Share

Tamu Penting

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-07-04 02:52:50

Ketika aku sedang mencatat semua kebutuhan rumah singgah yang habis, ponselku bergetar. Di layar muncul nama yang langsung membuatku cemas—Alvaro.

"Halo?" sapaku sambil tetap menulis.

"Nayla, aku sudah di depan kos-mu dari tadi. Kamu di mana?" Nada suaranya terdengar kesal, meski masih terkendali.

Tanganku berhenti menulis. Ya ampun. Aku benar-benar lupa ada janji dengan tunangan pura-puraku hari ini.

"Al, maaf. Aku lupa. Aku lagi di rumah singgah," jawabku, merasa bersalah.

"Rumah singgah?" Dia terdiam sebentar. "Alamatnya di mana?"

Aku ragu menjawab. Rumah singgah adalah tempat yang sangat pribadi bagiku. Di sini aku bisa jadi diri sendiri tanpa tekanan atau ekspektasi orang lain. Membiarkan Alvaro datang ke sini terasa seperti membuka sisi yang paling pribadi dari hidupku.

"Nayla?" tegurnya.

"Iya, tunggu. Jalan Mawar nomor 23, dekat perempatan lampu merah. Tapi Al, kamu nggak perlu repot-repot ke sini. Aku bisa—"

"Aku sudah dalam perjalanan," potongnya. "Tunggu aku di sana."

Nada bicaranya berubah jadi dingin. Jelas dia kesal. Sebagai CEO sibuk, perubahan jadwal mendadak pasti tidak dia sukai—apalagi karena aku lupa.

"Alvaro, dengar—"

Tut. Tut. Tut.

Telepon terputus.

Aku mendesah kesal. Satu hal yang selalu aku hindari akhirnya terjadi: Alvaro akan melihat rumah singgah ini. Aku cuma bisa berharap dia tidak ikut campur terlalu jauh.

"Kenapa wajahmu pucat begitu, Nak?" tanya Bu Nani dari ambang pintu, membuatku tersentak.

Aku menoleh. Wanita paruh baya itu selalu peka dengan suasana hati orang disekitarnya.

"Aku baru saja dapat telepon dari tunanganku," jawabku, agak ragu.

"Sejak kapan kamu punya tunangan?" Bu Nani tampak kaget. "Kenapa Ibu nggak dikasih tahu?"

Aku gelagapan. Gimana jelasin kalau tunangan itu cuma pura-pura?

"Perjodohan, Bu. Masih tahap saling kenal."

Bu Nani terdiam sebentar. Tatapannya campuran antara heran dan khawatir.

"Ibu pikir kita sudah seperti keluarga," katanya akhirnya.

Rasa bersalah langsung muncul. Bu Nani memang seperti keluarga sendiri. Tapi soal Alvaro, aku belum siap terbuka pada siapa pun.

"Maaf, Bu. Aku juga masih bingung soal semuanya," aku mencoba jujur. "Makanya aku nggak pengen dia tahu tentang rumah singgah ini. Aku takut dia ikut campur atau malah nggak setuju."

"Dia tahu kamu kerja di rumah sakit?" tanya Bu Nani.

"Tahu. Bahkan dia anak pemilik rumah sakit itu."

Mata Bu Nani membelalak. "Dia bos kamu?"

"CEO-nya," jawabku pelan.

Sebelum Bu Nani sempat bicara lagi, suara klakson terdengar dari luar.

"Sepertinya dia sudah sampai," kataku sambil berdiri dan merapikan pakaian.

"Apa Ibu perlu tinggal di sini atau—"

"Tetap disini saja, Bu," jawabku sambil berjalan ke arah pintu.

Dari jendela, terlihat mobil hitam terparkir. Alvaro keluar dengan setelan rapi dan ekspresi serius. Sangat berbeda dari suasana hangat rumah singgah ini.

Aku membuka pintu. "Maaf membuatmu menunggu lama. Silakan masuk."

Dia masuk sambil menatap sekeliling ruangan. Pandangannya tajam, seolah sedang menilai.

Bu Nani dan Pak Harun muncul dari dapur.

"Al, ini Bu Nani dan Pak Harun. Mereka yang bantu urus tempat ini."

"Selamat datang, Pak Alvaro. Nayla sudah cerita soal Bapak," sambut Bu Nani.

"Terima kasih sudah menjaga Nayla," jawab Alvaro sopan.

Pak Harun menambahkan, "Nayla banyak membantu pasien di sini. Dia seperti anak kami sendiri."

Ekspresi wajah Alvaro berubah— menjadi lebih tertarik. Dia pun kembali melihat sekeliling.

"Nayla, bisa jelaskan tentang tempat ini?" tanyanya.

"Mau aku ajak keliling?" tawarku.

Dia mengangguk.

Kami mulai dari ruang tamu.

"Namanya rumah singgah Aksara. Aku dan Mira mendirikannya untuk bantu pasien dari luar kota yang butuh tempat tinggal saat pengobatan."

Kami masuk ke ruang tengah. "Biaya tinggal di sini gratis. Karena banyak dari mereka tidak mampu bayar kos atau hotel."

Dia berhenti di depan papan berisi foto-foto pasien.

"Berapa lama mereka biasanya tinggal?" tanyanya.

"Macam-macam. Ada yang seminggu, ada yang sampai berbulan-bulan."

Aku tunjuk salah satu foto. "Ini Pak Joko. Sudah tiga bulan tinggal di sini, datang dari Lampung untuk kemoterapi."

Kami berjalan ke deretan kamar.

"Kamar kami sederhana, satu kamar bisa untuk dua orang. Kalau penuh, bisa pakai kasur lipat."

"Biayanya dari mana?" tanyanya sambil mengintip ke dalam kamar.

"Sebagian besar dari aku dan Mira. Kadang ada donatur, atau keluarga pasien yang mau bantu."

Dia berhenti dan menatapku. "Kamu pakai gajimu untuk ini?"

"Hmmm. Tapi aku ikhlas. Selama mereka bisa nyaman saat menjalani pengobatan, aku senang."

Kami tiba di dapur. Alvaro menatapku lebih tenang. "Kenapa tidak ada yang memberitahu soal ini? Padahal rumah singgah ini tak jauh dari rumah sakit. "

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
bkngung ya nay mau jelasin gimana tunangannya takut nanti bocor kan ya tapi bener juga kata ibu nani kamu udah dianggap sebagai anak, maunya
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
nah kaget kamu kan al, nyesel ngga bilang nayla betah tinggal di kos sempit ada yg dia prioritaskan gimana mau naikin gaji nayla apa jadi donatur?
goodnovel comment avatar
eany ajjach
yaelah bang kenal juga baru sehari masa iya mau cerita², bukannya situ sudah mengorek semua informasi tentang nayla??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Sambutan Hangat Rey

    Penerbangan dari Osaka ke Jakarta terasa panjang, tapi aku dan Alvaro lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Begitu pesawat mendarat di Soekarno-Hatta, rasa lelah bercampur rindu langsung menyeruak.“Sayang, kita langsung ke rumah Opa ya. Bunda barusan kirim pesan katanya Rey nungguin kita sampai gak mau tidur,” ucap Alvaro sambil meraih koper dari bagasi kabin.Aku mengangguk. “Iya, aku juga kangen banget sama si ganteng.”Setelah melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kami naik mobil yang menjemput. Perjalanan menuju rumah Opa Barra terasa lebih singkat, mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu anakku.Sesampainya di kediaman Opa Barra, suasana langsung terasa hangat. Beberapa asisten rumah tangga menyambut di depan pintu. Dari ruang tengah, suara teriakan terdengar.Rey langsung berlari ke arahku dengan tangan kecilnya terulur. “Mamaaa!” teriaknya riang.Aku berjongkok, lalu meraih tubuh mungilnya dan menggendongnya erat. “Sayangnya Mamaaa— aduh, kangen banget sama kamu,”

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 4

    Alvaro meraih wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam seolah ingin menghafal setiap garis di wajahku. “Sayang,” suaranya rendah, parau, tapi penuh kelembutan.Aku hanya mampu tersenyum tipis, jantungku berdebar kencang. “Hmm?” jawabku.Tanpa banyak kata, bibirnya menyentuh bibirku, lembut namun menuntut. Hangatnya segera menjalar ke seluruh tubuh, membuatku tak bisa berpaling. Tangannya mengusap rambutku, lalu turun ke punggung, menarikku semakin rapat ke dadanya.Aku balas memeluknya erat, merasakan degup jantungnya berpacu sama cepatnya dengan milikku. Saat jemarinya menyusuri lenganku, seolah ada percikan aneh yang membuatku menggigil, tapi bukan karena dingin.Alvaro menunduk, mengecup leherku dengan penuh sayang. “Kita kerjakan proyek pembuatan dedek bayi ya,” gumamnya di sela nafas hangat.Aku memejam, meresapi setiap sentuhan yang begitu hati-hati tapi juga membuat darahku berdesir. “Lakukan, Mas, lakukanlah,” jawabku lirih, hampir tak terdengar.Kain yang memisahkan ka

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 3

    “Aduh, Mas. Rasanya aku nggak bisa jalan. Kenyangnya level dewa,” ujarku sambil menepuk perut yang kini terasa penuh.Alvaro terkekeh, meraih tanganku agar segera berdiri. “Ayo, jangan malas. Katanya mau ke Tokyo Tower? Kalau nungguin kamu mager, bisa-bisa Tower-nya keburu padam lampunya.”Aku meringis kecil, lalu bangkit sambil mengusap perut. “Oke, demi Tokyo Tower, aku rela menghempaskan mager.”Beberapa menit kemudian kami sudah berada di dalam taksi menuju Tokyo Tower. Jalanan Shibuya malam itu cukup ramai, tapi tetap tertib. Lampu neon dari papan iklan besar terlihat jelas dari balik kaca jendela. Aku menempelkan wajah ke kaca, rasanya persis seperti anak kecil yang lagi study tour pertama kali.“Mas, lihat deh! Lampunya kayak nggak ada habisnya. Kayak dunia mimpi,” seruku takjub.Alvaro hanya melirik sambil tersenyum hangat. “Aku lebih suka melihat matamu yang berbinar terang. Jauh lebih indah daripada lampu kota.”Aku menoleh cepat, pipiku memanas. “Mas, jangan mulai deh. Aku

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon 2

    Begitu tiba di Jepang, rasa lelah perjalanan langsung sirna saat kakiku menapak lobby hotel mewah di kawasan Shibuya. Mataku mengedar ke sekeliling, takjub memperhatikan setiap sudut ruangan, sementara Alvaro hanya tersenyum geli melihat tingkahku yang mirip turis lugu.“Mas, kita beneran nginep di sini?” tanyaku dengan mata berbinar.“Iya, Sayang. Masa bulan madu kita di kos-kosan?” jawabnya.Aku mencubit lengannya pelan. “Ih, ngomongnya suka bikin gemes.”Dia terkekeh, lalu meraih tanganku. “Sabar, sebentar lagi ada kejutan buat kamu.”Aku menatapnya curiga. Kejutan apa lagi? Rasanya perutku sudah keroncongan, yang ada aku ingin kejutan berupa ramen panas.Begitu pintu kamar terbuka, langkahku langsung terhenti. Kamar yang akan kami tempati sudah ditata begitu indah. Kelopak bunga sakura tersebar di lantai dan ranjang, membentuk pola hati. Di meja dekat jendela, ada dua gelas wine non-alkohol berkilau diterangi cahaya lilin. Dan di balkon—oh Tuhan—pemandangan malam Tokyo dengan men

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Honeymoon

    Pagi ini rumah terasa riuh, bukan karena Rey menangis, melainkan karena aku yang sibuk mondar-mandir mengecek barang-barang yang akan aku bawa ke Jepang. Dua koper sudah berjejer di ruang tamu, tapi aku tetap merasa ada yang kurang. Sementara itu, Bunda Zura beberapa kali mengingatkanku agar tidak terlalu panik.“Nay, tenang saja, Nak. Bawa seperlunya, sisanya bisa dibeli di Jepang nanti,” ujar Bunda sambil tersenyum geli.Aku menghela napas, lalu melirik ke arah Alvaro yang sedang menggendong Rey. Si ganteng tampak ceria, tidak ada tanda-tanda rewel sama sekali meski sebentar lagi harus berpisah denganku.“Papa, jangan lupa sama janji kita, ya,” bisik Rey, meski suaranya tetap jelas terdengar olehku.Aku memicingkan mata. “Janji apa lagi ini?” tanyaku curiga.Rey malah nyengir lebar. “Papa janji mau kasih Rey adek bayi! Katanya kalau Papa Mama bulan madu ke Jepang, Rey bisa dapat adek kembar!”Aku langsung terpaku di tempat, sementara wajahku terasa panas. “Mas Al!” seruku refleks."

  • Kontrak Cinta Sang Tuan Muda   Tanda Merah Meresahkan

    Rey sudah sembuh dari demamnya dan kembali ceria. Sekarang dia asyik bermain bersama Alvaro di taman belakang, sementara aku bisa sedikit bersantai di ruang keluarga bersama Bunda Zura dan Oma Narumi. Di meja terhidang teh hangat dan kue buatan Bunda.“Jadi, Alvaro sudah cerita, kan?” tanya Bunda Zura dengan senyum lembutnya. “Dia ingin ajak kamu bulan madu ke Jepang.”Aku terdiam sejenak, jemariku meremas rok yang kupakai. “Iya, Bun. Mas Al memang sudah menjelaskan. Tapi—” suaraku mengecil.“Tapi apa, Nak?” Oma Narumi menatapku penuh perhatian.Aku menunduk, menatap cangkir teh yang sudah mendingin. “Aku masih bingung, Oma. Rasanya belum tega ninggalin Rey. Apalagi kemarin dia baru sakit. Kalau aku pergi, nanti siapa yang jaga dia?”Bunda Zura tersenyum hangat, lalu meraih tanganku. “Nak, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Rey sudah mulai besar, dan kamu punya kami di sini. Opa, Oma, Bapak juga Bunda— semua sayang sama Rey. Kamu bisa tenang kalau harus pergi sebentar.”“Tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status