Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 6: Malam yang Tidak Dinanti

Share

Bab 6: Malam yang Tidak Dinanti

Penulis: Gema senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-28 22:58:30

Aira baru saja selesai mencuci wajah ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah itu berat, teratur—dan hanya satu orang yang berjalan seperti itu di rumah ini.

Alvano.

Pintu kamar diketuk sekali.

Aira buru-buru membuka. “Ya?”

Alvano berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas hitam yang sama dengan yang ia pakai saat akad siang tadi. Hanya dasinya yang dilepas, tergantung di saku.

“Turun ke bawah. Aku perlu bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.

Aira mengangguk pelan dan menyusul pria itu menuruni tangga. Langkah mereka sama-sama sunyi.

Ruang kerja Alvano dingin dan rapi, seolah tidak pernah digunakan. Meja besar dari kayu jati, rak buku dengan barisan koleksi yang disusun simetris, dan sofa kulit hitam di sudut ruangan.

“Duduk,” perintah Alvano sambil melepas jasnya dan menggantungkan di belakang kursi.

Aira duduk di sofa, memandangi pria itu dengan dahi mengernyit.

“Ini soal...?” tanyanya.

Alvano duduk di hadapannya, meletakkan satu map hitam di atas meja. “Aturan tinggal di rumah ini.”

Aira menahan tawa getir. “Langsung ke peraturan, ya? Enggak pakai basa-basi?”

“Aku tidak suka basa-basi,” sahut Alvano datar.

Ia membuka map itu, lalu mengeluarkan selembar kertas bertuliskan poin-poin yang sudah Aira lihat sebelumnya.

“Sama seperti yang kamu tanda tangani sebelum pernikahan. Tapi aku ulang biar jelas.”

Aira menghela napas. Ia menyandarkan punggung ke sofa.

“Tidur di kamar terpisah. Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tidak perlu bersikap sebagai pasangan di rumah ini. Dan…”

Ia menatap Aira lurus-lurus. “Tidak boleh jatuh cinta.”

Aira mengangkat alis. “Kamu serius dengan poin yang terakhir?”

“Sangat.”

“Bagaimana kalau aku jatuh cinta pada anjing peliharaanmu saja? Kayaknya lebih hangat daripada kamu.”

Alvano tidak tertawa. Bahkan ekspresinya tidak berubah sedikit pun.

“Tidak ada anjing di rumah ini.”

Aira menyeringai. “Ya, karena tidak ada ruang untuk kehangatan, kan?”

Alvano mengabaikan sindiran itu. Ia berdiri, berjalan ke rak buku, lalu memunggungi Aira.

“Mulai besok kamu akan ikut rutinitas kantor. Akan ada sopir yang menjemput setiap pagi jam tujuh tiga puluh.”

“Oke,” jawab Aira datar.

“Oh, satu hal lagi,” tambah Alvano. “Aku sudah siapkan tempat tidur untukmu.”

Aira memiringkan kepala. “Kamar yang tadi, kan?”

Alvano menoleh. “Bukan. Aku minta Darto siapkan kamar pelayan di belakang.”

Aira membeku. “Kamar pelayan?”

“Ya. Lebih dekat ke dapur dan akses keluar.”

“Jadi kamu benar-benar memperlakukanku seperti karyawan bayaran?” suara Aira meninggi.

Alvano kembali duduk, menyilangkan tangan di dada. “Kita punya kesepakatan. Ini bukan rumah tangga sungguhan.”

Aira menggigit bibir. Ia ingin marah, tapi ia juga tahu—ia menyetujui ini.

Dengan emosi campur aduk, Aira berdiri. “Terima kasih atas penyambutannya, Tuan Alvano. Aku benar-benar merasa… istimewa.”

Ia berjalan keluar dari ruang kerja, berusaha tidak menunjukkan betapa hatinya mencelos.

---

Kamar pelayan terletak di ujung lorong belakang, dekat ruang cuci. Kecil, dindingnya putih polos tanpa dekorasi, dan hanya berisi ranjang tunggal dengan lemari kayu tua.

Aira duduk di kasur keras itu. Matanya terasa panas, tapi ia tidak menangis.

Ia hanya mendongak, menghembuskan napas panjang.

“Bisa tolong diingatkan aku ini istri, bukan asisten rumah tangga?”

Tapi tidak ada yang menjawab.

Hanya dingin.

Dan diam.

Dan malam pertama Aira, sebagai istri sah seorang CEO, berakhir… di kamar sempit dengan selimut tipis dan lampu temaram.

Aira berbaring dengan punggung menghadap tembok. Ia mencoba memejamkan mata, tapi suasana kamar terlalu asing. Bau lemari kayu tua, bunyi detik jam di dapur, dan suara mesin cuci yang berdengung samar dari ruangan sebelah—semua membuat malam ini terasa lebih panjang dari seharusnya.

Ia membuka mata. Menatap langit-langit.

Mengingat kembali detik-detik saat ia mengucap “sah”.

Kata itu terlalu besar untuk keadaan yang ia jalani sekarang.

Ia istri. Tapi tanpa kamar pengantin.

Tanpa pelukan. Tanpa tempat di sisi suami.

Bahkan, tanpa tempat di rumah ini.

“Bahkan di peta pun aku enggak punya titik koordinat,” gumamnya lirih.

Ponselnya bergetar lagi.

Nomor yang sama.

“Jangan lupa alarm jam 6. Aku tidak suka orang yang telat.”

Aira menatap pesan itu lama.

Kalimat singkat… tapi jelas.

Alvano bukan pasangan, apalagi pelindung. Dia hanya atasan yang memakai kata ‘istri’ sebagai tameng urusan bisnis.

Ia menaruh ponsel di meja kecil dan menarik selimut seadanya.

Tidur di kamar pelayan, bangun pagi demi pria yang bahkan enggan memberinya ranjang layak.

Apa ini harga dari menyelamatkan keluarga?

“Semoga Papa bangga…” bisiknya, sebelum akhirnya memejamkan mata.

Dan malam pertama itu pun berlalu, tanpa romantika, tanpa kata-kata manis.

Hanya satu kenyataan yang Aira genggam kuat dalam hati:

Ia tak bisa berharap banyak pada pernikahan ini.

Karena yang menikah dengannya… bukan lelaki dengan hati.

Hanya lelaki dengan rencana.

Tapi meski mata terpejam, pikiran Aira terus berputar. Ia tahu, sejak hari ini, ia bukan lagi gadis biasa.

Setiap langkah, setiap ucapan—semuanya akan diawasi.

Setiap napas yang ia tarik di rumah ini, bukan lagi atas kehendaknya sendiri.

Ia tak bisa seenaknya bangun siang, atau mendengarkan musik keras-keras, atau menonton drama Korea sambil makan keripik.

Tidak ada Aira yang dulu.

Yang tersisa hanya seorang perempuan yang dikunci dalam pernikahan tanpa cinta.

Dan saat malam benar-benar sunyi, Aira berjanji dalam hati…

Jika ia harus hidup seperti boneka, maka ia akan menjadi boneka yang tidak bisa dikendalikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 11: Meja Kerja, Tatapan Beku

    “Aku nggak salah denger, kan?” Aira menatap lurus ke arah pria di depannya, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut. “Sekretaris proyek?” Alvano mengangguk pelan. “Mulai hari ini, kamu kerja di kantorku. Nama kamu sudah terdaftar sebagai karyawan baru. HRD akan membimbingmu pagi ini.” “Kenapa aku harus jadi sekretarismu?” nada bicara Aira naik satu oktaf, nyaris tidak percaya. “Aku nggak ngerti soal perusahaan, dan kita tahu ini cuma—” “Kontrak?” potong Alvano, suaranya dingin. “Justru karena itu. Daripada kamu duduk diam di rumah dan bikin masalah, lebih baik kamu kerja. Lagipula, kita sepakat tidak akan mencampuri urusan pribadi, jadi aku pastikan kamu sibuk.” Aira mendengus kesal. “Kamu pikir aku bakal takut kerja?” “Tidak. Aku tahu kamu cukup cerdas untuk bertahan.” --- Gedung Arven Group menjulang tinggi di pusat kota, dengan kaca-kaca berkilau yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aira berdiri di lobi, merasa asing di tengah orang-orang dengan pakaian formal dan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 10: Gaun Merah dan Tatapan Beku

    Aira mematung di depan cermin raksasa kamar walk-in closet itu. Tubuhnya terbalut gaun merah marun panjang dengan potongan off-shoulder. Elegan. Berani. Tapi tetap memancarkan kesan anggun. Gaun itu dipilih oleh stylist pribadi Alvano yang tadi pagi mendadak datang ke rumah—katanya atas perintah ‘Tuan Besar’.Riasan wajahnya tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menonjolkan bentuk matanya yang tajam. Rambutnya diikat rendah dengan gelombang lembut menjuntai di satu sisi bahu.Aira hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Sudah siap?" suara berat Alvano terdengar dari ambang pintu.Ia menoleh. Alvano mengenakan setelan abu-abu gelap dengan dasi hitam. Rapi dan sangat… CEO. Tapi justru bukan penampilannya yang membuat jantung Aira mencuri detik.Melainkan tatapan pria itu yang untuk sepersekian detik... seperti terpaku padanya.Alvano tak bicara. Ia hanya memandangi Aira dari ujung kaki hingga ujung kepala, sebelum akhirnya memalingkan wajah cepat. "Turun sekarang. Kita terlambat."“

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 9: Tampil Seperti Pasangan

    "Aku harus ikut?" Aira memandang Nia dengan wajah setengah percaya, setengah kesal.Nia, kepala pelayan rumah itu, hanya mengangguk sambil menyodorkan gaun anggun berwarna biru muda."Arahan langsung dari Tuan Muda. Acara makan siang keluarga di rumah besar. Ibu beliau yang minta," ujar Nia dengan suara hati-hati.Aira menatap gaun itu. Mewah, mahal, dan terlalu formal. Ia merasa seperti boneka yang siap dipajang."Kenapa aku nggak dikasih tahu langsung? Atau minimal dikasih pilihan?" gumamnya.Nia diam. Sudah terlalu sering ia melihat wanita yang masuk ke rumah ini merasa diatur seperti pion catur."Gaunnya bagus, Nona. Saya bantu dandani, ya?"Aira tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, pasrah.---Dua jam kemudian, Aira berdiri di depan mobil hitam mengilap, Alvano sudah menunggu di kursi kemudi. Pria itu tampak seperti biasa—necis, dingin, tak bercela.Matanya menyapu Aira sekilas. Ada jeda sepersekian detik di sana. “Gaunnya cocok.”“Kalau pun nggak cocok, toh aku tetap disur

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 8: Pergi, Atau Tetap Tahan?

    “Kamu masak sop jamur pakai daun seledri?”Aira menahan napas. Suara Alvano yang penuh penilaian dari balik meja makan membuat sendok di tangannya nyaris jatuh.“Iya. Kenapa?”“Aku alergi,” jawab pria itu datar. “Sudah kubilang sebelumnya.”Aira mematung. Ia menatap mangkuk sop yang masih mengepul, lalu wajah Alvano yang tidak tampak marah, tapi dingin—lebih dingin dari biasanya.“Saya nggak tahu. Di list bahan yang Tuan kasih nggak disebut seledri dilarang.”Alvano berdiri. “Kamu tahu apa akibatnya kalau aku kena alergi makanan? Pekerjaan bisa kacau. Jadwal rapat bisa hancur.”Aira memeluk lengan sendiri. “Saya bukan ahli gizi. Saya cuma—”“—istri,” potong Alvano tajam. “Sekalipun pura-pura, kamu tinggal di sini, makan di sini, pakai nama belakangku. Minimal, belajarlah jadi bagian dari rumah ini.”“Bagian dari rumah ini?” Aira tertawa kecil, sinis. “Sejak kapan saya dianggap bagian dari rumah ini? Bahkan masuk kamarmu aja nggak boleh.”Alvano memicingkan mata. “Itu sudah kesepakatan

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 7: Seperti Babu di Rumah Sendiri

    “Kamu sengaja ya bikin teh ini dingin?”Aira mengerjap, menatap gelas teh di meja makan yang baru beberapa menit lalu ia hidangkan. Uapnya bahkan masih terlihat.“Baru aja aku tuang, Tuan Alvano,” jawabnya tenang.Alvano menatapnya dingin. “Kalau baru dituang, kenapa rasanya hambar?”Aira menarik napas panjang. Lagi-lagi salah. Entah kenapa, apa pun yang ia lakukan di rumah ini selalu saja salah di matanya.Ia menahan diri untuk tidak menjawab dengan nada ketus.Sudah beberapa hari sejak malam pernikahan mereka. Dan sejak hari itu pula, Aira merasa bukan seperti istri… tapi seperti pembantu pribadi.Bangun lebih pagi dari semua orang.Mengecek dapur, mengatur jadwal sopir, bahkan memastikan dasi Alvano tidak kusut sebelum ia berangkat.Dan semua itu?Tanpa ucapan terima kasih.“Lain kali, buat yang lebih manis,” Alvano berdiri. “Kau tahu aku benci rasa tawar.”Aira menelan ludah. “Catat: manis. Tapi jangan terlalu manis. Jangan dingin. Jangan panas. Jangan salah. Jangan bicara terlalu

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 6: Malam yang Tidak Dinanti

    Aira baru saja selesai mencuci wajah ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah itu berat, teratur—dan hanya satu orang yang berjalan seperti itu di rumah ini.Alvano.Pintu kamar diketuk sekali.Aira buru-buru membuka. “Ya?”Alvano berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas hitam yang sama dengan yang ia pakai saat akad siang tadi. Hanya dasinya yang dilepas, tergantung di saku.“Turun ke bawah. Aku perlu bicara,” ucapnya tanpa basa-basi.Aira mengangguk pelan dan menyusul pria itu menuruni tangga. Langkah mereka sama-sama sunyi.Ruang kerja Alvano dingin dan rapi, seolah tidak pernah digunakan. Meja besar dari kayu jati, rak buku dengan barisan koleksi yang disusun simetris, dan sofa kulit hitam di sudut ruangan.“Duduk,” perintah Alvano sambil melepas jasnya dan menggantungkan di belakang kursi.Aira duduk di sofa, memandangi pria itu dengan dahi mengernyit.“Ini soal...?” tanyanya.Alvano duduk di hadapannya, meletakkan satu map hitam di atas meja. “Aturan ti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status