Bunyi bara yang menyulut tembakau diikuti dengan asap putih yang meluncur dari bibirnya sedikit memberikan penghiburan bagi Wira saat ini. Permintaan Sarah sungguh menguras pikiran. Meski demikian, Adhiwira belum memberikan keputusan, ia hanya memberikan jawaban pasti kepada Sarah jika akan bicara dengan Martha terlebih dahulu.Bagaimana bisa ia mengabaikan Martha, sementara saat ini kekuatan dan semangatnya bertumpu pada wanita itu?"Sepertinya Mas sedang banyak pikiran," tegur suara lembut seorang wanita dari arah belakang. Detik setelahnya secangkir kopi di letakkan di meja kecil.Martha, wanita yang sedang Wira pertimbangkan nasibnya sejak tadi."Dalam kondisi seperti ini kau pasti tahu seberapa penat kepalaku."Martha mengangguk. Ia menyusul duduk di sebuah kursi kosong di sebelah Wira. Ada hempasan napas panjang dari bibirnya. "Ya. Aku tahu. Kabar Mbak Sarah sakit memukul perasaan banyak orang. Tetapi, kita juga harus berpikir untuk ke depannya, Mas. Kalau Mbak Sarah berobat,
Wira baru saja kembali dari mengantar Martha. Dadanya masih terasa berat meninggalkan wanita itu sendirian. Kini, komunikasi yang mereka lakukan sebatas dunia maya. Pun itu saat ia tak bersama Sarah. Entah akan serenggang apa hubungannya dengan Martha nantinya, Wira tak bisa membayangkan itu. Saat tiba di kamar, ia melihat Sarah sedang fokus mengamati sebuah benda. semacam buku juga selembar foto berukuran 10 x 15 cm. Dan tampaknya, Sarah tak menyadari jika ia berada di ruangan ini."Kau belum tidur?" tegurnya kemudian.Sarah langsung menoleh. Entah sejak kapan lelaki itu datang, tetapi Sarah tak mendengar seseorang datang sama sekali. Bahkan kertap pintu yang menjadi penanda datangnya seseorang tak menggema di telinganya."Wi—wira ...."Wanita itu kelabakan. Dia ingin menyembunyikan buku yang sedang dibawanya tetapi kalah cepat dengan mata elang Wira."Buku siapa itu?" tanyanya seraya mendekat ke arah Sarah yang berkali-kali menelan ludah."Bukan buku siapa-siapa. Ini buku baruku!
Tengah malam, Sarah membangunkan seisi rumah karena keadaannya terus menurun. Ia mengeluh sakit di bagian perut hingga membuat Wira panik dan harus memanggil medis ke rumahnya. Awalnya, Sarah diminta untuk menjalani rawat inap di rumah sakit, tetapi wanita itu bersikeras untuk tetap menjalani pengobatan di rumah saja. "Maaf, aku membangunkan kalian tengah malam begini. Kalian beristirahatlah, biar aku saja yang menjaga ibumu." Wira berkata kepada Gin dan Yura yang turut terbangun dan turun ke lantai satu. "Tidak. Tidak. Kami tidak terganggu, hanya bagaimana dengan ibu? Mengapa sampai menelpon Grace tengah malam?" tanya Gin seraya menutup pintu utama. Dengan kantung mata yang memberat lelaki itu berusaha menatap sang ayah."Perut Sarah sakit dan keras. Dia merasa sesak napas juga, jadi aku tak punya pilihan untuk menelpon Grace." Wira mengusap wajahnya dengan pelan. "Besuk pagi coba kau rayu ibumu, Gin. Barang kali dia mau rawat inap di rumah sakit. Tadi Grace menyarankan supaya mas
Keesokan paginya.Sejak subuh, Yura berkutat dengan panci dan kompornya. Ia harus menyiapkan bekal untuk suaminya, juga semangkuk sup sayuran tanpa daging untuk Sarah. Ini bukan yang pertama kali, tetapi tetap saja ada sedikit rasa tak nyaman saat memasak di dapur yang bukan miliknya sendiri. Namun, apa boleh buat? Yura tak bisa menolak keinginan suaminya untuk tinggal di rumah utama sementara waktu. “Hari ini aku ada rapat sebentar jam enam. Jadi, aku tidak makan malam di rumah,” ujar Gin begitu tiba di hadapan istrinya. Seperti biasa, lelaki itu sudah rapi dengan setelan jas kerjanya yang berwarna hitam. Yura yang selesai memasukkan kotak bekal ke dalam tas lantas menoleh. Wanita itu kemudian mengambil segelas air hangat untuk diberikan kepada suaminya. “Ya. Tidak apa-apa, aku akan memasak untuk porsi kecil saja. Ibu bagaimana? Apa sudah mau ke rumah sakit? Kalau sudah aku akan bantu packing siang ini.”Sembari meneguk minuman, Gin melambaikan tangannya. Setelah airnya tandas ba
“Duduk, ada sesuatu yang ingin aku bahas.”Jantung Yura berdegup kencang mendengar perintah itu. Bagaimana tidak? Sangat jarang, Sarah mengatakan ingin membahas sesuatu bersamanya. Kecuali …. Beliau ingin mengutarakan sebuah keinginan—yang harus dipenuhi. Tentu Yura tidak lupa ingatan dengan perjanjian mereka pada waktu itu. Ia bahkan sadar ini sudah terlalu lama dari waktu yang seharusnya. Dan ia takut, Sarah menagih janji itu kepadanya hari ini. “Jangan pura-pura tidak dengar, Yura. Aku memintamu duduk, bukan malah melamun.” Titah Sarah kepadanya saat Yura terlihat ragu melaksanakan perintahnya.Ditegur demikian, Yura lantas segera menaruh kembali nampan yang dipegangnya ke tempat semula. Lalu, mendudukan dirinya ke tempat yang diperintahkan oleh Sarah. “Ada apa, Bu?”Sebuah senyum singkat terbit di bibir sang mertua. Wanita paruh baya itu membuang pandangan ke arah cucunya. “Berapa usia Raya sekarang?” Deg!Tenggorokan Yura mendadak kering. Ketakutannya semakin bertambah saat S
Wira menapaki lempengan andesit di halaman villa miliknya dengan tergesa-gesa. Pikirannya sejak semalam tak tenang. Bahkan, urusan rumah sakit ia selesaikan cepat-cepat demi bisa bertemu dengan Martha. Satu yang ada di dalam benaknya, bertemu dengan wanita itu dan meminta maaf. Lalu, melepas rindu barang hanya beberapa waktu. Sudah lama ia mengabaikan Martha. Meski ia tahu bahwa istri keduanya itu mampu memaklumi apa yang terjadi, tetapi hatinya tetap saja tak bisa rela jika meninggalkannya lama-lama. Saat melangkah ke dalam rumah, Wira menemukan bangunan itu dalam keadaan sepi. Biasanya saat ia datang, Martha akan langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi kali ini, tidak. Entah dimana wanita itu. “Ibu dimana, Bi?” tanya Wira kepada salah satu pembantu yang baru saja muncul. “Ibu sedang ada di kolam memberi makan ikan, Pak.”Mendengar itu, Wira lantas bergegas menuju sudut rumah tempat dimana kolam itu berada. Benar saja, ketika ia membuka pintu belakang, dua netranya
“Nona Raya sudah tidur, Nyonya?” Yura mendongak ke arah dua pembantu yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Rati, orang yang bertanya padanya sedang berkutat dengan sayuran segar bersama satu orang lagi yang lebih muda—yang Yura belum hafal namanya. Ia memang baru saja menidurkan putrinya. “Oh, iya, Bi, sudah habis asi satu botol langsung tidur,” jawab Yura lalu berjalan mendekat ke kitchen set bergabung dengan para asisten rumah tangga, hendak mencuci botol.Akan tetapi baru saja ia ingin menyalakan keran wastafel, sebuah suara pintu terbuka menggema serempak menjeda kegiatan mereka. Dari dapur itu, Yura bisa melihat Sarah keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, sang mertua menggunakan dinding sebagai bantuan.Tak ada satu pun orang yang menemaninya. Bahkan Wira yang selalu stand by di rumah tidak terlihat bersamanya kali ini. “Bi, aku titip ini sebentar, ibu keluar dari kamar,” pamitnya kepada sang binatu dan segera meninggalkan dapur menghampiri sang mertua. Mel
Bukan hanya Yura yang ketakutan dan panik. Gin yang baru saja meeting bersama para pemegang saham terpaksa pamit undur diri lebih awal dan menunda pertemuan itu di esok hari. Di tengah meeting yang cukup penting itu, ia mendapatkan kabar dari istrinya jika Sarah pingsan setelah muntah darah. Dengan segala kecepatan yang ia bisa, Gin akhirnya berhasil membawa mobilnya di rumah sakit tujuan. Pria itu segera mencari UGD tempat Sarah di rawat sementara. “Sayang!” Begitu melihat istrinya, Gin berlari ke arah yang sedang duduk di kursi tunggu. Wanita itu tampak melonggarkan pernapasannya ketika melihat Gin tiba di rumah sakit. “Gin! Akhirnya kau datang juga!” Yura memeluk erat tubuh suaminya. Bibirnya pucat dan kedua tangannya dingin ketika permukaan kulit mereka bersentuhan. Entah apa yang terjadi, tetapi melihat air muka istrinya , Gin sudah bisa meyimpulkkan separah apa kondisi Sarah saat ini. “Hei. Tidak apa-apa, tenanglah. Aku tak akan memarahimu.” Gin berkata pelan seraya melep