Share

7. Menjadi Tetangga Baru

Sirene ambulans menarik atensi nyaris seluruh penghuni kompleks perumahan dengan type satu tingkat itu. Mereka keluar, melihat ambulans berhenti di salah satu rumah dan dengan cepat membawa satu lelaki mendapatkan perawatan intensif.

Lelaki itu tergolek lemah di atas brankar, mengandalkan hidup dari masker oksigen. Napasnya nyaris terputus dan suara histeris sang istri tidak terelakkan.

Banyak dari mereka bersimpati, mendekat lalu memberikan kata penenang.

Kenapa dia nggak langsung mati?

Manik hitam Tara terus saja menyorot sang istri lelaki tersebut yang meraung penuh tangis. Ia melihat sang istri yang mulai ikut naik ke dalam ambulans, disusul petugas medis lainnya yang sigap.

“Suami Bu Diandra terkena serangan jantung.”

“Untung ambulansnya cepat datang,” timpal salah satu ibu-ibu dari mereka yang berkumpul.

Tara hanya melirik malas. Ia pikir, tetangga yang rumahnya hanya disekat oleh dua rumah lain, bisa membawa kabar yang membahagiakan untuk dirinya. Tapi di saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia masih bisa melihat jika lelaki itu memiliki kesempatan untuk hidup.

Perempuan itu terkesiap, mengalihkan pandangan dari gerombolan ibu-ibu yang ikut cemas dengan keadaan yang terjadi sekarang oleh tetangga mereka. Ia menunduk, melihat Flora—anak perempuan—berusia tujuh tahun itu menggoyangkan lengannya. “Kenapa, Flo?” tanya Tara lembut.

Ia mengusap hangat puncak kepala anak perempuan yang tinggal bersamanya dua tahun terakhir. Hidup Tara hanya untuk Flora.

Jemari kecil anak perempuan dengan rambut terurai dan memakai pakaian tidur itu, segera menuliskan sesuatu dari catatan kecil yang tergantung di lehernya.

Tara memiringkan kepalanya, membaca tulisan tersebut.

Om Yudi baik-baik aja?

Sorot manik hitam mereka bertemu. Tara menatap lekat wajah khawatir anak kecil itu. Mungkin, ia pun sama ketakutan seperti sekelompok orang di sini, kecuali Tara.

“Dia baik-baik aja. Petugas medis sudah memberikan pertolongan pertama dan dalam perjalanan menuju rumah sakit.”

Embusan napas perempuan dengan rambut terurai panjang itu tampak lega. Ia mengangguk dengan senyum kecil.

“Sudah jam sepuluh lebih. Sekarang kamu harus tidur. Besok Kakak udah kerja lagi,” lanjut Tara dan anak perempuan itu menurut, langsung meraih jemari tangan kanan Tara.

Tautan itu terasa hangat dan di saat keduanya berbalik. Langkah kaki Tara berhenti dengan tubuh sedikit tersentak, melihat pria dengan tinggi 189 senti itu berada di antara sekompok lelaki yang memang sejak tadi keadaannya sudah ramai.

Pria itu tersenyum kecil, lalu melangkah mendekati Tara yang masih diam.

Flora mendongak, memerhatikan Tara dengan keadaan bingung. Seharusnya, perempuan itu sudah melangkah pulang. Keadaan berhenti mendadak itu membuatnya semakin berpikir.

“Halo, Dik.”

Anak perempuan berparas cantik dengan kulit putihnya menghentikan gerakan mengambil catatan kecil. Ia mendongak. Baru menyadari ada pria asing berwajah berbeda seperti kebanyakan orang yang dikenalnya di kompleks.

Tara mendapati Flora kembali menggoyangkan lengannya. Perempuan itu menatap datar pria blasteran yang kini menemukan keberadaan Tara. Belum dua puluh empat jam pulang ke rumah. Pria ini jauh lebih cepat bergerak dan memberikan kejutan pada Tara.

“Gue nggak pernah menyangka, lo selalu bisa hadir tepat di depan mata gue.” Tara melemparkan sorot dingin.

Kivanc merasa anak perempuan di samping Tara masih ragu berkenalan dengannya. Ia menegakkan kembali tubuh setelah mengusap sekilas puncak kepala Flora.

“Sekarang, kita menjadi tetangga baru,” timpal Kivanc ditatap datar Tara, meskipun perempuan itu mempertajam indera pendengaran dan berusaha menenangkan perasaan. Ia mendapatkan kejutan lain setelah melihat pria itu hadir lagi.

Sepertinya kabur bukan jalan yang tepat setelah Tara bertemu Kivanc. Pria itu sudah mematikan ruang gerak Tara.

“Lo berhak memilih tempat tinggal di mana pun,” balasnya acuh tak acuh.

Tara meraih tangan kanan Flora, mengenggamnya lembut. “Flo, kamu duduk di teras rumah dulu, ya.”

“Tunggu Kakak lima menit lagi,” tambah perempuan itu tegas di balik tatapan tenangnya.

Flora langsung mengangguk dan memutuskan pergi dengan wajah menunduk. Sorot manik hijau Kivanc masih menatap punggung Flora yang menjauh.

“Bisa berhenti mengurusi kehidupan gue?”

Kivanc tersenyum kecil. “Aku akan berhenti saat kamu juga berhenti menghancurkan hidup orang lain.”

Keduanya saling menatap dengan emosi dan ekspresi yang berbeda. Sejak mengenal Tara kali pertama, perempuan itu memang lebih banyak mengendalikan emosi. Hanya satu kali Tara tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik dan itu menjadi celah baru bagi Kivanc.

“Kamu akan lebih bahagia dan merasa nyaman dengan kehidupan yang akan aku tawarkan.”

“Gue nggak butuh apa pun yang lo tawarkan,” balasnya tegas.

Pria itu terus saja hadir dan mengusik kehidupan Tara. Ia tidak butuh mendapatkan simpati dari siapa pun, termasuk Kivanc yang belum dikenalnya sama sekali.

“Kamu sudah menandatangani kontrak perjanjian di unit apartemenku,” sahut Kivanc tegas.

“Jika aku merasa tidak nyaman dengan tindakan kamu yang melewati aturan di antara kita. Sudah jelas aku bisa menuntut kamu ke jalur hukum.”

Tara melemparkan sorot sinis. Diperbudak oleh sikap Kivanc yang seenaknya. “Lo menuntut gue ke jalur hukum dengan tuduhan apa?” Ia memberikan sorot menantang.

Sudut bibir Kivanc tertarik sedikit. “Aku bisa mengajukan tuduhan yang lebih masuk akal, Nona Gistara. Jangan meragukan setiap ucapan dan tindakanku. Karena kamu sudah merasakan kenyataan dari ucapanku beberapa hari lalu, kan?”

Perempuan itu membuang pandangan dengan kedua tangan terkepal. Tara menahan deru napas saat ucapan Kivanc membungkam telak dirinya.

Waktu Tara sudah terbuang di saat dari sebagian orang perlahan masuk ke rumah masing-masing. Ia pun bergegas melewati Kivanc dan menghampiri Flora yang sudah menunggu di teras rumah.

“Kenapa hanya kamu yang terlihat kecewa lelaki itu masih hidup?”

Jarak kedua bahu mereka berada pada garis yang sama. Kivanc tersenyum miring saat ia berhasil menghentikan langkah Tara yang akan melewati dirinya. Pria bermanik hijau itu menatap Tara dari sudut mata tanpa menghadap perempuan itu. “Aku udah bilang, kalau dari pertemuan awal kita ... kamu sangat menarik.”

“Sayangnya, kamu sedang menghancurkan diri kamu sendiri secara perlahan.”

“Aku nggak pernah mengenal pasangan suami istri itu. Aku hanya pendatang yang nggak sengaja bertemu dan tertarik dengan dendam yang kamu punya.”

“Nggak perlu mengulik dendam yang gue punya buat mereka.”

Rahang itu mengetat saat tidak terelakkan ia kembali memberikan Kivanc jawaban atas tebakan dalam pikiran cerdas Kivanc.

Senyum puas itu ia pertahankan. “Aku janji nggak akan pernah mengulik, sekadar mencari tau lebih dalam. Asalkan kamu, mau melihat dunia dari sisi lain dibanding dendam yang kamu pertahankan.”

“Perjalanan hidup kamu masih panjang dan masih banyak hal terbaik yang bisa membuat kamu merasa bebas.”

Kivanc tidak membutuhkan respons Tara. Ia memberikan kedipan sekilas, lalu menatap sekali lagi keseluruhan penampilan Tara malam ini.

“Selamat malam,” tutup Kivanc tersenyum miring dan melangkahkan tungkai panjangnya ke arah rumah yang ternyata berhadapan dengan rumah Tara.

Lebih tepatnya, Kivanc menjadi tetangga baru di seberang rumah Tara. Perempuan itu mengepalkan perlahan kedua tangannya dan memandang Kivanc lurus.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status