Home / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 5: Pernikahan Tanpa Rasa

Share

Bab 5: Pernikahan Tanpa Rasa

Author: Gema senja
last update Last Updated: 2025-04-28 22:55:41

Aira tidak pernah membayangkan pernikahannya akan seperti ini.

Tanpa bunga.

Tanpa musik.

Tanpa gaun putih atau tawa bahagia.

Hanya ruangan berukuran sedang di lantai atas sebuah gedung kantor hukum, berisi tiga orang saksi, satu penghulu, dan dua orang yang akan “menikah” tanpa cinta.

Alvano datang sepuluh menit sebelum acara dimulai. Rapi dengan setelan jas hitam dan dasi senada, wajahnya dingin seperti biasa, seolah ini hanya rapat pagi biasa.

Aira berdiri di seberang ruangan dengan dress cokelat susu yang dipilih ibunya pagi tadi. Tak terlalu mencolok. Tapi cukup sopan. Cukup… pantas.

“Siap?” tanya penghulu dengan suara pelan.

Aira mengangguk tanpa suara. Alvano hanya menjawab dengan isyarat kecil.

Lalu, akad dimulai.

Suara penghulu membaca ijab kabul terdengar seperti gema di kepala Aira. Pelan, formal, dan kosong.

Ketika giliran Alvano menjawab, suaranya datar.

“Saya terima nikahnya Aira Nadine Pratama binti Bambang Pratama... dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Tidak ada senyum. Tidak ada pelukan. Tidak ada tatapan mata.

Setelah itu, notaris yang duduk di sisi kanan membuka map hitam dan mulai membaca isi perjanjian pernikahan.

“Perjanjian berlaku selama dua belas bulan. Kedua pihak setuju untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing…”

Aira menunduk. Ia sudah membaca semuanya. Tapi mendengarnya dibacakan seperti ini—di tengah prosesi pernikahan—rasanya seperti menikah dengan kontrak, bukan dengan manusia.

Ketika sampai pada poin terakhir, suara notaris terdengar lebih tegas.

“Dan kedua pihak setuju bahwa tidak akan ada keterlibatan perasaan selama masa pernikahan berlangsung.”

Aira menahan napas.

Ia ingin tertawa. Ingin marah. Tapi ia hanya duduk diam, menandatangani dokumen itu saat diberikan.

Tangan Alvano menyentuh pena. Tanda tangan terukir rapi di kertas terakhir.

Selesai.

Tidak ada ciuman. Tidak ada ucapan selamat. Hanya notaris yang berdiri sambil menyodorkan berkas salinan dan berkata, “Resmi.”

Resmi.

Seperti surat izin usaha.

Seperti perjanjian bisnis.

Penghulu pamit tak lama kemudian. Para saksi ikut pergi. Ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua.

Aira berdiri sambil merapikan tas kecilnya. “Sudah?”

“Sudah,” jawab Alvano, tidak menatapnya.

“Terima kasih,” ucap Aira sarkastik, setengah menahan getir.

Alvano berdiri. “Sopirku akan mengantar kamu ke rumah. Kamarmu sudah disiapkan.”

“Kamar? Maksudmu—”

“Kamar tamu di lantai dua. Sebelah ruang kerja,” potong Alvano dingin.

“Begitu cepat aku jadi tamu, ya,” gumam Aira.

Alvano tidak menjawab. Ia berjalan melewati Aira, menuju pintu.

Tapi sebelum ia keluar, Aira bertanya, “Kamu enggak akan kasih ucapan ‘selamat menikah’?”

Alvano berhenti sebentar, lalu berkata tanpa menoleh,

“Selamat datang… di kesepakatan paling bodoh dalam hidupmu.”

Dan pintu tertutup.

---

Aira duduk lagi, sendirian. Sepasang cincin perak tergeletak di meja, belum mereka pakai.

Ia mengambil satunya. Memandangnya lama.

“Kalau ini mimpi… semoga aku cepat bangun.”

Tapi ia tidak akan bangun.

Karena ini nyata. Dan pernikahan ini… sudah resmi. Meski tak pernah benar-benar hidup.

Mobil berhenti di depan rumah megah bergaya Eropa klasik. Pilar-pilarnya menjulang kokoh, seperti menyambut dengan dingin siapa pun yang datang.

Aira turun dengan langkah ragu. Langit mulai gelap. Angin sore membawa udara yang sejuk, tapi Aira merasa dingin justru dari dalam.

Pintu utama dibukakan oleh seorang pria setengah baya berkemeja putih. Ia tersenyum sopan.

“Selamat datang, Nona Aira. Saya Darto, kepala pelayan di sini.”

Nona?

Aira mengernyit dalam hati. Bahkan setelah resmi jadi istri, tetap dipanggil ‘Nona’.

Tapi ia hanya mengangguk kecil dan masuk.

Interior rumah itu mewah, tapi sunyi. Lantai marmer, chandelier menjuntai dari langit-langit, perabot serba mahal—namun tidak ada kehangatan.

Tidak ada jejak kehidupan.

“Silakan naik. Kamar Anda di lantai dua, sayap kanan,” kata Darto sopan. “Tuan Alvano belum pulang. Tapi tadi beliau menginstruksikan agar Anda beristirahat saja malam ini.”

Belum pulang?

Padahal mereka baru saja ‘menikah’ dua jam lalu.

Aira tidak heran. Tapi tetap ada bagian dalam dirinya yang... nyeri.

Tangga spiral itu seperti membawa Aira menuju dunia lain. Dunia di mana ia adalah istri, tapi tidak dicintai. Tinggal di rumah, tapi tidak dimiliki.

Kamarnya luas dan indah. Ranjang queen-size dengan seprei krem, lemari built-in, bahkan balkon kecil menghadap taman belakang. Tapi Aira tidak tertarik memandangi keindahan.

Yang ia rasakan hanyalah sepi.

Ia duduk di tepi ranjang, melepas sepatu pelan-pelan. Pikirannya melayang ke orangtuanya. Apa mereka sedang tersenyum lega sekarang? Apakah mereka tahu, harga dari ‘penyelamatan’ itu adalah kehampaan di hati anak mereka?

Aira bangkit, membuka koper kecilnya, lalu mengganti gaun cokelatnya dengan piyama polos.

Ia masuk ke kamar mandi dan menatap cermin.

Wajahnya lelah. Matanya kosong. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat.

Karena kalau ia bicara sekarang, ia tahu suaranya akan pecah.

Malam pertama.

Seharusnya jadi malam yang penuh tawa atau kecanggungan manis.

Tapi yang Aira dapatkan hanya dinding asing, kamar dingin, dan ketidakpastian.

Ia memeluk lutut di atas ranjang.

Menatap langit-langit.

Menanti sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu bentuknya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar.

Pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Mulai besok jam 8 pagi kamu akan diantar ke kantor. Siapkan dirimu.” — A.

Aira menarik napas dalam.

Ternyata malam pertamanya… ditutup dengan perintah.

Dan begitulah pernikahan mereka dimulai.

Tanpa ciuman.

Tanpa selimut hangat.

Hanya sunyi… dan instruksi dari seorang tuan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 11: Meja Kerja, Tatapan Beku

    “Aku nggak salah denger, kan?” Aira menatap lurus ke arah pria di depannya, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. “Sekretaris proyek?” Alvano mengangguk pelan. “Mulai hari ini, kamu kerja di kantorku. Nama kamu sudah terdaftar sebagai karyawan baru. HRD akan membimbingmu pagi ini.” “Kenapa aku harus jadi sekretarismu?” nada bicara Aira naik satu oktaf, nyaris tidak percaya. “Aku nggak ngerti soal perusahaan, dan kita tahu ini cuma—” “Kontrak?” potong Alvano, suaranya dingin. “Justru karena itu. Daripada kamu duduk diam di rumah dan bikin masalah, lebih baik kamu kerja. Lagipula, kita sepakat tidak akan mencampuri urusan pribadi, jadi aku pastikan kamu sibuk.” Aira mendengus kesal. “Kamu pikir aku bakal takut kerja?” “Tidak. Aku tahu kamu cukup cerdas untuk bertahan.” --- Gedung Arven Group menjulang tinggi di pusat kota, dengan kaca-kaca berkilau yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aira berdiri di lobi, merasa asing di tengah orang-orang dengan pakaian formal dan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 10: Gaun Merah dan Tatapan Beku

    Aira mematung di depan cermin raksasa kamar walk-in closet itu. Tubuhnya terbalut gaun merah marun panjang dengan potongan off-shoulder. Elegan. Berani. Tapi tetap memancarkan kesan anggun. Gaun itu dipilih oleh stylist pribadi Alvano yang tadi pagi mendadak datang ke rumah—katanya atas perintah ‘Tuan Besar’.Riasan wajahnya tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menonjolkan bentuk matanya yang tajam. Rambutnya diikat rendah dengan gelombang lembut menjuntai di satu sisi bahu.Aira hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Sudah siap?" suara berat Alvano terdengar dari ambang pintu.Ia menoleh. Alvano mengenakan setelan abu-abu gelap dengan dasi hitam. Rapi dan sangat… CEO. Tapi justru bukan penampilannya yang membuat jantung Aira mencuri detik.Melainkan tatapan pria itu yang untuk sepersekian detik... seperti terpaku padanya.Alvano tak bicara. Ia hanya memandangi Aira dari ujung kaki hingga ujung kepala, sebelum akhirnya memalingkan wajah cepat. "Turun sekarang. Kita terlambat."“

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 9: Tampil Seperti Pasangan

    "Aku harus ikut?" Aira memandang Nia dengan wajah setengah percaya, setengah kesal.Nia, kepala pelayan rumah itu, hanya mengangguk sambil menyodorkan gaun anggun berwarna biru muda."Arahan langsung dari Tuan Muda. Acara makan siang keluarga di rumah besar. Ibu beliau yang minta," ujar Nia dengan suara hati-hati.Aira menatap gaun itu. Mewah, mahal, dan terlalu formal. Ia merasa seperti boneka yang siap dipajang."Kenapa aku nggak dikasih tahu langsung? Atau minimal dikasih pilihan?" gumamnya.Nia diam. Sudah terlalu sering ia melihat wanita yang masuk ke rumah ini merasa diatur seperti pion catur."Gaunnya bagus, Nona. Saya bantu dandani, ya?"Aira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, pasrah.---Dua jam kemudian, Aira berdiri di depan mobil hitam mengilap, Alvano sudah menunggu di kursi kemudi. Pria itu tampak seperti biasa—necis, dingin, tak bercela.Matanya menyapu Aira sekilas. Ada jeda sepersekian detik di sana. “Gaunnya cocok.”“Kalau pun nggak cocok, toh aku tetap disur

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 8: Pergi, Atau Tetap Tahan?

    “Kamu masak sop jamur pakai daun seledri?”Aira menahan napas. Suara Alvano yang penuh penilaian dari balik meja makan membuat sendok di tangannya nyaris jatuh.“Iya. Kenapa?”“Aku alergi,” jawab pria itu datar. “Sudah kubilang sebelumnya.”Aira mematung. Ia menatap mangkuk sop yang masih mengepul, lalu wajah Alvano yang tidak tampak marah, tapi dingin—lebih dingin dari biasanya.“Saya nggak tahu. Di list bahan yang Tuan kasih nggak disebut seledri dilarang.”Alvano berdiri. “Kamu tahu apa akibatnya kalau aku kena alergi makanan? Pekerjaan bisa kacau. Jadwal rapat bisa hancur.”Aira memeluk lengan sendiri. “Saya bukan ahli gizi. Saya cuma—”“—istri,” potong Alvano tajam. “Sekalipun pura-pura, kamu tinggal di sini, makan di sini, pakai nama belakangku. Minimal, belajarlah jadi bagian dari rumah ini.”“Bagian dari rumah ini?” Aira tertawa kecil, sinis. “Sejak kapan saya dianggap bagian dari rumah ini? Bahkan masuk kamarmu aja nggak boleh.”Alvano memicingkan mata. “Itu sudah kesepakatan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 7: Seperti Babu di Rumah Sendiri

    “Kamu sengaja ya bikin teh ini dingin?”Aira mengerjap, menatap gelas teh di meja makan yang baru beberapa menit lalu ia hidangkan. Uapnya bahkan masih terlihat.“Baru aja aku tuang, Tuan Alvano,” jawabnya tenang.Alvano menatapnya dingin. “Kalau baru dituang, kenapa rasanya hambar?”Aira menarik napas panjang. Lagi-lagi salah. Entah kenapa, apa pun yang ia lakukan di rumah ini selalu saja salah di matanya.Ia menahan diri untuk tidak menjawab dengan nada ketus.Sudah beberapa hari sejak malam pernikahan mereka. Dan sejak hari itu pula, Aira merasa bukan seperti istri… tapi seperti pembantu pribadi.Bangun lebih pagi dari semua orang.Mengecek dapur, mengatur jadwal sopir, bahkan memastikan dasi Alvano tidak kusut sebelum ia berangkat.Dan semua itu?Tanpa ucapan terima kasih.“Lain kali, buat yang lebih manis,” Alvano berdiri. “Kau tahu aku benci rasa tawar.”Aira menelan ludah. “Catat: manis. Tapi jangan terlalu manis. Jangan dingin. Jangan panas. Jangan salah. Jangan bicara terlalu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 6: Malam yang Tidak Dinanti

    Aira baru saja selesai mencuci wajah ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah itu berat, teratur—dan hanya satu orang yang berjalan seperti itu di rumah ini.Alvano.Pintu kamar diketuk sekali.Aira buru-buru membuka. “Ya?”Alvano berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas hitam yang sama dengan yang ia pakai saat akad siang tadi. Hanya dasinya yang dilepas, tergantung di saku.“Turun ke bawah. Aku perlu bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.Aira mengangguk pelan dan menyusul pria itu menuruni tangga. Langkah mereka sama-sama sunyi.Ruang kerja Alvano dingin dan rapi, seolah tidak pernah digunakan. Meja besar dari kayu jati, rak buku dengan barisan koleksi yang disusun simetris, dan sofa kulit hitam di sudut ruangan.“Duduk,” perintah Alvano sambil melepas jasnya dan menggantungkan di belakang kursi.Aira duduk di sofa, memandangi pria itu dengan dahi mengernyit.“Ini soal...?” tanyanya.Alvano duduk di hadapannya, meletakkan satu map hitam di atas meja. “Aturan ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status