Aira baru saja selesai mencuci wajah ketika mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah itu berat, teratur—dan hanya satu orang yang berjalan seperti itu di rumah ini.
Alvano. Pintu kamar diketuk sekali. Aira buru-buru membuka. “Ya?” Alvano berdiri di ambang pintu, masih mengenakan jas hitam yang sama dengan yang ia pakai saat akad siang tadi. Hanya dasinya yang dilepas, tergantung di saku. “Turun ke bawah. Aku perlu bicara,” ucapnya tanpa basa-basi. Aira mengangguk pelan dan menyusul pria itu menuruni tangga. Langkah mereka sama-sama sunyi. Ruang kerja Alvano dingin dan rapi, seolah tidak pernah digunakan. Meja besar dari kayu jati, rak buku dengan barisan koleksi yang disusun simetris, dan sofa kulit hitam di sudut ruangan. “Duduk,” perintah Alvano sambil melepas jasnya dan menggantungkan di belakang kursi. Aira duduk di sofa, memandangi pria itu dengan dahi mengernyit. “Ini soal...?” tanyanya. Alvano duduk di hadapannya, meletakkan satu map hitam di atas meja. “Aturan tinggal di rumah ini.” Aira menahan tawa getir. “Langsung ke peraturan, ya? Enggak pakai basa-basi?” “Aku tidak suka basa-basi,” sahut Alvano datar. Ia membuka map itu, lalu mengeluarkan selembar kertas bertuliskan poin-poin yang sudah Aira lihat sebelumnya. “Sama seperti yang kamu tanda tangani sebelum pernikahan. Tapi aku ulang biar jelas.” Aira menghela napas. Ia menyandarkan punggung ke sofa. “Tidur di kamar terpisah. Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tidak perlu bersikap sebagai pasangan di rumah ini. Dan…” Ia menatap Aira lurus-lurus. “Tidak boleh jatuh cinta.” Aira mengangkat alis. “Kamu serius dengan poin yang terakhir?” “Sangat.” “Bagaimana kalau aku jatuh cinta pada anjing peliharaanmu saja? Kayaknya lebih hangat daripada kamu.” Alvano tidak tertawa. Bahkan ekspresinya tidak berubah sedikit pun. “Tidak ada anjing di rumah ini.” Aira menyeringai. “Ya, karena tidak ada ruang untuk kehangatan, kan?” Alvano mengabaikan sindiran itu. Ia berdiri, berjalan ke rak buku, lalu memunggungi Aira. “Mulai besok kamu akan ikut rutinitas kantor. Akan ada sopir yang menjemput setiap pagi jam tujuh tiga puluh.” “Oke,” jawab Aira datar. “Oh, satu hal lagi,” tambah Alvano. “Aku sudah siapkan tempat tidur untukmu.” Aira memiringkan kepala. “Kamar yang tadi, kan?” Alvano menoleh. “Bukan. Aku minta Darto siapkan kamar pelayan di belakang.” Aira membeku. “Kamar pelayan?” “Ya. Lebih dekat ke dapur dan akses keluar.” “Jadi kamu benar-benar memperlakukanku seperti karyawan bayaran?” suara Aira meninggi. Alvano kembali duduk, menyilangkan tangan di dada. “Kita punya kesepakatan. Ini bukan rumah tangga sungguhan.” Aira menggigit bibir. Ia ingin marah, tapi ia juga tahu—ia menyetujui ini. Dengan emosi campur aduk, Aira berdiri. “Terima kasih atas penyambutannya, Tuan Alvano. Aku benar-benar merasa… istimewa.” Ia berjalan keluar dari ruang kerja, berusaha tidak menunjukkan betapa hatinya mencelos. --- Kamar pelayan terletak di ujung lorong belakang, dekat ruang cuci. Kecil, dindingnya putih polos tanpa dekorasi, dan hanya berisi ranjang tunggal dengan lemari kayu tua. Aira duduk di kasur keras itu. Matanya terasa panas, tapi ia tidak menangis. Ia hanya mendongak, menghembuskan napas panjang. “Bisa tolong diingatkan aku ini istri, bukan asisten rumah tangga?” Tapi tidak ada yang menjawab. Hanya dingin. Dan diam. Dan malam pertama Aira, sebagai istri sah seorang CEO, berakhir… di kamar sempit dengan selimut tipis dan lampu temaram. Aira berbaring dengan punggung menghadap tembok. Ia mencoba memejamkan mata, tapi suasana kamar terlalu asing. Bau lemari kayu tua, bunyi detik jam di dapur, dan suara mesin cuci yang berdengung samar dari ruangan sebelah—semua membuat malam ini terasa lebih panjang dari seharusnya. Ia membuka mata. Menatap langit-langit. Mengingat kembali detik-detik saat ia mengucap “sah”. Kata itu terlalu besar untuk keadaan yang ia jalani sekarang. Ia istri. Tapi tanpa kamar pengantin. Tanpa pelukan. Tanpa tempat di sisi suami. Bahkan, tanpa tempat di rumah ini. “Bahkan di peta pun aku enggak punya titik koordinat,” gumamnya lirih. Ponselnya bergetar lagi. Nomor yang sama. “Jangan lupa alarm jam 6. Aku tidak suka orang yang telat.” Aira menatap pesan itu lama. Kalimat singkat… tapi jelas. Alvano bukan pasangan, apalagi pelindung. Dia hanya atasan yang memakai kata ‘istri’ sebagai tameng urusan bisnis. Ia menaruh ponsel di meja kecil dan menarik selimut seadanya. Tidur di kamar pelayan, bangun pagi demi pria yang bahkan enggan memberinya ranjang layak. Apa ini harga dari menyelamatkan keluarga? “Semoga Papa bangga…” bisiknya, sebelum akhirnya memejamkan mata. Dan malam pertama itu pun berlalu, tanpa romantika, tanpa kata-kata manis. Hanya satu kenyataan yang Aira genggam kuat dalam hati: Ia tak bisa berharap banyak pada pernikahan ini. Karena yang menikah dengannya… bukan lelaki dengan hati. Hanya lelaki dengan rencana. Tapi meski mata terpejam, pikiran Aira terus berputar. Ia tahu, sejak hari ini, ia bukan lagi gadis biasa. Setiap langkah, setiap ucapan—semuanya akan diawasi. Setiap napas yang ia tarik di rumah ini, bukan lagi atas kehendaknya sendiri. Ia tak bisa seenaknya bangun siang, atau mendengarkan musik keras-keras, atau menonton drama Korea sambil makan keripik. Tidak ada Aira yang dulu. Yang tersisa hanya seorang perempuan yang dikunci dalam pernikahan tanpa cinta. Dan saat malam benar-benar sunyi, Aira berjanji dalam hati… Jika ia harus hidup seperti boneka, maka ia akan menjadi boneka yang tidak bisa dikendalikan.Aira berdiri di depan pintu rumah Alvano. Tangannya menggenggam koper kecil, sama seperti waktu itu. Tapi kali ini, beratnya bukan di beban barang—melainkan di hatinya sendiri. “Aku yakin?” bisiknya pada diri sendiri. Ia tak tahu jawabannya. Sejak acara gala dinner semalam, Alvano tidak menemuinya. Mereka hanya bertatapan dari kejauhan. Tapi sorot mata itu… tidak berubah. Tetap teduh. Tetap sama seperti pria yang pernah berkata: “Aku ingin kamu, bukan karena kontrak.” Namun, keraguan itu masih ada. Clara sempat berkata bahwa yang Aira butuhkan bukan pembuktian Alvano, tapi ketegasan dari dirinya sendiri. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menjauh lagi. Bukan karena Alvano bersalah. Tapi karena hatinya kembali ragu: apakah benar ia sudah sembuh? Saat hendak membuka pintu, langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara yang terlalu familiar. “Ra?” Aira mematung. “Aku baru aja mau ke tempat kamu.” Alvano berdiri di tangga bawah, membawa buket bunga dan... sebuah kota
Tiga hari sejak Aira pergi. Alvano belum sekali pun menghubunginya. Bukan karena tak peduli, tapi karena ia menghormati keputusan Aira. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Dulu, dia terlalu sering memaksa — kali ini, ia memilih percaya. Tapi di sisi lain kota, Aira justru tidak baik-baik saja. Di kamar kecil milik Clara, sahabatnya, Aira menatap langit-langit. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi pikirannya tak kunjung tenang. “Ra, kamu yakin nggak mau angkat telepon dari dia?” tanya Clara pelan dari ambang pintu. “Belum, Clar. Aku belum siap dengar suara dia.” Clara masuk, duduk di tepi ranjang. “Tes DNA udah buktiin kalau anak itu bukan anaknya. Media juga udah klarifikasi. Semua orang tahu kamu difitnah.” “Yang jadi masalah sekarang bukan orang lain, tapi aku sendiri.” Aira menggigit bibir. “Aku kira aku kuat. Tapi nyatanya... satu gangguan kecil aja cukup buat bikin aku mempertanyakan semua yang udah aku perjuangin.” “Kamu bukan nggak kuat. Kamu cu
Pagi itu hujan turun pelan. Suara tetesan air di kaca seakan menambah dingin yang merayap di hati Aira. Ia duduk di dalam mobil bersama Alvano. Tujuan mereka: klinik genetik yang akan menyerahkan hasil tes DNA. Sepanjang perjalanan, mereka tak banyak bicara. Aira sibuk menahan degup jantung yang tak karuan. Alvano sesekali melirik, tapi tak berani membuka percakapan. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter laboratorium yang memegang amplop cokelat di tangan. "Ini hasilnya," ucap dokter itu singkat. Alvano menerimanya, lalu menoleh pada Aira. “Kamu yang buka.” Aira menatap amplop itu, ragu. “Kalau ternyata... dia anakmu?” “Kalau iya, aku akan tanggung jawab,” jawab Alvano tegas. “Dan aku?” “Kamu tetap pilihanku.” Aira menarik napas dalam. Tangannya gemetar saat membuka segel dan menarik kertas hasil pemeriksaan itu. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari satu kata kunci. "Tidak cocok." Ia menutup mata, menahan air mata yang mendesak. Tapi bu
“Kamu harus lihat ini sekarang juga.” Suara Clara terdengar panik lewat sambungan telepon. Aira yang baru selesai meeting dengan tim keuangan langsung berdiri dari kursi. “Ada apa?” tanyanya sambil mengambil ponsel dari meja. “Media baru upload video. Viral banget. Seorang wanita muncul, bawa anak kecil... ngaku anak Alvano.” Aira membeku. “Apa?” Clara cepat mengirimkan link video ke chat pribadi. Tangan Aira sedikit gemetar saat menekannya. Layar menampilkan cuplikan konferensi pers kecil—diadakan di sebuah restoran mewah. Seorang wanita berdiri di depan kamera dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun di sampingnya. “Namaku Vanya,” ujar wanita itu. Wajahnya cantik dan penuh percaya diri. “Dan ini, Julian, anakku... sekaligus anak kandung dari Alvano Hartawan.” Aira menutup mulutnya. Clara melanjutkan, “Komentar publik udah gila. Beberapa akun media bilang kamu pelakor, bahkan ada yang minta kamu mundur dari Vanora.” “Aku… aku ke kantor sekarang,” uca
“Berani banget kamu balas email Pak Harlan kayak gitu.” Suara itu datang dari belakang Aira saat ia tengah merapikan berkas di ruang kerja tim krisis. Suara bernada menggoda, tapi tajam. Aira menoleh. Reva—asisten senior di tim PR Vanora. Wanita berambut panjang dengan lipstik merah menyala, salah satu orang paling lama di perusahaan… dan juga yang paling licin. “Emailnya sudah disetujui tim hukum. Aku hanya bicara sesuai data,” jawab Aira tenang. Reva menyeringai. “Ya… cuma biasanya, orang baru tuh agak segan. Apalagi kalau baru masuk udah duduk di proyek utama.” Aira tidak tersenyum balik. “Aku nggak punya waktu buat basa-basi.” Reva mengangkat alis. “Wah. Galak juga.” --- Hari itu, Aira mendapat tugas presentasi di depan jajaran PR dan manajemen. Ia menjabarkan rencana pemulihan citra Vanora lewat pendekatan publik berbasis transparansi: live audit, testimoni klien lama, dan program CSR serentak. Ruang rapat hening saat Aira menyelesaikan presentasinya. Namun be
“Nama kamu mulai ramai lagi di forum-forum saham,” ujar Clara sambil menyodorkan tablet ke Aira. Aira baru saja masuk ke ruang kerja pagi itu. Rambutnya masih sedikit basah karena mandi buru-buru. Tapi sebelum sempat duduk, ia sudah disambut kabar tak enak. “Ramai?” Aira menerima tablet itu, menatap layar dengan alis terangkat. “Istri CEO Vanora pegang program restrukturisasi?" “Kredibilitas perusahaan makin dipertanyakan. CEO bawa istri buat bersihin nama?” Aira menarik napas dalam. “Komentar publik…” “Bukan cuma komentar biasa, Ra,” sahut Clara serius. “Ada akun besar investor luar negeri yang repost ini. Kalau mereka cabut, kita bisa kolaps.” Aira terdiam. Dalam hati, ia tahu ini bukan pertama kalinya ia dihantam komentar. Tapi sekarang berbeda—posisinya bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai penentu arah penyelamatan Vanora. Dan satu langkah salah… semua bisa tumbang. Siangnya, Aira diminta hadir ke pertemuan informal dengan salah satu investor lama Vanora—Mr. H