Share

Dokter VS CEO

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-06-13 19:25:38

Tepat pukul 11 malam, aku mendapat kabar bahwa salah satu pasienku mengalami kejang hebat. Tanpa membuang waktu, aku segera memesan ojek online dan menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, aku langsung memeriksa anak berusia lima tahun itu. Setelah pemeriksaan menyeluruh dan melihat kondisinya yang memburuk, aku memutuskan untuk memindahkannya ke ruang ICU agar bisa mendapat pengawasan dan perawatan intensif.

Melihat wajah cemas kedua orang tua yang menunggu di luar ruang ICU, hatiku terasa berat. Sebagai dokter, aku paham betapa menakutkannya situasi ini bagi mereka. Aku menyempatkan diri menjelaskan kondisi anak mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti, memberikan gambaran realistis tentang rencana perawatan, sambil tetap berusaha memberi dukungan moral.

Perutku tiba-tiba berbunyi. Sebelum pulang, aku menyeret kaki menuju kantin 24 jam yang tersembunyi di pojok sayap barat rumah sakit. Tempat ini mungkin jarang dilirik, tapi jadi penyelamat bagi staf medis kelaparan seperti aku. Di antara semua menu instan yang tersedia, P0p Mie rasa ayam bawang tetap jadi favoritku.

Tanganku sudah menggenggam satu cup P0p Mie hangat yang baru saja kuseduh. Aku menoleh ke arah meja kasir, siap membayar dan mencari sudut sepi untuk melahapnya.

"P0p Mie di jam segini? Nekat juga kamu, Bu Dokter," suara berat itu terdengar dari belakangku.

Aku menoleh. Ternyata Alvaro. Sejak aku mulai bekerja di rumah sakit ini, baru kali ini kami bertemu.

Pria itu berdiri santai—dasi terlepas dari leher, jas disampirkan di satu tangan. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap menyimpan karisma menyebalkan yang sukses bikin jantungku nge-lag sepersekian detik.

"Baru selesai lembur?" tanyaku, berusaha terdengar santai meski tangan hampir gemetar—entah karena lapar, atau mungkin... sedikit karena dia.

"Hmm," jawabnya singkat. "Rapat direksi baru selesai jam sebelas. Tanda tangan dokumen selesai setengah dua belas."

Aku mengangguk pelan. “Sungguh pekerja keras.”

 Tatapan kami bertabrakan dalam keheningan kantin. Lalu—

 “P0p Mie kamu kelihatan enak.”

“Aku tahu.” Aku melirik cup di tanganku. “P0p Mie selalu setia menemani di jam-jam krisis.”

 Tanpa aba-aba, Alvaro mengulurkan tangan dan—dengan tenang—merebut P0p Mie dari genggamanku. “Aku lapar.”

 “HEY!”

 “Aku akan membayarnya.” Dia meninggalkanku dengan senyum seolah baru saja menyelamatkan dunia.

 Aku mengerjap. “Kamu mencuri P0p Mie seorang dokter yang sedang kelaparan!”

 Dia menoleh. “Kamu bisa ambil satu lagi, kan? Disana masih ada stok.”

 Aku mendengkus, mengutuk dalam hati, lalu kembali ke rak. Satu P0p Mie tersisa. Nasibmu beruntung, Nayla, batinku.

 Beberapa menit kemudian kami duduk berdua di meja kecil dekat jendela, menghadap ke arah taman yang hanya kelihatan samar karena kabut malam. Kami makan dalam diam. Setiap sendok kuah p0p mie serasa oase.

 “Enak, kan?” aku menyipitkan mata ke arahnya.

 Alvaro mengangguk. “Kamu benar. P0p Mie dan jam dua belas malam memang pasangan cocok.”

 Aku terkikik pelan. “Harusnya kamu lebih sering nyicip makanan orang biasa. Biar tahu, kami punya kekayaan rasa yang bahkan restoran bintang lima pun nggak punya.”

 Dia menatapku. “Kamu sering makan ini?”

 “Dulu, saat begadang jaga IGD. Kadang bukan soal rasa, tapi kebersamaan.” Aku memutar cup mie. “P0p Mie nggak pernah pergi saat aku lagi drop.”

Senyumnya muncul samar. Hening mengisi ruang di antara kami—bukan hening yang canggung, tapi jeda yang terasa seperti penanda akan datangnya pertanyaan penting.

 Aku menatap P0p Mie-ku, lalu beralih padanya. “Aku cari-cari berita tentang pertunangan kita—”

Alvaro menatapku sekilas, wajahnya tetap tanpa ekspresi.

 “—nggak ada satu pun berita. Padahal semalam rasanya setengah Jakarta lihat aku jadi ‘Nayla gadungan’.”

Alvaro menyeruput kuah mi sebelum berkata, “Aku tahu. Karena memang nggak akan ada beritanya.”

 Aku menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Kenapa begitu?”

“Media sudah dibungkam. Sekretarisku yang mengurus semuanya. Keluargaku memang nggak suka jadi sorotan—apalagi soal urusan pribadi. Hal-hal seperti itu selalu dijaga rapat.”

Aku menggigit bibir. “Padahal kejadian itu cukup heboh, setidaknya di duniaku.”

“Justru karena itu,” ujar Alvaro, meletakkan cup-nya yang sudah kosong. “Kami nggak mau drama ini jadi konsumsi publik. Kamu juga pasti nggak mau tiba-tiba wajahmu jadi stiker Wh4tsApp dengan caption ‘Tunangan gadungan CEO ganteng’, kan?”

 Aku mencibir pelan. “Dihhh, ogah banget.”

 Alvaro terkekeh. “Makanya, dinikmati aja dulu. Anggap saja kamu dapat tiket masuk ke dunia lain.”

 “Dunia yang penuh drama dan pura-pura?”

 “Kurang lebih begitu.”

 Selesai makan, aku menyingkirkan cup kosongku ke tempat sampah. Pop Mie dan CEO. Dua hal yang tak pernah kupikir akan duduk dalam satu meja denganku di jam dua belas lewat tiga puluh malam.

 “Aku pulang dulu ya,” kata ku, sambil meraih ponsel dan kunci loker. “Thanks for the mie robbery.”

 “Wait,” sahut Alvaro. “Aku antar.”

 Aku mengerutkan kening. “Aku bisa pesan ojek atau taksi.”

 “Sudah tengah malam, Nayla. Dan kamu seorang gadis. Nggak usah sok mandiri.”

 Aku menatapnya beberapa detik. Antara malas debat dan memang kaki ini sudah mulai goyah. “Oke. Tapi jangan anggap aku manja. Ini cuma efisiensi.”

 Dia mengangkat bahu. “Tentu saja, Dokter Efisien.”

 Kami berjalan beriringan melewati lorong sunyi rumah sakit, keluar melalui pintu belakang yang khusus untuk staf. Mobil Alvaro terparkir tak jauh dari pintu. Hitam, mengilap, dan sangat CEO-ish.

 Begitu duduk di dalam mobil, aku baru sadar: mobil ini lebih wangi dari kamarku.

 “Sudah berapa lama kamu tinggal di kosan sempit itu?” tanyanya begitu mesin menyala. Suara mesinnya nyaris tak terdengar—mobilnya terlalu mewah untuk mengganggu keheningan malam.

 Aku menyandarkan kepala ke jok, menoleh sebentar. “Empat tahun.”

 “Empat tahun?” Dia melirik ke arahku, lalu ke jalan lagi. “Serius?”

 “Yap. Sejak hari pertama pindah ke Jakarta sampai sekarang. Dan, aku sangat betah.”

 “Betah?” Nadanya seperti baru dengar seseorang bilang mereka betah tinggal di gua kelelawar. “Itu kamar bahkan nggak punya ventilasi yang layak. AC-nya pakai model jendela yang bunyinya kayak pesawat mau lepas landas.”

 Aku mendecak. “Kamu sok tahu! Memangnya pernah masuk ke kosanku?!”

 “Lihat dari jauh saja—aku sudah bisa menebak jika tempat itu kumuh dan tidak layak huni,” balas Alvaro.

 “Kamu pikir aku harus tinggal di apartemen penuh kaca dan lift pribadi juga?” Aku menoleh, sedikit jengkel. “Nggak semua orang mengukur kebahagiaan dari tempat tinggal, Pak CEO.”

Alvaro menarik napas. “Ini bukan soal tempat tinggal, Nayla. Ini soal standar hidup. Kamu dokter spesialis dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Juhar menggaji tinggi demi kesejahteraan SDM-nya. Tunjangan tahunanmu saja bisa dipakai untuk sewa apartemen dua kamar di pusat kota.”

Aku menatapnya, lalu tertawa kecil. “Kamu hafal semua detail itu, ya? Jangan-jangan kamu rutin cek slip gaji semua dokter?”

 “Kalau dokternya kamu, iya.”

 Aku diam.

 Jawaban itu seolah meluncur begitu saja, tapi efeknya? Boom. Hening. Mobil tetap melaju, tapi suasananya berubah. Aku tidak tahu apakah ingin tersipu atau melompat dari mobil.

“Dengar,” lanjutnya pelan. “Aku tidak nyuruh kamu hidup mewah. Tapi kamu pantas hidup layak. Kamu tinggal sendiri di kota besar, kerja sampai larut malam, lalu pulang ke tempat seperti itu?”

 Aku menggenggam jemari sendiri. “Aku sudah nyaman tinggal di sana.”

 “Nyaman atau kebiasaan?”

 Aku menghela napas. “Kamu nggak ngerti apa-apa tentangku, Alvaro.”

 Mobil berhenti di depan gang kosku. Lampu jalan temaram, dan pagar kos terlihat gelap. Alvaro mematikan mesin, tapi tak langsung bicara.

“Besok aku jemput,” katanya akhirnya. “Kita cari kosan yang lebih layak.”

 Aku mengerutkan kening. “Aku nggak butuh—”

 “Bukan karena kamu butuh. Tapi karena kamu pantas.”

 Deg.

Kalimat itu menggantung di udara. Aku tak mampu membalas, hanya membuka pintu dan menunduk pelan.

 “Selamat malam, Alvaro.”

 “Selamat malam, Nayla.”

 Aku turun dari mobil dan berjalan masuk ke gang gelap menuju kamar 3x3 meter yang biasa kutinggali. Tapi malam ini, langkahku terasa lebih berat. Bukan karena P0p Mie atau pasien kritis—melainkan karena satu kalimat terakhir dari pria itu.

 “Kamu pantas.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
ini pertama kali kamu cobain pop mie ya al, gimana ena? ngga ada ya di resto bintang lima yg ada cuma di lapak kaki lima
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
brapa gaji nayla al? aku juga mau lah lamar di juhar gruo kayaknya bakal sejahtera klo kerja di sana aku pantas ngga jadi pendampingmu...
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
udah nyaman mau gimana alvari. tapi yah gitulah kepantasan dan nayla pantas mendapatkan tempat tinggal lebih dr itu ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 2

    Sesampainya di rumah, Alvaro ternyata sudah lebih dulu tiba. Mobil yang ku bawa baru saja berhenti di garasi ketika dia keluar dari pintu depan dengan langkah cepat. Begitu melihat Raina yang tertidur di kursi belakang, senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.“Biar Papa aja,” katanya pelan sambil membuka pintu dan dengan hati-hati mengangkat tubuh mungil Raina ke dalam pelukannya. Kepala gadis kecil itu bersandar di bahu Alvaro, nafasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka—tampak benar-benar lelap.Aku tersenyum, menatap pemandangan itu dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Sementara Alvaro melangkah masuk ke rumah membawa Raina ke kamarnya, aku menggandeng tangan Rey menuju taman belakang.“Ganti baju nanti aja, Kak,” ujarku pelan. “Kita duduk sebentar di gazebo.”Rey mengangguk pelan tanpa bicara. Wajahnya tampak murung, matanya menunduk. Di tanganku, genggamannya terasa lemah—tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh cerita.Kami duduk di gazebo yang menghadap taman bel

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Ekstra Part 1

    Tiga tahun kemudian—Udara siang ini terasa hangat, matahari tidak terlalu terik, dan angin berhembus lembut di halaman sekolah tempat Rey belajar. Di lobi sekolah yang luas dan dipenuhi mural warna-warni, aku duduk di bangku panjang sambil memangku Raina yang kini sudah berusia tiga tahun.Rey hari inipulang lebih awal karena sekolahnya baru saja mengadakan kegiatan lomba antar kelas untuk memperingati Hari Anak Nasional. Setelah acara selesai, guru-guru memutuskan membubarkan siswa sebelum jam makan siang supaya mereka bisa beristirahat di rumah.“Ma, Kak Rey lama banget,” gumam Raina dengan pipi gembulnya menempel di bahuku. Suaranya manja, dan tangannya sibuk memainkan ujung rambutku.Aku tersenyum sambil merapikan poni di dahinya. “Sabar, Sayang. Sebentar lagi juga keluar.”Raina mengerucutkan bibirnya. “Tapi Adek mau kasih bunga sekarang.”Aku menatap bunga kecil dari kertas warna yang digenggamnya erat. Sejujurnya, itu hasil kreasinya sendiri tadi pagi, yang dia buat dengan pen

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Akhir yang Manis

    Begitu suster masuk membawa bayi mungil kami, suasana kamar langsung berubah riuh.Bunda Zura dan Bapak yang baru saja datang beriringan langsung bereaksi seperti sedang berebut harta karun. Wajah mereka sama-sama berbinar, mata tak lepas dari sosok kecil yang dibedung di pelukan suster.“Ya ampun cucu Nenek!” seru Bunda sambil menengadahkan tangan, siap menyambut.“Eh, tunggu dulu! Gantian, Bun! Biar Bapak dulu yang gendong,” potong Bapak cepat, separuh langkahnya sudah maju ke arah suster.Suster sampai terkejut, menatap bergantian antara keduanya yang seperti sedang lomba siapa paling cepat menyentuh cucu.Aku dan Alvaro hanya bisa saling pandang sambil menahan tawa melihat dua orang tua itu nyaris ‘adu cepat’ di depan perawat.“Pak, Bun, pelan-pelan, nanti Adek bingung,” kata Alvaro sambil berdiri menenangkan.Tapi tentu saja, ucapan itu diabaikan.Bunda dan Bapak tetap saling adu pandang seperti dua anak kecil yang sama-sama tak mau mengalah.Akhirnya Bunda berucap cepat sambil m

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Hari yang Ditunggu

    Tangisku bercampur dengan teriakan kecil bayi yang baru saja lahir. Suara itu—suara paling indah yang pernah kudengar seumur hidupku.“Selamat ya, Dokter Nayla. Bayinya perempuan, sehat dan cantik sekali,” ujar bidan sambil mengangkat bayi mungil itu agar aku bisa melihatnya.Air mataku langsung mengalir. Aku menatap makhluk kecil yang baru saja hadir ke dunia, kulitnya merah muda, tangisnya kuat, dan di wajah mungilnya seolah ada bayangan dari Alvaro.“Mas,” bisikku dengan suara serak, “Lihat anak kita.”Alvaro mendekat, wajahnya antara lega dan tidak percaya. Tangannya bergetar saat menyentuh pipi bayi itu. “Ya Allah, dia sempurna sekali,” gumamnya.Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Beberapa detik kemudian, aku mulai merasa pusing. Tubuhku lemas, dan pandanganku mengabur. Suara mesin monitor di sebelahku tiba-tiba berbunyi lebih cepat.“Dok… aku… pusing banget…” suaraku nyaris tak terdengar.Wajah Alvaro langsung panik. “Dokter! Ada apa dengan istri saya?!”Dokter yang tadi

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Semakin Dekat

    “Nay, lihat deh,” katanya sambil menurunkan kotak ke lantai. “Aku beli waktu mampir ke toko bayi tadi. Gemes banget, sumpah.”Ibu yang duduk di kursi seberang langsung mencondongkan badan, matanya berbinar. “Lucu-lucu sekali warnanya.”“Si cantik belum lahir sudah dapat banyak hadiah,” sahut Bunda Zura sambil terkekeh pelan. Tangannya mengambil satu setelan berwarna peach dengan renda di bagian leher. “Ya ampun, kecil banget. Ini pasti baru lahir ukuran nol bulan, ya?”Ila mengangguk antusias. “Iya, Bun. Aku sengaja pilih warna-warna pastel. Ada juga selimut rajut, topi, sama kaus kaki mungil. Aduh, gak sabar pengen lihat si adek pakai semua ini.”“Ila, kamu tuh kayaknya lebih semangat dari aku, deh,” ujarku.“Ya jelaslah!” jawabnya cepat. “Aku udah siap jadi tante kesayangan Adek bayi dan tentunya Kakak Rey.”Bunda dan Ibu serempak tertawa. Ibu lalu berkata, “Nay, kamu udah siap, kan? Sekarang tinggal tunggu waktunya aja. Kalau ada kontraksi sedikit pun, langsung kasih tahu, ya. Jang

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Menunggu Sang Buah Hati

    Usia kandunganku sekarang sudah masuk tiga puluh sembilan minggu. Menurut dokter, HPL-ku tinggal seminggu lagi. Rasanya campur aduk — antara nggak sabar, deg-degan, tapi juga sedikit takut. Setiap malam, aku selalu gelisah sendiri, membayangkan gimana nanti proses lahirannya.Sejak usia kandunganku delapan bulan, Ibu sudah pindah ke Jakarta. Alhasil, rumah jadi makin ramai. Apalagi Bunda Zura kelihatan bahagia banget punya partner baru di dapur.Setiap pagi, suara mereka berdua selalu jadi alarm alami di rumah. Kadang terdengar dari dapur, kadang sampai ke ruang tamu.Biasanya Alvaro cuma geleng-geleng kepala sambil nyeruput kopi. Kalau dua ratu dapur udah turun tangan, staf hotel aja kalah ramai.Aku sendiri—resmi jadi tuan putri. Semua orang berlomba-lomba melayaniku.Bunda melarangku melakukan banyak pekerjaan— padahal aku hanya ingin membantu memotong sayuran. Oma Narumi setiap sore datang hanya untuk memastikan aku cukup makan buah. Ibu nggak ngebolehin aku cuci piring atau nyapu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status