SDM-nya. Tunjangan tahunanmu saja bisa dipakai untuk sewa apartemen dua kamar di pusat kota.” Aku menatapnya, lalu tertawa kecil. “Kamu hafal semua detail itu, ya? Jangan-jangan kamu rutin cek slip gaji semua dokter?” “Kalau dokternya kamu, iya.” Aku diam. Jawaban itu seolah meluncur begitu saja, tapi efeknya? Boom. Hening. Mobil tetap melaju, tapi suasananya berubah. Aku tidak tahu apakah ingin tersipu atau melompat dari mobil. “Dengar,” lanjutnya pelan. “Aku tidak nyuruh kamu hidup mewah. Tapi kamu pantas hidup layak. Kamu tinggal sendiri di kota besar, kerja sampai larut malam, lalu pulang ke tempat seperti itu?” Aku menggenggam jemari sendiri. “Aku sudah nyaman tinggal di sana.” “Nyaman atau kebiasaan?” Aku menghela napas. “Kamu nggak ngerti apa-apa tentangku, Alvaro.” Mobil berhenti di depan gang kosku. Lampu jalan temaram, dan pagar kos terlihat gelap. Alvaro mematikan mesin, tapi tak langsung bicara. “Besok aku jemput,” katanya akhirnya. “Kita cari kosan yang lebih layak.” Aku mengerutkan kening. “Aku nggak butuh—” “Bukan karena kamu butuh. Tapi karena kamu pantas.” Deg. Kalimat itu menggantung di udara. Aku tak mampu membalas, hanya membuka pintu dan menunduk pelan. “Selamat malam, Alvaro.” “Selamat malam, Nayla.” Aku turun dari mobil dan berjalan masuk ke gang gelap menuju kamar 3x3 meter yang biasa kutinggali. Tapi malam ini, langkahku terasa lebih berat. Bukan karena P0p Mie atau pasien kritis—melainkan karena satu kalimat terakhir dari pria itu. “Kamu pantas.”Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”
Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka
“Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku
Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men
Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."
Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap