Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 4: Perjanjian Tanpa Perasaan

Share

Bab 4: Perjanjian Tanpa Perasaan

Penulis: Gema senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-28 22:37:20

“Jadi, kamu setuju?”

Alvano duduk di balik meja kaca dengan wajah datar. Setiap kata keluar dari mulutnya terdengar seperti kalimat perintah, bukan pertanyaan.

Aira berdiri mematung di seberang meja. Hari ini ia memakai kemeja putih dan celana kain hitam — formal, tapi bukan karena ingin tampil sopan. Ia ingin terlihat kuat. Tegar. Sekalipun hatinya masih bertanya-tanya: Apa aku sudah gila?

“Aku setuju,” jawab Aira akhirnya. Suaranya nyaris tak terdengar.

Alvano mengangguk pelan. “Baik. Maka sekarang kita bicara detail.”

Ia membuka map hitam di hadapannya, lalu menyodorkannya ke Aira. Halaman pertama sudah menampilkan judul besar yang membuat perut Aira bergejolak:

PERJANJIAN PERNIKAHAN SEMENTARA

Durasi: 12 bulan

Pihak I: Alvano Dirgantara

Pihak II: Aira Nadine Pratama

“Ada beberapa syarat,” kata Alvano, menatap Aira tanpa berkedip. “Dan kamu harus setuju semuanya sebelum tanda tangan.”

Aira mengangguk pelan. “Apa saja?”

Alvano mulai membacakan satu per satu, suaranya tenang seperti membaca laporan keuangan.

“Satu. Kita akan tinggal di satu rumah, tapi di kamar terpisah. Tidak ada kontak fisik kecuali dalam situasi publik.”

Aira mengernyit. “Maksudnya… pura-pura mesra depan orang lain?”

“Jika perlu, iya.”

Alvano membalik halaman.

“Kedua. Kamu tidak boleh mencampuri urusan pribadiku. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, selama kamu tetap menjaga citra sebagai istriku.”

“Citra?” Aira memotong, nadanya naik setengah oktaf. “Jadi aku cuma pajangan?”

“Kamu yang butuh uang dua miliar, Nona Aira.” Tatapan Alvano mengeras. “Jangan bertingkah seperti korban.”

Aira mengepalkan tangannya di bawah meja.

“Lanjut,” kata pria itu dingin.

Alvano membuka lembar selanjutnya. “Ketiga. Kita akan menghadiri acara keluarga atau sosial bersama jika diperlukan. Kamu akan bersikap seperti istri yang bahagia — tanpa drama.”

Aira menarik napas panjang. Ia ingin membantah, tapi apa yang bisa ia katakan? Bukankah ini yang ia pilih?

Lalu Alvano menatap langsung ke matanya. “Dan yang paling penting… tidak ada keterlibatan perasaan.”

Aira menahan napas. “Maksudnya?”

“Tidak boleh jatuh cinta,” ucap Alvano tegas.

Sejenak ruangan itu hening.

Aira ingin tertawa. Tapi tawa itu justru tersangkut di tenggorokannya.

“Jadi kamu pikir aku bakal jatuh cinta sama kamu?” tanyanya sinis.

“Ini bukan soal kamu atau aku,” jawab Alvano cepat. “Ini soal membatasi. Hubungan ini hanya kontrak. Bukan dongeng.”

Aira menatap pria itu dalam-dalam. Wajahnya sempurna, nyaris dingin seperti marmer. Tapi justru karena terlalu sempurna… Aira bisa melihat bahwa yang ia hadapi bukan manusia biasa. Alvano adalah tembok — tinggi, keras, dan dingin.

“Baik,” kata Aira akhirnya. “Tapi aku punya syarat juga.”

Alvano menaikkan alis. “Syarat?”

“Ya. Satu saja. Setelah satu tahun… aku bebas. Tak ada embel-embel perpanjangan. Tak ada drama. Hanya... selesai.”

Alvano terdiam sejenak. Lalu mengangguk.

“Setuju.”

---

Tanda tangan dilakukan dalam diam. Tidak ada cincin. Tidak ada senyum. Hanya bunyi bolpoin yang menyentuh kertas dengan berat, seolah tinta yang tertuang itu berasal dari luka masing-masing.

Setelah itu, Alvano berdiri. “Mulai minggu depan, kamu pindah ke rumahku. Aku akan siapkan kamar.”

Aira bangkit juga. “Aku akan pamit ke orangtuaku dulu.”

“Sampaikan pada mereka bahwa semuanya akan dibereskan sore ini,” kata Alvano tanpa menatapnya. “Rumah, bengkel, dan utang.”

“Termasuk hidupku,” gumam Aira sambil berjalan keluar ruangan.

Pintu tertutup. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu… Alvano menghela napas.

Satu tahun.

Bersama wanita yang keras kepala, penuh luka, dan terlalu berani.

Apa yang mungkin salah?

Langkah Aira terdengar berat saat ia menuruni anak tangga gedung megah itu. Dunia di luar tetap ramai seperti biasa, tapi semuanya terasa... hampa.

Ia menatap langit siang yang mendung, seolah ikut menyerap kegundahan yang mengendap di dadanya.

Ia baru saja menandatangani kontrak paling aneh dalam hidupnya. Bukan kerja. Bukan utang. Tapi… pernikahan.

“Ini bukan pernikahan,” gumamnya pelan, “ini transaksi.”

Tangannya merogoh tas kecilnya, mengambil ponsel. Ada belasan pesan masuk dari ibunya, semua dengan nada cemas:

"Kapan pulang, Nak?"

"Ibu masak kesukaanmu."

"Ayah udah tidur, tapi tadi sempat nanya kamu ke mana."

Aira menutup layar ponsel dan memejamkan mata sejenak.

Ma… Pa… aku minta maaf. Tapi ini satu-satunya cara…

Ia berjalan ke arah halte, menyusuri trotoar yang basah oleh hujan semalam. Sepanjang jalan, pikirannya melayang ke sosok Alvano.

Dingin. Terlalu teratur. Terlalu mengendalikan.

Dan kini, dia akan jadi suaminya — setidaknya di atas kertas.

Aira bukan gadis lugu yang percaya dongeng. Ia tahu, satu tahun ke depan akan jadi mimpi buruk. Tapi demi keluarganya, ia rela kehilangan sedikit dari dirinya.

Atau… mungkin banyak.

Sambil terus melangkah, Aira memegangi map berisi salinan kontrak itu erat-erat. Beratnya melebihi sekadar kertas dan tanda tangan.

Itu adalah beban masa depan. Yang tak lagi miliknya sepenuhnya.

Tapi satu hal yang ia yakini…

Jika suatu hari ia harus hancur karena ini — maka ia akan memilih hancur dengan kepala tegak.

Ia akan melangkah ke dalam badai itu tanpa payung, tanpa pelindung. Karena bagi Aira, harga dirinya bukan soal menang… tapi soal tidak lari.

Dan sekarang, tak ada lagi jalan untuk mundur.

Besok, semuanya akan berubah.

Sebelum naik ke dalam bus, Aira menoleh sekali lagi ke arah gedung tinggi tempat Alvano bekerja. Tempat semuanya dimulai.

Gedung itu berdiri kokoh dan dingin—seperti pria yang sekarang terikat dalam hidupnya.

“Aku enggak akan kalah,” bisiknya pada dirinya sendiri, hampir seperti sumpah.

Bukan pada Alvano. Bukan pada kontrak.

Tapi pada rasa takut yang diam-diam mulai tumbuh dalam dirinya.

Bus datang. Aira naik, duduk di dekat jendela, dan memeluk map itu lebih erat. Di luar, langit makin mendung. Tapi ia tahu, badai sesungguhnya… baru akan dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 57 – Hampir Pergi Lagi

    Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 56: Luka yang Tak Pernah Benar-Benar Sembuh

    Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 55: Jika Benar, Aku Akan Pergi

    Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 54: Anak Itu Menghancurkan Segalanya

    “Kamu harus lihat ini sekarang juga.” Suara Clara terdengar panik lewat sambungan telepon. Aira yang baru selesai meeting dengan tim keuangan langsung berdiri dari kursi. “Ada apa?” tanyanya sambil mengambil ponsel dari meja. “Media baru upload video. Viral banget. Seorang wanita muncul, bawa anak kecil... ngaku anak Alvano.” Aira membeku. “Apa?” Clara cepat mengirimkan link video ke chat pribadi. Tangan Aira sedikit gemetar saat menekannya. Layar menampilkan cuplikan konferensi pers kecil—diadakan di sebuah restoran mewah. Seorang wanita berdiri di depan kamera dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun di sampingnya. “Namaku Vanya,” ujar wanita itu. Wajahnya cantik dan penuh percaya diri. “Dan ini, Julian, anakku... sekaligus anak kandung dari Alvano Hartawan.” Aira menutup mulutnya. Clara melanjutkan, “Komentar publik udah gila. Beberapa akun media bilang kamu pelakor, bahkan ada yang minta kamu mundur dari Vanora.” “Aku… aku ke kantor sekarang,” uca

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 53: Dibelakang Senyum Tim, Ada Mata yang Mengintai

    “Berani banget kamu balas email Pak Harlan kayak gitu.” Suara itu datang dari belakang Aira saat ia tengah merapikan berkas di ruang kerja tim krisis. Suara bernada menggoda, tapi tajam. Aira menoleh. Reva—asisten senior di tim PR Vanora. Wanita berambut panjang dengan lipstik merah menyala, salah satu orang paling lama di perusahaan… dan juga yang paling licin. “Emailnya sudah disetujui tim hukum. Aku hanya bicara sesuai data,” jawab Aira tenang. Reva menyeringai. “Ya… cuma biasanya, orang baru tuh agak segan. Apalagi kalau baru masuk udah duduk di proyek utama.” Aira tidak tersenyum balik. “Aku nggak punya waktu buat basa-basi.” Reva mengangkat alis. “Wah. Galak juga.” --- Hari itu, Aira mendapat tugas presentasi di depan jajaran PR dan manajemen. Ia menjabarkan rencana pemulihan citra Vanora lewat pendekatan publik berbasis transparansi: live audit, testimoni klien lama, dan program CSR serentak. Ruang rapat hening saat Aira menyelesaikan presentasinya. Namun be

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 52: Ancaman dalam Diam

    “Nama kamu mulai ramai lagi di forum-forum saham,” ujar Clara sambil menyodorkan tablet ke Aira. Aira baru saja masuk ke ruang kerja pagi itu. Rambutnya masih sedikit basah karena mandi buru-buru. Tapi sebelum sempat duduk, ia sudah disambut kabar tak enak. “Ramai?” Aira menerima tablet itu, menatap layar dengan alis terangkat. “Istri CEO Vanora pegang program restrukturisasi?" “Kredibilitas perusahaan makin dipertanyakan. CEO bawa istri buat bersihin nama?” Aira menarik napas dalam. “Komentar publik…” “Bukan cuma komentar biasa, Ra,” sahut Clara serius. “Ada akun besar investor luar negeri yang repost ini. Kalau mereka cabut, kita bisa kolaps.” Aira terdiam. Dalam hati, ia tahu ini bukan pertama kalinya ia dihantam komentar. Tapi sekarang berbeda—posisinya bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai penentu arah penyelamatan Vanora. Dan satu langkah salah… semua bisa tumbang. Siangnya, Aira diminta hadir ke pertemuan informal dengan salah satu investor lama Vanora—Mr. H

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status