Aira tidak pernah membayangkan pernikahannya akan seperti ini.
Tanpa bunga. Tanpa musik. Tanpa gaun putih atau tawa bahagia. Hanya ruangan berukuran sedang di lantai atas sebuah gedung kantor hukum, berisi tiga orang saksi, satu penghulu, dan dua orang yang akan “menikah” tanpa cinta. Alvano datang sepuluh menit sebelum acara dimulai. Rapi dengan setelan jas hitam dan dasi senada, wajahnya dingin seperti biasa, seolah ini hanya rapat pagi biasa. Aira berdiri di seberang ruangan dengan dress cokelat susu yang dipilih ibunya pagi tadi. Tak terlalu mencolok. Tapi cukup sopan. Cukup… pantas. “Siap?” tanya penghulu dengan suara pelan. Aira mengangguk tanpa suara. Alvano hanya menjawab dengan isyarat kecil. Lalu, akad dimulai. Suara penghulu membaca ijab kabul terdengar seperti gema di kepala Aira. Pelan, formal, dan kosong. Ketika giliran Alvano menjawab, suaranya datar. “Saya terima nikahnya Aira Nadine Pratama binti Bambang Pratama... dengan mas kawin tersebut, tunai.” Tidak ada senyum. Tidak ada pelukan. Tidak ada tatapan mata. Setelah itu, notaris yang duduk di sisi kanan membuka map hitam dan mulai membaca isi perjanjian pernikahan. “Perjanjian berlaku selama dua belas bulan. Kedua pihak setuju untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing…” Aira menunduk. Ia sudah membaca semuanya. Tapi mendengarnya dibacakan seperti ini—di tengah prosesi pernikahan—rasanya seperti menikah dengan kontrak, bukan dengan manusia. Ketika sampai pada poin terakhir, suara notaris terdengar lebih tegas. “Dan kedua pihak setuju bahwa tidak akan ada keterlibatan perasaan selama masa pernikahan berlangsung.” Aira menahan napas. Ia ingin tertawa. Ingin marah. Tapi ia hanya duduk diam, menandatangani dokumen itu saat diberikan. Tangan Alvano menyentuh pena. Tanda tangan terukir rapi di kertas terakhir. Selesai. Tidak ada ciuman. Tidak ada ucapan selamat. Hanya notaris yang berdiri sambil menyodorkan berkas salinan dan berkata, “Resmi.” Resmi. Seperti surat izin usaha. Seperti perjanjian bisnis. Penghulu pamit tak lama kemudian. Para saksi ikut pergi. Ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua. Aira berdiri sambil merapikan tas kecilnya. “Sudah?” “Sudah,” jawab Alvano, tidak menatapnya. “Terima kasih,” ucap Aira sarkastik, setengah menahan getir. Alvano berdiri. “Sopirku akan mengantar kamu ke rumah. Kamarmu sudah disiapkan.” “Kamar? Maksudmu—” “Kamar tamu di lantai dua. Sebelah ruang kerja,” potong Alvano dingin. “Begitu cepat aku jadi tamu, ya,” gumam Aira. Alvano tidak menjawab. Ia berjalan melewati Aira, menuju pintu. Tapi sebelum ia keluar, Aira bertanya, “Kamu enggak akan kasih ucapan ‘selamat menikah’?” Alvano berhenti sebentar, lalu berkata tanpa menoleh, “Selamat datang… di kesepakatan paling bodoh dalam hidupmu.” Dan pintu tertutup. --- Aira duduk lagi, sendirian. Sepasang cincin perak tergeletak di meja, belum mereka pakai. Ia mengambil satunya. Memandangnya lama. “Kalau ini mimpi… semoga aku cepat bangun.” Tapi ia tidak akan bangun. Karena ini nyata. Dan pernikahan ini… sudah resmi. Meski tak pernah benar-benar hidup. Mobil berhenti di depan rumah megah bergaya Eropa klasik. Pilar-pilarnya menjulang kokoh, seperti menyambut dengan dingin siapa pun yang datang. Aira turun dengan langkah ragu. Langit mulai gelap. Angin sore membawa udara yang sejuk, tapi Aira merasa dingin justru dari dalam. Pintu utama dibukakan oleh seorang pria setengah baya berkemeja putih. Ia tersenyum sopan. “Selamat datang, Nona Aira. Saya Darto, kepala pelayan di sini.” Nona? Aira mengernyit dalam hati. Bahkan setelah resmi jadi istri, tetap dipanggil ‘Nona’. Tapi ia hanya mengangguk kecil dan masuk. Interior rumah itu mewah, tapi sunyi. Lantai marmer, chandelier menjuntai dari langit-langit, perabot serba mahal—namun tidak ada kehangatan. Tidak ada jejak kehidupan. “Silakan naik. Kamar Anda di lantai dua, sayap kanan,” kata Darto sopan. “Tuan Alvano belum pulang. Tapi tadi beliau menginstruksikan agar Anda beristirahat saja malam ini.” Belum pulang? Padahal mereka baru saja ‘menikah’ dua jam lalu. Aira tidak heran. Tapi tetap ada bagian dalam dirinya yang... nyeri. Tangga spiral itu seperti membawa Aira menuju dunia lain. Dunia di mana ia adalah istri, tapi tidak dicintai. Tinggal di rumah, tapi tidak dimiliki. Kamarnya luas dan indah. Ranjang queen-size dengan seprei krem, lemari built-in, bahkan balkon kecil menghadap taman belakang. Tapi Aira tidak tertarik memandangi keindahan. Yang ia rasakan hanyalah sepi. Ia duduk di tepi ranjang, melepas sepatu pelan-pelan. Pikirannya melayang ke orangtuanya. Apa mereka sedang tersenyum lega sekarang? Apakah mereka tahu, harga dari ‘penyelamatan’ itu adalah kehampaan di hati anak mereka? Aira bangkit, membuka koper kecilnya, lalu mengganti gaun cokelatnya dengan piyama polos. Ia masuk ke kamar mandi dan menatap cermin. Wajahnya lelah. Matanya kosong. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Karena kalau ia bicara sekarang, ia tahu suaranya akan pecah. Malam pertama. Seharusnya jadi malam yang penuh tawa atau kecanggungan manis. Tapi yang Aira dapatkan hanya dinding asing, kamar dingin, dan ketidakpastian. Ia memeluk lutut di atas ranjang. Menatap langit-langit. Menanti sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu bentuknya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal. "Mulai besok jam 8 pagi kamu akan diantar ke kantor. Siapkan dirimu.” — A. Aira menarik napas dalam. Ternyata malam pertamanya… ditutup dengan perintah. Dan begitulah pernikahan mereka dimulai. Tanpa ciuman. Tanpa selimut hangat. Hanya sunyi… dan instruksi dari seorang tuan.“Ayang, oven-nya hidupin dulu dong!” teriak Aira dari balik dapur kecilnya. Alvano—mantan CEO garang yang kini memakai celemek motif ayam—menoleh dari sudut meja. “Yang ini? Yang bawah atau yang atas?” “Yang atas! Buat roti gulung!” Alvano mengangguk, menekan tombolnya perlahan. “Kalau nanti gosong, bukan salah aku ya.” Aira hanya tertawa. Perempuan itu sedang sibuk memotong adonan, mengisi dengan selai stroberi buatan sendiri, lalu menggulungnya satu per satu. Tangannya cekatan. Wajahnya sumringah. Bakery kecil itu baru buka tiga bulan. Mereka menamainya “RumaRoti” — singkatan dari "Rumah dan Roti". Letaknya di sudut kota yang tenang, dengan jendela besar menghadap taman dan interior bergaya rustic yang hangat. Setiap pagi, bau mentega dan kopi menyatu di udara. Dan setiap hari, pelanggan datang bukan hanya untuk membeli roti, tapi juga untuk melihat pasangan pemiliknya yang—konon—“manis banget kayak isi rotinya”. “Aku masih nggak percaya kamu bisa nyaman kerja di dap
“Beneran cuma kita berdua?” tanya Aira sambil menatap altar kecil di halaman belakang rumah kayu itu. Di depannya hanya ada meja kayu sederhana, seikat bunga lili putih, dua kursi, dan... satu Alvano yang sedang merapikan dasinya sendiri tanpa bantuan siapapun. “Beneran,” jawab Alvano santai. “Nggak ada fotografer, nggak ada tamu, nggak ada media.” Aira menatap sekeliling. Tak ada dekorasi mewah, tak ada balon atau pesta. Hanya pepohonan tinggi, semilir angin, dan danau yang tenang menjadi saksi. “Kalau Mama kamu tahu, dia bakal ngamuk.” “Mama udah tahu. Dan dia bilang, ‘Asal kalian bahagia, Ibu ikhlas.’” Aira mendesah kecil, antara terharu dan masih tak percaya. Setelah segala drama, skandal, kontrak, perpisahan, bahkan tuduhan soal anak tak berdasar… kini ia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda. Bukan di pelaminan mewah, bukan di tengah keramaian, melainkan... di tengah sunyi yang hangat. “Pakai baju ini udah cukup, ya?” Aira menatap gaun putih polos selutut ya
Sudah seminggu sejak Aira kembali ke rumah besar itu. Tapi ia belum sepenuhnya masuk ke dalam dunia Alvano lagi. Setiap pagi, mereka sarapan bersama di meja panjang. Setiap malam, Alvano mengantar Aira ke kamar tamu tanpa menyentuh pintunya, apalagi mencoba memeluk. Aira tahu… dia sedang diberi ruang. Namun, pagi ini berbeda. Saat Aira turun ke ruang makan, ia tidak menemukan Alvano di meja biasa. Hanya ada secarik kertas di samping piring makannya. Hari ini, aku ingin menunjukkan sesuatu. Tolong pakai baju yang kamu suka. Sopir akan menjemputmu pukul sepuluh. — Alvano Aira menatap kertas itu dengan alis bertaut. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya. Tapi rasa penasarannya menang. Jam sepuluh tepat, ia sudah duduk di dalam mobil hitam yang membawanya ke luar kota. Jalanan menurun menuju tepi danau, tempat yang asing, namun tenang. Ada rumah kayu kecil di pinggir danau itu, tampak sepi tapi hangat. Begitu turun dari mobil, Aira mendapati Alvano berdiri di depan teras.
Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota
Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu
Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu