Share

Amarah pak Lukman

"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?" 

"Dia adalah mas Alen, Pak!" Jawaban yang membuat pak Lukman terkejut setengah mati. Ia seakan tak percaya jika mantan anak tirinya membayar semua hutang Kanaya yang jumlahnya sangat fantastis.

"Alen yang membayar semuanya?" tanya Pak Lukman memastikan.

"Iya, Pak! Saya rasa mas Alen memiliki hubungan khusus dengan nona inzen!" tutur Roy seraya menahan sakit di tubuhnya.

Pak Lukman mengernyit. Ia kembali duduk seraya berpikir sejenak mencerna perkataan yang terlontar dari mulut bodyguardnya itu.

"Hubungan khusus? Sejak kapan dia tertarik pada wanita?" tanya batin pak Lukman memicing menatap ke arah anak buahnya yang tertunduk.

****

Jari jemari tangan Kanaya tak berhenti bergerak. Kedua bola matanya tak berhenti menatap wajah cantiknya yang terpantul di kaca rias. Tak ada senyum kebahagiaan yang tersirat dari wajahnya. Hanya sebuah penyesalan  mendalam yang membekas di hatinya.

"Ya Tuhan, aku pasrah dengan semua ini. Jika hidupku harus menikah dengannya, aku hanya bisa berharap dia bisa menjadi suami yang bisa melindungi diriku. Meskipun, itu sekedar hanya mimpi!" kata batin Kanaya mencoba untuk mengembangkan senyumnya meski hatinya menolak.

Ceklek!

Surti tersenyum dan berjalan ke arah Naya yang tidak menghiraukan kedatangannya.

"Permisi, Non. Mas Alen sudah menunggu!" seru Surti seraya membungkukkan tubuhnya. Tak ada jawaban.

Surti menegakkan tubuhnya kembali. Ia mengernyit melihat Naya tertunduk seraya mengusap air mata.

"Non," kata Surti memegang bahu Naya yang tertutup dengan kimono putih yang melekat di tubuhnya.

"Iya," jawab Naya menoleh. 

Surti terdiam menatap dua bola mata Naya memerah."Nona baik-baik saja?" 

Naya menyeringai seraya menahan air matanya yang akan terjatuh kembali.

"Saya baik-baik saja! Saya hanya terharu," jawab Naya yang mencoba  menutupi kesedihannya.

"Tuan Alen sudah menunggu, Non!" kata ulang Surti.

Naya tersenyum dan beranjak dari duduknya. 

"Terimakasih, ya, Bi. Saya akan segera turun," kata Naya yang memperlihatkan keceriaannya.

"Kalo begitu saya permisi ya, Non!" kata Surti pergi meninggalkan Naya seorang diri.

Naya terdiam. Kedua bola matanya tak berhenti menatap Surti yang mulai menghilang dari hadapannya.

"Come on Naya come on! Kamu pasti bisa melewati ini semua. Hanya dengan bersabar selama lima tahun, kamu bisa terlepas dari semua ini. Semua akan baik-baik saja!" kata Naya menyemangati dirinya sendiri. Dengan cepat, ia mengambil gaun yang sudah tersedia untuknya. Gaun berwarna merah yang begitu cantik dan anggun.

Di bawah, Alen tak berhenti menatap arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sejenak, pandangannya teralihkan saat mendengar hentakan kaki yang menuruni anak tangga yang menjulang tinggi di rumahnya. Kedua bola matanya tak berhenti berkedip menatap sosok wanita yang membuat hatinya berdesir hebat.

Cantik, anggun, warna kulitnya yang putih mulus dan di dominasi gaun warna merah membuat aura kecantikan Naya kian terpancar.

"Saya sudah siap!" kata Naya membuyarkan lamunan Alen yang berdiri di hadapannya.

Alen memalingkan wajahnya. Ia mendengus seraya melipat bibirnya yang sexy.

"Kita berangkat sekarang!" ketus Alen yang pergi begitu saja.

Naya menghela nafas panjang. Ia seakan masih tak percaya melihat orang yang dikagumi semua orang bersikap sangat dingin dan angkuh. 

*****

"Ma, bagaimana keadaan Naya sekarang? Apa dia sudah menikah dengan pak Lukman itu?" tanya Laura seraya mengoles selai ke roti yang ada di tangannya.

"Itu sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kita! Yang jelas, kita sudah terlepas dari hutang ayahnya.Tanpa harus mengurangi uang tabungan milik kita sendiri," tutur ibu Dina, mama tiri dari Kanaya.

"Tapi, apa kita tidak keterlaluan, Ma! Bukannya, mama juga mempunyai hutang sama pak Lukman? Dan uang tabungan kita semua itu uang dari Kanaya 'kan?" 

Ibu Dina mendesah. Kedua matanya memicing menatap putrinya yang masih saja mempedulikan Kanaya.

"Bukankah kamu sangat benci dengannya? Kenapa kamu masih saja mempedulikannya?" tanya ibu Dina memicing.

"Iya, aku tau itu, Ma. Tapi, Laura rasa ini sangat keterlaluan. Coba bayangkan, seandainya posisi Naya itu adalah aku. Apa yang akan mama perbuat?" Pertanyaan Laura yang membuat ibu Dina menghela nafas panjang. Ia tak menyangka jika putri semata wayangnya berpikiran seperti itu.

"Justru mama sangat beruntung jika kamu yang ada di posisi Kanaya," ujar ibu Dina melihat Laura yang terkejut akan jawabannya.

"Mama ...."

"Iya, dong! Kalo kamu yang ada di posisinya kita akan hidup mewah dan serba kecukupan," jawabnya bangga. "Sayangnya, pak Lukman menginginkan Kanaya sebagai jaminannya," keluh ibu Ratih sedikit menyesal.

Laura memicing seraya menggelengkan kepala.

"Tapi, tak apa. Walaupun Naya yang menikah dengan pak Lukman, kita bisa memanfaatkannya tanpa harus bekerja keras!" 

Laura benar-benar tak habis pikir dengan sifat mamanya yang begitu gila akan uang.

"Bisa-bisanya mama mau mengorbankan aku demi hidup mewah. Apa kata semua orang, jika aku yang menikah dengan lelaki tua bangka seperti pak Lukman. Nggak tipe banget!" keluh batin Laura memicing.

Sepanjang perjalanan, Naya terdiam dan tak berani menatap wajah Alen yang duduk di sampingnya. Pandangannya hanya tertuju pada pemandangan luar yang nampak  cahaya-cahaya lampu di pinggir jalan.

"Ayah, Naya akan menjalani ini semua dengan baik. Ayah yang tenang di sana, ya?" gumam batin Naya mengusap air matanya yang sempat menetes.

Alen mendesah melihat kesedihan dari diri Kanaya. Dari dulu, ia sangat benci melihat wanita yang menangis saat bersamanya.

"Jika kamu menyesalinya! Aku akan bawa kamu ke rumah rentenir itu!" ujar Alen yang membuat Naya terkejut mendengarnya. 

 Naya menoleh ke arah  Alen yang menatapnya dengan tatapan yang tajam. 

"Tidak! Jangan lakukan itu!" pinta Naya memohon. Saya sudah menandatangani surat perjanjian itu, dan saya akan pastikan selama lima tahun ke depan, saya akan menjalankan semua perintah Anda. Tapi, saya mohon jangan serahkan saya pada rentenir itu!" pinta Naya memohon.

"Bagus, kalo kamu mengingat isi surat perjanjian itu!" kata Alen menyeringai melihat Naya bertekuk lutut dengan kemauannya.

 Wajah cantiknya yang tadinya masam kini sedikit menorehkan senyum yang teramat manis.

"Sekarang, kita adalah sepasang kekasih. Dan aku mau, hilangkan sebutan kata Anda dari mulut kamu itu," kata Alen yang membuat senyum Naya kembali memudar."Bersikaplah seperti pasangan kekasih yang sesungguhnya! Mengerti!" 

Tatapan Alen begitu tajam membuat Naya tak mampu menatapnya.

"Mengerti!" jawab Naya menunduk.

"Dan satu lagi. Aku tak mau melihat ada air mata yang jatuh dari mata kamu!"

Naya menghela nafas panjang. Ia mendongak dan mengerjapkan kedua mata agar air mata yang berkumpul di pelupuk matanya tidak terjatuh.

Sudut mata Alen mengerut melihat jari jemari tangan Naya yang tak berhenti mengipaskan tangan tepat ke arah kedua mata indahnya.

"Laura, liat apa yang dilakukan idola kamu ini. Dia sama sekali tak seperti yang kamu banggakan," kata batin Naya menegak salivanya dengan paksa. 

"Hapus air mata kamu!" 

Naya terkejut saat Alen menyodorkan sapu tangan untuknya. Perlahan, ia menoleh dan seakan tak percaya melihat orang kaku seperti Alen mau meminjamkan sapu tangan untuk dirinya.

"Ini yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis!" ketus Alen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status